KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Ah, ya, hampir saja aku menuju ke persimpangan jalan nan menyesatkan. Pada waktu itu, telah aku bentangkan layar-layar untuk mengkait tempatmu berlindung. Pada waktu itu, sebenarnya aku tegangkan sebuah penutup, sehingga sigatanmu mampu menghalangi sinar yang panas, sebelum empedu memahit, dan sebelum tempurung kepalamu berdenyut lunak kena jarum-jarum langit rasa sauna. Begitu kuatkah dirimu mencoba berlindung?
Bobby yang penyantun! Kiranya dinding ini terlampau tebal menyungkup, sehingga tubuhmu kegerahan, bukan? Rumah yang berdiri dan menaungi bukan sesuatu yang didambakan dalam rentang penantian. Akan tetapi, kala aku hendak menunjukkan musykilnya pengharapan yang berselang-seling, kurasakan betapa tambah rengkahnya dirimu dari persada-asal. Aku dan ibumu tengah berupaya, agar sel-sel darah yang berada dalam badan sehat bukan mempertentangkan alur dan lajurnya, melainkan justru mengalir bersama zat-zat lainnya yang secara kodrati memperteguh kelugasan antara rengkah dan rangkah di haluan.
Tiada yang mempertajam sengketa pada kehidupan di mayapada ini selain daripada mereka yang alpa, Nak. Ini sungguh pasti. Siapa memberangkatkan sampan-sampan, tanpa bisa memacakkan dayungnya, ibaratnya meramalkan cuaca tanpa mengetahui peta gunjingan angin. Pada saat manusia mengecimpungi sendang demi sendang yang pernah membincangkan air hijaunya di pagi resik – dan dengan demikian, kebugaran pun teruji kembali. Cobalah renungi kalbumu sendiri. Cobalah dekap lembah dan tebing di sekeliling sendang itu, niscaya masih lekat parakanmu.
Minggu pertama di bulan Maret, laras dengan peringatan hari jadimu yang sedikit pun tak pernah kami lupakan. Kau mungkin khilaf, bahwa papa senantiasa menyempatkan diri untuk menyimak Mazmur atau Khotbah di Bukit, sebagai pantulan rasa larutnya pada Injil nan melekat pada pori-pori kulit ini. Apakah Tuhan mendengar nyanyian kami? Mustikah kuucapkan litany cilik pada persembahyangan di kamar terasing sudut kidul rumah kita, yang kau selalu mengatakan, bahwa bau mawar oranye yang kutanam di sepetak tanah kering itu tak terlupakan, dan bahwasanya terus terasa bahwa Sang Timur sandar di situ?
“Papa bersikeras untuk bikin perjamuan, padahal masih terlalu siang untuk merayakan “Bojana Penghabisan” yang dilindungi merpati roh kudus sepanjang upacara bergema,” kata ibumu mengingatkan. Aku menjawab: “Tidak begitu, Mam. Aku merasa anak kita selalu tiba, sebelum bubur sumsum yang tersedia di panci itu habis untuk para tamu. Aku rasa, darah daging kita sendiri terus menunggu, kapan santapan utama siap…”
Ananda yang lurus hati.
Suatu pagi, saat dikau telah duduk di akhir Sekolah Dasar dan mengadakan darmawisata bersama teman-teman sekolah, ibumu kelihatan murung sekali. Kulihat, di luar, hari pun diliputi oleh gemawan tebal, sehingga keredupan udara terasa begitu menyekat tenggorokan. “Sayangnya si Bobby bersikeras berangkat hari ini,” ibumu menyampirkan handuk yang masih tertinggal di kamar mandi sehabis kaugunakan pagi buta. “Memangnya kenapa? Adakah sesuatu yang tertinggal?” tanyaku seraya memperbaiki radio transistor yang rusak di ruang tengah. “Papa lihat, celana renang dan alat pelampungnya masih tertinggal, padahal hari ini ia tentunya mandi-mandi di laut.” Aku menghela nafas. Semoga tiada marabahaya, desisku. Tapi aku rasakan, dadaku sesak. “Kau sering lupa menyiapkan apa yang perlu, jika anakmu lanang bepergian jauh,” kataku menyiasat. “Dia sih masih kebocahan sekali.”
Lantas terjadilah malam itu, lepas suara “Love Ambon” dari radio, pertanda siaran rampung di jam duapuluhempat tepat – seorang tetangga menyampaikan kabar. Dan aku beserta ibumu seperti tak bisa bernafas, karena peristiwa yang menyakitkan itu. “Putra Bapak, kini dibawa dengan ambulans. Luka-luka pada pelipis dan punggungnya.” Aku segera bergumam: “Oh, apakah Bobby mengalami kecelakaan di laut, Pak? Ia belum begitu mahir berenang.” Tapi polisi dan petugas rumah sakit cuma menggeleng lemah. Menjelang pukul tiga pagi, tahulah aku, bahwa luka-luka yang kauderita bukan karena musibah di alam yang ganas, melainkan ulah teman-temanmu sendiri jua. “Putra Bapak sering berkelahi?” tanya seorang guru yang menungguinya di zal. Aku berdesis, “Sepengetahuanku tidak.” Tapi ibumu langsung menukas: “Tuan belum tahu agaknya. Bobby bisa juga berang dan melabrak jika harga dirinya terinjak. Apalagi teman-temannya suka melecehkan, mengoloknya.” Dokter yang mendengar itu mengerling dan ikut numbrung: “Ibu, apakah dia terkucil di sekolah? Problem apa yang merisaukannya?” Maka setengah menangis, ibumu bilang begini: “Dengarlah, Tuan. Ibu mana tak tersentuh perasaannya bila anak lanang satu-satunya diperhinakan. Soal apa lagi kalau bukan rasial, soal warna kulit, soal kebangsaan. Sedih, Tuan. Teman-teman si buyung, yang tanpa sadar dicekoki prinsip nasionalisme dan patriotisme yang kelewat batas, menuding si Bobby sebagai “sisa begundal kolonial”, anak Blandis, dan cercaan yang pedas-pedas, gara-gara kulit anakku putih-bule, bukan seperti anak pribumi.”
Dokter tertawa, mengisap cerutunya, mengepulkan asap keruhnya ke langit-langit kamar. “Lebih baik tak usah kita perhatikan gurauan-senda bocah-bocah cilik yang lagi mabuk pada suasana dewasa ini. Suasana, tatkala demam nasionalisasi perusahaan asing tengah berkecamuk, karena meningkatnya perjuangan merebut Irian Barat dari rangkulan Belanda.” Aku berkata: “Kami sadar, bukan lagi menganggap semua itu sebagai omongan bocah melainkan sudah punya wur-wuran serbuk politik ekstrim, tak sehat!”
Maka, aku melangkah untuk melihat bagian-bagian dari badanmu yang dijahit, dan memerlukan penyembuhan yang cukup lama. Sejenak lampu neon di ruangan itu mengerdip dalam siratan luruh. Kupandang wajah ibumu yang suram dan temungkul. Ah, nak – kala itu alangkah pucat mukamu, bagai kapas. Seorang murid, yang melaporkan padaku tak lupa membeberkan, bagaimana Topo melakukan serangan dengan belati berkali-kali, melukaimu. Soalnya hanya karena kau mau pinjam piring dan gelas, dan dia melarang seraya mengatakan, bahwa “anak Belanda kuning seperti kamu sudah tak layak lagi tinggal di negeri republik kami yang merdeka ini.” Kau tersinggung, dan meninju lengannya. Lalu perkelahian tak terhindarkan dan kau dikeroyok lima teman-temannya yang solider. Aku mengeluh seraya melemparkan mata ke halaman rumahsakit yang luas itu. Aku raba keningmu yang panas. Balut-balut lukamu masih berdarah!
Dan itulah yang menjadi sebagian ganjalanku. Sampai di SMTP, ketika beberapa kali aku menyarankan, supaya kau lebih banyak berolahraga di alam luas, mulai dari sepakbola, basket, volley, renang, dan senam sehat. Kau begitu wangkot, Nak. Maksud bapak, olahraga akan menambah indah bentuk-jasadmu, dan lebih banyak potensi alam yang kausedot ke dalam ragamu, memperkuat sel-sel darahmu. Rupanya elektronika lebih menarik dirimu untuk berkurung dalam kamar sempit. Kau sendiri agak rendah diri jika harus bergaul dengan sahabat-sahabat di kampung. Nak, papa tak salah jika menyarankan supaya bergiat di udara terbuka. Karena jika kau banyak berjemur di bawah terik-surya, niscaya kulitmu takkan terlalu putih. Citramu sebagai ‘Sinyo’ yang agak mencurigakan, pada saat warga kampung sekitar kita tenggelam dalam antipati terhadap orang Belanda, yang mereka anggap sebagai ‘musuh republik’.
Hanya saja, aku berbesar hati, bahwa dirimu telah menuruti nasehat ayah, tiap minggu berkebun bunga di kebun belakang. Sehabis mencangkul bersamaku dan ibumu, wajahmu berkeringat, kemerahan, juga kulit leher, bahu dan dadamu. Apa boleh buat, kesunyataanlah yang bicara. Serasa, paras bulat Kapten Van Hasselman – suami ibumu, yang pergi tanpa pesan, setelah menebar benih di rahimnya. Ya, bahkan hingga dikau menatap dunia, dan berumur setahun. Kalau aku kemudian datang sebagai pelindung, dan mengangkatmu sebagai putraku terkasih, bukanlah lantaran aku berlagak pahlawan. Tidak, Nak, kinilah tiba waktunya aku untuk bicara sejujurnya. Neng Euis Tikah, ibumu itu – kembang desa Cilambuan; puluhan pria merindukannya, berhasrat mempersunting sekar mekar ini, sebelum akhirnya agresi militer kolonial datang menikam Tanah Pasundan. Dan itu kukatakan, karena aku juga termasuk salah satu di antara jejaka kolot yang mendambakan cintanya. Lantas kami bertemu, di daerah perbatasan tatkala Euis Tikah lari dari kota, ke tempat bibinya di Karilo. Kami dipertemukan Tuhan kembali. Dia menggendong anaknya yang sehat jenaka, yakni dikau sendiri, Nak. Dia tetap ayu-suci di mataku!
Bobby yang kini sudah dewasa.
Bapakmu ini jurutulis Pegadaian Negeri kala itu dan lamaran kepada Euis Tikah mendapat perhatian selayaknya. Kami menikah, dan kemudian hijrah di kota, tempat kami membesarkan dirimu hingga sekarang. Aku keluar dari pekerjaan yang lama, dan beralih jabatan sebagai pengelola hotel yang cukup terkenal itu – suatu bidang yang membuat secara materi, berkecukupan, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan. Kami rasa, sebagai seorang ayah, aku bisa memberikan hal-hal yang bermanfaat tanpa prasangka buruk sedikitpun. Bahkan hingga SLTA, dan dirimu kepingin memasuki Akademi Militer Nasional – aku dan ibumu menyatakan keberatan yang besar.
“Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kemiliteran, pangkat-pangkat dan tanda lencana berkilauan senantiasa mengingatkan kami kepada perang nan memusnahkan segalanya,” itu alasan dariku. Lalu kuperlihatkan potret dari harian “Dwiwarna” yang terbit pada tahun 1948, yang mengisahkan, bagaimana dua orang pamanku terbantai di Bandung Selatan, bersama dengan ratusan warga kampung di daerah kumuh itu. Pelakunya adalah Westerling, algojo Belanda yang haus darah itu. Seorang kerabatku yang lain, ikut menjadi korban ketika pulang dari pasar. Ia seorang ibu yang tengah mengandung-tua, dan ditembak di tengkuknya, sewaktu bersepeda melintas halaman sebuah kantor. Seorang sahabat mengabarkan, salah satu penembak yang ikut merobek-robek perut rakyat tak berdosa itu adalah Van Hasselman, bapak kandungmu, yang waktu itu melampiaskan kemarahannya kepada warga kampung yang konon kabarnya pernah menyinggung harga dirinya sebagai perwira kolonel.
“Papa merasa getir dan mendendam, bukan?” tanyamu menyelidik, ketika halaman pertama suratkabar itu kubuka di atas meja untuk menerangkan hal ini kepadamu. Ibumu menjeling dari kacamata minusnya dan meletakkan jemari pada lenganku. “Tidak, tidak, Nak. Tidak sama sekali,” ujarku spontan. “Mengapa aku harus terus-menerus menciptakan dendam kesumat yang serba naif itu, Nak? Seorang manusia ditakdirkan untuk tumbuh serta bangkit sebagai orang yang jantan, betapapun kecil kedudukannya. Dendam hanyalah letupan emosional yang melorotkan martabat hingga diri kita tak lebih daripada nyamuk yang selalu mendengung untuk menghisap darah, tanpa kepedulian yang pasti. Tuhan memberi kita nalar wening dan rasa yang bermahkota, yang membuat kita harus sadar akan satu pembatas yang mengatur sikap bijak kita. Melupakan sesuatu nan teramat menggetir hati, kiranya jauh lebih mulia, katimbang kita terus tergoncang dalam deru ke-dendam-an itu.” Lalu kau tercenung beberapa menit. Ibumu menimpali: “Dengarlah, Bobby. Papa mengatakan apa yang paling mendesir di dasar nurani. Ia telah menerima ibu tanpa prasyarat apapun. Ia telah mengangkatmu sebagai satu-satunya putra terhormat, bahkan dirimu juga berhak menggunakan nama keluarganya. Keluarga bangsawan yang membuat orang membanggakannya!”
Aku tak perlu menggarami dan mengasami perkataan ibumu ini. Satu senggolan kecil di kalbu, melihatmu menitikkan airmata. Nak, kau sungguh seperti papa, yang takkan membasahkan tirta kepiluan jika bukan ada sesuatu yang membikin batin terkoyak. Tapi anakku toh tak bisa berbohong dengan dirinya sendiri, bukan? “Sekiranya papa menghadapi pembunuhan brutal tersebut dengan batin koyak-moyak, sanggupkah papa menerimanya dengan tawakal?” demikian kaucoba mengusik hatiku. “Buyung sayang, bahkan sebaliknyalah. Papa semula belum bertawakal ketika menerima kabar, kedua pamanku dijagal di pinggir jalan. Aku sendiri anggota laskar pelajar, berdarah panas, mudah mengosongkan pistol untuk kemarahan nan muspra. Di sini, peristiwa itu cukup merantaskan saraf-sarafku yang muda. Aku memerlukan waktu sepuluh hari buat mendinginkan darah nan mendidih. Aku banyak berpuasa dan sembahyang tahajud, Nak.”
“Mengapa papa tak mendendam pada orang Belanda?”
“Sekali lagi, ketololan semata yang membikin orang melampiaskan sakit hati pada sesamanya, Nak. Kalau kau jadi dewasa, lalu jadi arif di kala berangkat tua, maka salah satu faktor penyebabnya adalah iman di dada. Keinsyafan, bahwa tiada yang kekal di bumi ini. Apa jadinya jika bangsa-bangsa meletupkan keberangannya?”
“Aku kini menyesal, Papa. Waktu kecil dulu, aku mudah naik darah, bila diolok-olok ‘seperti sinyo Kemayoran’, karena kulitku bule, berbeda dengan kawan-kawan yang merasa memiliki Tanah air ini, dan putra Republik yang murni. Papa menyadarkan berulangkali, perkelahian tiada arti sama sekali jika soalnya menyangkut hakiki kesucian darah pribumi atau bukan. Sementara di luar sana, masyarakat luas telah saling bahu-membahu dalam mewujudkan kerjasama kebudayaan. Aku sekarang tahu, kalaulah orang menumpahkan kesalahan pada penjajahan imperialistik ratusan tahun, maka sebenarnya sama artinya dengan mengutik-utik keringkihan-kelemahan nenekmoyangnya sendiri yang gemar bertengkar, hingga saling-cakar buat mempertahankan sejengkal bumi. Di tengah perselisihan, datang pihak ketiga: kaum penjajah Barat yang haus wilayah, yang memainkan peranannya sebagai duta-keberanian dan atasnama Sejarah, menjadi sang pemenang.”
“Andaranmu tepat, Buyung,” kataku penuh haru. “Apakah guru-guru Sejarahmu di SMA mengajarkan tentang kawicaksanaan ini?” Malam ini, kita ingin mengucapkan rasa akrab akan cita-mulia.
“Pada garis besarnya juga, Papa,” tegasmu bersemangat. “Menyesali masalampau adalah kesia-siaan. Menangisi kejatuhan bangsa, juga suatu kenaifan yang pepat. Dewasa ini kita bukan bicara lagi tentang kesucian ras, warna kulit, ataupun prabeda ideologi nan saling adu-bokong. Kelahiran tiap individu tak usah disesali sebagai beban politis yang berkepanjangan, sementara dunia yang akbar masakini telah semakin asyik-masyuk menjalin ikatan kebudayaan, Pa.” Kau sungguh memiliki derajat pengemban TulusNya.
Aku bangga dengan beberan-beberan pikiranmu, Bobby. Malam, di mana kita berbincang tentang dimensi Sejarah itu bagiku merupakan peristiwa bersejarah. “Hidup, mati, jaya, dan uzur adalah istilah-istilah histories yang mengantar insan untuk lebih menggalang keberadaan fitrahnya. Kasih yang menguntum di tengah rabuk-rabuk nan menyuburkan persada pengabdian, akan menyandang bahagia nan wangi.”
Hari-hari di SMA telah kaulalui dengan memuaskan, dan tiga tahun yang memberiku arti adalah bahwa Bobby memiliki nilai rapor yang bagus, terutama untuk ilmu pasti. Pada akhirnya aku ‘maturnuwun’ pada Gusti, saran kami kau jadikan pertimbangan dalam menentukan sekolahmu di perguruan tinggi. Kau tak jadi memasuki Akademi Militer, melainkan menjatuhkan pilihan pada Akademi Teknik yang mengkhususkan studi pada pembangunan jembatan dan bendungan. Kudoakan, jika lulus nanti, mohonlah beasiswa untuk meneruskan studimu di Delf, Negeri Belanda, yang lebih memberikan bintik-bintik bening pada bola mata pembangunan di kemudian hari, Nak.
Bobby yang lembut hati! Liburan semesteran pada tahun pertama di akademi itu, kusambut dengan pembacaan ‘Khotbah di Bukit’, dan kau kelihatan sedikit kurus dan parasmu lebih lonjong sekarang. Kalau tak salah lihat, kulitmu tak lagi seputih dulu, melainkan sudah menglasat, dan gerak tubuhmu tambah tangkas-trengginas. Horas! Laporan pertama yang kauucapkan dalam nada agak parau, tapi mata berbinar adalah: “Pa, aku ikut lomba mendaki gunung. Kami banyak berlatih menaklukkan bukit-bukit di Pasundan. Bulan depan, kelompok kami siap mendaki Galunggung. Senang, Pa! Aku banyak teman.” Ah, buyung sayang. Tubuhmu gagah-tinggi, dan wajahmu tampan. Mengapa tidak bercerita tentang gadis-gadis ranum yang kesengsem padamu? Pipimu memerah ketika papa bertanya potret setengah badan perawan jelita berlesung pipit, yang kulihat menempel di sampul buku diktatmu. “Aku giat berolahraga, Pa. Belum tertarik kaum hawa…” Bahwasanya, sebagai lelaki muda, kau memiliki dasar yang tegar.
Aku suka mesem-mesem sendiri lamun terkenang kejenakaanmu kini, dan kenakalanmu semasa bocah. Sore kemarin aku sedang mendangir kembang gladiola di pot-pot kecil merah di beranda belakang. Sedikit kusiram dengan gayung dari ember, sementara rabuk kotoran kelelawar kuaduk dengan tanah gembur. Sorot mentari petang membelah ruangan ini dengan bayang menyiku di antara kuning keunguan. Ibumu datang dalam daster birumaya dan menyampaikan jeruk yang sudah dikupas. “Pa, aku ingin menunjukkan sesuatu yang indah,” ujarnya menyentuh bahu. “Tentang apa dan siapa? Di mana, Ma?” – demikian aku tanggapi sambil mengunyah jeruk. Ia menggandengku sambil lirih menyanyikan tembang-tembang Sunda, lagu kegemaran ibumu. Tapi bukan itu yang membuat kami ketawa dan terpesona, Nak. Kau begitu bugar, muda dan perkasa dalam keadaan telanjang bulat, seperti menikmati liburan hangat di kampung. Air segar nan jernih mengguyur tubuh, dan aku seakan menangkap masa mudaku sendiri; seolah masa itu belum jauh berlalu. Bukankah buat pertama kali dulu aku ketemu ibumu semasih gadis, dekat sumur tua di sudut ladang? Aku tengah mandi telanjang bulat ketika itu, dan lupa, ada gadis lewat.
“Mama, Mama. Mama dulu juga tertarik waktu aku…”
“Bukan begitu, Pa. Tengoklah. Semakin dewasa, Bobby makin menyerupai dirimu. Wataknya, kebiasaannya. Juga kulitnya, Pa.” Aku mengerti maksud ibumu. Kulit badanmu sekarang langsat, Nak, seperti kulitku dan mamamu. Tidak terlalu putih lagi. Langsat indah. O, terimakasih. Terimakasih matahari khatulistiwa, yang membentuk tubuh kekar putraku, memberikan kulit langsat pada si buyung sayang!
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar