Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Tahun 1930-an, para sastrawan mampu menghasilkan pemikiran visioner. Pemikiran hasil perdebatan dengan melibatkan beragam pandangan. Bersandar pada realitas saat itu, para sastrawan memandang jauh untuk memberi arah serta gambaran kondisional sastra ke depan. Sampai kini, suara-suara dari perdebatan tersebut masih menggema.
Awal tahun 1990-an, para sastrawan juga terlibat dengan berbagai spekulasi tentang masa depan sastra. Perdebatan yang berasal dari imbas pemikiran posmodern. Walau tidak terlalu berpijak pada realitas konkret di Indonesia, tema perdebatan meluas hingga mampu memberi alternatif masa depan sastra kita.
Sayangnya, pada sepuluh tahun terakhir, sastrawan-sastrawan kita tampak kesulitan mencari tema besar yang merangsang munculnya kompleksitas pemikiran. Esai-esai di media massa hanya berkutat pada tema-tema fragmentaris. Daya jangkaunya pun hanya bergaung dalam satu atau dua tahun. Tidak mampu memberi inspirasi terhadap disiplin ilmu lain di luar sastra.
Bersandar dari situasional ini, ranah sastra membutuhkan perdebatan yang melambung jauh. Tidak saja bersandar pada kondisi sastra saat ini, perdebatan melibatkan kondisi kesusastraan jauh di masa silam. Orientasinya pun di arahkan jauh ke depan. Tidak hanya untuk kepentingan satu atau lima tahun ke depan, visi yang usung melompat hingga ke puluhan tahun mendatang. Misalnya, memperdebatkan kondisi kesusastraan 25 tahun ke depan.
Lompatan jauh ke depan ini penting digagas untuk memberi ruang bagi fantasi, prediksi, dan utopia. Pemberian ruang-ruang tersebut diharapkan menghasilkan pemikiran yang segar (fresh) dan inspiratif. Tentu saja tetap bersandar pada realitas sekarang. Pun juga, perdebatan melibatkan jejak-jejak peristiwa maupun perkembangan yang telah diraih dalam sejarah kesusastraan Indonesia selama ini.
Memprediksi kondisi kesusastran Indonesia 25 tahun ke depan membutuhkan pertimbangan teknologi. Sejarah sastra di tanah air mencatat, teknologi memiliki pengaruh besar terhadap publikasi karya sastra. Sastrawan tidak perlu membuat pertemuan langsung dengan masyarakat untuk menyiarkan hasil ciptaannya. Penerbitan buku, majalah, dan koran sudah mampu menggantikan pertemuan yang bersifat tradisi lisan tersebut. Bahkan tidak hanya sekadar publikasi, media massa mampu membentuk konstruksi teks. Utamanya bentuk prosa.
Cerpen Indonesia saat ini lebih dikenal melalui format cerpen koran, luasnya kurang lebih antara 6-8 halaman. Di luar jumlah itu, cerpen menjadi terasa terlalu pendek atau terlalu panjang. Padahal pada zaman Idrus, cerpen bisa sangat panjang. Semisal pada cerpen cerdas berjudul Surabaya.
Koran juga berpengaruh besar dalam melegitimasi ketokohan sastrawan. Mayoritas tokoh sastra Indonesia saat ini mempublikasikan karya dan pemikirannya lewat koran. Dua puluh lima tahun ke depan, keberadaan koran masih belum jelas. Ke depan, masyarakat membutuhkan distribusi berita secara cepat dan berharga murah. Koran tidak belum mampu memenuhi dua syarat tersebut. Pertama, koran menjual berita yang telah basi. Peristiwa hari ini dijual besuk. Bandingkan dengan portal berita (internet), peristiwa hari ini langsung disajikan hari ini pula. Koran juga belum mampu menggratiskan berita. Orang harus membeli untuk bisa mendapatkan beberapa lembar kertas yang biasa disebut koran itu. Bandingkan dengan televisi. Masyarakat sudah dijejali beragam berita tanpa harus kehilangan uang.
Dua kendala ini membuat bentuk koran menjadi tidak efektif dan kurang ramah lingkungan. Keberadaan koran pun diragukan mampu bertahan dalam 25 tahun ke depan. Imbasnya, keberadaan tradisi sastra koran turut diragukan. Imbas lainnya, sastrawan butuh media lain untuk membangun ketokohannya. Entah melalui internet maupun even-even tingkat nasional.
Keberadaan internet dan even pun sebenarnya masih mencemaskan. Internet dikenal sangat demokratis. Setiap orang berhak menayangkan hasil karyanya tanpa ada kurasi yang ketat. Media internet semacam fecebook dan lain-lain memang tidak butuh kurator. Komentar-komentar yang dilontarkan pun jarang yang metodis dan memakai pendekatan standar. Mayoritas berupa pujian sebagai bentuk perhormatan atas pertemanan. Begitu pula dengan keberadaan even nasional. Ke depan, hubungan antara pribadi sastrawan dengan dunia luar semakin terbuka. Bebepergian ke luar negeri pun bakal semakin mudah dan murah. Bisa jadi, sastrawan lebih suka menulis karya sastra berbahasa Inggris dan meluncurkan karyanya ke Manchester atau Singapura daripada Jakarta. Kualitas even di Jakarta, barangkali, menjadi sama nilainya dengan acara pertemuan sastra di tingkat kabupaten.
Rapuhnya batas-batas negara ini tentu erat kaitannya dengan sektor ekonomi. Awal tahun ini, setahap demi setahap, Indonesia mulai memasuki perdagangan bebas. Produk-produk luar negeri mulai merambah ke tanah air. Kondisi ini semakin lama akan semakin memuncak. Apakah ada jaminan bahwa nantinya karya sastra Indonesia mampu memproteksi dirinya sendiri? Jika jawabannya, tidak, maka rak-rak toko buku bakal semakin dijejali dengan karya sastra asing.
Problem paling serius mungkin terjadi pada sektor bahasa. Kemampuan bahasa Indonesia untuk terus bertahan sangat diragukan. Perdagangan bebas dan menipisnya jarak antarbangsa membutuhkan satu bahasa yang sama. Peluang ini paling dimiliki oleh bahasa Inggris. Faktanya, mayoritas keluarga kelas menengah-atas lebih memilih membiasakan anaknya berbicara memakai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Akhirnya anak-anak pun lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Ketika anak-anak ini besar dan menulis sastra, sangat mungkin, mereka lebih memilih menuangkan gagasannya dalam bahasa Inggris. Jika zaman itu telah tiba, sastra Indonesia mungkin telah kesepian. Sastrawan kita akan berbondong-bondong meninggalkan bahasa Indonesia dan berpindah menulis dalam bahasa Inggris. Situasi tampaknya bergerak alamiah dan sulit untuk dihindari. Sama seperti perpindahan dari sastra berbahasa daerah ke sastra berbahasa Indonesia. Sikap yang perlu diantisipasi, jangan sampai sastrawan ke depan memperlakukan sejarah sastra secara semena-mena. Saat ini misalnya, sastrawan modern Indonesia seakan memutus hubungan dari sastra tradisional. Seakan-akan, sastra modern Indonesia hanya hasil adopsi dari sastra Barat.
Merujuk ke sejarah kesusastraan Indonesia, perubahan besar selalu terjadi dalam kurun 25 tahun. Kurun pertama adalah tahun 1910 hingga 1935. Periode ini ditandai dengan migrasi sastrawan-sastrawan Melayu menjadi ikon sastra Indonesia. Para kritikus lantas menyebut periode ini sebagai awal tradisi sastra modern Indonesia. Kurun kedua adalah tahun 1935 hingga tahun 1960. Pada periode ini, jejak sastra Melayu semakin sirna. Bahasa Indonesia mulai menemukan bentuk konkret. Sastrawan mempergunakan bahasa Indonesia secara verbal sehingga muncul karya berstruktur terbuka semacam puisi Chairil Anwar dan cerpen Idrus. Sastrawan luar etnis Melayu juga mulai bermunculan.
Kurun ketiga adalah tahun 1960 hingga tahun 1985. Periode ini merupakan puncak kesusastraan Indonesia. Beragam eksplorasi dilakukan, beragam tema diusung, dan beragam bentuk karya sastra dipamerkan. Hasilnya berupa karya Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Sutardji, dan lain sebagainya. Kurun keempat adalah tahun 1985 hingga tahun 2010. Periode ini ditandai dengan perubahan persepsi atas bahasa yang dilakukan Afrizal Malna dan Ayu Utami. Keduanya mengusung wacana posmodernisme ke dalam khazanah sastra Indonesia. Kurun terakhir adalah tahun 2010 hingga 2035. Pada kurun terakhir inilah, sastra Indonesia bisa jadi bakal bermigrasi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Walau bakal berganti bahasa, sastra akan tetap berkutat pada tema-tema laten. Semisal cinta, religiusitas, seks, perasaan-perasaan selalu terancam, kesunyian, kesepian, pengkhianatan, ataupun kerinduan. Itu artinya, personalitas dan kultur keindonesiaan belum akan hilang. Karya sastra tetap akan mengungkapkan persoalan-persoalan di sekitar sastrawannya. Idiom-idiom berasal dari gejala dan fakta setempat. Dimungkinkan, bakal muncul sastra berbahasa Inggris dengan karakter Indonesia.
Hanya saja, kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dibayangkan sama persis dengan kondisi saat ini. Pasti terjadi perubahan sosial. Kehidupan di perkotaan, semisal Jakarta atau Surabaya saat ini, bakal menggejala di berbagai pelosok negeri. Imbasnya, pergaulan bertetangga yang intim seperti di desa semakin sulit ditemukan. Spirit gotong royong pelahan tapi pasti akan pudar. Kita tahu, di kota, seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor atau tempat kerja. Di luar jam itu, orang kota lebih memilih kumpul dengan teman sesama hobi. Semisal hobi olahraga, touring, komunitas penggemar burung, maupun komunitas kesenian. Ke depan, media internet juga akan semakin menyita waktu. Saat ini saja, orang ngobrol sambil membuka jejaring sosial. Kehidupan semacam itu dimungkinkan pola hidup orang di masa depan berbeda jauh dengan kehiudupan masyarakat sekarang. Bila struktur novel mengandaikan struktur masyarakat, konsekuensinya, perubahan dalam masyarakat juga berpengaruh besar terhadap struktur teks.
Sementara itu di ranah politik, ideologi yang bersifat kebangsaan dimungkinkan kian melemah. Kepercayaan orang terhadap partai berideologi keras pun lama kelamaan sirna. Masyaakat akan semakin pragmatis. Bahkan di beberapa negara Eropa, partai berhaluan kiri tidak lagi getol menyuarakan pertentangan kelas seperti yang didengungkan Karl Marx. Partai kiri lebih fokus pada tema-tema layanan publik dan lingkungan. Sebuah langkah cerdas, sebab, layanan publik dan problem lingkungan memang lebih menyentuh terhadap persoalan konkret masyarakat sekarang. Tema ini pula yang getol diunggahkan sastrawan Itali Calvino. Pilihan tema keras semacam yang dituliskan Pramodya Ananta Toer dalam novel Dia yang Menyerah bisa jadi tidak diproduksi lagi pada 25 tahun ke depan. Atau justru sebaliknya, jarak antara negara miskin dengan negara kaya kian melebar, jarak antara kelas atas dengan kelas bawah semakin menganga. Jika memang itu yang terjadi, mau tidak mau, ingin tidak ingin, sastra realisme sosial bakal tergulir secara alamiah. Kita tidak tahu pasti.
Yang pasti, sastra Indonesia ke depan tidak bisa menghindar dari kemutlakan sastra dunia. Batas antarbangsa pelahan sirna, hubungan antarwarga negera semakin dimudahkan, dan bahasa mengerucut pada satu bahasa tunggal. Ini semua musti dihadapi dan disiapkan sejak sekarang.
**Pernah dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu (21 Agustus 2010)
** Tulisan ini sebenarnya adalah TOR yang saya siapkan untuk Talk Show “Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan” dalam Festival Seni Surabaya (FSS) 2010, tanggal 9 November 2010 di Balai Pemuda Surabaya. Talk show rencananya menghadirkan narasumber: Budi Darma, S Yoga, Afrizal Malna, Nirwan Dewanto. Panelis: Mardi Luhung, Ayu Sutarto, Kris Budiman, Tjahjono Widianto. Naskah dari narasumber rencananya juga akan dibukukan. Adapun FSS secara keseluruhan akan digelar tanggal 6-14 November 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar