Rabu, 08 September 2010

Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Tahun 1930-an, para sastrawan mampu menghasilkan pemikiran visioner. Pemikiran hasil perdebatan dengan melibatkan beragam pandangan. Bersandar pada realitas saat itu, para sastrawan memandang jauh untuk memberi arah serta gambaran kondisional sastra ke depan. Sampai kini, suara-suara dari perdebatan tersebut masih menggema.

Awal tahun 1990-an, para sastrawan juga terlibat dengan berbagai spekulasi tentang masa depan sastra. Perdebatan yang berasal dari imbas pemikiran posmodern. Walau tidak terlalu berpijak pada realitas konkret di Indonesia, tema perdebatan meluas hingga mampu memberi alternatif masa depan sastra kita.

Sayangnya, pada sepuluh tahun terakhir, sastrawan-sastrawan kita tampak kesulitan mencari tema besar yang merangsang munculnya kompleksitas pemikiran. Esai-esai di media massa hanya berkutat pada tema-tema fragmentaris. Daya jangkaunya pun hanya bergaung dalam satu atau dua tahun. Tidak mampu memberi inspirasi terhadap disiplin ilmu lain di luar sastra.

Bersandar dari situasional ini, ranah sastra membutuhkan perdebatan yang melambung jauh. Tidak saja bersandar pada kondisi sastra saat ini, perdebatan melibatkan kondisi kesusastraan jauh di masa silam. Orientasinya pun di arahkan jauh ke depan. Tidak hanya untuk kepentingan satu atau lima tahun ke depan, visi yang usung melompat hingga ke puluhan tahun mendatang. Misalnya, memperdebatkan kondisi kesusastraan 25 tahun ke depan.

Lompatan jauh ke depan ini penting digagas untuk memberi ruang bagi fantasi, prediksi, dan utopia. Pemberian ruang-ruang tersebut diharapkan menghasilkan pemikiran yang segar (fresh) dan inspiratif. Tentu saja tetap bersandar pada realitas sekarang. Pun juga, perdebatan melibatkan jejak-jejak peristiwa maupun perkembangan yang telah diraih dalam sejarah kesusastraan Indonesia selama ini.

Memprediksi kondisi kesusastran Indonesia 25 tahun ke depan membutuhkan pertimbangan teknologi. Sejarah sastra di tanah air mencatat, teknologi memiliki pengaruh besar terhadap publikasi karya sastra. Sastrawan tidak perlu membuat pertemuan langsung dengan masyarakat untuk menyiarkan hasil ciptaannya. Penerbitan buku, majalah, dan koran sudah mampu menggantikan pertemuan yang bersifat tradisi lisan tersebut. Bahkan tidak hanya sekadar publikasi, media massa mampu membentuk konstruksi teks. Utamanya bentuk prosa.

Cerpen Indonesia saat ini lebih dikenal melalui format cerpen koran, luasnya kurang lebih antara 6-8 halaman. Di luar jumlah itu, cerpen menjadi terasa terlalu pendek atau terlalu panjang. Padahal pada zaman Idrus, cerpen bisa sangat panjang. Semisal pada cerpen cerdas berjudul Surabaya.

Koran juga berpengaruh besar dalam melegitimasi ketokohan sastrawan. Mayoritas tokoh sastra Indonesia saat ini mempublikasikan karya dan pemikirannya lewat koran. Dua puluh lima tahun ke depan, keberadaan koran masih belum jelas. Ke depan, masyarakat membutuhkan distribusi berita secara cepat dan berharga murah. Koran tidak belum mampu memenuhi dua syarat tersebut. Pertama, koran menjual berita yang telah basi. Peristiwa hari ini dijual besuk. Bandingkan dengan portal berita (internet), peristiwa hari ini langsung disajikan hari ini pula. Koran juga belum mampu menggratiskan berita. Orang harus membeli untuk bisa mendapatkan beberapa lembar kertas yang biasa disebut koran itu. Bandingkan dengan televisi. Masyarakat sudah dijejali beragam berita tanpa harus kehilangan uang.

Dua kendala ini membuat bentuk koran menjadi tidak efektif dan kurang ramah lingkungan. Keberadaan koran pun diragukan mampu bertahan dalam 25 tahun ke depan. Imbasnya, keberadaan tradisi sastra koran turut diragukan. Imbas lainnya, sastrawan butuh media lain untuk membangun ketokohannya. Entah melalui internet maupun even-even tingkat nasional.

Keberadaan internet dan even pun sebenarnya masih mencemaskan. Internet dikenal sangat demokratis. Setiap orang berhak menayangkan hasil karyanya tanpa ada kurasi yang ketat. Media internet semacam fecebook dan lain-lain memang tidak butuh kurator. Komentar-komentar yang dilontarkan pun jarang yang metodis dan memakai pendekatan standar. Mayoritas berupa pujian sebagai bentuk perhormatan atas pertemanan. Begitu pula dengan keberadaan even nasional. Ke depan, hubungan antara pribadi sastrawan dengan dunia luar semakin terbuka. Bebepergian ke luar negeri pun bakal semakin mudah dan murah. Bisa jadi, sastrawan lebih suka menulis karya sastra berbahasa Inggris dan meluncurkan karyanya ke Manchester atau Singapura daripada Jakarta. Kualitas even di Jakarta, barangkali, menjadi sama nilainya dengan acara pertemuan sastra di tingkat kabupaten.

Rapuhnya batas-batas negara ini tentu erat kaitannya dengan sektor ekonomi. Awal tahun ini, setahap demi setahap, Indonesia mulai memasuki perdagangan bebas. Produk-produk luar negeri mulai merambah ke tanah air. Kondisi ini semakin lama akan semakin memuncak. Apakah ada jaminan bahwa nantinya karya sastra Indonesia mampu memproteksi dirinya sendiri? Jika jawabannya, tidak, maka rak-rak toko buku bakal semakin dijejali dengan karya sastra asing.

Problem paling serius mungkin terjadi pada sektor bahasa. Kemampuan bahasa Indonesia untuk terus bertahan sangat diragukan. Perdagangan bebas dan menipisnya jarak antarbangsa membutuhkan satu bahasa yang sama. Peluang ini paling dimiliki oleh bahasa Inggris. Faktanya, mayoritas keluarga kelas menengah-atas lebih memilih membiasakan anaknya berbicara memakai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Akhirnya anak-anak pun lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Ketika anak-anak ini besar dan menulis sastra, sangat mungkin, mereka lebih memilih menuangkan gagasannya dalam bahasa Inggris. Jika zaman itu telah tiba, sastra Indonesia mungkin telah kesepian. Sastrawan kita akan berbondong-bondong meninggalkan bahasa Indonesia dan berpindah menulis dalam bahasa Inggris. Situasi tampaknya bergerak alamiah dan sulit untuk dihindari. Sama seperti perpindahan dari sastra berbahasa daerah ke sastra berbahasa Indonesia. Sikap yang perlu diantisipasi, jangan sampai sastrawan ke depan memperlakukan sejarah sastra secara semena-mena. Saat ini misalnya, sastrawan modern Indonesia seakan memutus hubungan dari sastra tradisional. Seakan-akan, sastra modern Indonesia hanya hasil adopsi dari sastra Barat.

Merujuk ke sejarah kesusastraan Indonesia, perubahan besar selalu terjadi dalam kurun 25 tahun. Kurun pertama adalah tahun 1910 hingga 1935. Periode ini ditandai dengan migrasi sastrawan-sastrawan Melayu menjadi ikon sastra Indonesia. Para kritikus lantas menyebut periode ini sebagai awal tradisi sastra modern Indonesia. Kurun kedua adalah tahun 1935 hingga tahun 1960. Pada periode ini, jejak sastra Melayu semakin sirna. Bahasa Indonesia mulai menemukan bentuk konkret. Sastrawan mempergunakan bahasa Indonesia secara verbal sehingga muncul karya berstruktur terbuka semacam puisi Chairil Anwar dan cerpen Idrus. Sastrawan luar etnis Melayu juga mulai bermunculan.

Kurun ketiga adalah tahun 1960 hingga tahun 1985. Periode ini merupakan puncak kesusastraan Indonesia. Beragam eksplorasi dilakukan, beragam tema diusung, dan beragam bentuk karya sastra dipamerkan. Hasilnya berupa karya Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Sutardji, dan lain sebagainya. Kurun keempat adalah tahun 1985 hingga tahun 2010. Periode ini ditandai dengan perubahan persepsi atas bahasa yang dilakukan Afrizal Malna dan Ayu Utami. Keduanya mengusung wacana posmodernisme ke dalam khazanah sastra Indonesia. Kurun terakhir adalah tahun 2010 hingga 2035. Pada kurun terakhir inilah, sastra Indonesia bisa jadi bakal bermigrasi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Walau bakal berganti bahasa, sastra akan tetap berkutat pada tema-tema laten. Semisal cinta, religiusitas, seks, perasaan-perasaan selalu terancam, kesunyian, kesepian, pengkhianatan, ataupun kerinduan. Itu artinya, personalitas dan kultur keindonesiaan belum akan hilang. Karya sastra tetap akan mengungkapkan persoalan-persoalan di sekitar sastrawannya. Idiom-idiom berasal dari gejala dan fakta setempat. Dimungkinkan, bakal muncul sastra berbahasa Inggris dengan karakter Indonesia.

Hanya saja, kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dibayangkan sama persis dengan kondisi saat ini. Pasti terjadi perubahan sosial. Kehidupan di perkotaan, semisal Jakarta atau Surabaya saat ini, bakal menggejala di berbagai pelosok negeri. Imbasnya, pergaulan bertetangga yang intim seperti di desa semakin sulit ditemukan. Spirit gotong royong pelahan tapi pasti akan pudar. Kita tahu, di kota, seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor atau tempat kerja. Di luar jam itu, orang kota lebih memilih kumpul dengan teman sesama hobi. Semisal hobi olahraga, touring, komunitas penggemar burung, maupun komunitas kesenian. Ke depan, media internet juga akan semakin menyita waktu. Saat ini saja, orang ngobrol sambil membuka jejaring sosial. Kehidupan semacam itu dimungkinkan pola hidup orang di masa depan berbeda jauh dengan kehiudupan masyarakat sekarang. Bila struktur novel mengandaikan struktur masyarakat, konsekuensinya, perubahan dalam masyarakat juga berpengaruh besar terhadap struktur teks.

Sementara itu di ranah politik, ideologi yang bersifat kebangsaan dimungkinkan kian melemah. Kepercayaan orang terhadap partai berideologi keras pun lama kelamaan sirna. Masyaakat akan semakin pragmatis. Bahkan di beberapa negara Eropa, partai berhaluan kiri tidak lagi getol menyuarakan pertentangan kelas seperti yang didengungkan Karl Marx. Partai kiri lebih fokus pada tema-tema layanan publik dan lingkungan. Sebuah langkah cerdas, sebab, layanan publik dan problem lingkungan memang lebih menyentuh terhadap persoalan konkret masyarakat sekarang. Tema ini pula yang getol diunggahkan sastrawan Itali Calvino. Pilihan tema keras semacam yang dituliskan Pramodya Ananta Toer dalam novel Dia yang Menyerah bisa jadi tidak diproduksi lagi pada 25 tahun ke depan. Atau justru sebaliknya, jarak antara negara miskin dengan negara kaya kian melebar, jarak antara kelas atas dengan kelas bawah semakin menganga. Jika memang itu yang terjadi, mau tidak mau, ingin tidak ingin, sastra realisme sosial bakal tergulir secara alamiah. Kita tidak tahu pasti.

Yang pasti, sastra Indonesia ke depan tidak bisa menghindar dari kemutlakan sastra dunia. Batas antarbangsa pelahan sirna, hubungan antarwarga negera semakin dimudahkan, dan bahasa mengerucut pada satu bahasa tunggal. Ini semua musti dihadapi dan disiapkan sejak sekarang.

**Pernah dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu (21 Agustus 2010)

** Tulisan ini sebenarnya adalah TOR yang saya siapkan untuk Talk Show “Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan” dalam Festival Seni Surabaya (FSS) 2010, tanggal 9 November 2010 di Balai Pemuda Surabaya. Talk show rencananya menghadirkan narasumber: Budi Darma, S Yoga, Afrizal Malna, Nirwan Dewanto. Panelis: Mardi Luhung, Ayu Sutarto, Kris Budiman, Tjahjono Widianto. Naskah dari narasumber rencananya juga akan dibukukan. Adapun FSS secara keseluruhan akan digelar tanggal 6-14 November 2010.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati