Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Apa yang terjadi dengan manusia? Bagaimanakah manusia memahami dan menghayati lingkungannya, juga dirinya? Kiranya, ini sebuah persoalan pelik. Jawaban pasti mesti ditunda. Ada kesejarahan panjang dalam pribadi kemanusiaan.
Dulu kala, di Abad Pertengahan, Galileo Galilei menyatakan, ”barang siapa hendak membaca buku; aksara-aksaranya ialah bentuk-bentuk segitiga, lingkaran, dan empat per segi”. Galilei, filsuf yang hidupnya diakhiri di tiang gantungan ini, mengingatkan bahwa dunia akan lebih bisa dipahami melalui gejala-gejala primernya. Berat, warna, volume, suhu, panjang, atau hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Lebih khusus lagi, matematika. Saat itu, Galilei sedang memberi dasar bagi suatu peradapan yang dikemudian periode amat menguasai masyarakat: ilmu pengetahuan. Sebuah dasar yang lantas disempurnakan oleh Isaac Newton. Kepastian akan adanya hukum-hukum: manusia dan lingkungannya digerakkan oleh suatu logika kepastian, ialah hukum alam.
Lantas, bagaimanakah pengaruh penerapan hukum alam bagi kemanusiaan? Ada baiknya, di sini, patut diperhatikan pengakuan Heri Latief melalui puisi ”Mama” (antologi Ilusiminimalis, 2003): Umur yang kita rancang ternyata bukan punya kita, milik kita hanyalah ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi, di sini kita memandang langit sehabis hujan, berwarna kelabu, tempat berkumpulnya titik-titik embun. Ada banyak hal yang bisa cermati dari larik-larik puisi Latief. Penyair yang juga salah satu pendiri situs Cybersastra ini seperti memasang semacam lonceng; berdentang mewartakan soal genting. Degradasi kemanusiaan. Ialah ketika manusia hanya mampu memiliki sedikit bagian dari dirinya sendiri. Mengapa? Kiranya, ia berkaitan dengan dasar-dasar pembangunan Galilei, hukum pancaindera.
Pada kesehariannya, manusia dipahami sebagai struktur-struktur sosial dan materi, yaitu peranan manusia di dalam masyarakat: apa yang seseorang kerjakan, bagaimana prestasi kerjanya, kedudukannya, hobi, pendidikan. Selebihnya, manusia dipahami sebagai tumpukan materi. Corak rambut, cara berpakaian, jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, atau hal-hal yang berkaitan dengan ”kartu tanda penduduk”. Organisasional dan material.
Manusia diatur dalam peran-peran sosial. Sebagai suatu aset yang mesti bermanfaat. Menghasilkan barang-barang atau jasa. Tanpa itu, manusia belum bisa dianggap manusia. Perihal perilaku, manusia dihadapkan pada berbagai petunjuk bertele-tele mengenai kesantunan dan kesusilaan. Macam-macam perilaku dibungkam. Pamali. Semisal tentang seksualitas.
Wilayah seksualitas hanya boleh diperkatakan di ruang-ruang tersembunyi. Ia hanya boleh dibicarakan akrab oleh pasangan suami-istri. Atau, sengaja diciptakan ruang khusus yang di sana orang bebas membicarakan seks. Pelacuran. Hanya saja, ruang tersebut secara norma sosial telah dinilai bejat. Dan, kalau diperkatakan saja sudah mesti berhadapan dengan banyak aturan, maka dalam tingkat tindakan, berlaku aturan-aturan yang lebih kaku lagi. Segalanya mesti terkontrol. Terkondisikan agar lebih bisa dinilai sebagai manusia normal.
Dan begitulah, puisi Latief mempersoalkan inti dari kemanusiaan. Sublimitas. Sejauh mana seseorang punya makna dalam kehidupan. Dengan rada sinis, Latief memberi catatan: Bukankah mereka juga mengerti, tiap manusia yang rada waras, pasti suka bicara memakai logika-cinta, karena moral ternyata susah diukur (puisi ”Nyamuk”).
Heri Latief, penyair yang pernah tinggal di negeri Belanda ini, menggiring persoalan pemahaman diri (manusia) melalui hal yang lebih mendalam. Moralitas. Logika cinta. Keduanya berlawanan dengan pemikiran Galilei berkenaan ”pemahaman atas manusia”. Pemikiran Galilei meyakini bahwa identitas manusia diperoleh dari situasi sosial. Berada di luar manusia. Sedangkan yang diyakini Latief, identitas bersifat personal. Berkaitan dengan kenangan, moralitas, cinta. Berada dalam diri manusia. Sifatnya metafisik. Apa yang tampak belum tentu merepresentasikan kenyataan diri. Dengan begitu identitas sosial, yaitu identitas yang biasa dilekatkan masyarakat kepada seseorang, itu hanya kulit luarnya saja. Sebab identitas sosial berasal dari apa-apa yang tampak. Sebuah identitas empiris. Satu misal paling gampang adalah pemakaian aksesoris. Suatu kali, seseorang memakai kalung yang berbandul logam berbentuk silang. Maka, orang-orang akan dengan mudah menjatuhkan klaim, dia seorang nasrani. Atau seseorang memakai tato bergambar pedang di lengan, maka orang-orang akan berusaha menjaga jarak dengan dirinya. Tato menciptakan identitas bernuansa buruk bagi seseorang. Lantas, apakah itu merupakan kebenaran identitas manusia.
Bersandar pada puisi Latief, kiranya terlalu mudah untuk cepat-cepat menjatuhkan putusan. Masalah identitas diri adalah masalah dunia dalam, metafisika. Berakar pada hakikat kemanusiaan. Di mana manusia bisa dengan secara tegas terbedakan dengan benda-benda atau dengan para hewan.
Pada manusia ada terletak pikiran, perasaan, imajinasi, cinta, dan obsesi terhadap fantasi. Di situ, manusia mempertaruhkan kesadaran, kebebasan, pilihan hidup, tanggung jawab. Titik tolaknya pada kesadaran diri. Sehngga persoalannya bukan pada penolakan partisipasi peran sosial, tetapi pada terciptanya relasi etis antara peran sosial dengan hakikat kemanusiaan. Dituliskannya oleh Latief dalam puisi ”Egoisme”: Itulah harapan kita, tanpa topeng ada wajah yang asli, lihatlah kejujuran memang membosankan.
Identitas asli seperti bayang-bayang dapat dilihat tapi sulit dipastikan, apalagi keasliannya. Ilmu alam sebagaimana disorongkan Galilea hanya mampu menyoroti bentuk luar dari bayang-bayang. Sedangkan hal-hal yang membentuk bayang-bayang, yaitu manusia itu sendiri, berdiri jauh di balik pancaindera. Pengenalan hanya bisa dilakukan melalui penghayatan yang intens. Melelahkan, menjemukan, dan bagi ilmu alam yang mengagungkan efisiensi, bisa jadi ia mendekati sia-sia. Juga bagi orang-orang lain, masyarakat, publik. Identitas manusia lebih mudah diberikan dari luar daripada digali dari dalam. Seseorang adalah ilmuwan berprestasi, seseorang adalah pemain sepak bola nasional, pedagang buah, petani miskin, pejabat berpakaian rapi.
Klaim-klaim tentang identitas manusia berseliweran dari berbagai arah. Saling merangsek untuk dipasrahi. Karena, masyarakat punya kekuatan untuk membentuk sanksi. Seorang pegawai perusahaan akan ditertawakan atau malah di-phk bila berani memakai baju senam saat tugas kantor. Mengenaskan, seseorang dicela atau dihormati karena sesuatu di luar dirinya. Kemanusiaan terpasung di situ. Kebebasan dalam mengekspresikan diri terpagari oleh aturan-aturan penuh sanksi.
Begitulah, sebagian besar umur manusia bukanlah milik dirinya. Umur atau waktu, menjadi milik peran-peran yang mesti disandang manusia. Tinggal dijalani, dan tak mudah diberontaki. Yang tersisa bagi manusia hanya ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi. Di situ, manusia jadi terasingkan dari dirinya sendiri. Merasa diri kurang punya makna.
Kehadiran diri hanya bisa dipenuhi oleh peranan-peranan dari luar. Ia sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas. Diposisikan, ditugasi, dinilaikan, dan dikekang. Sebab, ia bukan milik dirinya. Ia milik aturan-aturan. Kurang lebih sama dengan benda-benda. Di tingkat ini, ketika kesadaran diri telah bangkit, dua pilihan buruk bisa terwujud. Pilihan pertama, tindakan agresif brutal. Bersifat menyerang, merusak, dan dorongan untuk menguasai orang-orang lain. Suatu keinginan untuk balas dendam atau keinginan untuk membalik keadaan. Pilihan kedua, tindakan apatis. Kepercayaan terhadap orang lain, bahkan kepercayaan kepada diri sendiri, telah sirna. Ia merasa tidak lagi punya makna. Juga dunia tidak punya makna. Tiada perlu lagi beraktivitas. Atau bisa jadi, menganggap tiada perlu lagi melanjut hidup. Bunuh diri sosial, ataupun bunuh diri nyata. Lenyap. Mati, sendiri, dan tak terpahami.
Hukum alam, ah logika ini memang penting bagi peradapan. Tentang kemutlakannya, beberapa ihwal masih perlu dipertimbangkan. Berita-berita dari puisi, semacam berita puisi Heri Latief sungguh patut untuk diberi perhatian, diberi tempat berbiak. Dengan harapan sederhana: agar kelak, anak-anak kita masih bisa membaca hakikat cinta, dan manusia masih ada.***
*) Studio Gapus, Surabaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar