Sabtu, 11 September 2010

”Payudara”: Kegilaan sebagai Penyembuhan

Mariana Amiruddin
http://www.sinarharapan.co.id/

Sebelum membuat tulisan ini, saya sengaja bertemu langsung dengan pengarangnya, Chavchay Syaifullah. Dari namanya saya sudah menemukan kejanggalan. Dia yang pernah mengirim puisi di Jurnal Perempuan berjudul ”Tubuh Perempuan”. Dalam puisinya saya menemukan keanggunan yang lain, yang biasanya saya temukan pada diri perempuan. Dia bicara tubuh perempuan bukan dalam bentuk materi seperti umumnya lelaki. Dia meletakkan tubuh perempuan yang multi, memberi kehidupan dengan segenap siksaan. Keindahan tubuh perempuan yang sebetulnya adalah penderitaan (Jurnal Perempuan, edisi 24). Bahwa keindahan pun adalah kesakitan, seperti yang direpresentasikan oleh Eka Kurniawan bahwa Cantik itu Luka dalam novelnya.

Sejak itu tak salah lagi, Chavchay adalah sosok yang kerap menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol kehidupan (bahkan kegilaan yang menghidupkan?). Seperti novel perdananya berjudul Payudara. Dalam sampul depannya judul tersebut dimasukkan dalam tanda kurung dan di atasnya tercantum tulisan ”sebuah novel filsafat” serta komentar Mudji Sutrisno, seorang budayawan. Sebuah novel filsafat yang biasanya orang akan mengerutkan kening dan menganggapnya serius, tetapi disajikan oleh penerbit Melibas dengan gambar sampul depan seorang perempuan berbibir merah darah dan mengeluarkan taring merah seperti sinetron-sinetron sekarang yang sering menghadirkan hantu perempuan: cantik tapi seram, misterius lagi! Banyak reaksi pertama orang yang menganggap judul ini vulgar. Lagi-lagi organ tubuh seks atau reproduksi (apalagi perempuan) akan diberi reaksi yang negatif dan cenderung menjadi kontroversi.

Saya tidak terlalu curiga dengan novel ini awalnya. Sebab dalam pengantar, sebagai pintu masuknya novel, konotasi payudara sebagai sesuatu yang esensial tidak ada. Apalagi Mudji Sutrisno telah mengeluarkan pernyataan ”memperebutkan perayaan payudara kehidupan”. Ini pasti novel yang berbicara lain tentang judulnya, demikian dalam hati saya.

Pertemuan dengan Chavchay semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa ini bagian dari proses pergulatan pengarang atas ke-diri-annya. Chavchay adalah pengarang yang mudah sekali masuk ke alam yang irasional dan dia membuatnya menjadi ekstase. Bahkan mistis. Berteriak histeris, bergetar-getar, atau diam sama sekali, mungkin itu ciri ekstase. Dan gejala itu ia tunjukkan tanpa malu-malu. Ketika diminta berbicara di depan umum untuk menutup peluncuran novelnya ini, Chavcay memamerkan ekstasenya. Suaranya menggelegar, keluar dalam dirinya entah yang mana. Kemudian ia membeberkan bahwa ia sempat menjadi seorang provokator dalam peristiwa Mei. Peristiwa kekerasan yang takkan kita lupakan, toko-toko sekitar Ciputat yang ia bakar, dan Cina-Cina yang ketakutan. Chavchay menangis. Ia adalah pemuda yang merantau ke Arab Saudi dalam waktu yang tidak sebentar, bahasa Arabnya cas-cis-cus. Dan kemudian menekuni dunia filsafat yang sebetulnya adalah misi untuk mencari jawaban-jawaban atas pikiran hidupnya.

Oleh karena itu saya langsung menyatakan bahwa tokoh Sakti dalam novel Payudara ini adalah identifikasi pengarang. Kegilaan yang sebetulnya bukan ”sebuah penyakit”, melainkan potensi manusia yang terkubur, dan Sigmund Freud berhasil merumuskannya dengan satu kata: unconsciousness, yaitu alam bawah sadar. Dan bahwa semua manusia adalah neurosis, memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa kita. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan itu adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batas. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius. Novel Payudara adalah ide yang berangkat dari kegeniusan, meskipun Chavchay tidak begitu berhasil dalam bahasa yang dibuatnya. Namun ada beberapa kalimat yang saya garis bawahi: ketika pengarang punya hak jawab atas karyanya, Chavchay mengatakan novel bertitel filsafat ini adalah bentuk yang disengaja. Buku Dunia Sophie yang kita kenal, adalah buku filsafat yang sastrais. Chavchay mencoba membalikkannya dalam Payudara, sebuah novel yang dibuat menjadi filosofis. Mungkin ini satu-satunya alasan Chavchay yang tidak gila.

Chavchay bahkan mengombinasikan kegilaan dengan imajinasi, halusinasi dan ”sedikit” filsafat yang menentang habis-habisan rasionalitas. Seperti Pak Kubri, tokoh penjaga kuburan yang sesungguhnya tidak pernah ada, nadanya marah-marah pada tokoh Bayu, sahabat Sakti, mantan dokter jiwa, tentang rasionalitas yang dianggap sebagai kebenaran. Oh, jadi yang benar dan kreatif menurutmu adalah sesuatu yang masuk akal?” Bayu menjawabnya bahwa itulah yang membedakannya dengan binatang. Lantas Pak Kubri begitu emosionalnya mengatakan, kenapa kamu selalu memandang perbedaan yang terdapat antara manusia dan binatang. Kenapa kamu sendiri tidak pernah mau melihat persamaan-persamaan yang terdapat antara manusia dan binatang, kenapa? Asal kamu tahu saja Bayu, antara menusia dan binatang, lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Tahu tidak?”
Akhirnya cerita novel ini benar-benar tidak rasional. Liriklah energi tulisannya di halaman 25, ketika Sakti menebas kedua kakinya. Sakti membuat teks puisi Tardji menjadi tindakan, yaitu tentang kaki yang luka. Ia lukai kedua kakinya dengan cara yang paling ekstrem. Dan inilah sesungguhnya imajinasi paling ekstrem, imajinasi gila-gilaan. Orang gila tersebut, langsung menebas kedua kakinya. Dalam waktu sekejap, kedua kakinya buntung. Darahnya mengalir membasahi ruang tunggu pasien. Tidak itu saja, Chavchay mengalirkan energi sadistis ini menjadi energi yang romantis. Sebab darah yang muncrat itu kemudian melukis sendiri. Darah yang melukis wajah perempuan bernama Payudara. Perempuan yang datang dari luka dan darah. Yang nanti akan pulang dengan bekal yang sama: darah dan luka.

Novel Payudara ini sangat penuh dengan nuansa kematian. Bukan sesuatu yang tragis, melainkan lagi-lagi romantis. Hubungan Payudara dan Sakti yang tidak dalam situasi normal, sama sekali tidak sadar dan tidak rasional. The pleasure of death sangat tampak dalam gagasan-gagasan ceritanya. Chavchay bahkan membingkainya dengan latar kuburan berikut binatang-binatang yang akrab di dalamnya. Ia menjadikan cacing-cacing, belatung-belatung, mayat-mayat, setan yang tertua sekalipun sebagai penghias cerita novel ini. Dialog Sakti penuh dengan halusinasi. Semuanya serba halusinasi hingga pembaca sulit menemukan mana pikiran Sakti yang sesungguhnya. Semuanya sengaja dibuat tidak masuk akal. Tapi begitulah kegilaan. Jangan harap adanya alur yang jelas. Kecuali pada pembuka dan penutup yang menjelaskan bahwa 80 persen dari cerita novel ini adalah ciptaan Sakti yang sakit jiwa, yang nyata hanyalah Sakti sendiri dan Payudara sebagai dokter jiwa yang sesungguhnya.

Kenyataan, Halusinasi, dan Imajinasi

Sakti menderita skizofrenik (begitu umumnya para psikolog mengatakan), begitu banyak bayangan dan gambaran hasil ciptaannya sendiri. Semua seolah nyata. Halusinasi memang lebih kuat kehadirannya daripada imajinasi. Halusinasi Sakti hadir begitu saja tanpa direncanakan. Tapi cuma Sakti yang tahu, dan Chavchay, tentunya. Novel ini sangat bergulat dengan diri sendiri, yang menciptakan ceritanya sendiri. Sakti yang jatuh cinta pada tiga perempuan yang sebetulnya adalah orang yang sama. Payudara sebagai perempuan nyata yang berprofesi sebagai dokter jiwa, Payudara sebagai setan bernama Isabela, dan Payudara sebagai imajinasi yang bermukim di lautan dan bertengger di poster-poster kamarnya.

Lain lagi, obsesi sebagai ”orang gerakan” atau aktivis terlihat sekali dalam hubungan internal tokoh yang diperankan. Perkawinan setan dan manusia, yaitu Isabela dan Bayu tidaklah ditunjukkan sekadar ritual yang aneh. Chavchay juga membuatnya menjadi sebuah ”perkawinan politis” dengan misi supaya kaum setan dan manusia tidak saling curiga yang kemudian dikemas dalam jargon ”Revolusi Kebudayaan”. Semangat ini menjadi lucu, sebab revolusi kebudayaan yang ditampilkan sama sekali tidak serius, apalagi rasional. Bayangkan, Bayu dan Sakti yang nyasar ke kuburan gara-gara kelaparan, ingin makan nasi goreng, bertemu seorang hantu perempuan bernama Isabela, yang tiba-tiba pula melindungi Bayu habis-habisan dari kepungan zombie-zombie. Isabela melindungi Bayu luar biasa bahkan Bayu diperintah untuk mengikuti segala gerak-gerik setan, berjalan melompat-lompat seperti film-film hantu Cina. Lantas ketika Bayu diantar pulang oleh setan Isabela, mereka bertemu orang-orang di pasar dan orang-orang tersebut mendesak Bayu dan Isabela untuk menikah. Tiba-tiba massa berdatangan dan seperti sebuah kampanye politik, dipilihlah presiden revolusi kebudayaan bernama Martin yang menjadi saksi pernikahan mereka. Lucu, memang. Semangat aktivis politik di sini terasa sekali, Chavchay menggambarkannya seperti suasana kampanye koalisi dua partai menjelang pemilu. Menjadi absurd, karena semua dilakukan tanpa benang merah, dan oleh setan dan manusia.

Bahkan semangat emansipasi perempuan juga ada di sini. Tokoh Isabela misalnya yang dibela betul oleh Sakti, bernuansa politik: Isabela itu perempuan hebat. Ia adalah setan-manusia perempuan yang sudah mantap menggunakan rasionya. Sakti ingin mengatakan bahwa perempuan tidak seluruhnya makhluk yang penuh dengan lautan perasaan, dan itu yang membuat perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Bahwa Isabela bukanlah ahistoris, ia sejarah Revolusi Kebudayaan itu sendiri, ia memberi inspirasi revolusi yang aneh, revolusi orang-orang gila. Hal unik lainnya adalah ketika Sakti kembali ke kuburan yang ternyata tidak ada orang bernama Pak Kubri, dan bahkan lokasi kuburan itu dijaga oleh cacing-cacing dan belatung-belatung, ada sebuah kuburan yang baru saja dibuat, dan sepertinya ada mayat baru di dalamnya yang memanggil-manggil Sakti. Di atas kuburan itu ada secarik puisi. Dialog yang lucu, Sakti mengatakan, Astaga! Apa benar yang mati itu Abdul Kubri? Lalu, siapa yang menguburnya? Apa mungkin yang menguburnya Sapardi Djoko Damono?” (Ha, ha, ha).

Ini ide kedua Chavchay yang membuat saya tertawa setelah Sakti menebas kedua kakinya gara-gara puisi Tardji. Dan ternyata, yang di dalam kubur tersebut adalah sahabatnya sendiri, Bayu. Bayu telah mati? Kapan? Tidak tahu, tidak ada waktu dan peristiwa yang menunjukkan, namanya juga kegilaan. Bayu bangkit dari kubur masih memakai seragam pocongnya, berikut kapas-kapas di wajahnya. Mereka malah diskusi dengan cair tentang siapa Isabela, siapa Kubri dan sebagainya. Mereka masih seperti sahabat walau kini sudah lain dunia.

Novel ini diakhiri dengan sangat baik dan membantu pembaca untuk menemukan jawaban hubungan antartokoh, setelah sebelumnya menebak-nebak. Saya kira novel ini adalah novel gila, bahkan ”orang gila” sesungguhnya yang kita temukan di jalan-jalan raya. Melalui novel ini kita bisa masuk ke dunia si gila, apa yang ada dalam pikirannya dan apa kehendak mereka. Dan terutama adalah tentang ketiadaan yang ada, wah ini mungkin yang dimaksud Chavchay dengan filsafat. Dan tentu yang paling berkesan adalah novel ini berani menolak rasionalitas, tetapi yang bereksistensi. Sakti yang eksistensialis menjadi seorang tukang sapu di seantero Jakarta dengan kesembuhannya, dan Payudara yang menjadikan ”ada” melalui cintanya.

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati