Ria Febrina
http://www.padangekspres.co.id/
Awal mula berkenalan dengan sastra waktu itu masih di SLTP 2 Padang tahun 2001, seorang guru bertanya tentang Buya Hamka. Tak seorang pun yang bisa menjawab, termasuk saya. Kemudian, ia menerangkan bagaimana sosok Hamka, termasuk karya-karyanya yang sangat fenomenal. Setelah belajar, saya mengingat namanya dan mencari karya beliau di perpustakaan sekolah. Saya menemukan label sastra dalam novelnya yang agak tebal, 224 halaman. Penasaran dengan cerita panjang yang ditulis oleh Hamka, saya membaca hingga tuntas buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Meski banyak hal yang kurang bisa dipahami, namun ceritanya sangat menggugah perasaan, karena sebagai seorang anak yang masih ingusan, bahasa yang ditulis Hamka sangat indah dan jarang ditemui dalam bahasa yang diujarkan guru maupun dalam koran lokal yang menerbitkan halaman sastra dan budaya pada saat itu.
Berlanjutlah, bacaan saya beralih kepada bacaan yang berlabel sastra, baik kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, maupun novel. Sayang, buku sastra yang ada di sekolah hanya sedikit. Lalu, saya mencarinya di perpustakaan daerah Sumatera Barat yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Hampir setiap minggu, saya membaca beberapa buku sastra dan mulai mengenal Taufiq Ismail, Chairil Anwar dan Putu Wijaya.
Ketika beranjak SMA, nama-nama tersebut sering muncul di buku Bahasa dan Sastra Indonesia yang merupakan buku panduan belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya senang, karena lebih dahulu mengenal nama-nama mereka. Setiap ada nama-nama yang disebut sebagai sastrawan, saya mencari bukunya di perpustakaan, membaca karya mereka, melihat biografi kepengarangan mereka dan mulai mencintai dunia sastra.
Kemudian, ketika hari ini saya melihat lagi ke bawah, memperhatikan kurikulum pengajaran sastra di sekolah, saya menemukan pengajaran sastra menjadi sangat sedikit. Materi sastra dikurangi. Padahal ketika itu, saya sudah merasakan materi sastra sangat minim, karena terpaksa mencari sendiri di luar proses belajar mengajar. Sastra sangat kering di sekolah, karena guru tidak terlalu memberi perhatian lebih terhadap materi ini. Jika hari ini ada pengurangan sastra di sekolah, terbayangkan bahwa akan ada jarak antara sastra dengan pelajar sekolah. Karena perlahan, mereka meminggirkan peran karya sastra yang sangat berguna untuk mencerdaskan masyarakat itu sendiri.
***
Sastra, bagi sebagian orang dianggap sebagai tulisan yang memperjualbelikan cerita karangan (fiksi). Cerita karangan yang dibaca dalam bentuk prosa, puisi dan drama itu ditafsirkan sebagai salah satu media hiburan yang belum mampu memberikan sesuatu untuk masyarakat.
Anggapan seperti itu muncul karena pandangan masyarakat terhadap sastra masih primitif, belum mampu menjangkau hal-hal estetis dari penciptaan sebuah karangan. Apakah hal ini salah? Tentu tidak, karena masyarakat pembaca masih sangat awam dengan “bahasa dan dunia rekaan” yang diciptakan pengarang dalam karangannya. Apalagi, pembaca yang demikian tidak sempat mencicipi dunia pendidikan formal, sehingga kesalahpahaman mereka terhadap sastra semakin tajam. Akibatnya, banyak generasi sekarang mengikuti pola pokir tersebut, yang akhirnya menciptakan jurang antara karya sastra dengan masyarakat.
Seperti yang dialami di bangku sekolah, saya terpaksa belajar menemukan sendiri dunia sastra itu. Hanya ketertarikan yang memaksa saya untuk menemukan banyak bacaan sastra di luar jam belajar di sekolah. Tapi hari ini, apakah semua pelajar melakukan hal serupa?
Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak, karena tidak semua orang senang membaca bacaan sastra. Mungkin mereka senang membaca komik, cerita laga, dunia bola dan hal-hal lain yang memang patut untuk diketahui. Tetapi mengenai sastra, hampir semua orang mengenalnya hanya melalui halaman sastra dan budaya yang dimuat setiap minggu di koran mingguan lokal dan nasional. Mereka beranggapan bahwa sastra adalah tulisan yang memuat sebuah dunia rekaan yang menarik yang diciptakan seorang pengarang, dan patut dibaca karena menceritakan kehidupan orang lain. Masyarakat menikmatinya, karena dengan cerpen, puisi, dan novel, mereka memiliki pengetahuan baru mengenai orang lain.
Lalu hari ini, beragam novel bermunculan. Dari novel islami, teenlit dan novel penggugah lainnya, mulai menarik perhatian sebagian masyarakat, khususnya kaum pelajar. Mereka menikmati membaca sebagai sebuah kebutuhan. Bahkan, mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama membaca setiap buku “the best seller”, buku terlaris yang muncul saat itu. Fenomena ini sangat bagus, seperti saya yang menemukan dunia rekaan sendiri.
Tetapi sayangnya, ketika kita membahas sastra, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa setiap karya sastra yang muncul tersebut adalah dunia khayalan dari si pengarang. Dunia reka-reka, di mana si pengarang menjadi Tuhan sendiri dalam menentukan nasib tokohnya. Meskipun hal tersebut tidak salah, tetapi kemunculan anggapan seperti itu patut disayangkan. Karena sastra bukan sekedar itu saja, tetapi ada hal-hal lain yang patut diketahui, seperti objek yang menjadi perhatiannya, yaitu lingkungan sosial di mana mereka berada.
Sastra Berakar dari Lingkungan Sosial
Sastra sebagai sebuah karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari realitas kehidupan yang terjadi. Pada dasarnya, sastra adalah sebuah media yang menjembatani masyarakat untuk membahasakan apa yang terjadi di lingkungannya, yang berkaitan dengan dunia carut marut yang mereka hadapi setiap hari. Dunia yang tak lepas dari pendidikan, politik, ekonomi dan tempat di mana mereka memposisikan diri sebagai seorang warga negara. Segala sisi kehidupan itu menjadi sorotan bagi seorang pengarang. Setiap peristiwa yang terjadi dan yang mengganjal dalam pemikirannya, semua itu menjadi perhatian pengarang. Potongan demi potongan kehidupan masyarakat dijadikan dasar penciptaan baginya.
Awalnya, karya tersebut bergejolak di otak si pengarang, yang memunculkan pertanyaan, mengapa peristiwa demikian bisa terjadi? Pemikiran-pemikiran itu ditinjaunya sendiri, bahkan ia mulai memperhatikan lingkungannya, mencari sebab, lalu sebuah kemungkinan yang dapat dijadikan solusi bagi si pembaca.
Hal ini yang menjadi perbedaan antara karya sastra dan karya populer. Anggapan masyarakat yang menjadikan karya sebagai hiburan, sebenarnya adalah tujuan dari adanya karya populer. Sementara tujuan itu berbeda dengan kemunculan karya sastra. Jika kita membuat garis, karya sastra tak hanya melewati garis pertama yang bertujuan untuk menghibur pembaca. Tetapi ia melewati garis kedua, yaitu setiap karya sastra memberikan manfaat bagi masyarakat pembacanya.
Setiap pemikiran yang menjadi titik tolak bagi seorang pengarang selalu didasarkan pada pengetahuan, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca, melihat, mendengar dan merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Misalnya seperti novel Merantau ke Deli yang ditulis Hamka. Di dalam novel digambarkan bahwa laki-laki Minang yang menikah dengan perempuan di luar kebudayaannya, seperti dinikahkan dengan perempuan Jawa, maka ia akan dinikahkan kembali dengan perempuan yang sama-sama berasal dari Minang. Tujuannya untuk menjelaskan kedudukannya di dalam lingkungan masyarakat Minang, seperti posisinya sebagai seorang anak, mamak dan anggota masyarakat. Dan apakah semua laki-laki Minangkabau seperti itu?
Tentu tidak, karena Hamka menulis novel ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lingkungannya. Dengan adanya novel ini, Hamka ingin memberikan kemungkinan, bahwa masih ada masyarakat Minangkabau yang berpikiran demikian. Namun, Hamka juga memunculkan kemungkinan lain bahwa tidak saatnya lagi jika hari ini masih ada masyarakat yang menyandang pemikiran tersebut. Ada dunia kemungkinan yang bisa dipelajari pembaca, yang bisa dijadikannya sebagai media untuk mengenal kebudayaan dan masyarakat yang diceritakan oleh pengarang.
Bertolak dari contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa karya tak lahir dari khayalan atau dari kekosongan semata, seperti yang diungkapkan A. Teeuw, seorang ahli sastra. Ia mengatakan setiap karya sastra lahir karena adanya peristiwa yang menjadi sebab dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Seorang pengarang mengambil satu sisi kehidupan yang dianggapnya patut diperbincangkan, lalu dengan pemikiran dan kreatifitasnya, ide-ide tersebut disejajarkan dengan kejadian di dunia keseharian yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Dalam hal ini, seorang pengarang bertugas memberikan kemungkinan, apa yang terbaik untuk dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tampak bahwa sastra berakar dari lingkungan sosial, di mana masyarakatnya saling berhubungan dan membentuk interaksi di dalamnya.
Sastra Masih Berdiri di Belakang
Problemnya, pemahaman seperti ini belum dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Hanya masyarakat pembaca yang menaruh perhatiannya kepada bacaan sastra saja yang mampu menembus pemikiran demikian. Sehingga, jurang antara karya sastra dan masyarakat semakin melebar. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah usaha untuk mendekatkan kembali masyarakat dengan sastra.
Belajar dari pengalaman saya dalam mengenal dunia sastra, bahwa salah satu sarana paling efektif untuk menyebarkan pengetahuan sastra secara serentak kepada masyarakat adalah melalui pengajaran sastra di sekolah. Di dalam kurikulum harus dimasukkan materi sastra, di samping pelajar mempelajari bahasa Indonesia itu sendiri. Mereka akan diajarkan mengenal dunia masyarakat melalui karya-karya sastra yang ada. Mereka juga akan mengenal bagaimana dunia kepengarangan seorang penulis, dan belajar bagaimana nantinya mereka akan menghadapi masyarakat melalui bacaan-bacaan yang ada.
Dan salah satu keuntungan dari adanya pendekatan sastra dengan pelajar adalah mereka dibiasakan untuk membaca, membaca dan membaca. Harapan untuk membuka cakrawala mereka pun berwujud nyata. Seorang pelajar tak hanya ditimpa pengetahuan ilmiah, tetapi juga dibuat peka terhadap sosial lingkungan yang ada di sekitar mereka.
Dan lihat saja, ketika hari ini, media massa cetak dan elektronik memuat halaman sastra dan budaya. Mulai tampak adanya partisipasi pelajar untuk ikut serta di dalamnya, baik untuk menulis puisi atau cerita pendek. Hal ini tak lepas dari usaha sastra untuk mengajak pelajar memperhatikan lingkungan sekitar, dan dengan kreatifitas yang ada menciptakan dunia kemungkinan atau dunia rekaan sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Artinya, ada kerinduan dari pelajar untuk menikmati sastra secara bimbingan. Bahwa di dalam kurikulum sekolah, sastra juga penting bagi perkembangan psikologi dan sosial mereka.
Keinginan untuk mewujudkan harapan ini juga tak lepas dari kehadiran karya sastra yang hari ini membanjir, menuntut kesediaan pembaca untuk mengapresiasikan dan menilai bagaimana hasil kerja dari pengarang. Hal ini juga tak lepas dari harapan untuk meminimalisir jurang antara karya sastra dengan masyarakat pembaca. Sudahnya saatnya sastra berdiri di depan, meluruskan opini masyarakat terhadap perkembangan sastra itu sendiri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar