Rabu, 28 Januari 2009

Dekrit

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Seorang bapak punya kesulitan besar ketika hendak mati. Ketiga anaknya ternyata tidak punya kesepakatan terhadap warisan. Yang pertama ingin menjual habis seluruhnya.

“Sawah, tegalan, kebun kelapa, hutan jati dan tambak lele sudah tidak cocok lagi dengan kita,”katanya. “Kita bukan petani lagi meskipun Bapak orang tani. Kami semua bukan tarzan tapi wiraswastawan. Kalau dipaksa bertani, kita akan bangkrut. Jual semua, kita perlu kapital untuk bersaing dalam era industri. Sekarang kita tidak hanya butuh makan, tapi hidup layak di atas garis kemiskinan!

“Tapi itu warisan leluhur, anakku!”

“Warisan adalah harta untuk menyambung nafas kita agar darah terus mengalir. Sawah dan tegalan itu hanya wujud, bisa digantikan dengan pabrik dan barang-barang lain yang lebih produktif. Bapak jangan memberhalakan barang. Kalau warisan diartikan sempit, anak-cucu kejepit. Kuper, tidak berkembang padahal zaman sudah berubah. Jangan mensakralkan warisan, itu hanya benda mati untuk menolong hidup, bukan tujuan yang harus dibela dengan hidup-mati”

Anak yang keuda mendebat.

“Tidak bisa! Warisan tidak boleh diganggu gugat. Warisan harus tetap sebagaimana aslinya. Siapa yang berani mengubah kuwalat. Satu senti pun tidak bisa digeser, sacuil pun tidak bisa ditambah atau dikurangi. Harus tetap persis mutlak sebagaimana aslinya. Warisan bukan benda tetapi sabda, di baliknya ada pesan moral yang menjelaskan kepribadian dan jati diri kita. Kalau sampai warisan diabrak-abrik, berarti bunuh diri. Kalau mau dibagi bukan warisannya yang dibelah-belah, tetapi kewajiban mengawalnya yang harus digilir dengan adil! Itu hakekat dari mewarisi adalah mempertahankan sampai tidik darah penghabisan!”

“Jadi kamu tidak mau dibagi?”

“Jangan salah! Mau sekali! Tapi bukan berbagai hak, kita berbagi kewajiban mengawal!”

Anak ketiga tidak peduli.

“Warisan dijual supaya bisa kulakan atau dipertahankan sampai titik darah penghabisan, sama saja. Yang penting warisan harus bisa membuat hidup kita lebih sempurna. Kalau tidak, itu namanya bukan warisan tapi penindasan. Segala sesuatu yang menindas, apa pun namanya, tidak perlu diwarisi tapi dihabisi. Sebaliknya, segala sesuatu yang bisa mengangkat derajat kehidupan lebih baik, apa pun namanya, dari mana pun datangnya, harus diwarisi.”

Perbedaan yang meningkat jadi pertentangan itu, membuat Pak Tua tidak jadi mati. Nafsu hidupnya jauh lebih besar dari kewajiban untuk mati yang pada dasarnya datang dari hasrat memberikan kesempatan anak-anak berkembang. Lalu dia bertapa. Seperti Arjuna yang pergi ke gunung Indrakila ketika mencari panah Pasupati setelah dapat job membunuh Niwatakawaca.

Bukan hanya tujuh tetapi tujuh juta bidadari datang menggoda imannya. Mereka merayu dengan segala macam cara.

“Apa salahnya membagi warisan menjadi tiga, supaya semua anak-anak senang, bukankah sepertiga masih luas dan sama-sama punya potensi untuk menghidupi? Apa salahnya membiarkan anak-anak memilih masa depan mereka sendiri. Orang tua tidak boleh selamanya menggondeli!”

“Apa artinya kamu gembar-gembor negeri ini sudah merdeka kalau kehendakmu yang tua bangka masih terus hidup menyiksa keturunanmu sehingga mereka tak punya kebebasan untuk memaknakan kemerdekaan sendiri. Itu zalim. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri, lebih mengerikan dari penjajahan bangsa asing, karena disertai keinginan untuk memusnahkan! Kamu tak mencintai putramu, kamu mencintai dirimu sendiri!”

Orang tua itu marah sekali. Ia kontan buka mata dan membentak.

“Diam! Warisan itu bukan milikku dan tidak pernah akan jadi milik siapa pun. Mewarisi itu bukan memiliki, tapi memikul tugas suci untuk mempertahankan, mengembangkan dan meneruskan. Kalau warisan ini dibagi tiga, satu generasi lagi harus dibagi lima, dan limapuluh generasi lagi akan dibagi 250 juta. Tanah yang luas dan kaya raya ini akan menjadi kepingan uang receh yang sepele sehingga hanya akan jadi kutu yang dengan seenaknya diinjak-injak oleh raksasa-rakasasa yang sekarang sudah jelalatan mau menelan kita kembali!”

Serta-merta tapanya gagal. Orang tua itu kembali ke rumah dengann tangan kosong. Naun ia sudah punya tekad bulat. Lalu anak-anaknya dipanggil.

“Kalian semua sudah besar. Sudah waktunya untuk mandiri. Kalian tidak perlu warisan, cari sendiri kehidupanmu. Warisan ini tidak jadi diwariskan, karena ini bukan kue, ini bukan barang tetapi cita-cita. Boleh tidak setuju, boleh marah bahkan boleh menentang, aku akan mempertahankannya. Boleh menyerang, itu berarti kita akan berperang! Tetapi aku tidak akan berkelahi dengan senjata, di dalam usiaku yang sudah tua bangka ini. Tenaga, suara dan urat-uratku sudah lapuk, aku hanya punya kesetiaan dan keteguhan jiwa membela cita-cita! Kalau kamu berani serang aku!”

Orang tua itu menunggu siap untuk dilanda oleh putranya sendiri. Tetapi ajaib. Walau pun putra-putranya semula begitu galak, mendengar suara orang tuanya yang lemah tetapi yakin, tak ada yang beranjak. Dan ketika orang tua itu roboh karena janjinya sudah sampai, ketiga putra itu dengan sigap serentak menyambut. Mereka bahu-membahu mengangkat tubuh almarhum dan memulyakan warisan yang diamanatkan oleh alamrahum sebagai cita-cita.

“Ayah,” bisik salah seorang mewakili yang lain,.”hasrat kami untuk membagi warisan, bukanlah pertanda pengkhianatan kepada cita-cita, sebagaimana yang dituduhkan orang. Itu fitnah. Sebaliknya dari ketidaksetiaan, ulah kami adalah upaya agar engkau memberikan kami suara yang tegas dan bulat. Karena keraguanmu mempertimbangkan terlalu lama keadilan dan kebenaran, bisa menjadi bayang-bayang kegelapan yang menyebabkan setan menggoda. Kita tidak perlu kebijakan dan kelayakan kita memerlukan kecepatan, keberanian dan ketepatan agar tidak mampus. Sekarang kami akan memulyakan hajatmu menyelamatkan warisan cita-cita ini!”

Kini lebih dari setengah abad berlalu. Warisan cita-cita itu terus berkibar dalam gelap dan terang, dalam badai dan taufan. Terus berkibar walau warnanya sudah belel dan compang-camping. Tetapi ketiga putra-putra itu menjadi tua bangka, sementara anak-cicitnya, duaratus duapuluh juta kembali ingin berbagi rizki, berteriak-teriak mau mencacah warisan dipreteli menurut kenyamanan masing-masing. Kembali terjadi keos.

Apa daya? Tidak ada gunung lagi yang layak untuk bertapa. Semuanya sedang meletus. Panah Pasupati pun tidak cukup handal, karena yang diperlukan sekarang adalah duit, hukum dan wibawa. Ada kubu-kubu untuk berlindung tetapi milik kelompok yang cover chargenya mencekek di belakang. Apa daya?

Seruan jangan memperlakukan warisan sebagai kue tart yang boleh dibagi, tetapi sebagai cita-cita, juga sudah terlalu klise. Ketiga putra putra itu pun sudah capek mendukung, mereka juga ingin menikmati sebelum terlanjur uzur. Apa daya?

Masihkah keberanian, kecepatan dan ketepatan lebih berharga dari kebijakan dam kelayakan?

Almarhum tiba-tiba hadir di depan kita dan berkata:

“Keberanian, ketepatan dan ketepatan itulah kebijakan dan kelayakan?”

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati