Fahrudin Nasrulloh*
http://www.jawapos.co.id/
”Puisi tiba-tiba jadi
kayak penyakit
harus ditulis terus-menerus”
– Afrizal Malna –
SIAPA kini yang membutuhkan puisi dan kenapa penyair terus menuliskannya? Tentu pertanyaan itu tampak klise, tapi sejarah kesusastraan Indonesia adalah kenyataan. Ia tidak lahir dari omong kosong. Bagi Afrizal Malna, puisi mungkin sudah mati. Ia mati atau dapat lebih menguar ketika terus dibenturkan dalam konteks filsafat. Misalnya, ketika pertarungan estetis dan eksistentialis tak menemukan ujungnya. Ada perkara subversif lain menggerogoti, katakanlah teknologi dan dampak dehumanisasi, yang lebih ajaib dan menggila menerobos kehidupan sehari-hari. Tak ada lagi keindahan, yang ada hanyalah kekacauan.
Alasan itulah yang kiranya membuat Afrizal kerap diburu cemas pada apa yang selama ini dikenalinya: rumah, keluarga, tradisi, benda-benda, hegemoni politik, kemanusiaan yang labil, bahkan pada problem bahasa itu sendiri. Kecemasan-kecemasan tersebut, tanpa tahu alasan pasti kenapa dia masih saja menulis puisi, justru melahirkan puisi-puisi. Ada semacam upaya pencarian. Atau, tepatnya ”mengalirkan diri” dalam misteri peristiwa kesehariannya yang lebih meyakinkan jalan puisinya atau barangkali menghancurkannya ketika dia sepakat bahwa menyatakan sesuatu tak cukup lagi dengan puisi.
Dari situlah, bersama penerbit Omah Sore, di sepanjang Januari 2010, Afrizal menggotong lima antologi puisinya dan video art untuk didiskusikan dalam suatu road show mulai Jogja, Surabaya, Mojokerto, Malang, Sumenep, hingga Solo. Lima kumpulan itu adalah Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikropon, Arsitektur Hujan, Kalung dari Teman, dan Pidato-Pidato dari Bantal Berasap.
Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) dan Dewan Kesenian Mojokerto (DKM), diskusi buku-buku Afrizal tersebut diadakan di SMA PGRI I, Mojokerto, pada 24 Januari 2010. Dalam diskusi tersebut, setidaknya ada lima hal yang disodorkan Afrizal. Itu cukup menarik sebagai semacam ”retrospeksi kepenyairan Afrizal” oleh dirinya sendiri dalam mendialektikkan kembara puisi-puisinya. Saya hadirkan lima hal itu dalam bentuk transkrip rekaman:
The Other
”Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkeluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan.
Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi. Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman.”
Demokratisasi Sastra
”Sekarang ini ada gejala demokratisasi sastra. Gejalanya berbeda-beda. Misalnya, muncul generasi penyair yang antirezim sastra. Mereka menulis puisi tidak untuk diterbitkan. Mereka menulis untuk teman-teman dekat mereka. Tidak seperti generasi sastra kita sekarang ini.
Gejala lain adalah sastra koran. Gejala lain demokratisasi sastra. Di Eropa tidak ada sastra koran. Adanya sastra buku. Sebab, Eropa memiliki infrastruktur wacana yang sangat kuat. Yakni, dari lembaga akademik sampai pemberian hadiah Nobel. Itulah rezim wacana yang paling terang. Dan, di Indonesia infrastruktur itu ditiru. Seakan-akan dalam sastra ada rezim. Rezim yang menghasilkan generasi estetika ini itu atau rezim itu dikuasai para kritikus yang menilai puisi-puisi kita. Padahal, puisi-puisi tersebut masuk koran. Dan, koran itu media publik, bukan media sastra.
Sekarang demokratisasi sastra didesakkan munculnya internet. Segala kemungkinan terjadi di sana. Karena itu, pembaca harus punya strategi membaca sendiri untuk membaca. Tidak hanya strategi penulis untuk menulis.”
Estetika Bahasa
”Sampai pada Abad yang Berlari, saya masih menganggap puisi itu sebagai estetika bahasa. Penyair menggunakan bahasa untuk estetikanya. Tapi, setelah Abad yang Berlari, saya harus mencuci pikiran saya. Karena saya pikir, saya hidup di ”zaman sampah”. Semua sudah jadi sampah. Tidak ada lagi yang luhur. Apa yang lahir di zaman penyair-penyair romantik karena kita masih menemukan keindahan, sekarang tidak ada keindahan. Detail telah dibunuh oleh kecepatan dan penggandaan. Di kesenian prinsip-prinsip percepatan dan penggandaan itu menghasilkan strategi yang berbeda.
Saya kira setiap seniman memainkan banyak strategi untuk membuat waktu, untuk membuat ruang, dan itu yang membuat saya menulis puisi dengan cara berpikir benda-benda. Kalau saya berpikir dengan bahasa, tidak mungkin lapangan basket masuk ke dalam puisi. Pasti akan ada sensor. Tapi, di mata saya ada. Jadi, saya lebih membela mata saya daripada bahasa. Mata saya yang membawa semuanya, tinggal bagaimana kemudian seorang penyair bergelut dengan struktur. Yang membuat puisi saya sedikit berbeda, saya bekerja di tingkat karakter dan struktur. Empat tahun hanya lahir 23 puisi. Sebenarnya lebih dari 23 puisi, tapi saya buang. Karena memang untuk apa dipertahankan. Mereka sudah gagal.”
Video Art dan Puisi Gelap
”Saya termasuk orang yang tidak bisa mengambil keputusan saya harus berada di mana. Karena ketika saya menjadi penyair, itu satu pilihan yang telanjur salah. Saya menyadari setelah menjelang reformasi bahwa saya ada di tutup botol. Ketika saya menilis puisi, disebut penyair, saya terjebak di leher botol. Saya merasa tercekik di situ. Dan, yang saya lakukan adalah bergaul dengan banyak media. Setiap media punya karakter. Jadi, video saya tidak untuk mengatakan puisi saya. Dari sini persoalan bahasa terjadi. Saya baru membaca sebuah cerpen ilmiah karya Primolevi, keturunan Yahudi, berjudul Bintang Hening. ”Saya tidak bisa ke dunia bintang-bintang itu dengan kamus,” katanya dalam cerpennya.
Kamus tidak lahir dari dunia perbintangan. Ada kesulitan bagaimana bahasa bisa merumuskan besarnya bintang dengan besarnya matahari. Dengan video, bahasa bisa mendeskripsikan kecepatan tanpa menggunakan kata ”cepat”. Nah, itu yang membuat kegelapan-kegelapan di dalam puisi. Puisi menjadi terang ketika basis reproduksinya jelas. Misalnya, kalau basis reproduksinya agama, politik, hal-hal yang primordial, itu jelas bisa dibaca. Apakah kita begitu panik menghadapi sebuah dunia yang gelap? Atau apa artinya kepanikan kita kalau ternyata yang kita temukan adalah kehampaan atau kegelapan?”
Saatnya Revolusi Kesenian?
”Sebenarnya ada suatu gejala yang saya sebut sebagai guncangan media terhadap estetika Hegel. Hegel membuat anatomi estikanya itu dari arsitektur ke patung, dari patung ke seni rupa, dari seni rupa ke musik. Dan, paling akhir ke puisi. Jadi, Hegel menganggap puisi adalah pencapaian estetika yang paling tinggi. Tapi, waktu itu Hegel tidak tahu akan munculnya media digital. Media digital tersebut muncul dan memorak-porandakan anatomi itu.
Sebenarnya media digital mendaur ulang semua itu menjadi semacam instalasi. Beberapa seniman mengambil eksekusi sendiri atas guncangan media tersebut. Seperti penyair Hungaria yang melakukan performance art. Dia merasa puisi sudah mati. Di situ saya merasa ada struktur, ada sensitivitas, ada detail, yang langsung ke otak. Saya cenderung menyebut itu sebagai solusi dari guncangan tersebut. Jadi, 5 sampai 10 tahun ke depan kita tidak tahu nasib kesenian. Yang menjaganya mungkin semacam dewan kesenian, institut seni, para redaktur, atau yang lain, padahal mungkin realitasnya itu semua sudah mati. Nah, kita tidak tahu siapa yang harus meletuskan revolusi di dalam kesenian itu.”
Cinta, puisi, kecemasan, dan teka-teki hidup adalah seluruh keheranan juga kekacauan Afrizal dalam memasuki dunia manusia. Adakah yang tak selesai dari Afrizal? Dia hanya ingin jadi seseorang, tapi telanjur jadi manusia. (*)
*) Penggiat Komunitas Lembah Pring, Jombang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar