Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –diwakili Jong Islamieten—melekat dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan tidak dalam hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil keputusan kongres pemuda itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Di mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak eksplisit dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan?
Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara ini. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya adalah untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia lama) dan modern (kebudayaan Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…”
Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak, memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurut Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik.
Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak ada usaha untuk mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. …
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia.
Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada
melap-lap hasil kebudayaan lama …. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia
yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri….
Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan Barat.
Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,” mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.
Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
***
Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.
Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sastrawan mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kultur etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah kenyataan. Tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan daerah). Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”
Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.
Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi menyebar ke dalam diri sastrawan yang berlatar etnis lain, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan itu terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut sampai sekarang. Timbul pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar). Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.
Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan Indonesia sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu. Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.
Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini. Tentu masih banyak nama dan karya lain yang belum disebutkan yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan berbagai kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini.
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.
Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia.
***
Begitulah, sastra Indonesia mestinya ditempatkan sebagai identitas budaya Indonesia. Dengan demikian, mempelajari sastra Indonesia, berarti juga mempelajari kebudayaan Indonesia yang bersumber dari berbagai kultur etniknya.
LAMPIRAN
POETOESAN CONGRES PEMOEDA PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan pemoeda pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jang Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan kerapatan tadi;
sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH
DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA
JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA
PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas jang wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
KEMAOEAN
SEDJARAH
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan penghargaan, soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan perkoempoelan kita.
SURAT KEPERTJAAN "GELANGGANG"
Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-banjak dan pengertian rakjat bagi kami adalah kumpulan tjampur-baur dari mana dunia-dunia baru jang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami jang sawo-matang, rambut kami jang hitam atau tulang pelipis kami jang mendjorok kedepan, tetapi lebih banjak oleh apa jang diutarakan oleh wudjud pernjataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudajaan Indonesia. Kalau kami berbitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudajaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudajaan baru jang sehat. Kebudajaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara jang disebabkan suara-suara jang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha jang mempersempit dan menghalangi tidak betulnja pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang jang harus dihant¬jurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi ditanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu aseli; jang pokok ditemui itu ialah manu¬sia. Dalam tjara kami mentjari, membahas dan mene-laahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja saling-pengaruh antara masjarakat dan seniman.
Djakarta, 18 Februari 1950
--------------------------------
Periksa R.Z. Leirissa, et al., Sejarah Pemikiran tentang Sumpah Pemuda (Jakarta: Depdikbud, 1989).
Sebuah proses yang panjang riwayat perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah, bahasa administrasi, dan bahasa pergaulan telah mengakhiri tarik-menarik bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Mohammad Yamin bertugas membuat konsep usul yang akan dimajukan dalam sidang umum Kongres. Salah satu alasan pemilihan bahasa Melayu, dikatakannya, antara lain, “… saya sendiri mempunyai keyakinan penuh bahwa bahasa Melayu lambat-laun akan menjadi bahasa percakapan dan persatuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan akan menemukan ungkapannya dalam bahasa itu…..”
Dalam banyak buku pelajaran, terjadi salah kaprah tentang bunyi ketiga butiran Sumpah Pemuda, yaitu “mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Kesalahkaprahan ini berimplikasi luas, yaitu hanya mengaku adanya satu bahasa, bahasa Indonesia, dan tidak mengakui adanya berbagai bahasa daerah. Lihat Ajip Rosidi, “Bahasa Indonesia, Bahasa Kita,” J.B. Kristanto (Ed.), 100 Tahun Nusantara (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 377.
Sutan Takdir Alisjahbana, “Menghadapi Kebudayaan Baru,” Pujangga Baru, No. 12, Th. I, Juni 1934.
Bandingkan dengan rumusan Pasal 35 “Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih” dan Pasal 36, “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Rumusan dan acuan yang tersurat dalam kedua pasal itu, sangat jelas. Tetapi bagaimana dengan rumusan “kebudayaan nasional Indonesia”? Kepada kebudayaan manakah ia mengacu, apakah semua kebudayaan etnis secara serempak diklaim sebagai kebudayaan nasional atau hanya yang berkaitan dengan apa yang disebut “puncak-puncak kebudayaan daerah”?
Penjelasan tentang Undang-Undang dasar Negara Indonesia”
Surat Kepercayaan Gelanggang yang bertarikh 18 Februari 1950 ini baru dipublikasikan lebih dari tujuh bulan kemudian yang dimuat dalam majalah Siasat, 23 Oktober 1950.
A.A. Navis, “Benang Merah Minangkabau dalam Karya Sastera Asrul Sani,” Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), hlm. 131.
Periksa artikel Poerwoto Prawirahardjo, “Kesoesasteraan Indonesia Djawa” (Poedjangga Baroe, No. 6, November 1933) yang mengangkat perjalanan kesusastraan Jawa berikut para pujangganya. Bersamaan dengan artikel itu, dimuat pula tulisan Hoesein Djajadiningrat, “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” yang menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Dalam artikel Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” (Poedjangga Baroe, No. 1—6, Djoeli – Desember 1933) ditegaskan pula bahwa pengaruh kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kesusastraan baru. Sejumlah puisi yang ditulis Imam Soepardi, Tatengkeng, Amir Hamzah, A. Tisna, dan beberapa penulis lain, memperlihatkan juga pengaruh kebudayaan etnik.
Sutardji Calzoum Bachri, “Chairil,” J.B. Kristanto (Ed.), 100 Tahun Nusantara (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 536.
Keadaan itu dimungkinkan karena Balai Pustaka tidak lagi menerapkan sensor. Di samping itu, munculnya sastrawan dari berbagai daerah non-Sumatra telah memudarkan dominasi sastrawan Sumatra.
Sastrawan-sastrawan yang muncul pada dasawarsa ini kemudian dikenal dengan nama Angkatan 70-an. Slogan penting yang menjadi landasan berkeseniannya adalah “Kembali ke akar, kembali ke tradisi.” Satu pernyataan yang secara eksplisit hendak mengusung kultur etnik.
Sejak awal berdirinya Balai Pustaka, lembaga itu telah menerapkan sensor yang ketat atas naskah-naskah yang akan diterbitkan. Nota Rinkes (1910) menyebutkan tiga syarat: (1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, (3) tidak menyinggung suatu perasaa agama tertentu. Dalam bahasa Orde Baru, kebijaksanaan itu, tercakup dalam pernyataan: dilarang menyinggung masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan).
Kenyataan, sastra (Balai Pustaka) memang dihasilkan oleh beberapa gelintir kaum elite dan dibaca, juga hanya oleh kalangan elite (kaum terpelajar).
Salah satu alasan politis berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh buku-buku terbitan swasta yang dikatakannya sebagai bacaan liar produk “saudagar kitab yang tidak suci hatinya.” Dengan cap sebagai bacaan liar, maka buku-buku terbitan swasta diperlakukan dengan konotasi buruk.
Kajian terhadap karya sastra yang semata-mata bertumpu pada struktur karya yang bersangkutan (unsur intrinsik), dan tidak dibenarkan menghubungkaitkannya dengan faktor di luar struktur (ekstrinsik).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar