Mariana Amiruddin
http://www.sinarharapan.co.id/
Sebelum membuat tulisan ini, saya sengaja bertemu langsung dengan pengarangnya, Chavchay Syaifullah. Dari namanya saya sudah menemukan kejanggalan. Dia yang pernah mengirim puisi di Jurnal Perempuan berjudul ”Tubuh Perempuan”. Dalam puisinya saya menemukan keanggunan yang lain, yang biasanya saya temukan pada diri perempuan. Dia bicara tubuh perempuan bukan dalam bentuk materi seperti umumnya lelaki. Dia meletakkan tubuh perempuan yang multi, memberi kehidupan dengan segenap siksaan. Keindahan tubuh perempuan yang sebetulnya adalah penderitaan (Jurnal Perempuan, edisi 24). Bahwa keindahan pun adalah kesakitan, seperti yang direpresentasikan oleh Eka Kurniawan bahwa Cantik itu Luka dalam novelnya.
Sejak itu tak salah lagi, Chavchay adalah sosok yang kerap menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol kehidupan (bahkan kegilaan yang menghidupkan?). Seperti novel perdananya berjudul Payudara. Dalam sampul depannya judul tersebut dimasukkan dalam tanda kurung dan di atasnya tercantum tulisan ”sebuah novel filsafat” serta komentar Mudji Sutrisno, seorang budayawan. Sebuah novel filsafat yang biasanya orang akan mengerutkan kening dan menganggapnya serius, tetapi disajikan oleh penerbit Melibas dengan gambar sampul depan seorang perempuan berbibir merah darah dan mengeluarkan taring merah seperti sinetron-sinetron sekarang yang sering menghadirkan hantu perempuan: cantik tapi seram, misterius lagi! Banyak reaksi pertama orang yang menganggap judul ini vulgar. Lagi-lagi organ tubuh seks atau reproduksi (apalagi perempuan) akan diberi reaksi yang negatif dan cenderung menjadi kontroversi.
Saya tidak terlalu curiga dengan novel ini awalnya. Sebab dalam pengantar, sebagai pintu masuknya novel, konotasi payudara sebagai sesuatu yang esensial tidak ada. Apalagi Mudji Sutrisno telah mengeluarkan pernyataan ”memperebutkan perayaan payudara kehidupan”. Ini pasti novel yang berbicara lain tentang judulnya, demikian dalam hati saya.
Pertemuan dengan Chavchay semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa ini bagian dari proses pergulatan pengarang atas ke-diri-annya. Chavchay adalah pengarang yang mudah sekali masuk ke alam yang irasional dan dia membuatnya menjadi ekstase. Bahkan mistis. Berteriak histeris, bergetar-getar, atau diam sama sekali, mungkin itu ciri ekstase. Dan gejala itu ia tunjukkan tanpa malu-malu. Ketika diminta berbicara di depan umum untuk menutup peluncuran novelnya ini, Chavcay memamerkan ekstasenya. Suaranya menggelegar, keluar dalam dirinya entah yang mana. Kemudian ia membeberkan bahwa ia sempat menjadi seorang provokator dalam peristiwa Mei. Peristiwa kekerasan yang takkan kita lupakan, toko-toko sekitar Ciputat yang ia bakar, dan Cina-Cina yang ketakutan. Chavchay menangis. Ia adalah pemuda yang merantau ke Arab Saudi dalam waktu yang tidak sebentar, bahasa Arabnya cas-cis-cus. Dan kemudian menekuni dunia filsafat yang sebetulnya adalah misi untuk mencari jawaban-jawaban atas pikiran hidupnya.
Oleh karena itu saya langsung menyatakan bahwa tokoh Sakti dalam novel Payudara ini adalah identifikasi pengarang. Kegilaan yang sebetulnya bukan ”sebuah penyakit”, melainkan potensi manusia yang terkubur, dan Sigmund Freud berhasil merumuskannya dengan satu kata: unconsciousness, yaitu alam bawah sadar. Dan bahwa semua manusia adalah neurosis, memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa kita. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan itu adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batas. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius. Novel Payudara adalah ide yang berangkat dari kegeniusan, meskipun Chavchay tidak begitu berhasil dalam bahasa yang dibuatnya. Namun ada beberapa kalimat yang saya garis bawahi: ketika pengarang punya hak jawab atas karyanya, Chavchay mengatakan novel bertitel filsafat ini adalah bentuk yang disengaja. Buku Dunia Sophie yang kita kenal, adalah buku filsafat yang sastrais. Chavchay mencoba membalikkannya dalam Payudara, sebuah novel yang dibuat menjadi filosofis. Mungkin ini satu-satunya alasan Chavchay yang tidak gila.
Chavchay bahkan mengombinasikan kegilaan dengan imajinasi, halusinasi dan ”sedikit” filsafat yang menentang habis-habisan rasionalitas. Seperti Pak Kubri, tokoh penjaga kuburan yang sesungguhnya tidak pernah ada, nadanya marah-marah pada tokoh Bayu, sahabat Sakti, mantan dokter jiwa, tentang rasionalitas yang dianggap sebagai kebenaran. Oh, jadi yang benar dan kreatif menurutmu adalah sesuatu yang masuk akal?” Bayu menjawabnya bahwa itulah yang membedakannya dengan binatang. Lantas Pak Kubri begitu emosionalnya mengatakan, kenapa kamu selalu memandang perbedaan yang terdapat antara manusia dan binatang. Kenapa kamu sendiri tidak pernah mau melihat persamaan-persamaan yang terdapat antara manusia dan binatang, kenapa? Asal kamu tahu saja Bayu, antara menusia dan binatang, lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Tahu tidak?”
Akhirnya cerita novel ini benar-benar tidak rasional. Liriklah energi tulisannya di halaman 25, ketika Sakti menebas kedua kakinya. Sakti membuat teks puisi Tardji menjadi tindakan, yaitu tentang kaki yang luka. Ia lukai kedua kakinya dengan cara yang paling ekstrem. Dan inilah sesungguhnya imajinasi paling ekstrem, imajinasi gila-gilaan. Orang gila tersebut, langsung menebas kedua kakinya. Dalam waktu sekejap, kedua kakinya buntung. Darahnya mengalir membasahi ruang tunggu pasien. Tidak itu saja, Chavchay mengalirkan energi sadistis ini menjadi energi yang romantis. Sebab darah yang muncrat itu kemudian melukis sendiri. Darah yang melukis wajah perempuan bernama Payudara. Perempuan yang datang dari luka dan darah. Yang nanti akan pulang dengan bekal yang sama: darah dan luka.
Novel Payudara ini sangat penuh dengan nuansa kematian. Bukan sesuatu yang tragis, melainkan lagi-lagi romantis. Hubungan Payudara dan Sakti yang tidak dalam situasi normal, sama sekali tidak sadar dan tidak rasional. The pleasure of death sangat tampak dalam gagasan-gagasan ceritanya. Chavchay bahkan membingkainya dengan latar kuburan berikut binatang-binatang yang akrab di dalamnya. Ia menjadikan cacing-cacing, belatung-belatung, mayat-mayat, setan yang tertua sekalipun sebagai penghias cerita novel ini. Dialog Sakti penuh dengan halusinasi. Semuanya serba halusinasi hingga pembaca sulit menemukan mana pikiran Sakti yang sesungguhnya. Semuanya sengaja dibuat tidak masuk akal. Tapi begitulah kegilaan. Jangan harap adanya alur yang jelas. Kecuali pada pembuka dan penutup yang menjelaskan bahwa 80 persen dari cerita novel ini adalah ciptaan Sakti yang sakit jiwa, yang nyata hanyalah Sakti sendiri dan Payudara sebagai dokter jiwa yang sesungguhnya.
Kenyataan, Halusinasi, dan Imajinasi
Sakti menderita skizofrenik (begitu umumnya para psikolog mengatakan), begitu banyak bayangan dan gambaran hasil ciptaannya sendiri. Semua seolah nyata. Halusinasi memang lebih kuat kehadirannya daripada imajinasi. Halusinasi Sakti hadir begitu saja tanpa direncanakan. Tapi cuma Sakti yang tahu, dan Chavchay, tentunya. Novel ini sangat bergulat dengan diri sendiri, yang menciptakan ceritanya sendiri. Sakti yang jatuh cinta pada tiga perempuan yang sebetulnya adalah orang yang sama. Payudara sebagai perempuan nyata yang berprofesi sebagai dokter jiwa, Payudara sebagai setan bernama Isabela, dan Payudara sebagai imajinasi yang bermukim di lautan dan bertengger di poster-poster kamarnya.
Lain lagi, obsesi sebagai ”orang gerakan” atau aktivis terlihat sekali dalam hubungan internal tokoh yang diperankan. Perkawinan setan dan manusia, yaitu Isabela dan Bayu tidaklah ditunjukkan sekadar ritual yang aneh. Chavchay juga membuatnya menjadi sebuah ”perkawinan politis” dengan misi supaya kaum setan dan manusia tidak saling curiga yang kemudian dikemas dalam jargon ”Revolusi Kebudayaan”. Semangat ini menjadi lucu, sebab revolusi kebudayaan yang ditampilkan sama sekali tidak serius, apalagi rasional. Bayangkan, Bayu dan Sakti yang nyasar ke kuburan gara-gara kelaparan, ingin makan nasi goreng, bertemu seorang hantu perempuan bernama Isabela, yang tiba-tiba pula melindungi Bayu habis-habisan dari kepungan zombie-zombie. Isabela melindungi Bayu luar biasa bahkan Bayu diperintah untuk mengikuti segala gerak-gerik setan, berjalan melompat-lompat seperti film-film hantu Cina. Lantas ketika Bayu diantar pulang oleh setan Isabela, mereka bertemu orang-orang di pasar dan orang-orang tersebut mendesak Bayu dan Isabela untuk menikah. Tiba-tiba massa berdatangan dan seperti sebuah kampanye politik, dipilihlah presiden revolusi kebudayaan bernama Martin yang menjadi saksi pernikahan mereka. Lucu, memang. Semangat aktivis politik di sini terasa sekali, Chavchay menggambarkannya seperti suasana kampanye koalisi dua partai menjelang pemilu. Menjadi absurd, karena semua dilakukan tanpa benang merah, dan oleh setan dan manusia.
Bahkan semangat emansipasi perempuan juga ada di sini. Tokoh Isabela misalnya yang dibela betul oleh Sakti, bernuansa politik: Isabela itu perempuan hebat. Ia adalah setan-manusia perempuan yang sudah mantap menggunakan rasionya. Sakti ingin mengatakan bahwa perempuan tidak seluruhnya makhluk yang penuh dengan lautan perasaan, dan itu yang membuat perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Bahwa Isabela bukanlah ahistoris, ia sejarah Revolusi Kebudayaan itu sendiri, ia memberi inspirasi revolusi yang aneh, revolusi orang-orang gila. Hal unik lainnya adalah ketika Sakti kembali ke kuburan yang ternyata tidak ada orang bernama Pak Kubri, dan bahkan lokasi kuburan itu dijaga oleh cacing-cacing dan belatung-belatung, ada sebuah kuburan yang baru saja dibuat, dan sepertinya ada mayat baru di dalamnya yang memanggil-manggil Sakti. Di atas kuburan itu ada secarik puisi. Dialog yang lucu, Sakti mengatakan, Astaga! Apa benar yang mati itu Abdul Kubri? Lalu, siapa yang menguburnya? Apa mungkin yang menguburnya Sapardi Djoko Damono?” (Ha, ha, ha).
Ini ide kedua Chavchay yang membuat saya tertawa setelah Sakti menebas kedua kakinya gara-gara puisi Tardji. Dan ternyata, yang di dalam kubur tersebut adalah sahabatnya sendiri, Bayu. Bayu telah mati? Kapan? Tidak tahu, tidak ada waktu dan peristiwa yang menunjukkan, namanya juga kegilaan. Bayu bangkit dari kubur masih memakai seragam pocongnya, berikut kapas-kapas di wajahnya. Mereka malah diskusi dengan cair tentang siapa Isabela, siapa Kubri dan sebagainya. Mereka masih seperti sahabat walau kini sudah lain dunia.
Novel ini diakhiri dengan sangat baik dan membantu pembaca untuk menemukan jawaban hubungan antartokoh, setelah sebelumnya menebak-nebak. Saya kira novel ini adalah novel gila, bahkan ”orang gila” sesungguhnya yang kita temukan di jalan-jalan raya. Melalui novel ini kita bisa masuk ke dunia si gila, apa yang ada dalam pikirannya dan apa kehendak mereka. Dan terutama adalah tentang ketiadaan yang ada, wah ini mungkin yang dimaksud Chavchay dengan filsafat. Dan tentu yang paling berkesan adalah novel ini berani menolak rasionalitas, tetapi yang bereksistensi. Sakti yang eksistensialis menjadi seorang tukang sapu di seantero Jakarta dengan kesembuhannya, dan Payudara yang menjadikan ”ada” melalui cintanya.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar