Sabtu, 20 Maret 2010

MEMBINCANGKAN TIGA CERPEN GUS MUS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika tahun 1970-an sastra Indonesia dilanda semangat eksperimentasi, sejalan dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke tradisi” sebagaimana yang diusung Abdul Hadi WM, kisah-kisah dunia jungkir balik dalam prosa, termasuk di dalamnya cerita pendek (cerpen), seperti menemukan pembenaran estetik. Absurdisme, melalui perkenalkannya dengan filsafat eksistensialisme, dipandang sebagai representasi dunia jungkir balik itu. Belakangan disadari, bahwa kisah-kisah supernatural dalam khazanah sastra tradisional kita yang tersebar di seluruh Nusantara, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan dunia jungkir balik yang berada di entah-berantah itu. Kisah-kisah itu juga kerap mengangkat peristiwa absurd. Tentu saja absurdisme dan kisah supernatural, secara konseptual tidaklah sama. Di sana ada keberbedaan akar tradisi kultural yang melatarbelakanginya. Dalam bahasa yang lain, masyarakat kita sudah sejak lama akrab dengan persoalan irasionalitas.

Tetapi itulah, semangat penjungkalan pada logika formal yang kemudian menghasilkan dunia jungkir balik itu, dianggap sebagai sesuatu yang baru ketika konsep itu diperkenalkan oleh para pemikir Barat. Seolah-olah, itulah kecenderungan baru yang penting diadopsi secara bulat-mentah –tanpa reserve—oleh kaum akademisi kita. Seolah-olah lagi, masyarakat kita sudah tertinggal jauh, sehingga perlu menyerap segalanya dari Barat. Maka, kegandrungan pun terjadilah dan Barat menjadi sumber inspirasi. Dan kaum akademisi pun makin terpukau oleh fenomena itu.

Bagi sastrawan sendiri, penggalian pada akar tradisi laksana sebuah keniscayaan. Maka, dengan semangat kembali ke akar, kembali ke tradisi, disadari –seperti telah disebutkan—bahwa dunia jurkir balik itu bukanlah hal yang baru bagi masyarakat kita. Logikanya sederhana: dunia jungkir balik itu sesungguhnya merupakan ekspresi realitas fisik yang berkelindan dengan realitas psikis. Keserempakan penghadiran realitas faktual yang kasat mata dengan realitas imajinatif atau psikis yang tidak kelihatan lantaran berada dalam dekaman pikiran atau perasaan, menyebabkan peristiwa itu terjadi seolah-olah tanpa hubungan kausalitas, tanpa sebab-musabab. Dalam peristiwa semacam itu, logika formal terpaksa dicampakkan. Itulah yang kemudian muncul, yaitu hadirnya peristiwa irasional yang melanggar logika formal. Berbagai peristiwa dalam tindakan dan peristiwa dalam pikiran, bercampur-aduk sedemikian rupa. Akibatnya, rentetan dan jalinan peristiwa itu laksana merepresentasikan segala sesuatu yang tidak terpahamkan: absurd!

Dilihat dari kecenderungan estetik karya-karya tahun 1970-an itu, Abdul Hadi WM mencatat ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurutnya, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;

2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;

3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[1]

Begitulah, pada tahun 1970-an itu,kesusastraan Indonesia kemudian bergerak dengan semangat eksperimentasi itu. Dalam prosa, khasnya cerpen, nama-nama Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Muhammad Diponegoro, dan Danarto lalu dikaitkan dengan spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa. Inovasi yang ditawarkan mereka lambat-laun menjadi sebuah kovensi ketika model eksperimentasi itu diterima sebagai ciri estetik. Dari sana lalu bermunculan pula sejumlah istilah yang bermuara pada apa yang disebut sebagai sastra Islam.

***

Apa kaitannya pemaparan di atas dengan cerpen-cerpen A Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus? Apakah Gus Mus terlambat mengikuti jejak cerpenis tahun 1970-an itu ketika kehadirannya telah lewat sekitar dua dasawarsa? Atau, ketika model spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa itu mulai memudar, Gus Mus justru baru memulai kiprah kesastrawanannya? Sejumlah pertanyaan lain, tentu saja masih dapat dikemukakan. Juga tidak begitu menjadi persoalan benar, ada atau tidak adanya hubungan antara cerpen-cerpen Gus Mus dengan cerpen Angkatan 70-an. Tetapi, tentu saja penting artinya menempatkan cerpen karya pengarang tertentu dalam konstelasi dan sejarah perkembangan kesusastraan bangsanya. Di mana posisinya dalam alur panjang sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus dijawab agar jelas letaknya dalam peta besar kesusastraan, sejauh mana kontribusinya, dan bagaimana wawasan estetiknya.

Begitulah, dengan cara itu, kita dapat pula melihat, apakah kehadiran Gus Mus dalam peta cerpen Indonesia sekadar memasukkan daftar nama dalam sebuah senarai atau justru memberi kontribusi –tematik atau stilistik—sebagai sebuah tawaran estetik? Bahkan, ketika secara tematik kita menghubung dan mengaitkannya dengan tema-tema sebelumnya, penempatan itu dapat menegaskan: apakah ia masuk dalam barisan epigonisme atau menyodorkan sesuatu yang baru dengan caranya sendiri. Berikut akan dibincangkan tiga cerpen A Mustofa Bisri yang termuat dalam antologi Bidadari Sigar Rasa (Dewan Kesenian Jakarta, 2005, hlm. 1—30). Adapun ketiga cerpen itu adalah “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar”. [2]

***

Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya itu sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Tampak di sini, semangat yang melandasi Gus Mus bukanlah hendak menggali kembali akar tradisi—yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kembali ke akar kembali ke tradisi—melainkan sekadar hendak mengangkat sebuah realitas sosiologis yang terjadi dalam komunitasnya, dalam masyarakat persekitarannya.

Dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Ia tidak berpretensi menyajikan simbolisme sufistik, sebagaimana yang dapat kita tangkap dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini atau Kuntowijoyo. Maka, kisah-kisah supernatural dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, boleh diperlakukan sebagai realitas sosial. Atau sebaliknya, realitas sosial, boleh tiba-tiba muncul bersamaan dengan peristiwa supernatural. Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam—pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar selepas Umi Kalsum, Djamil Suherman (1963; 1984), kini seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen kita, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai.

Jika Danarto mengkelindankan mistik Jawa dengan segala filosofi dunia pewayangannya dan tasawuf; Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini menggali tasawuf dengan sentuhan eksistensialisme; Gus Mus terkesan lepas dari segala pretensi itu. Ia sekadar bercerita: inilah realitas dunia para kiai dengan segala sistem kepercayaannya, dengan segala kisah supernaturalnya. Maka, tokoh aku yang mendapat ijazah Mbah Joned dalam ngelmu Sigar Raga atau kisah Gus Jakfar dengan segala kesaktiannya, adalah potret sekitar kehidupan para kiai. Ia bukan kisah dunia jungkir balik model tahun 1970-an. Ia juga tidak dilahirkan dari semangat eksperimentasi atau hendak mengangkat tasawuf dan filsafat Jawa. Ia hanya memotret sisi lain dari sistem kepercayaan dalam kehidupan para kiai. Dengan begitu, perkara ngelmu Sigar Raga dan kesaktian Gus Jakfar adalah kisah supernatural yang real. Bahkan, dalam dunia pesantren kedua kisah itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian para santrinya, dalam sistem kepercayaan mereka yang tidak perlu diperdebatkan.

***

Cerpen “Lukisan Kaligrafi” agaknya lebih menyerupai sebuah ironi tentang dunia seni lukis kita. Dikisahkan di sana, pelukis, tanpa perlu memahami aturan-aturan penulisan khath Arab, tanpa perlu menguasai bahasa Arab, dan cukup sekadar mengetahui makna Al-Quran lewat terjemahan Departemen Agama, sudah cukuplah sebagai modal melukis kaligrafi. “Katanya dia asal ‘menggambar’ tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya.” Sebaliknya, seorang kiai macam Ustadz Bachri, meski bukan pelukis, lantaran merasa menguasai perkara khath Arab, dan didesakpaksa untuk ikut pameran lukisan, tertantang juga untuk coba menjadi pelukis. Hasilnya tentu saja ustadz itu mendadak jadi pelukis “karbitan”.[3]

Sesungguhnya, cerpen itu laksana potret miniatur Indonesia. Gambaran di dalamnya laksana merepresentasikan kehidupan bangsa ini. Di negeri ini, siapa pun, lantaran keadaan atau lantaran dipaksa dan didesak, bisa menjadi apa pun; atau apa pun, bisa dikerjakan oleh siapa pun, meski bukan ahlinya. Itulah yang terjadi dalam pemerintahan kita selepas Orde Baru. Itu pula yang berulang kali terjadi dalam kabinet pemerintahan Indonesia dalam setiap pergantian pemerintahan siapa pun presidennya. Dan berkat pemberitaan media massa, opini gampang diciptakan. Tinggal masyarakat bertanya-tanya dalam ketidakpahamannya. Bukankah pesan itu juga implisit terekam dalam cerpen itu?

Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran peran kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali bersifat universal. Di balik itu, misteri lukisan yang tidak dapat difoto dan lukisan itu dihargai begitu mahal, dalam banyak kasus spiritual, hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selalu ada peristiwa aneh dan mengejutkan. Selalu ada faktor kebetulan yang diyakini sebagai campur tangan Tuhan. Maka kejutan dalam peristiwa itu dimungkinkan oleh adanya sejumlah faktor kebetulan (possibility), yang berbuah menjadi keniscayaan ketika keyakinan tetap bergeming. Bukankah dalam cerpen itu kita dapat menemukan beberapa faktor kebetulan: si pelukis Hardi melihat rajah di depan pintu; dia akan menyelenggarakan pameran kaligrafi; cat yang tersisa hanya dua warna, putih dan silver; dan letak huruf alif berada di tengah kanvas. Beberapa faktor kebetulan itulah yang pada akhirnya membawa Ustadz Bachri berhasil menyelesaikan sebuah lukisan alif.

Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen-cerpen Gus Mus justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan. Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen-cerpen Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?

Cermati saja cerpen “Ngelmu Sigar Rasa”. Kesediaan Mbah Joned menemui tokoh aku; kondisi Mbah Joned yang sedang murah hati; kemudahan tokoh aku memperoleh ijazah dari kiai sepuh itu; dan lancarnya proses penerimaan ilmu sigar rasa, adalah rangkaian peristiwa yang serba kebetulan. Segalanya mengalir begitu saja lantaran Tuhan telah mengaturnya demikian. Bukankah itu masih berada dalam lingkaran sistem kepercayaan. Bukankah itu juga diyakini hanya akan hadir jika di sana ada keimanan yang tidak tergoyahkan, yang tetap bergeming?

Bagaimana pula kita memperoleh penjelasan rasional ketika si tokoh aku mempraktikkan ilmunya? Bagaimana roh tiba-tiba melayang meninggalkan jasad dan sekejap berdialog sebelum roh itu pergi entah ke mana? “Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja di rumah!” Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Aku pun pergi meninggalkan diriku. Itulah dialog yang terjadi antara roh dan tubuh. Sejumlah pustaka filsafat yang membincangkan hubungan roh, tubuh, dan jiwa, kerap gagal menjawab persoalan itu ketika segalanya hendak diuraikan lewat pendekatan rasional. Selalu ada wilayah yang tidak dapat disentuh rasio. Manusia adalah misteri bagi manusia. Lalu bagaimana pula kita hendak menjelaskan peristiwa dalam cerpen itu. Apakah peristiwa itu termasuk wilayah dunia jungkir balik, kisah supernatural atau justru potret real atas realitas sosiologis kehidupan para kiai?

Itulah salah satu kekhasan cerpen-cerpen Gus Mus. Ia tidak hendak menawarkan dunia jungkir balik dengan semangat eksperimentasi model cerpen-cerpen tahun 1970-an. Ia juga tidak bermaksud mengangkat kisah supernatural. Ia justru sekadar memotret sebuah realitas sosiologis yang sengaja hendak ditempatkan sebagai bagian dari tema cerita. Maka yang terjadi adalah sebuah kritik sosial ketika peran kiai mulai bergeser lantaran kemewahan melimpahinya; ketika nafsu duniawi menghilangkan jati dirinya.

Jika di akhir cerita digambarkan, terjadi pertemuan antara lelaki berpakaian putih-putih dan tokoh aku yang dikatakannya: orang itu memandangku seperti melihat hantu; dan sang ibu memperlakukan anaknya itu dengan segala keheranannya, itu bermakna bahwa tokoh aku secara spiritual tidak lagi memperlihatkan kesalehannya sebagaimana dulu ketika ia menerima ijazah dari Kiai Sepuh, Mbah Joned. Pertanyaan-pertanyaan ibunya menegaskan terjadinya perubahan itu: “Lo, Mus, apa-apaan kau ini?”/”Kapan kau datang dan akan terus pergi ke mana malam-malam begini”/ Itu pakaian siapa yang kau pakai? Kayak orang kota saja…”/Hei, Mus, kesambet di mana kau ini?”/ … “Mus, Mus, aneh-aneh saja kau!”

Begitulah, ketika tokoh aku menikmati buah kesuksesannya: jabatan, penghormatan, kemewahan, kekayaan, fasilitas, bahkan juga wanita, ia telah kehilangan keauliaannya, kehilangan kesalehannya, dan secara metaforis, berubah menjadi hantu. Meski begitu, ilmu sigar rasa yang diperoleh dari Mbah Joned, tetap tidak meninggalkan jasad si tokoh aku. Jadi, di sana ada dua jiwa yang berbeda. Lalu, bagaimana kita menjelaskan secara rasional tentang dua jiwa yang berbeda yang mendekam dalam satu tubuh?

Dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Apa pun bisa terjadi atas kehendak-Nya. Kun fa ya kun diyakini sebagai keniscayaan. Jadi, kisah itu tidak datang dari dunia entah-berantah, tidak sekadar fiksi yang diambil dari dunia lain. Ia real sebagai realitas sosial yang dipercaya sebagai kebenaran ketika keimanan tentang itu diyakini datang atas kehendak-Nya. Bukankah apa pun dapat terjadi dan serba mungkin jika Tuhan berkehendak?

Kembali, dengan semangat sekadar memotret realitas sosial di persekitarannya, Gus Mus sesungguhnya juga menyampaikan pesan ideologisnya atas terjadinya pergeseran peran kiai. Bukankah pola ini berbeda dengan pesan spiritualitas Kuntowijoyo, Muhammad Diponegoro, Fudoli Zaini, atau Danarto, meskipun semuanya berada dalam wawasan estetik yang berakar pada sumber yang sama: pada Quran.

Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan, bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kiai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang. Tentu saja kepandaian ini tidak sama dengan peramal, dukun, atau cenayang. Ia kiai yang mempunyai kelebihan tertentu. Suatu saat, ia menghilang selama beberapa minggu. Dan ketika datang kembali di tengah masyarakatnya, orang-orang melihat Gus Jakfar seperti tak punya keistimewaan lagi. Satu-dua orang yang penasaran, bertanya, ke manakah ia menghilang selama beberapa minggu itu. Kiai itu kemudian bercerita: Bermula dari mimpi berjumpa ayahnya. Sang ayah menyuruhnya mencari Kiai Tawakkal. Ia lalu berkelana mencarinya. Dan terjadilah perjumpaan dengan Kiai Tawakkal, Mbah Jogo. Ituilah realitas lain yang terjadi dalam kehidupan para kiai. Di sana, dalam cerpen itu, ada peristiwa tentang tanda pada kening kiai itu yang bertuliskan, ahli neraka; ada peristiwa sang kiai dikerubuti perempuan menor di warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan akhirnya Kiai Jogo, menghilang entah ke mana. Sosok misterius Kiai Jogo tetap menyimpan misteri.

Apakah peristiwa itu cuplikan dari kisah supernatural? Bagi kiai, santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.

Begitulah, ia bukan peristiwa jungkir balik, bukan pula fakta yang direkayasa menjadi fiksi. Peristiwa itu berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, ia diyakini pernah terjadi, atau akan terjadi suatu saat kelak dan dialami hanya oleh orang-orang pilihan. Dengan demikian, Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Dan di sana, berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?

Bagaimana kita menjelaskan tanda yang menempel di kening Kiai Jogo yang bertuliskan: ahli neraka? Bagaimana pula kita menjelaskan langkah kaki kiai itu di atas permukaan air sungai?

Kembali, rangkaian peristiwa itu sengaja dihadirkan dalam kaitannya untuk mendukung tema cerita. Dengan cara itu, Gus Mus berhasil menyelusupkan pesannya tentang peran kiai dan sikapnya dalam menghadapi anugerah. Perhatikan kutipan berikut yang mengungkapkan pesan Kiai Jogo pada Kiai Jakfar:

“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli Neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka, terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata, pasti masuk neraka? … Kau harus berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Itulah sesungguhnya pesan yang hendak disampaikan Gus Mus. Peristiwa irasional yang diangkatnya menjadi bagian penting dari tema cerita. Oleh karena itu, kembali, teks itu tidak hanya mempunyai akar kultural-sosiologis, tetapi juga bersifat ideologis. Dengan demikian, tidak dapat lain, cerpen-cerpen Gus Mus, hanya mungkin dapat mengungkap kekayaannya, jika kita melakukan pendekatan terhadapnya berdasarkan kondisi sosio-budaya dan sistem kepercayaan yang melatarbelakanginya.

***

Pembicaraan tiga cerpen Gus Mus tadi, tentu saja baru mengungkapkan sebagian kecil dari persoalan besar yang terjadi dalam kehidupan dunia pesantren dan berbagai persoalan yang melingkari kehidupan para kiainya. Bagaimanapun juga, Gus Mus telah berhasil mengungkapkan sisi lain dari kehidupan persekitarannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya sampai kini, cerpen-cerpen Gus Mus berdiri tegak sendirian. Itulah salah satu sumbangan penting Gus Mus dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia. Jelas di sini, Gus Mus tampak tak berpretensi melanjutkan semangat Angkatan 70-an, tidak juga coba menawarkan tasawuf atau pesan sufistik. Ia sekadar coba memotret masyarakatnya sambil sekalian –dalam beberapa kasus—mempertanyakan kembali peranan kiai.

Akhirnya, harus saya sampaikan: membaca cerpen-cerpen Gus Mus, rasanya saya jadi ingin segera bertobat, kembali ke jalan yang benar, dan memperbanyak istigfar!

msm/1 April 2009

[1] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

[2] Buku antologi cerpen Bidadari Sigar Rasa ( Dewan Kesenian Jakarta, 2005, 226 halaman) sebenarnya memuat 34 cerpen karya tujuh cerpenis Jawa Tengah (A. Mustofa Bisri, Eko Tunas, Herlino Soleman, Ratih Kumalasari, SN Ratmana, S Prasetyo Utomo, dan Triyanto Triwikromo). Diterbitkan dalam program Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 13—15 September 2005. Dari 34 cerpen yang dimuat dalam antologi ini, lima cerpen di antaranya karya A Mustofa Bisri, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” “Bidadari itu Dibawa Jibril,” “Mubalig Kondang,” dan “Gus Jakfar.” Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya membicarakan tiga cerpen, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar.” Pertimbangannya semata-mata hanya karena ketiga cerpen itu menampilkan kesejajaran tematik.

[3] Kisah ini mengingatkan saya pada anekdot tentang pelukis abstrak dan anjing. Dikisahkan, lantaran kehabisan salah satu cat dengan warna tertentu, seorang pelukis abstrak terpaksa menunda pekerjaannya. Ia pergi ke toko cat dan meninggalkan lukisannya yang baru dikerjakan dalam beberapa sapuan warna. Anjingnya ditinggalkan di studio lukisnya. Tiba-tiba, seekor tikus lari ke sana. Si anjing terperanjat dan segera mengejar tikus itu. Berantakanlah studio itu, termasuk lukisan yang baru digarap. Ketika pelukis itu datang, tentu saja dia terperanjat, lantaran kanvas yang baru dilukisnya tergeletak di bawah; penuh tumpahan cat dan acak-acakan oleh bekas kaki anjing dan tikus. Bersamaan dengan itu, datang pula seorang kolektor lukisan. Begitu kolektor itu melihat lukisan yang tadi hendak digarap si pelukis penuh dengan cat yang tumpah ke sana, serta-merta si kolektor memungutnya. “Inikah karya terbaru Anda? Luar biasa! Saya baru melihat, ekspresi Anda begitu liar dan mengagumkan,” ujarnya sambil matanya terus memandangi kanvas penuh goresan yang tadi diacak-acak anjing ketika memburu tikus.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati