Kamis, 18 Desember 2008

Reposisi Sastra Indonesia

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun, sementara pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Dan malangnya keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan, karena sastra toh masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai asesoris. Seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia, sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Walhasil pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan “otonomi daerah”.

Dalam posisi yang “hina” dan “sepele” tersebut, memberdayakan sastra Indonesia, sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd. Kecuali kalau kita melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri. Sebuah upaya akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah mati suri itu. Karena kalau tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernafas pun tidak mampu.

Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia, membuat orang belajar tentang ilmu tata-bahasa. Mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu. Dan mau tak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghapal pengertian kata, menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantar bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan.

Tetapi, pelajaran tata-bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan pasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal, yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional seseorang, kalau tidak disertai latihan-latihan khusus, sebagaimana yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengconvert pengertian personal.

Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil mengembangkan bahasa itu menjadi kausakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya. Apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol. Sesuatu yang merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa, dikembangkan, diaplikasikan, dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang, agar dapat sampai kepada orang lain sevara akurat, dengan berbagai cara.

Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini, selalu diidentifikasi sebagai karya tulis. Karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang menon jol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Tetapi kesinambungannnya dengan ratio, pemikiran dan telaah-telaah, sudah dipreteli habis. Maka sastra menjadi penari strip tease. Penyebar keindahan, yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyik-masyukkan dan akhirnya kealpaan dan bencana.

Sastra sebagaimana di atas, kopong dan sama sekali tak ada hubungannya dengan “sastra” lagi. Dia menjadi barang komoditi yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur dan dilalah didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan masyarakat, yang menimbun lemak serta kolestrol. Dan pada gilirannya membawa masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa bodoh dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.

Sastra yang mengisi pasar itu, memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah dan psikolog, mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam mana yang menghuni suatu dekade. Lalu mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadangkala tak tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.

Tetapi kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya, apabila dipandang dari sudut kegunaan, tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan dan kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjuk kegunaan dan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.

Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara. Secara berseloroh pernah disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya (anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru, karena kepentingan mereka berbeda. Namun kekeliruan mereka kemudian menjadi hukum, karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.

Sudah terjadi kerancauan di dalam sastra Indonesia. Kerancauan yang amat mendalam. Karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tandakutip “Barat”. Tetapi itu bukan tidak penting. Karena dari kerancauan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini “tidak” dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.

Yang kita maksudkan dengan sastra, adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh tangan-tangan peneliti yang tak lain dari “pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu”. Dan itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memparkir sastra sebagai tulisan yang indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan bahasa. Tertulis ataupun tidak tertulis. Indah atau pun tidak indah.

Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat bahasa maka ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang diaturnya.

Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh pengucapan manusia. Seluruh pikir rasa dan karsa manusia, lewat bahasa yang mereka kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, pengutaraan pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.

Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makan dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekedar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling bahu-membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.

Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual, dengan bahasa sebagai mediumnya.

Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghapalan nama serta tahun-tahun, merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogyanya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika, kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu seperti: filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri dan bahkan juga ekonomi dan teologi.

Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.

Dengan memposisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkrit. Pertama: sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya, sehingga memiliki wilayah jelajah yang tak terbatas.

Kedua: sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang-surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuh. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda namun saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa, yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.

Ketiga: sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra dapat dicapai berbagai hal yang tak tergapai oleh kekerasan senjata. Dan pada gilirannnya sastra yang berpotensi, memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.

Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah cukup untuk membuat sastra berhenti tak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini merebak di mana-mana, sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk menyumbangkan andil. Karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Dan sastra dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Dan pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa itu sendiri agar lebih hidup dan lebih bermakna dalam pergaulan manusia.

Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memposisikan sastra sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi itu tak akan mungkin terjadi sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra harus tak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa, sebagaimana tersistimkan dalam pendidikan kita selama ini.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati