Sebentuk ‘Surat Kreatif’ kepada Fatah Yasin Noor, Penulis Kumpulan Puisi Rajegwesi
Mashuri **
http://www.sastra-indonesia.com/
Sejarah adalah mimpi buruk (James Joyce)
Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Mungkin kita belum pernah bersua, namun dalam kesempatan ini aku berikhtiar bersua denganmu lewat puisi-puisimu. Siapa tahu aku dan dirimu bertemu atau berpapasan di teks-teks puisimu, dan pertemuan itu bisa aku untai menjadi buah pikiranku. Jika aku tak bisa menemuimu di sana, aku akan merangkum kealpaan itu dalam praduga yang berlatar pada sosio-kultur yang melahirkan teks-teks puisimu, juga sosiokultur yang mematri nilai-nilai dan kearifan ke jiwamu.
Oleh karena itu, aku akan bertumpu pada ingatan-ingatan kolektif, kearifan dan kenaifan tradisi, juga mungkin sebentuk hasrat yang tergurat di bait-baitmu, yang kadang lancar. Kadang patah-patah. Dan, seringkali membuat aku harus menakik alur pikir dan perasaanku untuk membalik teks-teks puisimu, agar aku bisa mengintip rahasia dan misteri yang tersimpan di sana. Mengingat topografi dan historiografi tradisi dan budaya Banyuwangi, aku melihat beberapa puisi patah-patahmu adalah niscaya. Aku teringat saat A. Solzeynistin, mengakui tulisan tentang pulau penjara pada masa-masa rezim komunis berkuasa di Rusia: ‘Gulag’, yang tak senada, dan mungkin patah-patah, karena kondisi saat menulisnya sambil berlari dan itu adalah keniscayaan dari kesusastraannya. Mungkin aku terlalu gegabah, tetapi ini adalah salah satu caraku untuk bersua denganmu.
Ah, lupakan soal itu. Yang jelas, apapun alasannya puisi tetaplah penting, apalagi untuk zaman kini, ketika suara-suara begitu banyak yang mendesak ingin menguasai ruang kita dan menuntut untuk didengar. Dan, itu yang aku tangkap dari spiritmu: adanya keyakinan yang begitu penting pada puisi. Tak peduli kata orang, ihwal akhir romantik peran penyair. Aku menangkap begitu banyak kesungguhan dalam puisimu yang menegaskan bahwa puisi itu juga masih sangat penting dalam lingkar sengkarut realitas yang demikian hiperreal, dan kondisi kekinian kita yang rapuh.
Mungkin ini adalah problem akut kita bersama yang masih meraba-raba arah gerak dunia dan menjadi pengekor yang teguh. Aku menangkap puisimu bermain dalam wilayah itu. Spirit puisimu ingin ‘mendamaikan’ masa lalu dan masa kini. Apalagi realitas sejarah ‘lokal’-mu begitu luka. Jika dalam konteks sosio-kulturmu, itu sebagai cara terapi dalam merakit trauma-trauma sejarah, karena kita memang tak cerdas untuk ihwal itu dan selalu mengulang hal-hal yang sama, meski di masa lalu hal itu sering berperistiwa.
Sebagaimana yang dianggit Octavio Paz, bahwa puisi adalah penyembuh bagi sebuah ‘luka sejarah’. Hal itu karena sejarah Brang Wetan/ Blambangan, selalu saja menempati wilayah periferi dalam sejarah mapan Jawa. Pada masa Majapahit, ia juga berada di ruang-ruang subordinat, terutama dalam kisah perseteruan Damarwulan-Menakjinggo. Pada lanskap kultur Jawa, Damarwulan adalah pahlawan. Tetapi aku yakin dalam kultur Brang Wetan/Blambangan, terdapat anggapan yang berbeda, dan hero itu Menak Jinggo. Kondisi ‘muram’ itu berlangsung hingga kondisi mutakhir, ketika isu dukun santet merebak. Padahal, selama ini, telah terjadi pemaknaan yang salah kaprah dalam dunia santet. Santet bagi orang Osing berbeda dengan santet bagi masyarakat awam dan dipahami oleh khalayak riuh. Bahkan, lagu ‘Genjer-Genjer’ yang netral itu tiba-tiba begitu subversif pada masa Orde Baru dan disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September, dan dianggap sebagai lagu wajib Gerwani dalam berpesta.
Dengan sedikit latar itu, tak heran, dari baris-baris puisimu, aku melihat begitu banyak warisan yang berusaha kau baca dalam kekinian, dengan tak segan kau berkata: sejarah adalah luka, sebagaimana yang dikatakan James Joyce, bahwa sejarah adalah mimpi buruk. Namun bukan berarti kau abai pada sejarah dan menganggapnya tidak penting. Aku masih meyakini bahwa kau sebagaimana Ortega Y. Gaset, yang tetap ‘gamang’ melihat masa depan, dan menganggap bahwa sejarah itu adalah ‘harta’ yang berharga. Dengan tegas Gaset mengatakan bahwa manusia tak punya kodrat dan yang dipunyai hanya sejarah. Aku melihat kau berada di persimpangan antara kodrat dan sejarah.
Sejarahmu demikian luka dan kau masih bimbang dalam kekinian. Meski demikian, keyakinan begitu besar dalam kekinianmu yang masih carut-marut itu. Ketika membuka bukumu Rajegwesi, aku bersua dengan gelisah dan optimismu itu. Dalam “Elegi Perjalanan Hidup”, yang kautulis pada 1991, aku melihat adanya kegamangan itu. Sebagaimana manusia modern Indonesia, yang masih terombang-ambing antara tradisi lokalnya dengan tradisi dari Barat yang sering disebut modern. Memang sering kali kita mendengar jangan tangisi kematian tradisi, tetapi mengingat zaman kini, sepertinya kita masih begitu butuh pada tradisi. Tentu yang patut ditimba adalah spirit tradisi sebagai progres kreatif. Karena sungguh, seringkali kita asing dengan tradisi kita sendiri. Aku dalam puisimu “Rajegwesi” (hal 50) yang kautulis pada 2007, adalah kita.
…di saat gending itu menggerakkan angin
maka di sanalah aku tahu bagaimana wajahmu
sekian lama menempati peta asing
Hal itu tidak hanya dalam “Rajegwesi” saja. Bahkan, dari sajak-sajak yang kautulis dan bertahun 1991, sebanyak 13, aku melihat adanya rasa gelisah pada ingatan, kenangan, dan kekinian. Dan, aku merasa, inilah ruh yang hidup dan menghidupi sajakmu. Dalam “Laut” (hal 22), kesadaran sejarahmu demikian tinggi: sejarah luka, juga berbagai pendikreditan arketipe budaya sekaligus ‘salah baca’-nya.
Laut yang terhampar di hadapanku
Senantiasa menyentuh luka yang tiada pernah sembuh
Telah terkubur berabad
Abad, sehingga aku tak tahu di mana
Akan kubuang masa laluku. Laut telah
Sesak oleh sejarah
Kau terus ‘Membaca. Mengaji lautan sejarah” (“Manusia Sehari”, hal 18). Kau seakan-akan menunjuk ada sesuatu yang tidak ‘alami’ terjadi di lingkungan budayamu, dan merasa “Di sini waktu berhenti. Jam-jam kehilangan jarum” (“Cerita”, hal 19). Kau begitu menolak kebekuan waktu. Kesadaran yang menguasaimu adalah kesadaran ‘modern’ dengan progres. Tetapi realitas-kekinian seakan membekukan dan waktu seakan berhenti seperti yang kau lontarkan. “Sehari waktu telah berhenti mengenal manusia. Melebur diri. Hanyut oleh kesementaraan waktu yang berhenti. (“Cerita”, hal 19). “O ini abad sudah enggan disapa”. (“Untuk Jari-jari”, 20)
Ingatan, kenangan, sejarah dan panggilan dari ‘Ibu’ menjadi ruh hidup puisi-puisimu yang lainnya. Seperti dalam “Perimbangan” (hal. 17)./Telah kulihat ibu/Memanggil namaku/Agar segera berangkat/Melupakan catatan harian/ Yang hanya menyimpan sunyi/ Telah melukai tubuh sendiri/ Tiap hari.
Dalam “Jalan Alam” (hal. 59) ditulis 2008. /Aku meletakkan telapak tanganku di dadamu/ Juga perlahan-lahan seperti ingin menghapus kenangan/. Begitu pula dalam “Kerinduan” (hal. 66), ditulis 2009: /Aku berupaya menemuimu,/ Karena begitu lama aku mengembara/ Di labirin kesia-siaan./ Engkau adalah rumah yang lama kutinggalkan/.
Dalam sajak lain yang ditulis pada 2009, juga menyangkut ihwal kenangan dan usia. “Dahan Kelapa dalam Dadamu” (hal. 70):/ Ingin segera sampai ke rumahmu./ Meletakkan gerimis./ Atas nama pikiran kosong./ Juga ingatan yang terkotak hijau. Dalam “Dan Waktu” (hal. 78): /usia empat puluh tujuh,/… sejarah puisi yang terlupakan/. Dan, pada “Sampiran Setan” (hal. 80) mengerucut pada hal-hal sublim sekaligus kontradiktif: sebuah perjalanan telah sampai, sekaligus mempertanyakan tentang sesuatu yang dianggap ‘terberi’.
Memang, meski secara umum, bait-bait puisimu tak menyimpan bentuk metrum ‘Sabuk Mangir’, ‘Jaran Goyang’, tradisi ‘Warung Bathokan”, dan lainnya yang memasang atribut identitas kulturmu, tetapi aku menangkap adanya sinyal itu. Bahkan, ada usaha untuk mengembalikan makna santet yang sesungguhnya sebagai sebentuk usaha meraih mahabbah/cinta dan demi cinta. Tentu saja, kau juga merajutnya dengan sajak-sajak cinta yang ciamik, sajak persembahan yang mantap, juga sajak-sajak yang kau sebut ‘puisi-puisi tak terduga’ yang lain.
Sungguh, berpuluh sajak-sajak berbinar ihwal cinta. Tentu cinta di sini, bukan cinta sejoli, birahi, tetapi cinta yang menguniversal dalam kemanusiaamu. Sajak-sajak cintamu demikian banyak. Aku terpaku pada sajak cintamu, yang berjudul “Yashinta Nur Safitri” (hal 82), yang kautulis pada 2009. Aku lalu teringat bahwa kumpulan sajak ini juga kau persembahkan pada nama itu. Aku menduga ia adalah buah hatimu.
Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Aku termasuk orang yang kagum pada sub kultur Osing, yang tradisi lisan dan tulisannya terus terpelihara. Sastranya terus tumbuh secara mandiri dan kompleks. Bisa jadi karena begitu banyak ‘agen kebudayaan’ di sana, yang membacanya dalam kekinian, sebagaimana engkau membacanya. Mungkin banyak orang yang merasa gelisah ketika sebuah laju budaya berhenti pada ornamen, arketif pasif dan kebudayaan menjadi kata benda. Aku menangkap beberapa puisimu meruju ke situ. Kau ingin membaca warisan bukan dalam kapasitas masa lalu, tetapi dalam kekiniannya. Sehingga terkesan ada nada miris ketika kau bicara warisan masa lalu.
Hal ini kau tegaskan dalam sajak “Kelahiran” (hal. 31). Berikut ini kutipan beberapa bait:
Mataku terpejam diam-diam mengusung
Kemiren dalam tubuhku menjadi fosil
Serupa penari Gandrung yang tengah bermimpi
Tentang bulan dan suara using ditalu-talu
Tapi, di kota aku sempat mengelus patung-patung itu
Jejak masa lalu yang semakin mengabur
Hanya kukenali kembali rintihan-rintihan lembut
Yang nyaris tak terdengar dalam dadaku
…
O Tradisi pesisir: perahumu dihimpit gunung
Hal itu juga juga tampak pada dua sajak yang kau tulis pada tahun 2006, judulnya “Banyuwangi” (hal. 27) dan “Sebentuk Kisah” (hal. 32). Dalam “Banyuwangi”. /Banyuwangi,/ Terasa merdu suaramu di telingaku/ Lantaran jauh aku meninggalkanmu/. Banyuwangi,/ Kesempitan melapangkan jalanku ke duna/ Lantaran dialek Using yang begitu-begitu saja. /Kini sayup-sayup kudengar lagi suaramu/ Mengusung carut-marut penampakanmu/. Adapun dalam “Sebentuk Kisah”, aku lirik ‘hanya’ bersua ‘sebutir pasir’ dalam ‘kamar’ pertaruhan realitasnya, dan selalu dijejali dengan menemukan ‘tv yang selalu menyala.
Dari dua sajak tersebut tersebut, terdapat nada masqul menghadapi ‘yang begitu-begitu saja’ dan ‘carut marut’, dan dirimu berkehendak untuk memberi nilai lebih dari yang sudah ada. Jika Adonis alias Ali Ahmad Said meminjam ‘ruh’ puitik Mutanabbi untuk mendobrak kebuntuan kreativitas bangsa Arab pasca kalah Perang dengan Israil, aku melihat ada hasrat demikian besar dalam puisi-puisimu. Kau begitu luka memahami masa lalumu, dan dengan puisi kau menyurat sebuah kesaksian, bahwa mesti ada yang tetap dan berubah. Tentu warisan masa lalu yang kau angankan itu adalah dinamika Osing, Kemiren, juga Banyuwangi dengan tradisi dan kultur yang begitu kaya dan mandiri. Dan, kau ingin warisan itu tidak hanya ‘begitu-begitu saja’ tapi ‘hidup’.
Kau menegaskan dalam “Elegi Perjalanan Hidup” (hal. 14), puisi pertama dalam kumpulan Rajegwesi.
Ah hidup!
Masih mengais-ngais juga di bumi
Segala hulu yang mengalirkan sejarah
Kini meretas di jari-jariku
Optimisme masih kau pegang meski kau alirkan lewat suara sajakmu yang ironi. /Dan kini secupang cinta telah menodai tujuan yang/ Telah kubangun lewat keping waktu (“Ia Mendengar Suaraku”, hal. 15). Sajak-sajakmu yang lain juga menyebut beberapa tempat, tokoh, mitos, alih kode dan campur kode dan lainnya terkait dengan Osing dan Banyuwangi. Kau juga meruyak wilayah spiritualisme Islam, dengan mengunggah puisi yang yang sunyi dan mengungkai kaidah-kaidah sufisme.
Adapun pada tahun-tahun 2007, sajakmu cukup banyak yang berbicara tentang Kemiren. Di antaranya “Hantu di Kemiren” (hal 41), “Dosa Kemiren” (hal. 43), “Magma Kemiren” (hal. 44), dan “Geriap Kemiren” (45). Nada dan suasana yang terbangun ‘muram’, sebuah introspeksi pada ruang dan waktu yang tak tepat, menyoal perspektif umum/mapan yang riil, tapi ganjil. Ihwal ragam kulturmu juga membukit di ‘Sebukit Rinjani”, yang kau tulis 2009 (hal. 75), meski nadanya berbeda dengan sajak tahun 2007.
Dalam sajak tahun 2007 “Desa-desa di Kemiren” ( hal.47), kau menegaskan gejolak itu dalam di antara dua tanda kutip.
“Di sini tak ada apa-apa, saudara
Pergilah di kota-kota
telah tersimpan riwayatku yang basi”
Dalam “Sebukit Rinjani” (2009), yang bentuknya mirip prosa, sepertinya ada usaha untuk berdamai. “Sudahlah, hanya secangkir kopi. Engkau hanya mencari orang yang terkesima. Menggenggam peninggalan Majapahit erat-erat. Yang dekat dari sini hanya Gunung Ijen.” Suasana yang berbeda dari tahun sebelumnya juga kau tabalkan dengan mengambil ikon Gandrung dalam sajak yang kautulis pada 2009, judulnya “Belerang di Tubuhmu” (hal 77)
Tak ada bau bangkai di sini.
Hanya jejak-jejak Gandrung yang menempel
di beranda rumahmu
Selendang merah yang kusam
Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Meski berbeda, aku melihat kau tetap memandang ‘jejak-jejak’ itu sebagai hal yang ‘kusam’. Artinya, kau tetap istiqomah dalam memandang masa lalu dan warisan tradisi itu sebagai hal yang harus ditafsir ulang dan diberi notasi dalam kekiniannya yang tidak terjebak pada masa lalu…
Demikianlah, pada akhirnya, beribu maaf aku gelar di sini, karena harus menyudahi pembicaraan yang mungkin terlalu melenceng jauh dari perkiraan dan bertele-tele. Namun bagiku ini adalah sebentuk ‘kenikmatan’ dan ‘rekreasi’ yang menyenangkan. Aku sudah berikhtiar ‘membaca’ 70 puisimu, yang ditulis mulai 1991—2009, dengan jumlah dan jeda yang berbeda. Tak ada sajak dari tahun 1992—1995 dan 2000—2005. Rinciannya: tahun 1991 (13 sajak), 1996 (6 sajak), 1997 (1 sajak), 1998 (2 sajak), 1999 (1 sajak), 2006 (1 sajak), 2007 (14 sajak), 2008 (8 sajak), dan 2009 (25 sajak). Paparan singkat ini adalah hasil perjumpaanku dengan beberapa puisimu.
Aku memang hanya fokus pada hal ihwal yang berbau sejarah, tradisi dan ingatan-ingatan kolektif saja, karena sajak-sajakmu mendedah banyak hal, yang tentu saja tidak kuasa kubaca semua. Bahkan, bisa jadi, banyak hal dari sajak-sajakmu yang luput dan itu karena keterbatasanku yang tak mungkin bisa mendedah seluruhnya dan sempurna. Semoga bermanfaat. Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq. (*)
*) Disampaikan sebagai prasaran dalam acara “Geladak Sastra” di Mojokerto, pada Minggu, 26 September 2010. Belum diedit.
**) Penulis puisi, prosa dan esai.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar