Jumat, 28 Mei 2010

BENING, SI BINTIK BENING

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Ah, ya, hampir saja aku menuju ke persimpangan jalan nan menyesatkan. Pada waktu itu, telah aku bentangkan layar-layar untuk mengkait tempatmu berlindung. Pada waktu itu, sebenarnya aku tegangkan sebuah penutup, sehingga sigatanmu mampu menghalangi sinar yang panas, sebelum empedu memahit, dan sebelum tempurung kepalamu berdenyut lunak kena jarum-jarum langit rasa sauna. Begitu kuatkah dirimu mencoba berlindung?

Bobby yang penyantun! Kiranya dinding ini terlampau tebal menyungkup, sehingga tubuhmu kegerahan, bukan? Rumah yang berdiri dan menaungi bukan sesuatu yang didambakan dalam rentang penantian. Akan tetapi, kala aku hendak menunjukkan musykilnya pengharapan yang berselang-seling, kurasakan betapa tambah rengkahnya dirimu dari persada-asal. Aku dan ibumu tengah berupaya, agar sel-sel darah yang berada dalam badan sehat bukan mempertentangkan alur dan lajurnya, melainkan justru mengalir bersama zat-zat lainnya yang secara kodrati memperteguh kelugasan antara rengkah dan rangkah di haluan.

Tiada yang mempertajam sengketa pada kehidupan di mayapada ini selain daripada mereka yang alpa, Nak. Ini sungguh pasti. Siapa memberangkatkan sampan-sampan, tanpa bisa memacakkan dayungnya, ibaratnya meramalkan cuaca tanpa mengetahui peta gunjingan angin. Pada saat manusia mengecimpungi sendang demi sendang yang pernah membincangkan air hijaunya di pagi resik – dan dengan demikian, kebugaran pun teruji kembali. Cobalah renungi kalbumu sendiri. Cobalah dekap lembah dan tebing di sekeliling sendang itu, niscaya masih lekat parakanmu.

Minggu pertama di bulan Maret, laras dengan peringatan hari jadimu yang sedikit pun tak pernah kami lupakan. Kau mungkin khilaf, bahwa papa senantiasa menyempatkan diri untuk menyimak Mazmur atau Khotbah di Bukit, sebagai pantulan rasa larutnya pada Injil nan melekat pada pori-pori kulit ini. Apakah Tuhan mendengar nyanyian kami? Mustikah kuucapkan litany cilik pada persembahyangan di kamar terasing sudut kidul rumah kita, yang kau selalu mengatakan, bahwa bau mawar oranye yang kutanam di sepetak tanah kering itu tak terlupakan, dan bahwasanya terus terasa bahwa Sang Timur sandar di situ?

“Papa bersikeras untuk bikin perjamuan, padahal masih terlalu siang untuk merayakan “Bojana Penghabisan” yang dilindungi merpati roh kudus sepanjang upacara bergema,” kata ibumu mengingatkan. Aku menjawab: “Tidak begitu, Mam. Aku merasa anak kita selalu tiba, sebelum bubur sumsum yang tersedia di panci itu habis untuk para tamu. Aku rasa, darah daging kita sendiri terus menunggu, kapan santapan utama siap…”

Ananda yang lurus hati.
Suatu pagi, saat dikau telah duduk di akhir Sekolah Dasar dan mengadakan darmawisata bersama teman-teman sekolah, ibumu kelihatan murung sekali. Kulihat, di luar, hari pun diliputi oleh gemawan tebal, sehingga keredupan udara terasa begitu menyekat tenggorokan. “Sayangnya si Bobby bersikeras berangkat hari ini,” ibumu menyampirkan handuk yang masih tertinggal di kamar mandi sehabis kaugunakan pagi buta. “Memangnya kenapa? Adakah sesuatu yang tertinggal?” tanyaku seraya memperbaiki radio transistor yang rusak di ruang tengah. “Papa lihat, celana renang dan alat pelampungnya masih tertinggal, padahal hari ini ia tentunya mandi-mandi di laut.” Aku menghela nafas. Semoga tiada marabahaya, desisku. Tapi aku rasakan, dadaku sesak. “Kau sering lupa menyiapkan apa yang perlu, jika anakmu lanang bepergian jauh,” kataku menyiasat. “Dia sih masih kebocahan sekali.”

Lantas terjadilah malam itu, lepas suara “Love Ambon” dari radio, pertanda siaran rampung di jam duapuluhempat tepat – seorang tetangga menyampaikan kabar. Dan aku beserta ibumu seperti tak bisa bernafas, karena peristiwa yang menyakitkan itu. “Putra Bapak, kini dibawa dengan ambulans. Luka-luka pada pelipis dan punggungnya.” Aku segera bergumam: “Oh, apakah Bobby mengalami kecelakaan di laut, Pak? Ia belum begitu mahir berenang.” Tapi polisi dan petugas rumah sakit cuma menggeleng lemah. Menjelang pukul tiga pagi, tahulah aku, bahwa luka-luka yang kauderita bukan karena musibah di alam yang ganas, melainkan ulah teman-temanmu sendiri jua. “Putra Bapak sering berkelahi?” tanya seorang guru yang menungguinya di zal. Aku berdesis, “Sepengetahuanku tidak.” Tapi ibumu langsung menukas: “Tuan belum tahu agaknya. Bobby bisa juga berang dan melabrak jika harga dirinya terinjak. Apalagi teman-temannya suka melecehkan, mengoloknya.” Dokter yang mendengar itu mengerling dan ikut numbrung: “Ibu, apakah dia terkucil di sekolah? Problem apa yang merisaukannya?” Maka setengah menangis, ibumu bilang begini: “Dengarlah, Tuan. Ibu mana tak tersentuh perasaannya bila anak lanang satu-satunya diperhinakan. Soal apa lagi kalau bukan rasial, soal warna kulit, soal kebangsaan. Sedih, Tuan. Teman-teman si buyung, yang tanpa sadar dicekoki prinsip nasionalisme dan patriotisme yang kelewat batas, menuding si Bobby sebagai “sisa begundal kolonial”, anak Blandis, dan cercaan yang pedas-pedas, gara-gara kulit anakku putih-bule, bukan seperti anak pribumi.”

Dokter tertawa, mengisap cerutunya, mengepulkan asap keruhnya ke langit-langit kamar. “Lebih baik tak usah kita perhatikan gurauan-senda bocah-bocah cilik yang lagi mabuk pada suasana dewasa ini. Suasana, tatkala demam nasionalisasi perusahaan asing tengah berkecamuk, karena meningkatnya perjuangan merebut Irian Barat dari rangkulan Belanda.” Aku berkata: “Kami sadar, bukan lagi menganggap semua itu sebagai omongan bocah melainkan sudah punya wur-wuran serbuk politik ekstrim, tak sehat!”

Maka, aku melangkah untuk melihat bagian-bagian dari badanmu yang dijahit, dan memerlukan penyembuhan yang cukup lama. Sejenak lampu neon di ruangan itu mengerdip dalam siratan luruh. Kupandang wajah ibumu yang suram dan temungkul. Ah, nak – kala itu alangkah pucat mukamu, bagai kapas. Seorang murid, yang melaporkan padaku tak lupa membeberkan, bagaimana Topo melakukan serangan dengan belati berkali-kali, melukaimu. Soalnya hanya karena kau mau pinjam piring dan gelas, dan dia melarang seraya mengatakan, bahwa “anak Belanda kuning seperti kamu sudah tak layak lagi tinggal di negeri republik kami yang merdeka ini.” Kau tersinggung, dan meninju lengannya. Lalu perkelahian tak terhindarkan dan kau dikeroyok lima teman-temannya yang solider. Aku mengeluh seraya melemparkan mata ke halaman rumahsakit yang luas itu. Aku raba keningmu yang panas. Balut-balut lukamu masih berdarah!

Dan itulah yang menjadi sebagian ganjalanku. Sampai di SMTP, ketika beberapa kali aku menyarankan, supaya kau lebih banyak berolahraga di alam luas, mulai dari sepakbola, basket, volley, renang, dan senam sehat. Kau begitu wangkot, Nak. Maksud bapak, olahraga akan menambah indah bentuk-jasadmu, dan lebih banyak potensi alam yang kausedot ke dalam ragamu, memperkuat sel-sel darahmu. Rupanya elektronika lebih menarik dirimu untuk berkurung dalam kamar sempit. Kau sendiri agak rendah diri jika harus bergaul dengan sahabat-sahabat di kampung. Nak, papa tak salah jika menyarankan supaya bergiat di udara terbuka. Karena jika kau banyak berjemur di bawah terik-surya, niscaya kulitmu takkan terlalu putih. Citramu sebagai ‘Sinyo’ yang agak mencurigakan, pada saat warga kampung sekitar kita tenggelam dalam antipati terhadap orang Belanda, yang mereka anggap sebagai ‘musuh republik’.

Hanya saja, aku berbesar hati, bahwa dirimu telah menuruti nasehat ayah, tiap minggu berkebun bunga di kebun belakang. Sehabis mencangkul bersamaku dan ibumu, wajahmu berkeringat, kemerahan, juga kulit leher, bahu dan dadamu. Apa boleh buat, kesunyataanlah yang bicara. Serasa, paras bulat Kapten Van Hasselman – suami ibumu, yang pergi tanpa pesan, setelah menebar benih di rahimnya. Ya, bahkan hingga dikau menatap dunia, dan berumur setahun. Kalau aku kemudian datang sebagai pelindung, dan mengangkatmu sebagai putraku terkasih, bukanlah lantaran aku berlagak pahlawan. Tidak, Nak, kinilah tiba waktunya aku untuk bicara sejujurnya. Neng Euis Tikah, ibumu itu – kembang desa Cilambuan; puluhan pria merindukannya, berhasrat mempersunting sekar mekar ini, sebelum akhirnya agresi militer kolonial datang menikam Tanah Pasundan. Dan itu kukatakan, karena aku juga termasuk salah satu di antara jejaka kolot yang mendambakan cintanya. Lantas kami bertemu, di daerah perbatasan tatkala Euis Tikah lari dari kota, ke tempat bibinya di Karilo. Kami dipertemukan Tuhan kembali. Dia menggendong anaknya yang sehat jenaka, yakni dikau sendiri, Nak. Dia tetap ayu-suci di mataku!

Bobby yang kini sudah dewasa.
Bapakmu ini jurutulis Pegadaian Negeri kala itu dan lamaran kepada Euis Tikah mendapat perhatian selayaknya. Kami menikah, dan kemudian hijrah di kota, tempat kami membesarkan dirimu hingga sekarang. Aku keluar dari pekerjaan yang lama, dan beralih jabatan sebagai pengelola hotel yang cukup terkenal itu – suatu bidang yang membuat secara materi, berkecukupan, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan. Kami rasa, sebagai seorang ayah, aku bisa memberikan hal-hal yang bermanfaat tanpa prasangka buruk sedikitpun. Bahkan hingga SLTA, dan dirimu kepingin memasuki Akademi Militer Nasional – aku dan ibumu menyatakan keberatan yang besar.

“Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kemiliteran, pangkat-pangkat dan tanda lencana berkilauan senantiasa mengingatkan kami kepada perang nan memusnahkan segalanya,” itu alasan dariku. Lalu kuperlihatkan potret dari harian “Dwiwarna” yang terbit pada tahun 1948, yang mengisahkan, bagaimana dua orang pamanku terbantai di Bandung Selatan, bersama dengan ratusan warga kampung di daerah kumuh itu. Pelakunya adalah Westerling, algojo Belanda yang haus darah itu. Seorang kerabatku yang lain, ikut menjadi korban ketika pulang dari pasar. Ia seorang ibu yang tengah mengandung-tua, dan ditembak di tengkuknya, sewaktu bersepeda melintas halaman sebuah kantor. Seorang sahabat mengabarkan, salah satu penembak yang ikut merobek-robek perut rakyat tak berdosa itu adalah Van Hasselman, bapak kandungmu, yang waktu itu melampiaskan kemarahannya kepada warga kampung yang konon kabarnya pernah menyinggung harga dirinya sebagai perwira kolonel.

“Papa merasa getir dan mendendam, bukan?” tanyamu menyelidik, ketika halaman pertama suratkabar itu kubuka di atas meja untuk menerangkan hal ini kepadamu. Ibumu menjeling dari kacamata minusnya dan meletakkan jemari pada lenganku. “Tidak, tidak, Nak. Tidak sama sekali,” ujarku spontan. “Mengapa aku harus terus-menerus menciptakan dendam kesumat yang serba naif itu, Nak? Seorang manusia ditakdirkan untuk tumbuh serta bangkit sebagai orang yang jantan, betapapun kecil kedudukannya. Dendam hanyalah letupan emosional yang melorotkan martabat hingga diri kita tak lebih daripada nyamuk yang selalu mendengung untuk menghisap darah, tanpa kepedulian yang pasti. Tuhan memberi kita nalar wening dan rasa yang bermahkota, yang membuat kita harus sadar akan satu pembatas yang mengatur sikap bijak kita. Melupakan sesuatu nan teramat menggetir hati, kiranya jauh lebih mulia, katimbang kita terus tergoncang dalam deru ke-dendam-an itu.” Lalu kau tercenung beberapa menit. Ibumu menimpali: “Dengarlah, Bobby. Papa mengatakan apa yang paling mendesir di dasar nurani. Ia telah menerima ibu tanpa prasyarat apapun. Ia telah mengangkatmu sebagai satu-satunya putra terhormat, bahkan dirimu juga berhak menggunakan nama keluarganya. Keluarga bangsawan yang membuat orang membanggakannya!”

Aku tak perlu menggarami dan mengasami perkataan ibumu ini. Satu senggolan kecil di kalbu, melihatmu menitikkan airmata. Nak, kau sungguh seperti papa, yang takkan membasahkan tirta kepiluan jika bukan ada sesuatu yang membikin batin terkoyak. Tapi anakku toh tak bisa berbohong dengan dirinya sendiri, bukan? “Sekiranya papa menghadapi pembunuhan brutal tersebut dengan batin koyak-moyak, sanggupkah papa menerimanya dengan tawakal?” demikian kaucoba mengusik hatiku. “Buyung sayang, bahkan sebaliknyalah. Papa semula belum bertawakal ketika menerima kabar, kedua pamanku dijagal di pinggir jalan. Aku sendiri anggota laskar pelajar, berdarah panas, mudah mengosongkan pistol untuk kemarahan nan muspra. Di sini, peristiwa itu cukup merantaskan saraf-sarafku yang muda. Aku memerlukan waktu sepuluh hari buat mendinginkan darah nan mendidih. Aku banyak berpuasa dan sembahyang tahajud, Nak.”

“Mengapa papa tak mendendam pada orang Belanda?”
“Sekali lagi, ketololan semata yang membikin orang melampiaskan sakit hati pada sesamanya, Nak. Kalau kau jadi dewasa, lalu jadi arif di kala berangkat tua, maka salah satu faktor penyebabnya adalah iman di dada. Keinsyafan, bahwa tiada yang kekal di bumi ini. Apa jadinya jika bangsa-bangsa meletupkan keberangannya?”

“Aku kini menyesal, Papa. Waktu kecil dulu, aku mudah naik darah, bila diolok-olok ‘seperti sinyo Kemayoran’, karena kulitku bule, berbeda dengan kawan-kawan yang merasa memiliki Tanah air ini, dan putra Republik yang murni. Papa menyadarkan berulangkali, perkelahian tiada arti sama sekali jika soalnya menyangkut hakiki kesucian darah pribumi atau bukan. Sementara di luar sana, masyarakat luas telah saling bahu-membahu dalam mewujudkan kerjasama kebudayaan. Aku sekarang tahu, kalaulah orang menumpahkan kesalahan pada penjajahan imperialistik ratusan tahun, maka sebenarnya sama artinya dengan mengutik-utik keringkihan-kelemahan nenekmoyangnya sendiri yang gemar bertengkar, hingga saling-cakar buat mempertahankan sejengkal bumi. Di tengah perselisihan, datang pihak ketiga: kaum penjajah Barat yang haus wilayah, yang memainkan peranannya sebagai duta-keberanian dan atasnama Sejarah, menjadi sang pemenang.”

“Andaranmu tepat, Buyung,” kataku penuh haru. “Apakah guru-guru Sejarahmu di SMA mengajarkan tentang kawicaksanaan ini?” Malam ini, kita ingin mengucapkan rasa akrab akan cita-mulia.

“Pada garis besarnya juga, Papa,” tegasmu bersemangat. “Menyesali masalampau adalah kesia-siaan. Menangisi kejatuhan bangsa, juga suatu kenaifan yang pepat. Dewasa ini kita bukan bicara lagi tentang kesucian ras, warna kulit, ataupun prabeda ideologi nan saling adu-bokong. Kelahiran tiap individu tak usah disesali sebagai beban politis yang berkepanjangan, sementara dunia yang akbar masakini telah semakin asyik-masyuk menjalin ikatan kebudayaan, Pa.” Kau sungguh memiliki derajat pengemban TulusNya.

Aku bangga dengan beberan-beberan pikiranmu, Bobby. Malam, di mana kita berbincang tentang dimensi Sejarah itu bagiku merupakan peristiwa bersejarah. “Hidup, mati, jaya, dan uzur adalah istilah-istilah histories yang mengantar insan untuk lebih menggalang keberadaan fitrahnya. Kasih yang menguntum di tengah rabuk-rabuk nan menyuburkan persada pengabdian, akan menyandang bahagia nan wangi.”

Hari-hari di SMA telah kaulalui dengan memuaskan, dan tiga tahun yang memberiku arti adalah bahwa Bobby memiliki nilai rapor yang bagus, terutama untuk ilmu pasti. Pada akhirnya aku ‘maturnuwun’ pada Gusti, saran kami kau jadikan pertimbangan dalam menentukan sekolahmu di perguruan tinggi. Kau tak jadi memasuki Akademi Militer, melainkan menjatuhkan pilihan pada Akademi Teknik yang mengkhususkan studi pada pembangunan jembatan dan bendungan. Kudoakan, jika lulus nanti, mohonlah beasiswa untuk meneruskan studimu di Delf, Negeri Belanda, yang lebih memberikan bintik-bintik bening pada bola mata pembangunan di kemudian hari, Nak.

Bobby yang lembut hati! Liburan semesteran pada tahun pertama di akademi itu, kusambut dengan pembacaan ‘Khotbah di Bukit’, dan kau kelihatan sedikit kurus dan parasmu lebih lonjong sekarang. Kalau tak salah lihat, kulitmu tak lagi seputih dulu, melainkan sudah menglasat, dan gerak tubuhmu tambah tangkas-trengginas. Horas! Laporan pertama yang kauucapkan dalam nada agak parau, tapi mata berbinar adalah: “Pa, aku ikut lomba mendaki gunung. Kami banyak berlatih menaklukkan bukit-bukit di Pasundan. Bulan depan, kelompok kami siap mendaki Galunggung. Senang, Pa! Aku banyak teman.” Ah, buyung sayang. Tubuhmu gagah-tinggi, dan wajahmu tampan. Mengapa tidak bercerita tentang gadis-gadis ranum yang kesengsem padamu? Pipimu memerah ketika papa bertanya potret setengah badan perawan jelita berlesung pipit, yang kulihat menempel di sampul buku diktatmu. “Aku giat berolahraga, Pa. Belum tertarik kaum hawa…” Bahwasanya, sebagai lelaki muda, kau memiliki dasar yang tegar.

Aku suka mesem-mesem sendiri lamun terkenang kejenakaanmu kini, dan kenakalanmu semasa bocah. Sore kemarin aku sedang mendangir kembang gladiola di pot-pot kecil merah di beranda belakang. Sedikit kusiram dengan gayung dari ember, sementara rabuk kotoran kelelawar kuaduk dengan tanah gembur. Sorot mentari petang membelah ruangan ini dengan bayang menyiku di antara kuning keunguan. Ibumu datang dalam daster birumaya dan menyampaikan jeruk yang sudah dikupas. “Pa, aku ingin menunjukkan sesuatu yang indah,” ujarnya menyentuh bahu. “Tentang apa dan siapa? Di mana, Ma?” – demikian aku tanggapi sambil mengunyah jeruk. Ia menggandengku sambil lirih menyanyikan tembang-tembang Sunda, lagu kegemaran ibumu. Tapi bukan itu yang membuat kami ketawa dan terpesona, Nak. Kau begitu bugar, muda dan perkasa dalam keadaan telanjang bulat, seperti menikmati liburan hangat di kampung. Air segar nan jernih mengguyur tubuh, dan aku seakan menangkap masa mudaku sendiri; seolah masa itu belum jauh berlalu. Bukankah buat pertama kali dulu aku ketemu ibumu semasih gadis, dekat sumur tua di sudut ladang? Aku tengah mandi telanjang bulat ketika itu, dan lupa, ada gadis lewat.

“Mama, Mama. Mama dulu juga tertarik waktu aku…”
“Bukan begitu, Pa. Tengoklah. Semakin dewasa, Bobby makin menyerupai dirimu. Wataknya, kebiasaannya. Juga kulitnya, Pa.” Aku mengerti maksud ibumu. Kulit badanmu sekarang langsat, Nak, seperti kulitku dan mamamu. Tidak terlalu putih lagi. Langsat indah. O, terimakasih. Terimakasih matahari khatulistiwa, yang membentuk tubuh kekar putraku, memberikan kulit langsat pada si buyung sayang!

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati