Jumat, 05 Desember 2008

FAKTA DAN FIKSI : PERTALIAN SASTRA DAN SEJARAH

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Fakta dan fiksi sering kali dipahami secara serampangan. Akibatnya, pemaknaan atas keduanya terjerumus pada kekeliruan yang fatal. Tidak jarang pula, fakta dianggap sebagai saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan, segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar.

Lalu apakah fakta yang tidak benar itu dapat dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung dari cara pengolahan fakta itu, bagaimana dan untuk tujuan apa ia menyampaikannya. Jika tujuannya menipu, ngapusi, maka itulah kebohongan. Ia bukan fiksi. Tetapi, jika fakta itu mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan imajiner, maka itulah yang disebut fiksi. Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat faktual, melainkan fiksional.

Demikian dalam fiksi sedikitnya mesti terkandung kebenaran faktual dan kecanggihan fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau yang mungkin ada dan menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat bingkai estetik.Tanpa itu, ia hanya akan jadi karya rekaan murahan yang lebih suka masuk keranjang sampah daripada menjadi karya agung. Dengan kesadaran itu pula, paling sedikit, ia akan menjadi karya yang memberikan kontribusi bagi pemerkayaan intelektualitas, moralitas dan nilai kemanusiaan.
***

Dalam dunia sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi sering kali berada dalam batas yang begitu tipis. Sebab, tidak sedikit karya sastra yang secara sadar coba mengangkat fakta atau peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada karya sejarah. Oleh karena itulah, dalam beberapa hal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan hakikat sejarah, betapapun dunia dalam karya sastra tak selalu mengangkat peristiwa masa lalu. Tetapi, mengingat karya sastra dan sejarah, keduanya bersumber dari peristiwa atau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi, maka karya sastra dan sejarah menempatkan dirinya sebagai karya yang merekam peristiwa. Ia lalu jadi sebuah dokumen atau catatan tentang seseorang, bangunan, peristiwa, atau apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.

Masalahnya begini: bahwa begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia menjadi catatan mengenai peristiwa masa lalu. Ia menjadi sebuah dokumen tentang berbagai hal yang sudah terjadi. Karena catatan itu dilahirkan lewat proses panjang pengamatan, perenungan, penghayatan, dan pengevaluasian pengarang atau sejarawan, maka ia kemudian menjadi sebuah rekaman gagasan pengarangnya yang juga menjadi bagian dari masa lalu itu.

Mengingat dunia dalam karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra merupakan dokumen yang mencatat realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan pemikiran subjektif pengarang. Dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Umar Junus (1989: 72­-75) pengertian karya sastra sebagai refleksi realitas, tidak sekadar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Di dalamnya termasuk juga realitas filsafat, psikologi dan sosial (Ann Jefferson dan David Robey, 1982: 15­16) atau catatan mengenai realitas yang oleh Jan van Luxemburg, dkk. (1989: 11-12) disebut teks referensial.

Sesuai dengan anggapan bahwa sebuah karya (sastra) adalah ciptaan pengarang yang tidak terlepas dari kreasi imajinatif, maka pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan di dalam pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah melalui proses pengamatan, perenungan, penghayatan dan penilaian itu, kemudian dibaluri sedemikian rupa oleh kekuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi realitas imajinatif.

Demikianlah, pemikiran yang menguasai penciptaan itu, tidak lain adalah pemahaman pengarang atas kehidupan di sekelilingnya yang lalu direfleksikan melalui karyanya. Dengan begitu, pemikiran itu sekaligus merupakan pantulan pengalaman pengarang dalam kehidupan masa lalunya. Ia berkaitan erat dengan situasi sosial zamannya saat karya itu dilahirkan.

Sungguhpun demikian, mengingat karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarangnya, maka sebagai sumber sejarah karya sastra termasuk sumber yang sulit dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. "Tak ada kejadian atau peristiwa, sebagai bagian dari mata rantai sejarah yang bisa direkonstruksikan dari novel (baca: sastra),” demikian pendapat yang dikemukakan Taufik Abdullah (1983: 503). Dikatakannya, ada dua hal penting yang dapat disampaikan novel (sastra). Pertama, sastra dapat memberikan pantulan-pantulan tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaan, dan orientasi pengarangnya. Kedua, sastra dapat pula memperlihatkan bagaimana bekerjanya suatu bentuk struktural dari situasi historis tertentu dari lingkungan penciptanya.... (Abdullah, 1983: 503-506).

Dalam konteks itu, pendekatan ekstrinsik atau usaha menggali makna ekstrinsikalitas karya sastra (novel) memberi peluang untuk lebih memahami pemikiran pengarangnya dalam hubungan dengan situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Menyitir pendapat Grebstein (1968:160­-165) yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1979:3) bahwa pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu sendiri tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Dalam haì ini, pendekatan kesejarahan akan sangat penting artinya sebagai salah satu usaha memahami (dan memaknai) pemikiran pengarangnya sesuai dengan situasi zamannya.
***

Dibandingkan sejarawan, sastrawan sebenarnya mempunyai ruang yang lebih leluasa ketika ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang masa lalu. Secara subjektif, ia dapat memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga dapat menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah. Jadi, sastrawan bisa saja menjadikan fakta dan peristiwa sejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya, tetapi ia juga dapat memanfaatkan fakta dan peristiwa sejarah untuk menyampaikan catatan kritisnya atau untuk mengungkapkan peristiwa yang mungkin terluput dari catatan sejarah. Lantaran ia juga menyodorkan sesuatu, maka apa yang disampaikan pengarang tentang peristiwa sejarah itu, sesungguhnya dalam kerangka melihat kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Jadi, ia juga menempatkan peristiwa sejarah sebagai latar depannya.

Dilihat dari proses, cara dan tujuan mengangkat peristiwa masa lalu, sastrawan juga lebih bebas karena ia tidak terikat tuntutan metodologis, sebagaimana yang harus dijalankan seorang sejarawan. Berbagai peristiwa itu, bisa saja disampaikan secara kronologis, tetapi bisa juga tidak. Rekonstruksi peristiwa masa lalu yang oleh sejarawan mesti disusun secara objektif dan sistematik, taat mengikuti prosedur, menjaga ketertiban dalam menempatkan ruang dan waktu, konsisten terhadap persoalan yang menyangkut topografi dan kronologi peristiwa, maka bagi sastrawan, hal tersebut sama sekali tak mengikat kebebasan kreatifnya.

Masalah tersebut tentu saja berkaitan erat dengan usaha penafsiran dan pemaknaan sastrawan terhadap segala peristiwa itu. Oleh karena itu, hasilnya dapat menjadi sesuatu yang sangat subjektif. Segala peristiwa yang semula dapat diperlakukan objektif dan dapat diverifikasi (objective-verifiable) menjadi subjektif-emosional (subjective-emotional).

Demikian pula dalam soal mengangkat fakta sejarah, sastrawan sekadar berusaha membuat sebuah struktur yang koheren, tanpa harus mempertanggungjawabkan kebenaran fakta dan prosedur (ilmiah) yang digunakannya. Jadi, jika fakta yang disampaikan sejarawan harus dapat diverifikasi kebenarannya, maka hal itu tidak berlaku bagi sastrawan. Di situlah fakta dalam karya sastra bersifat fiktif, karena peristiwa yang semula faktual telah berubah menjadi fiksional. Dengan begitu, ia sama sekali tidak menyodorkan kebohongan faktual, melainkan justru menyajikan kebenaran fiksional.
***

Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan antara fakta dan fiksi yang secara langsung implikasinya memberi garis demarkasi pada posisi sejarawan dan sastrawan, maka peranan keduanya sesungguhnya bersifat komplementer; saling melengkapi. Keduanya berada di kotak yang berbeda, semata-mata karena cara, prosedur, proses, dan tujuan dalam pengolahan faktanya, sejatinya memang berbeda. Tentu saja, karya yang dihasilkannya juga berbeda. Jadi, kelirulah anggapan masyarakat selama ini bahwa sastrawan sebagai penghayal, pembual, dan pekerjaannya sebagai profesi yang tak penting. Sebab, fakta yang direkayasa sastrawan menjadi fiksi bukanlah untuk ngapusi dan melakukan manipulasi, tetapi justru untuk memberi penyadaran atas nilai-nilai kemanusiaan dengan menyuguhkan keindahan estetik. Jadi, profesi apapun, sejauh itu bermaksud mengangkat martabat manusia dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, sejauh itu pula ia mestiu ditempatkan secara proporsional dan dalam kedudukannya yang sederajat.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)

Perhatikan bagan berikut ini yang memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara karya sastra dan karya sejarah.
SASTRA // SEJARAH
1. Merekam masa lalu, mencatat masa kini, //1. Merekam masa lalu
meramal masa depan
2. Merekonstruksi secara subjektif //2. Merekonstruksi secara objektif
3. Menyusun struktur secara koheren // 3. Menyusun peristiwa secara kronologis
4. Peristiwa yang disampaikan disesuaikan //4. Peristiwa disajikan secara sistematik
dengan kebutuhan cerita sesuai prosedur
5. Fakta dalam sastra bersifat fiksional. //5. Fakta dalam sejarah bersifat faktual
6. Fakta tidak harus dapat diverifikasi //6. Fakta harus dapat diverifikasi
7. Fakta berada dalam keadaan serba // 7. Fakta berada dalam satu kemungkin- mungkin an: benar atau salah.
8. Memanfaatkan imajinasi secara maksimal //8. Memanfaatkan imajinasi untuk me-
untuk membangun koherensi nyusun peristiwa secara sistematik,
koheren, dan logis.
9. Mengangkat peristiwa individual // 9. Mengangkat peristiwa besar.
Peristiwa individual yang berdampak
massal atau berpengaruh besar
10. Pemaknaan di balik peristiwa // 10. Pemaknaan di balik peristiwa dan dampak pengaruh bagi masyarakat
11. Multi-interpretasi (multitafsir) // 11. Mono-interpretasi (tafsir tunggal)
12. Bahasa konotatif (implisit) //12. Bahasa denotatif (eksplisit)

Dengan memperhatikan perbedaan dan persamaan karya sastra dan sejarah, maka kita dapat menempatkan pendekatan kesejarahan atau kritik historis dalam kotaknya sendiri yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain. Sebagai langkah awal untuk memperoleh gambaran mengenai pendekatan atau kritik historis, berikut ini kita memasuki pembicaraan mengenai hal tersebut.
***

Pendekatan historis dalam kritik sastra (Barat) dalam praktiknya telah mempunyai sejarahnya sendiri dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada abad ke-17, John Dryden (1631--1700), yang oleh banyak kritikus sesudahnya dipandang sebagai Bapak Kritik Sastra Inggris, mengangkat pentingnya pendekatan historis. Dalam esainya yang terkenal An Essay of Dramatic Poesy (Esai tentang Puisi Dramatik, 1668), Dryden mengatakan, “Keunggulan suatu zaman seyogianya ditinjau dari sudut sejarah, sebab setiap zaman hakikatnya adalah juru bicara bagi zamannya.” Selanjutnya ia menyarankan, bahwa untuk memberi penilaian yang pas untuk masa kini, kita harus membandingkannya dengan masa lalu. Dalam hal itu, Dryden hendak menekankan pentingnya metode kritis yang bersifat historis dan komparatif.

Gagasan Dryden selanjutnya dikembangkan oleh penerusnya, Samuel Johnson (1709-1784). Pengalaman, wawasan, dan pengaruhnya yang luas telah menempatkannya sebagai kritikus Inggris yang sangat berwibawa pada zamannya. Dalam pembicaraannya mengenai “Riwayat Sang Penyair” (Lives of the Poets), Johnson menekankan bahwa sastra mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Dalam hal ini, latar belakang historis sang penyair dan masyarakat yang melingkarinya, sering kali sangat mempengaruhi hasil cipta sastra. “Karya cipta setiap pengarang, jika dicermati benar, hendaknya dibandingkan dengan keadaan zamannya. Dan ‘Riwayat Hidup Penyair’ adalah teladan dan contoh yang baik untuk menjelaskan duduk perkara masalah tersebut.” Jadi, untuk mencermati sebuah cipta sastra, tidak dapat lain, peneliti mesti juga mempelajari biografi pengarangnya.

Pendekatan historis mulai memperoleh bentuknya yang lebih jelas sebagai sebuah metode kritik terjadi lewat kritikus Perancis, Charles Augustin Sainte-Beuve (1804--1869). Belakangan, Hippolyte-Adolphe Taine (1828--1893) yang dalam pengertian sebagai murid Sainte-Beuve, mengembangkan metode historis dalam kritik sastra lebih jauh lewat inspirasi yang diperolehnya dari ilmu-ilmu alam.

Pengaruh rasionalisme yang begitu luas dan meningkatnya semangat ilmiah dalam berbagai disiplin pada masa itu, telah ikut membentuk pandangan kedua tokoh tersebut terhadap kesusastraan. Bagi Sainte-Beuve, karya sastra adalah pengucapan jiwa seorang pribadi yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan dan sejarahnya. Oleh karena itu, tugas kritik sastra adalah melakukan penyelidikan terhadap pengaruh-pengaruh yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra.

Secara konsisten Sainte-Beuve menerapkan pendekatan biografis. Sastra sama sekali tidak terpisahkan dari manusia dan alamnya. Menurutnya, sastra sebagai pengetahuan orang itu sendiri (pengarangnya). “Saya cenderung mengatakan,” demikian Sainte-Beuve, “seperti apa pohonnya, seperti itu pula buahnya” (tel abre, tel fruit).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati