Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun, sementara pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Dan malangnya keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan, karena sastra toh masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai asesoris. Seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia, sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Walhasil pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan “otonomi daerah”.
Dalam posisi yang “hina” dan “sepele” tersebut, memberdayakan sastra Indonesia, sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd. Kecuali kalau kita melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri. Sebuah upaya akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah mati suri itu. Karena kalau tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernafas pun tidak mampu.
Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia, membuat orang belajar tentang ilmu tata-bahasa. Mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu. Dan mau tak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghapal pengertian kata, menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantar bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan.
Tetapi, pelajaran tata-bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan pasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal, yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional seseorang, kalau tidak disertai latihan-latihan khusus, sebagaimana yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengconvert pengertian personal.
Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil mengembangkan bahasa itu menjadi kausakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya. Apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol. Sesuatu yang merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa, dikembangkan, diaplikasikan, dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang, agar dapat sampai kepada orang lain sevara akurat, dengan berbagai cara.
Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini, selalu diidentifikasi sebagai karya tulis. Karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang menon jol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Tetapi kesinambungannnya dengan ratio, pemikiran dan telaah-telaah, sudah dipreteli habis. Maka sastra menjadi penari strip tease. Penyebar keindahan, yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyik-masyukkan dan akhirnya kealpaan dan bencana.
Sastra sebagaimana di atas, kopong dan sama sekali tak ada hubungannya dengan “sastra” lagi. Dia menjadi barang komoditi yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur dan dilalah didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan masyarakat, yang menimbun lemak serta kolestrol. Dan pada gilirannya membawa masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa bodoh dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.
Sastra yang mengisi pasar itu, memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah dan psikolog, mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam mana yang menghuni suatu dekade. Lalu mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadangkala tak tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.
Tetapi kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya, apabila dipandang dari sudut kegunaan, tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan dan kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjuk kegunaan dan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.
Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara. Secara berseloroh pernah disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya (anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru, karena kepentingan mereka berbeda. Namun kekeliruan mereka kemudian menjadi hukum, karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.
Sudah terjadi kerancauan di dalam sastra Indonesia. Kerancauan yang amat mendalam. Karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tandakutip “Barat”. Tetapi itu bukan tidak penting. Karena dari kerancauan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini “tidak” dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.
Yang kita maksudkan dengan sastra, adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh tangan-tangan peneliti yang tak lain dari “pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu”. Dan itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memparkir sastra sebagai tulisan yang indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan bahasa. Tertulis ataupun tidak tertulis. Indah atau pun tidak indah.
Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat bahasa maka ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang diaturnya.
Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh pengucapan manusia. Seluruh pikir rasa dan karsa manusia, lewat bahasa yang mereka kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, pengutaraan pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.
Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makan dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekedar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling bahu-membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.
Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual, dengan bahasa sebagai mediumnya.
Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghapalan nama serta tahun-tahun, merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogyanya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika, kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu seperti: filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri dan bahkan juga ekonomi dan teologi.
Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.
Dengan memposisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkrit. Pertama: sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya, sehingga memiliki wilayah jelajah yang tak terbatas.
Kedua: sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang-surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuh. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda namun saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa, yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.
Ketiga: sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra dapat dicapai berbagai hal yang tak tergapai oleh kekerasan senjata. Dan pada gilirannnya sastra yang berpotensi, memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.
Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah cukup untuk membuat sastra berhenti tak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini merebak di mana-mana, sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk menyumbangkan andil. Karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Dan sastra dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Dan pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa itu sendiri agar lebih hidup dan lebih bermakna dalam pergaulan manusia.
Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memposisikan sastra sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi itu tak akan mungkin terjadi sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra harus tak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa, sebagaimana tersistimkan dalam pendidikan kita selama ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar