Sabtu, 25 September 2010

Berita Puisi tentang Manusia

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Apa yang terjadi dengan manusia? Bagaimanakah manusia memahami dan menghayati lingkungannya, juga dirinya? Kiranya, ini sebuah persoalan pelik. Jawaban pasti mesti ditunda. Ada kesejarahan panjang dalam pribadi kemanusiaan.

Dulu kala, di Abad Pertengahan, Galileo Galilei menyatakan, ”barang siapa hendak membaca buku; aksara-aksaranya ialah bentuk-bentuk segitiga, lingkaran, dan empat per segi”. Galilei, filsuf yang hidupnya diakhiri di tiang gantungan ini, mengingatkan bahwa dunia akan lebih bisa dipahami melalui gejala-gejala primernya. Berat, warna, volume, suhu, panjang, atau hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Lebih khusus lagi, matematika. Saat itu, Galilei sedang memberi dasar bagi suatu peradapan yang dikemudian periode amat menguasai masyarakat: ilmu pengetahuan. Sebuah dasar yang lantas disempurnakan oleh Isaac Newton. Kepastian akan adanya hukum-hukum: manusia dan lingkungannya digerakkan oleh suatu logika kepastian, ialah hukum alam.

Lantas, bagaimanakah pengaruh penerapan hukum alam bagi kemanusiaan? Ada baiknya, di sini, patut diperhatikan pengakuan Heri Latief melalui puisi ”Mama” (antologi Ilusiminimalis, 2003): Umur yang kita rancang ternyata bukan punya kita, milik kita hanyalah ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi, di sini kita memandang langit sehabis hujan, berwarna kelabu, tempat berkumpulnya titik-titik embun. Ada banyak hal yang bisa cermati dari larik-larik puisi Latief. Penyair yang juga salah satu pendiri situs Cybersastra ini seperti memasang semacam lonceng; berdentang mewartakan soal genting. Degradasi kemanusiaan. Ialah ketika manusia hanya mampu memiliki sedikit bagian dari dirinya sendiri. Mengapa? Kiranya, ia berkaitan dengan dasar-dasar pembangunan Galilei, hukum pancaindera.

Pada kesehariannya, manusia dipahami sebagai struktur-struktur sosial dan materi, yaitu peranan manusia di dalam masyarakat: apa yang seseorang kerjakan, bagaimana prestasi kerjanya, kedudukannya, hobi, pendidikan. Selebihnya, manusia dipahami sebagai tumpukan materi. Corak rambut, cara berpakaian, jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, atau hal-hal yang berkaitan dengan ”kartu tanda penduduk”. Organisasional dan material.

Manusia diatur dalam peran-peran sosial. Sebagai suatu aset yang mesti bermanfaat. Menghasilkan barang-barang atau jasa. Tanpa itu, manusia belum bisa dianggap manusia. Perihal perilaku, manusia dihadapkan pada berbagai petunjuk bertele-tele mengenai kesantunan dan kesusilaan. Macam-macam perilaku dibungkam. Pamali. Semisal tentang seksualitas.

Wilayah seksualitas hanya boleh diperkatakan di ruang-ruang tersembunyi. Ia hanya boleh dibicarakan akrab oleh pasangan suami-istri. Atau, sengaja diciptakan ruang khusus yang di sana orang bebas membicarakan seks. Pelacuran. Hanya saja, ruang tersebut secara norma sosial telah dinilai bejat. Dan, kalau diperkatakan saja sudah mesti berhadapan dengan banyak aturan, maka dalam tingkat tindakan, berlaku aturan-aturan yang lebih kaku lagi. Segalanya mesti terkontrol. Terkondisikan agar lebih bisa dinilai sebagai manusia normal.

Dan begitulah, puisi Latief mempersoalkan inti dari kemanusiaan. Sublimitas. Sejauh mana seseorang punya makna dalam kehidupan. Dengan rada sinis, Latief memberi catatan: Bukankah mereka juga mengerti, tiap manusia yang rada waras, pasti suka bicara memakai logika-cinta, karena moral ternyata susah diukur (puisi ”Nyamuk”).

Heri Latief, penyair yang pernah tinggal di negeri Belanda ini, menggiring persoalan pemahaman diri (manusia) melalui hal yang lebih mendalam. Moralitas. Logika cinta. Keduanya berlawanan dengan pemikiran Galilei berkenaan ”pemahaman atas manusia”. Pemikiran Galilei meyakini bahwa identitas manusia diperoleh dari situasi sosial. Berada di luar manusia. Sedangkan yang diyakini Latief, identitas bersifat personal. Berkaitan dengan kenangan, moralitas, cinta. Berada dalam diri manusia. Sifatnya metafisik. Apa yang tampak belum tentu merepresentasikan kenyataan diri. Dengan begitu identitas sosial, yaitu identitas yang biasa dilekatkan masyarakat kepada seseorang, itu hanya kulit luarnya saja. Sebab identitas sosial berasal dari apa-apa yang tampak. Sebuah identitas empiris. Satu misal paling gampang adalah pemakaian aksesoris. Suatu kali, seseorang memakai kalung yang berbandul logam berbentuk silang. Maka, orang-orang akan dengan mudah menjatuhkan klaim, dia seorang nasrani. Atau seseorang memakai tato bergambar pedang di lengan, maka orang-orang akan berusaha menjaga jarak dengan dirinya. Tato menciptakan identitas bernuansa buruk bagi seseorang. Lantas, apakah itu merupakan kebenaran identitas manusia.

Bersandar pada puisi Latief, kiranya terlalu mudah untuk cepat-cepat menjatuhkan putusan. Masalah identitas diri adalah masalah dunia dalam, metafisika. Berakar pada hakikat kemanusiaan. Di mana manusia bisa dengan secara tegas terbedakan dengan benda-benda atau dengan para hewan.

Pada manusia ada terletak pikiran, perasaan, imajinasi, cinta, dan obsesi terhadap fantasi. Di situ, manusia mempertaruhkan kesadaran, kebebasan, pilihan hidup, tanggung jawab. Titik tolaknya pada kesadaran diri. Sehngga persoalannya bukan pada penolakan partisipasi peran sosial, tetapi pada terciptanya relasi etis antara peran sosial dengan hakikat kemanusiaan. Dituliskannya oleh Latief dalam puisi ”Egoisme”: Itulah harapan kita, tanpa topeng ada wajah yang asli, lihatlah kejujuran memang membosankan.

Identitas asli seperti bayang-bayang dapat dilihat tapi sulit dipastikan, apalagi keasliannya. Ilmu alam sebagaimana disorongkan Galilea hanya mampu menyoroti bentuk luar dari bayang-bayang. Sedangkan hal-hal yang membentuk bayang-bayang, yaitu manusia itu sendiri, berdiri jauh di balik pancaindera. Pengenalan hanya bisa dilakukan melalui penghayatan yang intens. Melelahkan, menjemukan, dan bagi ilmu alam yang mengagungkan efisiensi, bisa jadi ia mendekati sia-sia. Juga bagi orang-orang lain, masyarakat, publik. Identitas manusia lebih mudah diberikan dari luar daripada digali dari dalam. Seseorang adalah ilmuwan berprestasi, seseorang adalah pemain sepak bola nasional, pedagang buah, petani miskin, pejabat berpakaian rapi.

Klaim-klaim tentang identitas manusia berseliweran dari berbagai arah. Saling merangsek untuk dipasrahi. Karena, masyarakat punya kekuatan untuk membentuk sanksi. Seorang pegawai perusahaan akan ditertawakan atau malah di-phk bila berani memakai baju senam saat tugas kantor. Mengenaskan, seseorang dicela atau dihormati karena sesuatu di luar dirinya. Kemanusiaan terpasung di situ. Kebebasan dalam mengekspresikan diri terpagari oleh aturan-aturan penuh sanksi.

Begitulah, sebagian besar umur manusia bukanlah milik dirinya. Umur atau waktu, menjadi milik peran-peran yang mesti disandang manusia. Tinggal dijalani, dan tak mudah diberontaki. Yang tersisa bagi manusia hanya ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi. Di situ, manusia jadi terasingkan dari dirinya sendiri. Merasa diri kurang punya makna.

Kehadiran diri hanya bisa dipenuhi oleh peranan-peranan dari luar. Ia sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas. Diposisikan, ditugasi, dinilaikan, dan dikekang. Sebab, ia bukan milik dirinya. Ia milik aturan-aturan. Kurang lebih sama dengan benda-benda. Di tingkat ini, ketika kesadaran diri telah bangkit, dua pilihan buruk bisa terwujud. Pilihan pertama, tindakan agresif brutal. Bersifat menyerang, merusak, dan dorongan untuk menguasai orang-orang lain. Suatu keinginan untuk balas dendam atau keinginan untuk membalik keadaan. Pilihan kedua, tindakan apatis. Kepercayaan terhadap orang lain, bahkan kepercayaan kepada diri sendiri, telah sirna. Ia merasa tidak lagi punya makna. Juga dunia tidak punya makna. Tiada perlu lagi beraktivitas. Atau bisa jadi, menganggap tiada perlu lagi melanjut hidup. Bunuh diri sosial, ataupun bunuh diri nyata. Lenyap. Mati, sendiri, dan tak terpahami.

Hukum alam, ah logika ini memang penting bagi peradapan. Tentang kemutlakannya, beberapa ihwal masih perlu dipertimbangkan. Berita-berita dari puisi, semacam berita puisi Heri Latief sungguh patut untuk diberi perhatian, diberi tempat berbiak. Dengan harapan sederhana: agar kelak, anak-anak kita masih bisa membaca hakikat cinta, dan manusia masih ada.***

*) Studio Gapus, Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati