Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Fakta dan fiksi sering kali dipahami secara serampangan. Akibatnya, pemaknaan atas keduanya terjerumus pada kekeliruan yang fatal. Tidak jarang pula, fakta dianggap sebagai saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan, segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar.
Lalu apakah fakta yang tidak benar itu dapat dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung dari cara pengolahan fakta itu, bagaimana dan untuk tujuan apa ia menyampaikannya. Jika tujuannya menipu, ngapusi, maka itulah kebohongan. Ia bukan fiksi. Tetapi, jika fakta itu mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan imajiner, maka itulah yang disebut fiksi. Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat faktual, melainkan fiksional.
Demikian dalam fiksi sedikitnya mesti terkandung kebenaran faktual dan kecanggihan fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau yang mungkin ada dan menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat bingkai estetik.Tanpa itu, ia hanya akan jadi karya rekaan murahan yang lebih suka masuk keranjang sampah daripada menjadi karya agung. Dengan kesadaran itu pula, paling sedikit, ia akan menjadi karya yang memberikan kontribusi bagi pemerkayaan intelektualitas, moralitas dan nilai kemanusiaan.
***
Dalam dunia sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi sering kali berada dalam batas yang begitu tipis. Sebab, tidak sedikit karya sastra yang secara sadar coba mengangkat fakta atau peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada karya sejarah. Oleh karena itulah, dalam beberapa hal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan hakikat sejarah, betapapun dunia dalam karya sastra tak selalu mengangkat peristiwa masa lalu. Tetapi, mengingat karya sastra dan sejarah, keduanya bersumber dari peristiwa atau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi, maka karya sastra dan sejarah menempatkan dirinya sebagai karya yang merekam peristiwa. Ia lalu jadi sebuah dokumen atau catatan tentang seseorang, bangunan, peristiwa, atau apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.
Masalahnya begini: bahwa begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia menjadi catatan mengenai peristiwa masa lalu. Ia menjadi sebuah dokumen tentang berbagai hal yang sudah terjadi. Karena catatan itu dilahirkan lewat proses panjang pengamatan, perenungan, penghayatan, dan pengevaluasian pengarang atau sejarawan, maka ia kemudian menjadi sebuah rekaman gagasan pengarangnya yang juga menjadi bagian dari masa lalu itu.
Mengingat dunia dalam karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra merupakan dokumen yang mencatat realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan pemikiran subjektif pengarang. Dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Umar Junus (1989: 72-75) pengertian karya sastra sebagai refleksi realitas, tidak sekadar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Di dalamnya termasuk juga realitas filsafat, psikologi dan sosial (Ann Jefferson dan David Robey, 1982: 1516) atau catatan mengenai realitas yang oleh Jan van Luxemburg, dkk. (1989: 11-12) disebut teks referensial.
Sesuai dengan anggapan bahwa sebuah karya (sastra) adalah ciptaan pengarang yang tidak terlepas dari kreasi imajinatif, maka pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan di dalam pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah melalui proses pengamatan, perenungan, penghayatan dan penilaian itu, kemudian dibaluri sedemikian rupa oleh kekuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi realitas imajinatif.
Demikianlah, pemikiran yang menguasai penciptaan itu, tidak lain adalah pemahaman pengarang atas kehidupan di sekelilingnya yang lalu direfleksikan melalui karyanya. Dengan begitu, pemikiran itu sekaligus merupakan pantulan pengalaman pengarang dalam kehidupan masa lalunya. Ia berkaitan erat dengan situasi sosial zamannya saat karya itu dilahirkan.
Sungguhpun demikian, mengingat karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarangnya, maka sebagai sumber sejarah karya sastra termasuk sumber yang sulit dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. "Tak ada kejadian atau peristiwa, sebagai bagian dari mata rantai sejarah yang bisa direkonstruksikan dari novel (baca: sastra),” demikian pendapat yang dikemukakan Taufik Abdullah (1983: 503). Dikatakannya, ada dua hal penting yang dapat disampaikan novel (sastra). Pertama, sastra dapat memberikan pantulan-pantulan tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaan, dan orientasi pengarangnya. Kedua, sastra dapat pula memperlihatkan bagaimana bekerjanya suatu bentuk struktural dari situasi historis tertentu dari lingkungan penciptanya.... (Abdullah, 1983: 503-506).
Dalam konteks itu, pendekatan ekstrinsik atau usaha menggali makna ekstrinsikalitas karya sastra (novel) memberi peluang untuk lebih memahami pemikiran pengarangnya dalam hubungan dengan situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Menyitir pendapat Grebstein (1968:160-165) yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1979:3) bahwa pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu sendiri tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Dalam haì ini, pendekatan kesejarahan akan sangat penting artinya sebagai salah satu usaha memahami (dan memaknai) pemikiran pengarangnya sesuai dengan situasi zamannya.
***
Dibandingkan sejarawan, sastrawan sebenarnya mempunyai ruang yang lebih leluasa ketika ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang masa lalu. Secara subjektif, ia dapat memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga dapat menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah. Jadi, sastrawan bisa saja menjadikan fakta dan peristiwa sejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya, tetapi ia juga dapat memanfaatkan fakta dan peristiwa sejarah untuk menyampaikan catatan kritisnya atau untuk mengungkapkan peristiwa yang mungkin terluput dari catatan sejarah. Lantaran ia juga menyodorkan sesuatu, maka apa yang disampaikan pengarang tentang peristiwa sejarah itu, sesungguhnya dalam kerangka melihat kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Jadi, ia juga menempatkan peristiwa sejarah sebagai latar depannya.
Dilihat dari proses, cara dan tujuan mengangkat peristiwa masa lalu, sastrawan juga lebih bebas karena ia tidak terikat tuntutan metodologis, sebagaimana yang harus dijalankan seorang sejarawan. Berbagai peristiwa itu, bisa saja disampaikan secara kronologis, tetapi bisa juga tidak. Rekonstruksi peristiwa masa lalu yang oleh sejarawan mesti disusun secara objektif dan sistematik, taat mengikuti prosedur, menjaga ketertiban dalam menempatkan ruang dan waktu, konsisten terhadap persoalan yang menyangkut topografi dan kronologi peristiwa, maka bagi sastrawan, hal tersebut sama sekali tak mengikat kebebasan kreatifnya.
Masalah tersebut tentu saja berkaitan erat dengan usaha penafsiran dan pemaknaan sastrawan terhadap segala peristiwa itu. Oleh karena itu, hasilnya dapat menjadi sesuatu yang sangat subjektif. Segala peristiwa yang semula dapat diperlakukan objektif dan dapat diverifikasi (objective-verifiable) menjadi subjektif-emosional (subjective-emotional).
Demikian pula dalam soal mengangkat fakta sejarah, sastrawan sekadar berusaha membuat sebuah struktur yang koheren, tanpa harus mempertanggungjawabkan kebenaran fakta dan prosedur (ilmiah) yang digunakannya. Jadi, jika fakta yang disampaikan sejarawan harus dapat diverifikasi kebenarannya, maka hal itu tidak berlaku bagi sastrawan. Di situlah fakta dalam karya sastra bersifat fiktif, karena peristiwa yang semula faktual telah berubah menjadi fiksional. Dengan begitu, ia sama sekali tidak menyodorkan kebohongan faktual, melainkan justru menyajikan kebenaran fiksional.
***
Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan antara fakta dan fiksi yang secara langsung implikasinya memberi garis demarkasi pada posisi sejarawan dan sastrawan, maka peranan keduanya sesungguhnya bersifat komplementer; saling melengkapi. Keduanya berada di kotak yang berbeda, semata-mata karena cara, prosedur, proses, dan tujuan dalam pengolahan faktanya, sejatinya memang berbeda. Tentu saja, karya yang dihasilkannya juga berbeda. Jadi, kelirulah anggapan masyarakat selama ini bahwa sastrawan sebagai penghayal, pembual, dan pekerjaannya sebagai profesi yang tak penting. Sebab, fakta yang direkayasa sastrawan menjadi fiksi bukanlah untuk ngapusi dan melakukan manipulasi, tetapi justru untuk memberi penyadaran atas nilai-nilai kemanusiaan dengan menyuguhkan keindahan estetik. Jadi, profesi apapun, sejauh itu bermaksud mengangkat martabat manusia dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, sejauh itu pula ia mestiu ditempatkan secara proporsional dan dalam kedudukannya yang sederajat.
(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)
Perhatikan bagan berikut ini yang memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara karya sastra dan karya sejarah.
SASTRA // SEJARAH
1. Merekam masa lalu, mencatat masa kini, //1. Merekam masa lalu
meramal masa depan
2. Merekonstruksi secara subjektif //2. Merekonstruksi secara objektif
3. Menyusun struktur secara koheren // 3. Menyusun peristiwa secara kronologis
4. Peristiwa yang disampaikan disesuaikan //4. Peristiwa disajikan secara sistematik
dengan kebutuhan cerita sesuai prosedur
5. Fakta dalam sastra bersifat fiksional. //5. Fakta dalam sejarah bersifat faktual
6. Fakta tidak harus dapat diverifikasi //6. Fakta harus dapat diverifikasi
7. Fakta berada dalam keadaan serba // 7. Fakta berada dalam satu kemungkin- mungkin an: benar atau salah.
8. Memanfaatkan imajinasi secara maksimal //8. Memanfaatkan imajinasi untuk me-
untuk membangun koherensi nyusun peristiwa secara sistematik,
koheren, dan logis.
9. Mengangkat peristiwa individual // 9. Mengangkat peristiwa besar.
Peristiwa individual yang berdampak
massal atau berpengaruh besar
10. Pemaknaan di balik peristiwa // 10. Pemaknaan di balik peristiwa dan dampak pengaruh bagi masyarakat
11. Multi-interpretasi (multitafsir) // 11. Mono-interpretasi (tafsir tunggal)
12. Bahasa konotatif (implisit) //12. Bahasa denotatif (eksplisit)
Dengan memperhatikan perbedaan dan persamaan karya sastra dan sejarah, maka kita dapat menempatkan pendekatan kesejarahan atau kritik historis dalam kotaknya sendiri yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain. Sebagai langkah awal untuk memperoleh gambaran mengenai pendekatan atau kritik historis, berikut ini kita memasuki pembicaraan mengenai hal tersebut.
***
Pendekatan historis dalam kritik sastra (Barat) dalam praktiknya telah mempunyai sejarahnya sendiri dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada abad ke-17, John Dryden (1631--1700), yang oleh banyak kritikus sesudahnya dipandang sebagai Bapak Kritik Sastra Inggris, mengangkat pentingnya pendekatan historis. Dalam esainya yang terkenal An Essay of Dramatic Poesy (Esai tentang Puisi Dramatik, 1668), Dryden mengatakan, “Keunggulan suatu zaman seyogianya ditinjau dari sudut sejarah, sebab setiap zaman hakikatnya adalah juru bicara bagi zamannya.” Selanjutnya ia menyarankan, bahwa untuk memberi penilaian yang pas untuk masa kini, kita harus membandingkannya dengan masa lalu. Dalam hal itu, Dryden hendak menekankan pentingnya metode kritis yang bersifat historis dan komparatif.
Gagasan Dryden selanjutnya dikembangkan oleh penerusnya, Samuel Johnson (1709-1784). Pengalaman, wawasan, dan pengaruhnya yang luas telah menempatkannya sebagai kritikus Inggris yang sangat berwibawa pada zamannya. Dalam pembicaraannya mengenai “Riwayat Sang Penyair” (Lives of the Poets), Johnson menekankan bahwa sastra mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Dalam hal ini, latar belakang historis sang penyair dan masyarakat yang melingkarinya, sering kali sangat mempengaruhi hasil cipta sastra. “Karya cipta setiap pengarang, jika dicermati benar, hendaknya dibandingkan dengan keadaan zamannya. Dan ‘Riwayat Hidup Penyair’ adalah teladan dan contoh yang baik untuk menjelaskan duduk perkara masalah tersebut.” Jadi, untuk mencermati sebuah cipta sastra, tidak dapat lain, peneliti mesti juga mempelajari biografi pengarangnya.
Pendekatan historis mulai memperoleh bentuknya yang lebih jelas sebagai sebuah metode kritik terjadi lewat kritikus Perancis, Charles Augustin Sainte-Beuve (1804--1869). Belakangan, Hippolyte-Adolphe Taine (1828--1893) yang dalam pengertian sebagai murid Sainte-Beuve, mengembangkan metode historis dalam kritik sastra lebih jauh lewat inspirasi yang diperolehnya dari ilmu-ilmu alam.
Pengaruh rasionalisme yang begitu luas dan meningkatnya semangat ilmiah dalam berbagai disiplin pada masa itu, telah ikut membentuk pandangan kedua tokoh tersebut terhadap kesusastraan. Bagi Sainte-Beuve, karya sastra adalah pengucapan jiwa seorang pribadi yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan dan sejarahnya. Oleh karena itu, tugas kritik sastra adalah melakukan penyelidikan terhadap pengaruh-pengaruh yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra.
Secara konsisten Sainte-Beuve menerapkan pendekatan biografis. Sastra sama sekali tidak terpisahkan dari manusia dan alamnya. Menurutnya, sastra sebagai pengetahuan orang itu sendiri (pengarangnya). “Saya cenderung mengatakan,” demikian Sainte-Beuve, “seperti apa pohonnya, seperti itu pula buahnya” (tel abre, tel fruit).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar