Rabu, 03 Desember 2008

Ketika Sastra Masih Kering Di Sekolah

Ria Febrina
http://www.padangekspres.co.id/

Awal mula berkenalan dengan sastra waktu itu masih di SLTP 2 Padang tahun 2001, seorang guru bertanya tentang Buya Hamka. Tak seorang pun yang bisa menjawab, termasuk saya. Kemudian, ia menerangkan bagaimana sosok Hamka, termasuk karya-karyanya yang sangat fenomenal. Setelah belajar, saya mengingat namanya dan mencari karya beliau di perpustakaan sekolah. Saya menemukan label sastra dalam novelnya yang agak tebal, 224 halaman. Penasaran dengan cerita panjang yang ditulis oleh Hamka, saya membaca hingga tuntas buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Meski banyak hal yang kurang bisa dipahami, namun ceritanya sangat menggugah perasaan, karena sebagai seorang anak yang masih ingusan, bahasa yang ditulis Hamka sangat indah dan jarang ditemui dalam bahasa yang diujarkan guru maupun dalam koran lokal yang menerbitkan halaman sastra dan budaya pada saat itu.

Berlanjutlah, bacaan saya beralih kepada bacaan yang berlabel sastra, baik kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, maupun novel. Sayang, buku sastra yang ada di sekolah hanya sedikit. Lalu, saya mencarinya di perpustakaan daerah Sumatera Barat yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Hampir setiap minggu, saya membaca beberapa buku sastra dan mulai mengenal Taufiq Ismail, Chairil Anwar dan Putu Wijaya.

Ketika beranjak SMA, nama-nama tersebut sering muncul di buku Bahasa dan Sastra Indonesia yang merupakan buku panduan belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya senang, karena lebih dahulu mengenal nama-nama mereka. Setiap ada nama-nama yang disebut sebagai sastrawan, saya mencari bukunya di perpustakaan, membaca karya mereka, melihat biografi kepengarangan mereka dan mulai mencintai dunia sastra.

Kemudian, ketika hari ini saya melihat lagi ke bawah, memperhatikan kurikulum pengajaran sastra di sekolah, saya menemukan pengajaran sastra menjadi sangat sedikit. Materi sastra dikurangi. Padahal ketika itu, saya sudah merasakan materi sastra sangat minim, karena terpaksa mencari sendiri di luar proses belajar mengajar. Sastra sangat kering di sekolah, karena guru tidak terlalu memberi perhatian lebih terhadap materi ini. Jika hari ini ada pengurangan sastra di sekolah, terbayangkan bahwa akan ada jarak antara sastra dengan pelajar sekolah. Karena perlahan, mereka meminggirkan peran karya sastra yang sangat berguna untuk mencerdaskan masyarakat itu sendiri.
***

Sastra, bagi sebagian orang dianggap sebagai tulisan yang memperjualbelikan cerita karangan (fiksi). Cerita karangan yang dibaca dalam bentuk prosa, puisi dan drama itu ditafsirkan sebagai salah satu media hiburan yang belum mampu memberikan sesuatu untuk masyarakat.

Anggapan seperti itu muncul karena pandangan masyarakat terhadap sastra masih primitif, belum mampu menjangkau hal-hal estetis dari penciptaan sebuah karangan. Apakah hal ini salah? Tentu tidak, karena masyarakat pembaca masih sangat awam dengan “bahasa dan dunia rekaan” yang diciptakan pengarang dalam karangannya. Apalagi, pembaca yang demikian tidak sempat mencicipi dunia pendidikan formal, sehingga kesalahpahaman mereka terhadap sastra semakin tajam. Akibatnya, banyak generasi sekarang mengikuti pola pokir tersebut, yang akhirnya menciptakan jurang antara karya sastra dengan masyarakat.

Seperti yang dialami di bangku sekolah, saya terpaksa belajar menemukan sendiri dunia sastra itu. Hanya ketertarikan yang memaksa saya untuk menemukan banyak bacaan sastra di luar jam belajar di sekolah. Tapi hari ini, apakah semua pelajar melakukan hal serupa?

Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak, karena tidak semua orang senang membaca bacaan sastra. Mungkin mereka senang membaca komik, cerita laga, dunia bola dan hal-hal lain yang memang patut untuk diketahui. Tetapi mengenai sastra, hampir semua orang mengenalnya hanya melalui halaman sastra dan budaya yang dimuat setiap minggu di koran mingguan lokal dan nasional. Mereka beranggapan bahwa sastra adalah tulisan yang memuat sebuah dunia rekaan yang menarik yang diciptakan seorang pengarang, dan patut dibaca karena menceritakan kehidupan orang lain. Masyarakat menikmatinya, karena dengan cerpen, puisi, dan novel, mereka memiliki pengetahuan baru mengenai orang lain.

Lalu hari ini, beragam novel bermunculan. Dari novel islami, teenlit dan novel penggugah lainnya, mulai menarik perhatian sebagian masyarakat, khususnya kaum pelajar. Mereka menikmati membaca sebagai sebuah kebutuhan. Bahkan, mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama membaca setiap buku “the best seller”, buku terlaris yang muncul saat itu. Fenomena ini sangat bagus, seperti saya yang menemukan dunia rekaan sendiri.

Tetapi sayangnya, ketika kita membahas sastra, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa setiap karya sastra yang muncul tersebut adalah dunia khayalan dari si pengarang. Dunia reka-reka, di mana si pengarang menjadi Tuhan sendiri dalam menentukan nasib tokohnya. Meskipun hal tersebut tidak salah, tetapi kemunculan anggapan seperti itu patut disayangkan. Karena sastra bukan sekedar itu saja, tetapi ada hal-hal lain yang patut diketahui, seperti objek yang menjadi perhatiannya, yaitu lingkungan sosial di mana mereka berada.

Sastra Berakar dari Lingkungan Sosial

Sastra sebagai sebuah karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari realitas kehidupan yang terjadi. Pada dasarnya, sastra adalah sebuah media yang menjembatani masyarakat untuk membahasakan apa yang terjadi di lingkungannya, yang berkaitan dengan dunia carut marut yang mereka hadapi setiap hari. Dunia yang tak lepas dari pendidikan, politik, ekonomi dan tempat di mana mereka memposisikan diri sebagai seorang warga negara. Segala sisi kehidupan itu menjadi sorotan bagi seorang pengarang. Setiap peristiwa yang terjadi dan yang mengganjal dalam pemikirannya, semua itu menjadi perhatian pengarang. Potongan demi potongan kehidupan masyarakat dijadikan dasar penciptaan baginya.

Awalnya, karya tersebut bergejolak di otak si pengarang, yang memunculkan pertanyaan, mengapa peristiwa demikian bisa terjadi? Pemikiran-pemikiran itu ditinjaunya sendiri, bahkan ia mulai memperhatikan lingkungannya, mencari sebab, lalu sebuah kemungkinan yang dapat dijadikan solusi bagi si pembaca.

Hal ini yang menjadi perbedaan antara karya sastra dan karya populer. Anggapan masyarakat yang menjadikan karya sebagai hiburan, sebenarnya adalah tujuan dari adanya karya populer. Sementara tujuan itu berbeda dengan kemunculan karya sastra. Jika kita membuat garis, karya sastra tak hanya melewati garis pertama yang bertujuan untuk menghibur pembaca. Tetapi ia melewati garis kedua, yaitu setiap karya sastra memberikan manfaat bagi masyarakat pembacanya.

Setiap pemikiran yang menjadi titik tolak bagi seorang pengarang selalu didasarkan pada pengetahuan, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca, melihat, mendengar dan merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Misalnya seperti novel Merantau ke Deli yang ditulis Hamka. Di dalam novel digambarkan bahwa laki-laki Minang yang menikah dengan perempuan di luar kebudayaannya, seperti dinikahkan dengan perempuan Jawa, maka ia akan dinikahkan kembali dengan perempuan yang sama-sama berasal dari Minang. Tujuannya untuk menjelaskan kedudukannya di dalam lingkungan masyarakat Minang, seperti posisinya sebagai seorang anak, mamak dan anggota masyarakat. Dan apakah semua laki-laki Minangkabau seperti itu?

Tentu tidak, karena Hamka menulis novel ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lingkungannya. Dengan adanya novel ini, Hamka ingin memberikan kemungkinan, bahwa masih ada masyarakat Minangkabau yang berpikiran demikian. Namun, Hamka juga memunculkan kemungkinan lain bahwa tidak saatnya lagi jika hari ini masih ada masyarakat yang menyandang pemikiran tersebut. Ada dunia kemungkinan yang bisa dipelajari pembaca, yang bisa dijadikannya sebagai media untuk mengenal kebudayaan dan masyarakat yang diceritakan oleh pengarang.

Bertolak dari contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa karya tak lahir dari khayalan atau dari kekosongan semata, seperti yang diungkapkan A. Teeuw, seorang ahli sastra. Ia mengatakan setiap karya sastra lahir karena adanya peristiwa yang menjadi sebab dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Seorang pengarang mengambil satu sisi kehidupan yang dianggapnya patut diperbincangkan, lalu dengan pemikiran dan kreatifitasnya, ide-ide tersebut disejajarkan dengan kejadian di dunia keseharian yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Dalam hal ini, seorang pengarang bertugas memberikan kemungkinan, apa yang terbaik untuk dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tampak bahwa sastra berakar dari lingkungan sosial, di mana masyarakatnya saling berhubungan dan membentuk interaksi di dalamnya.

Sastra Masih Berdiri di Belakang

Problemnya, pemahaman seperti ini belum dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Hanya masyarakat pembaca yang menaruh perhatiannya kepada bacaan sastra saja yang mampu menembus pemikiran demikian. Sehingga, jurang antara karya sastra dan masyarakat semakin melebar. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah usaha untuk mendekatkan kembali masyarakat dengan sastra.

Belajar dari pengalaman saya dalam mengenal dunia sastra, bahwa salah satu sarana paling efektif untuk menyebarkan pengetahuan sastra secara serentak kepada masyarakat adalah melalui pengajaran sastra di sekolah. Di dalam kurikulum harus dimasukkan materi sastra, di samping pelajar mempelajari bahasa Indonesia itu sendiri. Mereka akan diajarkan mengenal dunia masyarakat melalui karya-karya sastra yang ada. Mereka juga akan mengenal bagaimana dunia kepengarangan seorang penulis, dan belajar bagaimana nantinya mereka akan menghadapi masyarakat melalui bacaan-bacaan yang ada.

Dan salah satu keuntungan dari adanya pendekatan sastra dengan pelajar adalah mereka dibiasakan untuk membaca, membaca dan membaca. Harapan untuk membuka cakrawala mereka pun berwujud nyata. Seorang pelajar tak hanya ditimpa pengetahuan ilmiah, tetapi juga dibuat peka terhadap sosial lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Dan lihat saja, ketika hari ini, media massa cetak dan elektronik memuat halaman sastra dan budaya. Mulai tampak adanya partisipasi pelajar untuk ikut serta di dalamnya, baik untuk menulis puisi atau cerita pendek. Hal ini tak lepas dari usaha sastra untuk mengajak pelajar memperhatikan lingkungan sekitar, dan dengan kreatifitas yang ada menciptakan dunia kemungkinan atau dunia rekaan sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Artinya, ada kerinduan dari pelajar untuk menikmati sastra secara bimbingan. Bahwa di dalam kurikulum sekolah, sastra juga penting bagi perkembangan psikologi dan sosial mereka.

Keinginan untuk mewujudkan harapan ini juga tak lepas dari kehadiran karya sastra yang hari ini membanjir, menuntut kesediaan pembaca untuk mengapresiasikan dan menilai bagaimana hasil kerja dari pengarang. Hal ini juga tak lepas dari harapan untuk meminimalisir jurang antara karya sastra dengan masyarakat pembaca. Sudahnya saatnya sastra berdiri di depan, meluruskan opini masyarakat terhadap perkembangan sastra itu sendiri.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati