:KEGELISAHAN MELAYU DALAM HEMPASAN GELOMBANG
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sastra sejatinya bukanlah sekadar menampilkan sebuah dunia rekaan, bukan pula semata-mata menghadirkan peristiwa-peristiwa imajinatif. Ia dapat diperlakukan sebagai potret sosial jika di dalamnya terungkap problem dan kegelisahan yang terjadi di dalam kehidupan kemasyakaratan. Dengan demikian, sastra dapat dipandang sebagai dokumen sosial; sebagai cermin masyarakat atau pantulan hasrat terpendam dan semangat individu atau komunitas yang (mungkin) menjadi harapan sastrawannya.
Meskipun begitu, ada pula yang memperlakukan sastra sebagai buah pemikiran, karya filsafat, catatan sejarah, pandangan moral dan ideologi, atau bahkan pergulatan kultural sastrawannya. Oleh karena itu, sastra tidak hanya dapat dimasuki wilayah kajian dan pendekatan apa saja, tetapi juga dapat digunakan untuk keperluan yang berbagai-bagai. Dalam konteks itulah, dibandingkan disiplin lain, sastra dapat memainkan peranan secara lebih leluasa, bergantung pada kepentingan dan sasaran yang menjadi tujuannya.
Bagaimana pula dengan konteks dan kondisi kesusastraan Indonesia berkenaan dengan kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Kontribusi dan peranan apa saja yang dapat dimainkan sastra Indonesia dalam ikut menjawab problem bangsa ini, khususnya yang berkaitan dengan terjadinya serangkaian kerusuhan sosial, konflik etnis dan agama?
Secara langsung tentu saja sastra Indonesia, bahkan sastra di negara manapun, tak bakal dapat menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Ia hanya bisa memberi penyadaran moral dan etik kepada individu-individu selaku anggota masyarakat. Namun, penyadaran itu tentu saja dapat terjadi secara massal dan bersifat umum, jika secara kolektif ada pemahaman yang relatif sejajar antar-individu itu. Di sinilah terbuka peluang bagi institusi-institusi pendidikan untuk memainkan peranan dan memberikan kontribusi, bagaimana sastra menjadi salah satu alat bagi usaha penyadaran itu.
***
Kesusastraan Indonesia, secara kultural adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra etnik, ia tidak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Demikianlah, sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sosok seorang sastrawan mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok suku bangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, persoalan etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba saja dianggap selesai, atau setidak-tidaknya, diperlakukan seperti tidak ada persoalan. Problem budaya suku bangsa, latar belakang etnik, seolah-olah lenyap begitu saja ketika ia menggunakan baju bahasa Indonesia. Inilah masalah pertama yang secara laten muncul dalam kesusastraan kita.
Masalah kedua adalah kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai-bagai suku bangsa dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu tak bersentuhan dengan budaya yang lain; atau tidak terjadi interaksi antarsuku bangsa, juga merupakan kenyataan yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia sangat mungkin justru menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa. Oleh karena itu, pemahaman dan usaha mempelajari budaya suku-suku bangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama. Bahwa sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, maka usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman bagi usaha pemantapan integrasi bangsa. Oleh karena itu, kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa bangsa ini menuju pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut ini, tidaklah berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan.
Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya pula karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.
Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany, Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001), Helvy Tiana Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000), Fira Basuki, Jendela-Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan antologi cerpen Menari di atas Gunting (2001), dan dua novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001).
Keempat, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan kita.
***
Sebagai contoh kasus, berikut ini akan dicobabincangkan sebuah novel berjudul Hempasan Gelombang (Grasindo, 1999) karya Taufik Ikram Jamil.
***
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa novel ini mengangkat persoalan masa lalu dan masa kini yang dihadapi masyarakat Melayu Riau. Lewat mimpi tokoh anak dan kemudian melebar pada tokoh-tokoh lain, pengarang menghadirkan pergolakan kerajaan Riau yang terjadi pada masa penjajahan Inggris–Belanda. Kemudian, melalui tokoh aku, pengarang menghadirkan keadaan Riau masa kini yang berhadapan dengan pemerintah Pusat. Dengan cara bolak-balik dari masa kini ke masa lalu atau sebaliknya, kini melihat bahwa pada hakikatnya, penjajahan yang dilakukan Belanda lebih “beradab-berbudaya” dibandingkan dengan penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri.
Lalu, di manakah kita dapat menangkap kegelisahan dan pergulatan kultural sosok seorang sastrawan Melayu? Sebelum membincangkan masalah itu lebih jauh, ada baiknya kita cermati beberapa kemungkinan pendekatan yang dapat dilakukan terhadap novel itu.
Pertama, secara struktural novel ini memperlihatkan gaya penceritaan yang khas, meskipun cara seperti itu dalam peta novel Indonesia bukanlah hal yang baru. Jadi, lewat analisis sudut pandang (point of view) dan pusat penceritaan (focus of naration), yang digunakan novel itu, sangat mungkin akan terungkapkan keberpihakan pengarang atas tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Muaranya dapat kita cermati lewat aliran pemikiran tokoh-tokoh yang ditampilkannya itu, terutama tokoh aku dan dua tokoh masa lalu, Ali Bukit dan Khalid Hitam.
Kedua, secara struktural dengan pusat perhatian pada tema cerita, analisisnya boleh jadi akan sampai pada kesimpulan bahwa novel ini hendak menampilkan problem masyarakat Riau masa lalu dan masa kini yang tergusur oleh dominasi kekuasaan. Muruah (marwah) budaya Melayu di masa lalu tergusur oleh kekuasaan kolonial Belanda, dan di masa kini tanah sebagai warisan nenek moyang, tergusur oleh kekuasaan Pemerintah.
Ketiga, secara ekstrinsik, mengingat kuatnya latar sejarah yang dihadirkan novel ini, maka bolehlah novel ini dianalisis berdasarkan fakta-fakta sejarah. Jadi, bisa dianalisis lewat pengkajian aspek sejarah atau melalui pendekatan new historicism, sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai disiplin lain.
Keempat, meski novel ini sarat dengan latar sejarah Riau masa lalu, sesungguhnya masalahnya sendiri tidak dapat dilepaskan dari persoalan budaya yang menjiwainya. Oleh karena itu, pendekatan terhadap novel ini dapat dilakukan melalui (1) cultural studies yang menekankan persoalan dominasi dan hegemoni budaya, (2) sosiokultural yang coba mendeskripsikan tata kehidupan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam novel itu, dan (3) multikulturalisme yang mencoba memberi pemahaman terhadap budaya etnis dengan titik tekan pada perbedaan dan pluralisme.
Tulisan ini akan mencoba melihat novel ini melalui pendekatan multikulturalisme.
***
Melacak masalah pokok yang diangkat dalam novel Hempasan Gelombang ini, benang merahnya bersumber pada Traktat London, Mei 1824.[1] Perjanjian antara Belanda dan Inggris ini telah membawa konsekuensi sangat besar bagi masyarakat Melayu –tentu saja di dalamnya termasuk kebudayaan, yaitu terbelahnya dunia Melayu ke dalam wilayah kekuasaan kolonial Inggris –Singapura, Melaka, Johor sejak Agustus 1824, dan wilayah kekuasaan kolonial Belanda –Bangkahulu (Sumatera Selatan) dan Riau. Padahal sebelum itu, wilayah Semenanjung Melayu (Malaka, Johor, Singapura, dan Riau) berada di bawah kekuasaan raja-raja Melayu. Jadi, secara ekonomi, politik, dan budaya, perjanjian Inggris dan Belanda itu, lebih banyak merugikan Riau.[2]
Meskipun begitu, dalam hal budaya, Riau secara konsisten tetap mempertahankan tradisi kemelayuannya, seperti dikatakan Andaya & Matheson: “Manakala elite penguasa di Singapura semakin terpesona oleh gaya hidup baru yang diperkenalkan Inggris, Riau tetap mempertahankan kehidupan lamanya, melindungi apa yang tampak sebagai warisan Melayu.”[3] Novel Hempasan Gelombang juga memperlihatkan semangat Melayu untuk tetap memelihara tradisi dan membangun budaya yang sudah ditanamkan para pendahulu. Perhatikan kutipan berikut:
–Kibarkanlah bendera itu di dalam pikiran kalian. Kakanda Ali Bukit dan kawan- kawan sering mengatakan, perangilah mereka secara budaya. Kalian juga jangan lupa bahwa ke mana pun kalian pergi, kalian adalah Melayu.
Bendera itu sesaat akan hancur, mungkin lebih dahulu dari kematian kita semua. Tetapi bendera itu tetap akan berkibar apabila kalian sudah mengibarkannya dalam keyakinan sebagai Melayu yang bersendikan Islam. Islam melarang orang yang membunuh dirinya sendiri. Kita harus berkibar di sepanjang sejarah, esa hilang dua terbilang. (HG, hlm. 68).
Perhatikan juga kutipan berikut:
–Kita memang memerlukan waktu. Sebuah gerakan kebudayaan memerlukan kesabaran, balas Ali Bukit. (HG, hlm. 122)
Bahwa masalah budaya (etnik Melayu) begitu mendapat tempat dalam novel ini, direpresentasikan pula melalui sebuah lembaga yang menjadi pusat pemikiran kebudayaan Melayu; yaitu Rusydiah Klab. Di lembaga inilah kaum intelektual dan budayawan Melayu serta intelektual dari Jawa, Sunda, Bugis, dan Semenanjung Melayu, pada masa itu berkumpul, berdiskusi, dan mengembangkan hasil pemikirannya.
… sejak lama lembaga itu diisi oleh berbagai kalangan; ulama, cerdik pandai, bangsawan, dan unsur rakyat biasa. Tidak hanya demikian, lembaga tersebut bukan milik orang Melayu dan Bugis saja, tetapi juga suku lain, seperti Jawa dan Sunda yang dipahami sebagai pribumi.[4] (HG, hlm. 101).
Sebagai pusat kebudayaan Melayu, Rusydiah Klab menjadi simbol pertemuan budaya dari berbagai etnis. Ini artinya, klab itu yang secara faktual memang menjadi ajang pertemuan berbagai pemikiran kultur etnis di wilayah Nusantara dan kultur asing, seperti Arab, Mesir, dan Turki, ditempatkan dalam novel itu juga sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Ada kegelisahan atas pudarnya kemelayuan pada masa kini. Dengan mengangkat sejarah masa lalu, pengarang seolah-olah hendak mewartakan pentingnya kembali mengangkat kultur Melayu sebagai muruah yang mesti terus-menerus dikibarkan. Dalam konteks kekinian, Sutardji Calzoum Bachri menegaskan: “Sebagai sebuah puak, Melayu itu tidak akan hilang. Tetapi yang paling penting adalah kreativitas. Tanpa kreativitas sebuah bangsa dapat dianggap telah mati. Jadi, perkembangan karya itulah yang harus menjadi sasaran dan pemikiran kita semua.”
Bahwa pengarang sengaja menampilkan masalah kultur etnik Melayu tampak dari tokoh-tokoh sejarah yang ditampilkannya. Tokoh Ali Bukit, misalnya, tidak lain adalah murid Raja Ali Haji. Demikian juga tokoh Khalid Hitam dan istrinya, Aisyah, keduanya adalah penyair. Selain itu, Khalid Hitam dikenal juga sebagai Bentara Kiri Kerajaan Riau.[5]
Kesadaran bahwa Riau di masa lalu merupakan pusat kebudayaan Melayu dan tempat pertemuan berbagai budaya dengan Rusydiah Klab sebagai simbolnya, tampak juga dari kehadiran berbagai tokoh asing, seperti Residen Belanda, van Ophuysen, von de Wall, dan beberapa tokoh lain. Selain itu, fakta sejarah telah menyebutkan, betapa bahasa Melayu sebagai lingua franca bagi suku-suku bangsa di Nusantara telah memainkan peranan penting dalam mempersatukan kesadaran yang sama sebagai pribumi, meskipun secara etnis suku-suku bangsa itu berbeda.
Mengenai hal ini, pengarang mengungkapkan sebuah ironi antara Riau masa kini dan Riau masa lalu. Perhatikan pernyataan tokoh aku mengenai pengetahuan bahasa anaknya, seperti dalam kutipan berikut ini.
… Cuma saja, pelajaran bahasa nasionalnya (:bahasa Indonesia: MSM) tidak pernah lebih dari tujuh. Sesuatu yang sebenarnya kurang menyenangkan hatiku karena bagaimanapun ia adalah seorang Melayu –seseorang yang bahasa ibunya konon menjadi bahasa nasional.
…
Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa bagi seorang Melayu, mempelajari bahasa nasional adalah sesuatu yang sulit kalau orang tersebut tidak membebaskan diri dari kesadaran tentang bahasa nasional berasal dari bahasa ibunya…. (HG, hlm. 2–3).
Kutipan di atas sesungguhnya merupakan bentuk kegelisahan sosok seorang Melayu; bagaimana bahasa nasional yang dasar dan asalnya dari bahasa Melayu, tidak begitu dapat dipahami oleh seorang Melayu, pemilik sah sumber bahasa nasional bangsanya sendiri. Persoalannya jelas, bahwa di sana ada perkembangan dominasi dan hegemoni kultur lain. Akibatnya, bahasa Indonesia sebagai nasional telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam hal ini, tersirat pengarang juga hendak menegaskan perihal inklusivisme bahasa etniknya. Dalam lingkup yang lebih luas, kebudayaan Melayu sesungguhnya juga bersifat terbuka untuk menerima dan sekaligus mempelajari kultur etnik yang lain. Jadi, meskipun di sana ada perlakuan tidak adil terhadap bahasa dan budaya Melayu, sebagai sosok seorang Melayu, persoalan itu tidak perlu diratapi dengan kesedihan, melainkan dihadapi sebagai kenyataan sejarah, sebagai kenyataan hidup yang terus menerus berubah. Sebagai gambaran inklusivisme dan kebesaran jiwa untuk menerima dan mempelajari bahasa dan kultur etnik yang lain, pengarang menggambarkan, bagaimana seorang asing (van Ophuysen) diterima dalam lingkungan Rusydiah Klab dan diberi kebebasan untuk mempelajari bahasa Melayu. Hasil penyelidikannya itu kemudian diterima sebagai sebuah karya yang patut dihargai.
Lalu apa yang dikatakan van Ophuysen, tokoh tatabahasa yang pertama kali merumuskan dan menyeragamkan ejaan Melayu (1901).
Selalu saya membuat penyelidikan bahasa Melayu yang kaya ini dan sejak lama menjadi bahasa persatuan di Nusantara. Saya mempunyai bukti-bukti kuat bahwa yang mempersatukan Nusantara adalah bahasa, bahkan setelah Raja Ali Haji dan Haji Ibramin beberapa orang dari masyarakat Melayu sekarang berupaya membuat tatabahasa Melayu seperti Ali Bukit, Engku Haji Lah, dan Khalid Hitam. (HG, hlm. 146).
Sesungguhnya masih banyak peristiwa dan gambaran yang dikemukakan dalam Hempasan Gelombang yang menunjukkan betapa pentingnya kebudayaan dipelajari, dibangun dan dikembangkan. Hanya dengan cara itulah, sebuah bangsa akan tampak lebih berbudaya dan beradab.
***
Sebagai contoh kasus, niscaya uraian ini masih terlalu singkat. Meskipun begitu, tentu saja saya berharap, agar uraian yang singkat ini dapat menjadi salah satu bahan, bagaimana kita mencoba memahami kultur etnik lain melalui karya sastra. Jika saja kita mempunyai apresiasi yang setara terhadap kebudayaan lain, boleh jadi sikap snobisme dan perasaan tinggi hati dalam memandang kebudayaan lain, tidak bakal muncul dalam perilaku kita sehari-hari. Jadi, perlulah kita camkan peribahasa Belanda berikut ini: Tak kenal maka tak sayang. Itulah sebabnya, kita tidak patut berburuk sangka dan apriori terhadap kultur lain, sebelum kita mempelajari dan memahaminya. Nah, demikianlah!
msm/4/12/2001
[1] Barbara W. Andaya & Virginia Matheson, “Pikiran Islam dan Tradisi Melayu” Anthony Reid & David Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka, terj. Sumarthana, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hlm. 99. Lihat juga U.U. Hamidy, dkk., Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Sastra Melayu, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1981 hlm 1. Dalam novel Hempasan Gelombang, Traktat London ini berulang kali disebutkan, salah satunya dikatakan sebagai berikut: … Traktat London 1824 yang memecahkan Riau menjadi dua bagian. Singapura dan Johor, misalnya, harus berada di tangan Inggeris, sedangkan Riau harus berpuas hidup kerdil.”
[2] Dalam novel HG disebutkan bahwa hanya dalam waktu satu dasawarsa sesudah perjanjian itu, “… nilai perdagangan Riau tinggal 300.000 ringgit, jauh di bawah Singapura yang meraup nilai 1,5 juta ringgit.
[3] Barbara W. Andaya & Virginia Matheson, hlm. 99.
[4] Menurut berbagai sumber, intelektual Melayu asal Malaysia yang menjadi anggota Rusydiah Klab adalah Syed Syeikh Al-Hadi. Tokoh inilah yang kelak menjadi perintis novel Malaysia modern. Di samping itu, ia juga kemudian mengelola sebuah penerbit Julotong Press dan majalah Al Imam (1908). Pujangga dari Jawa dan Sunda yang juga pernah menjadi anggota klab ini adalah Ronggowarsito dan Hasan Mustapa.
[5] Mengenai para pengarang Melayu yang namanya disebut-sebut dalam Hempasan Gelombang dapat kita konfrontasikan dengan penelitian U.U. Hamidy, dkk. Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Sastra Melayu, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1981.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar