Raudal Tanjung Banua*
http://www.balipost.co.id/
RAMADHAN, saya pikir tidak harus berkutat sebatas kitab suci, tapi sesekali perlulah membongkar kembali koleksi buku-buku dan menikmati muatannya sebagai pesan ilahiah juga. Alhamdulillah, setelah memilih dan memilah beberapa buku, saya dapatkan buku puisi Ajamuddin Tifani, ''Tanah Perjanjian'' (Hasta Mitra-YBS 78, 2005) yang tebalnya hampir 300 halaman. Wah, ini klop, pikir saya, mencari-cari sembarang bacaan akhirnya dapat puisi sufi!
Ketika membuat catatan ini, tentu saja saya sadar sudah cukup sering karya-karya Ajamuddin Tifani dibahas, khususnya oleh sastrawan/ kritikus di Kalimantan Selatan, dan lebih khusus lagi dalam konteks nilai sufistiknya. Tapi tak apa, pikir saya, setidaknya saya menuliskannya selagi bulan Ramadhan, di mana pembacaan ulang atas puisi-puisi sufi Tifani terasa khas, kalau bukan aktual. Walaupun secara muatan, risikonya saya hanya sekadar mengulang. Maafkan.
Sembari membolak-balik buku hard-cover itu, saya terus bergumam: akhirnya, terbit juga buku puisi salah seorang penyair kuat dari Kalimantan, Ajamuddin Tifani (1951-2002) ini, setelah bertahun-tahun -- bahkan sampai akhir hayatnya -- hanya berupa manuskrip. Saya beruntung mendapatkannya satu; ketika berkunjung ke Banjarmasin beberapa tahun lalu, kolega almarhum, Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S. Tawie memberi saya kopian manuskrip itu, dengan harapan saya bisa membantu mencari penerbit di Yogya. Apa lacur, di negeri ini buku puisi belum menggugah nurani penerbit yang berbasis industri, seraya merujuk selera publik yang katanya tak doyan puisi. Untunglah, pertengahan 2006 saya dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama almarhum, Tariganu. Maka, ''Tanah Perjanjian'' terbitlah.
Menikmati puisi Ajamuddin Tifani dalam buku ini, kesan pertama yang muncul adalah kekuatannya menggunakan citraan alam; dan kedua, upayanya membangun dunia transenden. Seperti sudah saya sebutkan, Tifani memang cukup lazim dikenal dalam ranah penyair sufi, terutama ketika kecenderungan aliran ''terekat puitik'' ini menguat sekitar tahun 1980-an.
Menurut Abdul Hadi W.M. dalam kata pengantar, Tifani sangat produktif bersama penyair segenerasinya seperti Heru Emka, Nyoman Wirata, Juardi Bisri, dan Raka Kusuma. Waktu itu, harian Berita Buana yang diasuh Abdul Hadi memang 'corong'-nya sastra sufi, menyusul lahirnya gagasan atau konsepsi seputar sastra sufi yang antara lain juga melibatkan Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi sendiri. Tentu kegairahan suatu zaman ikut mempengaruhi capaian estetik seseorang, sebagaimana tercermin dalam sajak Tifani.
Apa yang menarik dari sajak 'sufi' Tifani (kalau disepakati demikian), memanglah kemampuannya menggunakan citraan alam sebagai simbol atau jalan profetik seperti disinggung tadi, baik secara personal maupun kolektif (lingkungan sosial tempatnya tinggal). Yang personal, biasanya berupa bisik lirik permohonan (tapi bukan cuplikan doa); pengakuan, harapan dan pencarian (tapi jauh dari bentuk pengakuan dosa dan rintih putus asa) antara si aku lirik dengan Yang Maha Pemilik Alam. Yang kolektif terasakan dari gugatan terhadap simpul yang membuhul hajat hidup orang banyak, seperti institusi kehutanan, pengusaha kayu, penguasa, sampai rezim Orba dan arogansi Serbia di Sarajevo, tapi tidak jatuh sebagai sajak pamflet atau kutukan. Lewat citraan alam yang segar, semua itu berhasil ia tarik pada tataran reflektif.
Dengan demikian, dunia transenden Tifani adalah buah ''persetubuhan'' yang intens dengan alam, yang menyumbang tak hanya kosa kata natural seperti ricau unggas, daun basah, hutan-rimba, sungai, laut, tanah huma dan semacamnya, tapi menyatu dalam ungkapan dan bait segar, sekaligus kaya makna seperti dikutip secara acak dari beberapa sajak berikut: ''kudengarkan senandung batu, dalam rinai yang menampung jejak malam, melantun ke penjuru lembah, menghijaukan lagi lumutnya; jika ia daun, berilah gugur, berilah, agar tanah dapat menghimpunkan humusnya, restu dari luka-riangnya; sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir sudah kuludahkan khuldimu setangis; maut menggesek tiap ranting, dengarlah suaranya berjalin dengan tiap suara, terima kasih, pagi yang bersuka.''
Kalau ada asumsi yang menyebut penyair sufi cenderung mengasingkan diri, lalu muncul dengan idiom yang sarat nama Tuhan, tak peduli streotipe atau verbal, itu tidak terjadi pada sosok Tifani. Di tangannya, sufisme justru sangat dekat dengan lingkungan alam dan sosial; sementara yang vertikal buah dari pergulatan horizontal, atau bisa juga sebaliknya. Tak heran, dalam sajak kontemplatif dengan subjek aku lirik misalnya, situasi sosial di tingkatan kolektif saja muncul tak terbendung, semisal dalam sajak ''Risalah Embun'' (hal. 182): ''inilah hamba yang ingin mengabarkan suara-suara cinta/ pada kepompong dan daun gugur, pada belukar impian/ dan putik bunga, pada padang luas dan angin pagi, pada auman badai dan jeritan burung-burung putus asa.'' Sebaliknya, dalam lirik-kolektif, suara aku-lirik tetap menyelip yang memberi aksentuasi puitis dan kritis pada suara bersama, simak misalnya sajak ''Risalah Darah'' (hal. 163): ''yang dikicaukan burung-burung pagi hari itu/ terbitkan sudah matahari pencerahan, yang olehnya/ tragika kemanusiaan kita terselamatkan/ Tapi bagaimana merumuskan sorakan berjuta-juta anak/ yang bermain rembulan dengan perut lapar?''
Situsi penciptaan semacam ini mungkin cocok dengan konsepsi ''relegiusitas sastra'' Y.B. Mangunwijaya. Lewat relegiusitas inilah Tifani menyuarakan keadaan masyarakatnya (termasuk dirinya yang gelisah); mulai dari rusaknya hutan Kalimantan (Mantuil, Murungpudak, Meratus), situasi kota kenangan (Banjarmasin, Kandangan), pertobatan dan refleksi dalam perayaan (Idul Fitri, Idul Adha, HUT kemerdekaan), sampai kepada bencana tsunami di Flores dan perang di Bosnia-Palestina. Berkat citraan alam, puisi-puisi Tifani terdedah dengan jernih, akrab dan dekat. Meski di lain waktu ia mencoba membangun imaji sureal tentang maut, hijrah, miraj dan dunia unik lainnya dalam khazanah sufi, tapi itu tetap hangat tersaji lantaran kepiawaiannya membangun 'jembatan' puitik, semisal lewat mantra, alam yang keramat, dan muatan lokal.
Sosok Ajamuddin Tifani
Memahami sosok Ajamuddin dan wawasan puitiknya, tentu dapat dilakukan lebih lanjut lewat 161 sajak alam buku ini. Setidaknya, dengan asumsi ini Abdul Hadi W.M. tak perlu menyebut bahwa salah satu kelemahan Tifani adalah 'ia jarang menulis esei dan kritik''. Seorang penyair, justru harus berbicara dengan puisinya; setidaknya, bukanlah suatu kelemahan jika ia tak menuliskan wawasannya dalam bentuk esei. Persoalannya mungkin akan lebih buruk bila seorang pengarang memaksakan diri menjelajah segala bentuk ekspresi seni, yang ternyata hanya mengantarnya jadi sekadar seorang 'budayawan'.
Apalagi dalam konteks Tifani, julukan seniman serba bisa sesungguhnya layak disandangnya, sebab ia juga melukis (sebagian dicetak di buku ini), pembaca sajak yang baik dan sebenarnya juga menulis esei (satu di antaranya tentang tassauf melengkapi Tanah Perjanjian) serta menulis cerpen (salah satunya ada dalam antologi Cerita Pendek Indonesia Jilid IV editor Satyagraha Hoerip); tapi puisilah skala prioritas Tifani. Ketimbang persoalan ini, kelemahan Tifani yang seharusnya ditelisik lebih jauh adalah kekurangcermatannya mengutip kalimat dan nama ayat Al-Quran, sebagaimana pernah diteliti seorang penyair Kalsel, Jamat T. Suryanata, yang juga diakui Abdul Hadi. Meski kalau dicermati, kadang Tifani sengaja mengubah kutipan, namun esensinya sama.
Kelemahan Lain
Kelemahan lain yang cukup mengganggu pada buku ini adalah kurang selektifnya pilihan sajak. Seharusnya puisi Ajamuddin Tifan dieditori ulang, tidak saja untuk menghindari persoalan teknis seperti salah cetak, penatan EYD atau ungkapan yang kurang tepat (perhatikan misalnya ''dianyam raungan ayam jantan''), termasuk membenahi nama surah dan kutipan ayatnya seperti disinggung di atas. Ini juga merujuk kenyataan bahwa tidak semua sajak Ajamuddin dapat dianggap kuat (sesuatu yang wajar dalam proses kreatif semua orang). Sajak-sajak periode awalnya yang relatif pendek dan sederhana, menurut saya hanya yang lebih kuat, ketimbang sajak periode akhir yang relatif panjang-panjang dan 'telanjang' (kurang mengeksplorasi citraan alam sebagai kekuatannya yang sejati).
Ketiga dokumentator -- Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, dan Maman S. Tawie -- mestinya diberi kesempatan (atau menyempatkan diri) sekaligus sebagai editor. Lewat cara ini, puisi yang terpilih betul-betul yang kuat, dan buku ini pun akan sangat representatif. Sungguh pun demikian, dengan keadaan sekarang, buku ini jadi bernilai dokumentatif. Di samping semua puisi yang pernah ditulis Ajamuddin hadir full (mungkin masih banyak yang tercecer), juga disertakan esei dan surat tulisan tangan Ajamuddin, biodata lengkapnya yang ditulis Maman S. Tawie serta daftar kliping yang pernah memuat sajaknya. Pertanyaannya, sebuah buku, apakah hanya lebih bernilai dokumentatif, apalagi lantaran penyair/ penulisnya sudah tiada? Saya kira tidak juga. Sebuah buku yang baik (dalam arti selektif) dengan sendirinya akan bernilai dokumentatif, dan itu lebih esensial.
Tapi yang paling mengganggu dari semua itu adalah kehadiran penyantun yang kurang proporsional, baik peran, nama dan biografinya, maupun pengertian penyantun itu sendiri. Di cover depan misalnya, nama si penyantun, yang bernama Tariganu -- yang mengaku kawan baik Ajamudin -- tampil mencolok bersama nama penyair dan Abdul Hadi W.M. sebagai pengantar -- dua nama terakhir masih wajar. Tapi nama penyantun, adakah ia memiliki urgensi seperti itu, apalagi dengan font sebesar 'gajah'? Celakanya, di cover belakang bukan biodata Ajamuddin, tapi biodata Tariganu, sang penyantun!
Ada yang hilang dari ''Tanah Perjanjian'' sebagai sebuah 'proses panjang'. Editor yang berpayah-payah malah lenyap, di kolofon pun tak tercantum, tapi penyantun -- sebagai point yang kurang jelas posisinya dalam sebuah buku -- justru mencuri fokus. Tidakkah penyantun cukup santun dengan merasa terwakili Yayasan Bengkel Seni '78 yang bekerja sama dengan Hasta Mitra? Ah, puisi, engkau benar-benar diuji; tak dilirik penerbit industri, kurang pula ketulusan dari sedikit orang yang peduli -- meski penyairmu sudah mati! Marhaban ya Ramadhan, selamat datang ya ketulusan!
*) Penyair, Koordinator Komintas Rumahlebah Yogyakarta tinggal di Sewon, Bantul
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar