Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/
SEORANG lagi hilang ditelan tembok bolong. Kali ini yang jadi korban Wujil, pria yang sehari-hari berjualan ketoprak. Dia tak pernah kembali setelah menerobos masuk tembok bolong itu, meninggalkan gerobak ketopraknya yang diparkir di sisi jalan. Dua orang pembeli ketopraknya mengira Wujil sehabis kencing langsung beli rokok di warung sebelah sekalian menukar uang untuk kembalian.
Tapi tunggu punya tunggu Wujil tak muncul-muncul juga. Karena kesal menunggu, dua orang pembeli ketoprak itu akhirnya meninggalkan gerobak ketoprak Wujil. Mereka pikir biar nanti siang atau besok saja menemui Wujil di mulut perempatan tempat biasa dia mangkal untuk meminta uang kembalian.
Namun sampai besok dan besoknya lagi gerobak ketoprak Wujil masih terparkir di sisi jalan tak jauh dari tembok bolong itu karena memang Wujil tidak pernah kembali. Hari berikutnya petugas kebersihan menyingkirkan gerobak Wujil dari sana dan menganggap Wujil benar-benar hilang ditelan tembok bolong. Nori, istrinya, menangis meraung-raung, di depan gerobak ketoprak yang mengonggok bisu.
Meski penjual ketoprak Wujil selalu merasa dirinya orang terpelajar, maklumlah jelek-jelek begitu dia pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Jadi dia tidak boleh mudah percaya dengan hal-hal tak masuk akal. Tembok bolong yang bisa menelan manusia menurut Wujil tidak masuk akal. Maka selama ini Wujil tidak pernah percaya dengan kabar-kabar yang berseliweran mengenai hilangnya sejumlah orang setelah mereka memasuki tembok bolong.
Menurut kabar-kabar yang didengar Wujil dari obrolan para pembeli ketopraknya, sudah ada sembilan orang yang lenyap tak pernah kembali setelah mereka memasuki tembok bolong. Meski demikian, Wujil tidak mau berdebat dengan orang-orang yang mengobrolkan kabar tersebut sambil makan ketoprak, jualannya. Sebagai penjual yang baik, Wujil tahu bagaimana menghormati pembeli.
Wujil merasa tidak perlu membuktikan kabar-kabar tersebut dengan mencoba masuk ke tembok bolong itu misalnya. Karena kalau dia lakukan jelas itu kurang kerjaan. Meski setiap hari Wujil mendorong gerobak ketopraknya melewati jalan itu. Paling banter Wujil hanya memandangnya sekilas. Tak berminat mengamatinya lebih jauh. Apalagi terdorong untuk mencari tahu bagaimana mulanya sampai tembok tersebut bolong. Tapi kalau dilihat bentuk bolongnya yang cukup untuk ukuran tubuh orang dewasa, jelas itu ulah orang-orang yang ingin mengambil jalan pintas. Kalau mau ke hiper mall yang berada di dalam kompleks perumahan elite itu, jalan melalui tembok bolong memang jauh lebih meringkas jarak. Tidak perlu memutar mengikuti jalan raya yang jaraknya berlipat-lipat jauhnya.
Tembok itu Wujil tahu merupakan pembatas yang memisahkan kompleks perumahan mewah dengan perkampungan kumuh di sebelahnya. Memang setiap lewat jalan tersebut Wujil melihat tembok bolong itu selalu sepi. Tak pernah sekalipun tampak orang masuk atau keluar dari sana. Wajar saja karena kalau Wujil lewat di jalan itu hari masih pagi saat dia mau berangkat berjualan atau menjelang maghrib ketika dia pulang dari berjualan.
Tetapi begitulah, hampir semua pelanggan ketopraknya memercayai betul tembok bolong itu sudah banyak menelan orang dan tak pernah kembali. Jumlah korban yang sembilan orang itu adalah mereka yang mencoba menembus masuk ke kompleks perumahan mewah melalui tembok bolong tersebut. Tidak ada yang tahu apakah warga kompleks perumahan mewah di balik tembok sana juga ada yang hilang ditelan tembok bolong saat mau menerobos ke perkampungan kumuh. Mungkin tak pernah ada. Siapa yang tertarik dengan kekumuhan?
"Kalau benar menelan korban, kenapa tidak ditutup saja," ujar Wujil iseng menanggapi pembeli ketopraknya yang tampak serius mengobrolkan tembok bolong.
"Itulah, mana ada orang yang berani. Jangan-jangan sebelum menutup tembok bolong mereka duluan yang lenyap ditelan," ujar pembeli itu seraya menyuapkan ketoprak ke mulutnya.
Dari sembilan orang korban itu, bukan semuanya warga perkampungan kumuh tempat di mana Wujil ngontrak. Sebagian besar, yakni tujuh orang di antaranya justru tamu di perkampungan kumuh tersebut. Umur mereka rata-rata di atas tiga puluh. Tentu soal umur ini perkara kebetulan belaka. Di perkampungan kumuh itu Wujil memang pendatang, baru enam bulan lalu dia menikahi Nori, warga asli perkampungan kumuh tersebut.
Mendengar obrolan para pembeli ketopraknya yang kelihatannya sangat serius itu Wujil ingin tertawa, tetapi dia segera sadar tidak boleh menyinggung perasaan pembeli. Sebab, dia tak mau gara-gara hal itu ketopraknya kehilangan pelanggan. Maka Wujil hanya mengangguk-angguk menahan geli. Tapi rupanya salah seorang pembeli ketoprak tahu kalau Wujil tidak pernah percaya.
"Kenapa Abang enggak percaya?" pembeli ketoprak bertanya, menyelidik.
"Saya memang tidak percaya. Saya rasa itu cuma kabar burung yang dibesar-besarkan," cetus Wujil.
"Abang mengganggap hanya kabar burung?" kejar pembeli ketoprak, sedikit gemas.
"Iyalah Mbak, mana ada tembok bolong bisa menelan orang. Kalau ada orang masuk melalui tembok bolong itu kemudian tidak kembali, mungkin dia memang tidak mau kembali lantaran diterima bekerja dengan gaji besar di salah satu rumah mewah itu."
"Tidak mungkin, Bang. Saya istri salah satu korban yang hilang ditelan tembok bolong itu. Suami saya benar-benar tidak pernah kembali. Kami kehilangan kontak sama sekali," ujar pembeli ketoprak, tampak mulai emosi.
Mbak pembeli ketoprak itu kemudian bilang bahwa suaminya semula juga tidak percaya tembok bolong bisa menelan orang. Makanya dia penasaran ingin membuktikan. Perempuan itu sudah berkali-kali bilang tidak usah nekat. Ternyata benar, malang tak dapat ditolak untung tak bisa diraih. Suaminya benar-benar lenyap dan tak pernah kembali.
Wujil manggut-manggut, ragu. Dia mau bilang ‘bisa saja suami mbak memang sengaja meninggalkan Mbak pergi dengan perempuan lain lantaran merasa bosan dengan Mbak, tapi Wujil tahu dia tidak boleh menyakiti perasaan perempuan pembeli ketopraknya dengan kalimat seperti itu.
"Mbak tidak mencari ke kompleks perumahan mewah yang ada di balik tembok itu? Siapa tahu suami Mbak tersesat di sana, tidak bisa pulang."
Perempuan itu menggeleng perlahan. Lalu terdiam lama menahan kesedihan.
"Sudah berapa lama suami Mbak hilang?" tanya Wujil akhirnya.
"Hampir setahun yang lalu." Perempuan itu berkata dengan nada rendah dan muka murung.
"Pernah lapor polisi?"
"Saya tidak lapor polisi karena suami saya bukan diculik, melainkan ditelan tembok bolong. Mana bisa polisi melacaknya!" Perempuan itu mulai terisak.
"Mbak tahu warga kampung sini lainnya yang hilang?" Wujil bertanya lagi. Dijawab oleh pembeli ketoprak yang lain. Menurut orang itu, dia perempuan. Tetangganya yang baru pulang dari bekerja sebagai penyanyi pub. Karena tak tahan kebelet pipis perempuan itu pipis di got yang ada di balik tembok bolong. Sejak itu dia tidak pernah keluar-keluar lagi sampai sekarang.
Sementara korban lainnya mereka adalah tamu warga perkampungan sini yang mau ambil jalan memotong melalui tembok bolong itu. Mereka semua hilang lenyap bagai ditelan bumi. Keluarga mereka akhirnya menganggap mereka meninggal, yang mau tak mau harus direlakan. Lalu mereka menggelar tahlilan di rumah masing-masing supaya arwahnya tenang.
Wujil tercenung. Benaknya mulai disusupi rasa penasaran. Mungkinkah tembok bolong itu semacam segitiga bermuda yang mampu menelan orang tanpa jejak sama sekali seperti tempo hari dialami sebuah pesawat berpenumpang ratusan orang yang karam dan hilang di lautan tanpa pernah ditemukan bangkainya?
***
Sebelum hilang ditelan tembok bolong itu, Wujil memang pernah mengatakan pada istrinya bahwa suatu hari dia akan membuktikan sendiri. Hanya saja Wujil tidak pernah punya kesempatan. Bisa jadi sebenarnya dia tidak punya nyali.
"Sudahlah, Bang. Jangan macam-macam sok mau mencoba. Cari perkara itu namanya. Aku tidak mau jadi janda," kata istrinya sambil menumbuk kacang goreng untuk bumbu ketoprak.
Sekali waktu Wujil memang pernah mengamati tembok itu dengan sedikit serius. Tingginya tidak kurang dari satu setengah meter dengan puncaknya ditanami aneka macam beling yang sanggup mencelakai orang yang nekat memanjat ke sana. Belum cukup dengan beling-beling yang mencuat runcing, beberapa senti di atasnya terdapat kawat berduri. Ketebalan tembok kira-kira lima belas sentimeter, meski demikian kurang kokoh lantaran terbuat dari asbes yang tengahnya kosong. Bagian luarnya tidak dilapisi semen pula sehingga tidak terlalu sukar dijebol. Di beberapa tempat terlihat gambar penis dan kata-kata cabul dari cat semprot. Bagian yang bolong itu tidak lebar juga tidak sempit. Orang tidak perlu memiringkan tubuh dan menundukkan kepala terlalu dalam untuk lolos masuk ke sana. Kalau dilihat dari kondisinya tembok itu sudah lama bolong. Mungkin beberapa hari setelah tembok dibangun. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang menjebol tembok itu sehingga jadi bolong.
Tetapi beberapa kali Wujil hanya berdiri kira-kira dua meter di depan tembok bolong. Dari jarak tersebut, dia dapat melihat jalan kompleks perumahan yang mulus, taman yang tertata rapi, dan rumah-rumah megah dengan pagarnya yang tinggi-tinggi. Kontras sekali dengan keadaan perkampungan di sebelahnya. Ada kalanya dia melihat sekawanan anak-anak melintas menggunakan sepatu roda. Berseliweran di antara perempuan-perempuan muda--agaknya pembantu--yang tengah mendorong keranjang bayi.
Jadi pada hari lenyapnya Wujil ditelan tembok bolong itu sama sekali bukan karena dia sedang mencoba membuktikan sendiri kabar-kabar itu. Melainkan Wujil benar-benar kebingungan mencari warung mau menukarkan uang untuk kembalian. Dia melihat ada warung rokok di seberang got dibalik tembok bolong itu. Tanpa sadar dia menerobos tembok bolong. Kita tidak tahu apakah Wujil benar-benar lenyap dan tidak pernah kembali dari sana.
Sementara itu nun di suatu tempat entah di mana Wujil mendapati dirinya berada di dalam sebuah gudang yang sangat luas. Di sana dia menemukan barang-barang miliknya yang dulu pernah hilang: Uang dua ratus ribu, celana jins, jaket kesayangan, sepatu kebanggaan, tas, topi, flash disk, ulekan ketoprak, ember, handphone, gunting rambut, buku-buku filsafat masa kuliah, bahkan ijazah SMA-nya yang entah berapa tahun lalu hilang di rumah kawan, dia temukan di sana.
Wujil juga bertemu dengan keponakannya yang autis yang dulu hilang di pasar malam. Dengan para aktivis yang pernah dia lihat fotonya di tembok-tembok. Wujil melihat mereka nongkrong malas-malasan sambil minum kopi. Wajah mereka kelihatannya berbahagia sekali. Ada beberapa orang lagi yang wajahnya tidak dia kenal. Dia hitung jumlahnya ada sembilan. Mungkinkah mereka yang hilang ditelan tembok bolong?
Pondok Pinang, Oktober-November 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 21 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar