Saut Situmorang
http://www.facebook.com/note.php?note_id=45356609697
Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.
Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis?
Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu.
***
Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tsb. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tsb (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tsb “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.
Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?
***
Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universal” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dan waktu/zaman, misalnya, dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan kebanyakan sastrawan Indonesia. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.
Kalau memang benar “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet dulu, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Hadiah Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders.)
Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair cum dramawan Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, setiap orang yang menganggap dirinya “berbudaya” pasti paling tidak akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat?
Ternyata munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalism (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya “berkulit berwarna”, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).
Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika Chinua Achebe sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang kulit hitam Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar-cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tsb dalam kedua novel Conrad itu.
Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan salah satu karya terbaik fiksi dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara (dan disiksa lagi!) sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara!
Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Kalau kita tanya apa sebenarnya alasan yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis! Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya “kesalahan” Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.
Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison bisa dikatakan setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan/pembaptisan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan “bermutu-tidaknya” karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.
Karena “eksperimentasi bentuk” merupakan “estetika” kaum Humanis Universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini, maka hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.
Maka sepilah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, yaitu karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.
Maka tidak kenallah kebanyakan dari kita karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis di atas.
Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.
Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik, karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik alias anti-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal, paling tinggi, dari konsep seni a-politis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia, karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.
Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya (pencapaian artistiknya), yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat pencapaian puisi-mantra Sutardjilah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji.
Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebuis berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.
Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai detik ini!
Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal.
Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebuis tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme para sastrawan bakat alam di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Eksperimentasi bentuk sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebuis telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis apolitis dalam sastra kontemporer kita.
Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa Jakarta disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tsb dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia!
Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang konon merupakan persoalan perempuan muda di kota-kota besar Indonesia adalah juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alamis, maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal “Tubuh-Seksualitas-Perempuan”. Tidak ada persoalan kemiskinan perempuan, tidak ada persoalan pendidikan perempuan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh perempuan yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media massa ini. Aku ngeseks maka aku ada, begitulah kira-kira kredo mereka!
Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya (dunia) “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan “biasa” yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di dapur rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan… Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) “biasa” yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door)?
Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, malah dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Justru para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik jender” para Sastrawangi tsb! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!
Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tsb, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?
Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena dinilai dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya, tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?
Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan, dan juga pembaca sastra, kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tsb bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah “berkarya” itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks, demikianlah keyakinan umum dalam Sastra Indonesia.
Politik sastra juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tsb telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tsb sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tsb adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (Kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tsb telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tsb.
TUK adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis menjadi Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu. “Kemenangan” dan publikasi novel salah seorang anggota TUK, Ayu Utami, Saman, merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tsb. Terakhir “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novelnya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000 padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada, sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tsb. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tsb? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!
Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut expo sastra kolonial) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi Utan Kayu International Literary Biennale. Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale.
Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai Sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui.
Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan sebaliknya) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini dalam hal puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair ataupun sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi-puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.
Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali merupakan prakteknya. Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi sastra(wan) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.
Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.
Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran karya sastra, karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.
Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.
Jogja, Oktober 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar