Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Seorang bapak punya kesulitan besar ketika hendak mati. Ketiga anaknya ternyata tidak punya kesepakatan terhadap warisan. Yang pertama ingin menjual habis seluruhnya.
“Sawah, tegalan, kebun kelapa, hutan jati dan tambak lele sudah tidak cocok lagi dengan kita,”katanya. “Kita bukan petani lagi meskipun Bapak orang tani. Kami semua bukan tarzan tapi wiraswastawan. Kalau dipaksa bertani, kita akan bangkrut. Jual semua, kita perlu kapital untuk bersaing dalam era industri. Sekarang kita tidak hanya butuh makan, tapi hidup layak di atas garis kemiskinan!
“Tapi itu warisan leluhur, anakku!”
“Warisan adalah harta untuk menyambung nafas kita agar darah terus mengalir. Sawah dan tegalan itu hanya wujud, bisa digantikan dengan pabrik dan barang-barang lain yang lebih produktif. Bapak jangan memberhalakan barang. Kalau warisan diartikan sempit, anak-cucu kejepit. Kuper, tidak berkembang padahal zaman sudah berubah. Jangan mensakralkan warisan, itu hanya benda mati untuk menolong hidup, bukan tujuan yang harus dibela dengan hidup-mati”
Anak yang keuda mendebat.
“Tidak bisa! Warisan tidak boleh diganggu gugat. Warisan harus tetap sebagaimana aslinya. Siapa yang berani mengubah kuwalat. Satu senti pun tidak bisa digeser, sacuil pun tidak bisa ditambah atau dikurangi. Harus tetap persis mutlak sebagaimana aslinya. Warisan bukan benda tetapi sabda, di baliknya ada pesan moral yang menjelaskan kepribadian dan jati diri kita. Kalau sampai warisan diabrak-abrik, berarti bunuh diri. Kalau mau dibagi bukan warisannya yang dibelah-belah, tetapi kewajiban mengawalnya yang harus digilir dengan adil! Itu hakekat dari mewarisi adalah mempertahankan sampai tidik darah penghabisan!”
“Jadi kamu tidak mau dibagi?”
“Jangan salah! Mau sekali! Tapi bukan berbagai hak, kita berbagi kewajiban mengawal!”
Anak ketiga tidak peduli.
“Warisan dijual supaya bisa kulakan atau dipertahankan sampai titik darah penghabisan, sama saja. Yang penting warisan harus bisa membuat hidup kita lebih sempurna. Kalau tidak, itu namanya bukan warisan tapi penindasan. Segala sesuatu yang menindas, apa pun namanya, tidak perlu diwarisi tapi dihabisi. Sebaliknya, segala sesuatu yang bisa mengangkat derajat kehidupan lebih baik, apa pun namanya, dari mana pun datangnya, harus diwarisi.”
Perbedaan yang meningkat jadi pertentangan itu, membuat Pak Tua tidak jadi mati. Nafsu hidupnya jauh lebih besar dari kewajiban untuk mati yang pada dasarnya datang dari hasrat memberikan kesempatan anak-anak berkembang. Lalu dia bertapa. Seperti Arjuna yang pergi ke gunung Indrakila ketika mencari panah Pasupati setelah dapat job membunuh Niwatakawaca.
Bukan hanya tujuh tetapi tujuh juta bidadari datang menggoda imannya. Mereka merayu dengan segala macam cara.
“Apa salahnya membagi warisan menjadi tiga, supaya semua anak-anak senang, bukankah sepertiga masih luas dan sama-sama punya potensi untuk menghidupi? Apa salahnya membiarkan anak-anak memilih masa depan mereka sendiri. Orang tua tidak boleh selamanya menggondeli!”
“Apa artinya kamu gembar-gembor negeri ini sudah merdeka kalau kehendakmu yang tua bangka masih terus hidup menyiksa keturunanmu sehingga mereka tak punya kebebasan untuk memaknakan kemerdekaan sendiri. Itu zalim. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri, lebih mengerikan dari penjajahan bangsa asing, karena disertai keinginan untuk memusnahkan! Kamu tak mencintai putramu, kamu mencintai dirimu sendiri!”
Orang tua itu marah sekali. Ia kontan buka mata dan membentak.
“Diam! Warisan itu bukan milikku dan tidak pernah akan jadi milik siapa pun. Mewarisi itu bukan memiliki, tapi memikul tugas suci untuk mempertahankan, mengembangkan dan meneruskan. Kalau warisan ini dibagi tiga, satu generasi lagi harus dibagi lima, dan limapuluh generasi lagi akan dibagi 250 juta. Tanah yang luas dan kaya raya ini akan menjadi kepingan uang receh yang sepele sehingga hanya akan jadi kutu yang dengan seenaknya diinjak-injak oleh raksasa-rakasasa yang sekarang sudah jelalatan mau menelan kita kembali!”
Serta-merta tapanya gagal. Orang tua itu kembali ke rumah dengann tangan kosong. Naun ia sudah punya tekad bulat. Lalu anak-anaknya dipanggil.
“Kalian semua sudah besar. Sudah waktunya untuk mandiri. Kalian tidak perlu warisan, cari sendiri kehidupanmu. Warisan ini tidak jadi diwariskan, karena ini bukan kue, ini bukan barang tetapi cita-cita. Boleh tidak setuju, boleh marah bahkan boleh menentang, aku akan mempertahankannya. Boleh menyerang, itu berarti kita akan berperang! Tetapi aku tidak akan berkelahi dengan senjata, di dalam usiaku yang sudah tua bangka ini. Tenaga, suara dan urat-uratku sudah lapuk, aku hanya punya kesetiaan dan keteguhan jiwa membela cita-cita! Kalau kamu berani serang aku!”
Orang tua itu menunggu siap untuk dilanda oleh putranya sendiri. Tetapi ajaib. Walau pun putra-putranya semula begitu galak, mendengar suara orang tuanya yang lemah tetapi yakin, tak ada yang beranjak. Dan ketika orang tua itu roboh karena janjinya sudah sampai, ketiga putra itu dengan sigap serentak menyambut. Mereka bahu-membahu mengangkat tubuh almarhum dan memulyakan warisan yang diamanatkan oleh alamrahum sebagai cita-cita.
“Ayah,” bisik salah seorang mewakili yang lain,.”hasrat kami untuk membagi warisan, bukanlah pertanda pengkhianatan kepada cita-cita, sebagaimana yang dituduhkan orang. Itu fitnah. Sebaliknya dari ketidaksetiaan, ulah kami adalah upaya agar engkau memberikan kami suara yang tegas dan bulat. Karena keraguanmu mempertimbangkan terlalu lama keadilan dan kebenaran, bisa menjadi bayang-bayang kegelapan yang menyebabkan setan menggoda. Kita tidak perlu kebijakan dan kelayakan kita memerlukan kecepatan, keberanian dan ketepatan agar tidak mampus. Sekarang kami akan memulyakan hajatmu menyelamatkan warisan cita-cita ini!”
Kini lebih dari setengah abad berlalu. Warisan cita-cita itu terus berkibar dalam gelap dan terang, dalam badai dan taufan. Terus berkibar walau warnanya sudah belel dan compang-camping. Tetapi ketiga putra-putra itu menjadi tua bangka, sementara anak-cicitnya, duaratus duapuluh juta kembali ingin berbagi rizki, berteriak-teriak mau mencacah warisan dipreteli menurut kenyamanan masing-masing. Kembali terjadi keos.
Apa daya? Tidak ada gunung lagi yang layak untuk bertapa. Semuanya sedang meletus. Panah Pasupati pun tidak cukup handal, karena yang diperlukan sekarang adalah duit, hukum dan wibawa. Ada kubu-kubu untuk berlindung tetapi milik kelompok yang cover chargenya mencekek di belakang. Apa daya?
Seruan jangan memperlakukan warisan sebagai kue tart yang boleh dibagi, tetapi sebagai cita-cita, juga sudah terlalu klise. Ketiga putra putra itu pun sudah capek mendukung, mereka juga ingin menikmati sebelum terlanjur uzur. Apa daya?
Masihkah keberanian, kecepatan dan ketepatan lebih berharga dari kebijakan dam kelayakan?
Almarhum tiba-tiba hadir di depan kita dan berkata:
“Keberanian, ketepatan dan ketepatan itulah kebijakan dan kelayakan?”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar