Minggu, 21 Desember 2008

Tembok Bolong

Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

SEORANG lagi hilang ditelan tembok bolong. Kali ini yang jadi korban Wujil, pria yang sehari-hari berjualan ketoprak. Dia tak pernah kembali setelah menerobos masuk tembok bolong itu, meninggalkan gerobak ketopraknya yang diparkir di sisi jalan. Dua orang pembeli ketopraknya mengira Wujil sehabis kencing langsung beli rokok di warung sebelah sekalian menukar uang untuk kembalian.

Tapi tunggu punya tunggu Wujil tak muncul-muncul juga. Karena kesal menunggu, dua orang pembeli ketoprak itu akhirnya meninggalkan gerobak ketoprak Wujil. Mereka pikir biar nanti siang atau besok saja menemui Wujil di mulut perempatan tempat biasa dia mangkal untuk meminta uang kembalian.

Namun sampai besok dan besoknya lagi gerobak ketoprak Wujil masih terparkir di sisi jalan tak jauh dari tembok bolong itu karena memang Wujil tidak pernah kembali. Hari berikutnya petugas kebersihan menyingkirkan gerobak Wujil dari sana dan menganggap Wujil benar-benar hilang ditelan tembok bolong. Nori, istrinya, menangis meraung-raung, di depan gerobak ketoprak yang mengonggok bisu.

Meski penjual ketoprak Wujil selalu merasa dirinya orang terpelajar, maklumlah jelek-jelek begitu dia pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Jadi dia tidak boleh mudah percaya dengan hal-hal tak masuk akal. Tembok bolong yang bisa menelan manusia menurut Wujil tidak masuk akal. Maka selama ini Wujil tidak pernah percaya dengan kabar-kabar yang berseliweran mengenai hilangnya sejumlah orang setelah mereka memasuki tembok bolong.

Menurut kabar-kabar yang didengar Wujil dari obrolan para pembeli ketopraknya, sudah ada sembilan orang yang lenyap tak pernah kembali setelah mereka memasuki tembok bolong. Meski demikian, Wujil tidak mau berdebat dengan orang-orang yang mengobrolkan kabar tersebut sambil makan ketoprak, jualannya. Sebagai penjual yang baik, Wujil tahu bagaimana menghormati pembeli.

Wujil merasa tidak perlu membuktikan kabar-kabar tersebut dengan mencoba masuk ke tembok bolong itu misalnya. Karena kalau dia lakukan jelas itu kurang kerjaan. Meski setiap hari Wujil mendorong gerobak ketopraknya melewati jalan itu. Paling banter Wujil hanya memandangnya sekilas. Tak berminat mengamatinya lebih jauh. Apalagi terdorong untuk mencari tahu bagaimana mulanya sampai tembok tersebut bolong. Tapi kalau dilihat bentuk bolongnya yang cukup untuk ukuran tubuh orang dewasa, jelas itu ulah orang-orang yang ingin mengambil jalan pintas. Kalau mau ke hiper mall yang berada di dalam kompleks perumahan elite itu, jalan melalui tembok bolong memang jauh lebih meringkas jarak. Tidak perlu memutar mengikuti jalan raya yang jaraknya berlipat-lipat jauhnya.

Tembok itu Wujil tahu merupakan pembatas yang memisahkan kompleks perumahan mewah dengan perkampungan kumuh di sebelahnya. Memang setiap lewat jalan tersebut Wujil melihat tembok bolong itu selalu sepi. Tak pernah sekalipun tampak orang masuk atau keluar dari sana. Wajar saja karena kalau Wujil lewat di jalan itu hari masih pagi saat dia mau berangkat berjualan atau menjelang maghrib ketika dia pulang dari berjualan.

Tetapi begitulah, hampir semua pelanggan ketopraknya memercayai betul tembok bolong itu sudah banyak menelan orang dan tak pernah kembali. Jumlah korban yang sembilan orang itu adalah mereka yang mencoba menembus masuk ke kompleks perumahan mewah melalui tembok bolong tersebut. Tidak ada yang tahu apakah warga kompleks perumahan mewah di balik tembok sana juga ada yang hilang ditelan tembok bolong saat mau menerobos ke perkampungan kumuh. Mungkin tak pernah ada. Siapa yang tertarik dengan kekumuhan?

"Kalau benar menelan korban, kenapa tidak ditutup saja," ujar Wujil iseng menanggapi pembeli ketopraknya yang tampak serius mengobrolkan tembok bolong.

"Itulah, mana ada orang yang berani. Jangan-jangan sebelum menutup tembok bolong mereka duluan yang lenyap ditelan," ujar pembeli itu seraya menyuapkan ketoprak ke mulutnya.

Dari sembilan orang korban itu, bukan semuanya warga perkampungan kumuh tempat di mana Wujil ngontrak. Sebagian besar, yakni tujuh orang di antaranya justru tamu di perkampungan kumuh tersebut. Umur mereka rata-rata di atas tiga puluh. Tentu soal umur ini perkara kebetulan belaka. Di perkampungan kumuh itu Wujil memang pendatang, baru enam bulan lalu dia menikahi Nori, warga asli perkampungan kumuh tersebut.

Mendengar obrolan para pembeli ketopraknya yang kelihatannya sangat serius itu Wujil ingin tertawa, tetapi dia segera sadar tidak boleh menyinggung perasaan pembeli. Sebab, dia tak mau gara-gara hal itu ketopraknya kehilangan pelanggan. Maka Wujil hanya mengangguk-angguk menahan geli. Tapi rupanya salah seorang pembeli ketoprak tahu kalau Wujil tidak pernah percaya.

"Kenapa Abang enggak percaya?" pembeli ketoprak bertanya, menyelidik.
"Saya memang tidak percaya. Saya rasa itu cuma kabar burung yang dibesar-besarkan," cetus Wujil.
"Abang mengganggap hanya kabar burung?" kejar pembeli ketoprak, sedikit gemas.

"Iyalah Mbak, mana ada tembok bolong bisa menelan orang. Kalau ada orang masuk melalui tembok bolong itu kemudian tidak kembali, mungkin dia memang tidak mau kembali lantaran diterima bekerja dengan gaji besar di salah satu rumah mewah itu."

"Tidak mungkin, Bang. Saya istri salah satu korban yang hilang ditelan tembok bolong itu. Suami saya benar-benar tidak pernah kembali. Kami kehilangan kontak sama sekali," ujar pembeli ketoprak, tampak mulai emosi.

Mbak pembeli ketoprak itu kemudian bilang bahwa suaminya semula juga tidak percaya tembok bolong bisa menelan orang. Makanya dia penasaran ingin membuktikan. Perempuan itu sudah berkali-kali bilang tidak usah nekat. Ternyata benar, malang tak dapat ditolak untung tak bisa diraih. Suaminya benar-benar lenyap dan tak pernah kembali.

Wujil manggut-manggut, ragu. Dia mau bilang ‘bisa saja suami mbak memang sengaja meninggalkan Mbak pergi dengan perempuan lain lantaran merasa bosan dengan Mbak, tapi Wujil tahu dia tidak boleh menyakiti perasaan perempuan pembeli ketopraknya dengan kalimat seperti itu.

"Mbak tidak mencari ke kompleks perumahan mewah yang ada di balik tembok itu? Siapa tahu suami Mbak tersesat di sana, tidak bisa pulang."

Perempuan itu menggeleng perlahan. Lalu terdiam lama menahan kesedihan.

"Sudah berapa lama suami Mbak hilang?" tanya Wujil akhirnya.
"Hampir setahun yang lalu." Perempuan itu berkata dengan nada rendah dan muka murung.
"Pernah lapor polisi?"
"Saya tidak lapor polisi karena suami saya bukan diculik, melainkan ditelan tembok bolong. Mana bisa polisi melacaknya!" Perempuan itu mulai terisak.

"Mbak tahu warga kampung sini lainnya yang hilang?" Wujil bertanya lagi. Dijawab oleh pembeli ketoprak yang lain. Menurut orang itu, dia perempuan. Tetangganya yang baru pulang dari bekerja sebagai penyanyi pub. Karena tak tahan kebelet pipis perempuan itu pipis di got yang ada di balik tembok bolong. Sejak itu dia tidak pernah keluar-keluar lagi sampai sekarang.

Sementara korban lainnya mereka adalah tamu warga perkampungan sini yang mau ambil jalan memotong melalui tembok bolong itu. Mereka semua hilang lenyap bagai ditelan bumi. Keluarga mereka akhirnya menganggap mereka meninggal, yang mau tak mau harus direlakan. Lalu mereka menggelar tahlilan di rumah masing-masing supaya arwahnya tenang.

Wujil tercenung. Benaknya mulai disusupi rasa penasaran. Mungkinkah tembok bolong itu semacam segitiga bermuda yang mampu menelan orang tanpa jejak sama sekali seperti tempo hari dialami sebuah pesawat berpenumpang ratusan orang yang karam dan hilang di lautan tanpa pernah ditemukan bangkainya?
***

Sebelum hilang ditelan tembok bolong itu, Wujil memang pernah mengatakan pada istrinya bahwa suatu hari dia akan membuktikan sendiri. Hanya saja Wujil tidak pernah punya kesempatan. Bisa jadi sebenarnya dia tidak punya nyali.

"Sudahlah, Bang. Jangan macam-macam sok mau mencoba. Cari perkara itu namanya. Aku tidak mau jadi janda," kata istrinya sambil menumbuk kacang goreng untuk bumbu ketoprak.

Sekali waktu Wujil memang pernah mengamati tembok itu dengan sedikit serius. Tingginya tidak kurang dari satu setengah meter dengan puncaknya ditanami aneka macam beling yang sanggup mencelakai orang yang nekat memanjat ke sana. Belum cukup dengan beling-beling yang mencuat runcing, beberapa senti di atasnya terdapat kawat berduri. Ketebalan tembok kira-kira lima belas sentimeter, meski demikian kurang kokoh lantaran terbuat dari asbes yang tengahnya kosong. Bagian luarnya tidak dilapisi semen pula sehingga tidak terlalu sukar dijebol. Di beberapa tempat terlihat gambar penis dan kata-kata cabul dari cat semprot. Bagian yang bolong itu tidak lebar juga tidak sempit. Orang tidak perlu memiringkan tubuh dan menundukkan kepala terlalu dalam untuk lolos masuk ke sana. Kalau dilihat dari kondisinya tembok itu sudah lama bolong. Mungkin beberapa hari setelah tembok dibangun. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang menjebol tembok itu sehingga jadi bolong.

Tetapi beberapa kali Wujil hanya berdiri kira-kira dua meter di depan tembok bolong. Dari jarak tersebut, dia dapat melihat jalan kompleks perumahan yang mulus, taman yang tertata rapi, dan rumah-rumah megah dengan pagarnya yang tinggi-tinggi. Kontras sekali dengan keadaan perkampungan di sebelahnya. Ada kalanya dia melihat sekawanan anak-anak melintas menggunakan sepatu roda. Berseliweran di antara perempuan-perempuan muda--agaknya pembantu--yang tengah mendorong keranjang bayi.

Jadi pada hari lenyapnya Wujil ditelan tembok bolong itu sama sekali bukan karena dia sedang mencoba membuktikan sendiri kabar-kabar itu. Melainkan Wujil benar-benar kebingungan mencari warung mau menukarkan uang untuk kembalian. Dia melihat ada warung rokok di seberang got dibalik tembok bolong itu. Tanpa sadar dia menerobos tembok bolong. Kita tidak tahu apakah Wujil benar-benar lenyap dan tidak pernah kembali dari sana.

Sementara itu nun di suatu tempat entah di mana Wujil mendapati dirinya berada di dalam sebuah gudang yang sangat luas. Di sana dia menemukan barang-barang miliknya yang dulu pernah hilang: Uang dua ratus ribu, celana jins, jaket kesayangan, sepatu kebanggaan, tas, topi, flash disk, ulekan ketoprak, ember, handphone, gunting rambut, buku-buku filsafat masa kuliah, bahkan ijazah SMA-nya yang entah berapa tahun lalu hilang di rumah kawan, dia temukan di sana.

Wujil juga bertemu dengan keponakannya yang autis yang dulu hilang di pasar malam. Dengan para aktivis yang pernah dia lihat fotonya di tembok-tembok. Wujil melihat mereka nongkrong malas-malasan sambil minum kopi. Wajah mereka kelihatannya berbahagia sekali. Ada beberapa orang lagi yang wajahnya tidak dia kenal. Dia hitung jumlahnya ada sembilan. Mungkinkah mereka yang hilang ditelan tembok bolong?

Pondok Pinang, Oktober-November 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati