Kamis, 29 Desember 2011

Pemberontakan Pamuk dan Kecamuk Dua Dunia

Anton Kurnia*
http://www.serambi.co.id/
http://www.pikiran-rakyat.com/

TAK bisa dimungkiri, Orhan Pamuk adalah salah satu sastrawan terdepan dunia saat ini. The New York Times Book Review yang berwibawa itu menulis tentang Pamuk dengan pujian melangit, “Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki.”

Pesona Dunia Tulis-Menulis

Yohanes Sehandi *
Flores Pos (Ende), 1 Feb 2010

Dunia tulis-menulis adalah dunia yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh jenis kegiatan atau profesi manapun. Kekhasan dan keunikan inilah yang membuat dunia tulis-menulis atau karang-mengarang menarik minat banyak orang dan tergoda untuk menggelutinya. Kekhasan dan keunikan ini pulalah yang membuat dunia tulis-menulis penuh pesona. Apanya yang pesona? Berikut ini diuraikan secara singkat kepesonaan dunia tulis-menulis atau karang-mengarang.

Rabu, 14 Desember 2011

Pengantar dalam Menjelajahi Kitab Para Malaikat

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya sastra pada umumnya, adalah hendak mengurai apakah suatu teks berpotensi sebagai kebenaran, kendati bukan merupakan teks keagamaan?

Teks merupakan fenomena yang sedemikian kaya dengan ketakterbatasan makna. Hal ini berlaku bagi teks apapun termasuk teks keagamaan yang berdimensi sakralitas (Northrop Frye, The Great Code: the Bible and Literature). Tetapi pada intinya, teks-teks bahasa sebenarnya adalah sarana untuk mengungkapkan realitas dengan cara tertentu.

Afrizal Malna dan Titarubi: Merajut Cinta Yang Hilang

Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

Bagi kalangan perteateran dan sastra (puisi), siapa yang tidak mengenal sosok melankolis Afrizal Malna? Tokoh yang disebut-sebut sebagai seniman multidimensi, tajam sebagai seniman, sekaligus peka sebagai sosiolog. Sosok kondang sebagai tokoh kontroversi di era-korup, kolusif terhadap kebijakan orba, sekaligus eksis menjumpai generasi kontemporer setelah rezim orba tumbang.

Salam dari Derrida, Jacques

Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

LELAKI tua berambut perak itu menunduk dan mengatupkan bibirnya. Dan ruang dua kali tiga meter dengan terang sekadarnya itu pun senyap, seolah mencoba mengakrabi suasana hati penghuninya. Aku duduk di hadapan, terpaku memandangnya. Begitu segera sepi menyergap lelaki itu. Mata-nya yang keras namun damai mengabarkan satu keteguhan, juga kesendirian. Ingatanku memanggil Hemingway, The Old Man and the Sea. “Monsieur Jacques, Je dois parti,” kataku sambil beranjak.

Radhar Panca Dahana: Gus Dur Jenderal Seni dan Kebudayaan

Yurnaldi
http://oase.kompas.com/

Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, Gus Dur tidak hanya di masa ia jadi Presiden memberikan perhatian luas ke dunia seni dan kebudayaan, tapi sejak awal tahun 1980-an. Di masa itu, dunia seni dan kebudayaan sebenarnya mendapatkan jenderal baru, yang dengan senjata kata-katanya, rajin memperjuangkan posisi seni dan kebudayaan dalam berbagai sektor hidupnya lainnya, yakni sosial, politik, ekonomi, agama.

Jejak Langkah Dr. Ali Syariati: Sebuah Biografi Perjuangan

Ahmad Y. Samantho
http://www.al-shia.org/

“Sebentar lagi SBY akan jadi gubenur jendral AS negara bagian ke-51. Parpol-parpol Islam ibarat negara teluk yang diperas kekayaan minyaknya. Yang genting sekarang ialah masalah pengkhianatan, bahkan pelacuran intelektual. Diam-diam kita merindukan orang seperti Ali Syariati dan Morales. Bravo mustad’afin.” (Abdul Hadi WM)

Itulah bunyi satire sebuah pesan singkat (SMS) sekitar sebulan yang lalu (31 Mei) kepada penulis, dari salah seorang tokoh budayawan-intelektual terkemuka Indonesia. Dialah Prof.Dr. Abdul Hadi WM, Sastrawan-budayawan sufi dan juga dosen senior di beberapa kampus seperti UI, Universitas Paramadina, The Islamic College, dan lain-lain.

Ungkapan Abdul Hadi, yang dikenal juga sebagai sastrawan sufistik, boleh jadi hanya sebuah opini. Bisa benar bisa tidak. Tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Apalagi di masa gaduh kampanye para capres-cawapres beserta tim suksesnya. Namun demikian Abdul Hadi dikenal non-partisan dan bukan politikus pragmatis. Keprihatinannya mungkin lebih didorong oleh spirit intelektualisme dan kegalauan ruhaniyahnya akan perjalanan nasib bangsa dan negara Indonesia kini.

Siapa Ali Syariati?

Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang rejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. Ali Shariati.

Ali Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.

Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati bergaul dekat dengan para pemuda golongan ekonomi lemah (Mustad’afin), sehingga ia menyaksikan dan merasakan sendiri kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu.

Di usia 18 tahun ia mulai mengajar. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat Muslim Iran melalui prinsip-prinsip Islam tradisional yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Maulana Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua lapisan ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.

Pihak Kekaisaran Iran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang terus berlanjut. Dan polisi pun segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan tekanan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah Shah Pahlevi pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan dan intelejen SAVAK mengawasinya dengan ketat.

Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan hijrah meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni1977, ia mati syahid dibunuh oleh agen-agen SAVAK.

Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian.

Ideologi Dan Perjuangan Shariati

Dr. Ali Shariati mempelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, theology, sosiology dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir (yang berhijrah) yang muncul dari kedalaman samudra mysticism (tasawuf) timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun tidak sampai terperangkap pesona itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya.

Dr. Ali Shariati juga bukan seorang fanatik reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah seorang “intelektual terbaratkan” yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang indipenden.

Karena dapat mengetahui kondisi dan kekuasaan pada zamannya, ia memulai kebangkitan Islami-nya dengan melakukan pencerahan terhadap massa rakyat, khususnya kalangan muda, melalui kuliah, ceramah, demonstrasi dan gerakan sosial-politik.

Dia percaya jika elemen muda masyarakat ini mempunyai keimanan Islam yang benar, mereka akan secara total mengabdikan dirinya dan aktif menjadi elemen mujahid yang rela mengorbankan bahkan nyawanya untuk cita-cita idealnya.

Dr. Ali Shariati secara konstan berjuang untuk menciptakan nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri generasi muda, di mana sebelumnya nilai-nilai tersebut telah dirusak oleh metode saintifik ( mpirisme-positivisme ilmiah) dan teknis.

Dia dengan antusias berusaha untuk memperkenalkan kembali al-Qur’an dan sejarah Islam kepada generasi muda sehingga mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sejati dalam semua dimensi kemanusiaanya dan dapat berjuang melawan semua kekuatan masyarakat yang dekaden dan korup.

Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. Ali Shariati menulis banyak buku. Beberapa karyanya dapat dilihat dalam daftar di bawah ini. Dalam semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses.

Dari jejak langkah perjuangannya, Syahadah (martyrdom) Nabi Muhammad SAW, Imam Ali AS dan Imam Husein AS, adalah ruh syuhada yang mengantarkan kematian syahidnya Dr. Ali Syariati dan kemenangan Revolusi Islam Iran.

Buku-buku dan ceramah Shariati yang terpenting:
1- The Pilgrimage (Hajj) (Haji)
2- Where Shall We Begin? (Di Mana Kita Harus Mulai?)
3- Mission of a Free Thinker (Misi Seorang Pemikir Bebas)
4- The Free Man and Freedom of the Man (Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia)
5- Extracton and Refrinement of Cultural Resources (Penggalian dan Peningkatan Sumber-sumber Budaya)
6- Martyrdom (Mati Syahid) (buku)
7- Arise and Bear Witness (Bangkit dan Bersaksilah)
8- An approach to Understanding Islam (Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam)
9- A Visage of Prophet Muhammad (Gambaran tentang Nabi Muhammad)
10-A Glance of Tomorrow’s History (Sekilas tentang Sejarah Masa Depan)
11-Reflections of Humanity (Refleksi tentang Umat Manusia)
12-A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation (Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)
13-A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation (Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)
14-Selection and/or Election (Seleksi dan/atau Pemilihan)
15-Norouz, Declaration of Iranian’s Livelihood, Eternity (Norouz, Deklarasi tentang Kehidupan Iran, Kekekalan)
16-Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan-tuntutan terhadap Perempuan Muslim)
17-Horr (Pertempuran Karbala)
18-Abu-Dahr (Abu Dzar al-Ghifari)
19-Islamology (Islamologi)
20-Red Shi’ism vs. Black Shi’ism (Syiah Merah vs. Syiah Hitam)
21-Jihad and Shahadat (Jihad dan Syahadat)
22-Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People (Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas)
23-A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang Tercerahkan)
24-Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juruselamat)
25-Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh)
26-The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat)

Nota: Blog Ahmad Samantho adalah di ahmadsamantho.wordpress.com.
Dijumput dari: http://selak.blogspot.com/2010/02/jejak-langkah-dr-ali-syariati-sebuah.html

Pram, Sastra, dan Religiusitas

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kebimbangan dan kesaksian yang sehat
lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta
dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.
Pemujaan pada Tuhan adalah sahabat karib kefanatikan
yang biasanya bergandengan tangan dan tiap kesempatan
dipergunakan mereka untuk membunuh akal
–malakulmaut kemerdekaan berpikir dan kemajuan.
–PRAMOEDYA ANANTA TOER, Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan

Pram seorang realis besar Indonesia abad ke-20. Kecintaan pada dunia realis telah ditunjukkan dalam sebagian besar novelnya. Namun realisme Pram bukan sesuatu yang gepeng atau kering, melainkan sebaliknya; realisme yang percaya pada revolusi seorang diri dengan mendudukkan karya sastra kepada tanggungjawab sosial.

Sebenarnya antara pemikiran Pram dengan Takdir Alisjahbana tentang tanggungjawab dan selera seni berdekatan. Bahkan beberapa gagasan progres Takdir kita temukan dalam esai-esai Pram. Kendati begitu, Pram tentu tak seperti Takdir yang hendak memotong kontinuitas sejarah lokal demi mengejar sebuah kemajuan model Barat. Pram bahkan sempat pernah menyebut ”kebudayaan imperialisme Amerika Serikat harus dibabat”, dan dengan ringan mengutip ucapan Bung Karno: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!

Perkenalan saya dengan Pram adalah perkenalan lewat sejumlah novelnya. Namun saya berjumpa pertama kali sekaligus yang terakhir dengan novelis besar Indonesia ini baru pada tahun 2002. Kala itu saya tak bisa melupakan wajahnya yang sudah keriput, kulit yang menempel dibadan yang tampak melorot. Tulang-tulang di pergelangan tangannya mulai menonjol. Pipinya mulai mengempot, dan wajahnya mulai menonjol. Sorot matanya yang dulu begitu tajam, waktu itu tampak redup. Suaranya yang dulu menggelegar dan membuat lawan-lawan debatnya merinding dan mencekam ketakutan, menjadi parau dan tampak nuansa kearifan seorang kakek. Tangannya pun sudah tak mampu lagi untuk menggenggam pena sebagai senjata satu-satunya yang dulu ia bangga-banggakan. Ketika berjalan, kakinya hampir-hampir tak mampu menyangga lutut.

Pram meninggal tahun 2004, saya masih di Jakarta. Saya melihat prosesi pemakamannya secara Islam lewat media. Seorang kawan menceletuk: ”wah, pemakaman Pram secara Islam itu tidak benar. Pram kan seorang atheis”. Aku hanya diam. Tak berniat menjawab. Mungkin kawan ini terlampau terpengaruh kampanye negatif sastrawan Manifes Kebudayaan, pikirku. Memang, salah satu esai Pram yang bertajuk ketuhanan, telah dinilai oleh beberapa sastrawan yang tergabung dalam Minifes Kebudayaan dengan mengaitkan Pram seorang yang tidak percaya pada Tuhan.

Sastra dan Kekuasaan

Lepas dari anggapan itu, yang nanti akan kita buktikan dalam novel-novel dan esai Pram, bagaimana pun novelis ini seorang yang tak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Ungkapan-ungkapannya tentang pemberedelan yang dilakukan penguasan atas karya dan dirinya sering muncul dalam laporan orang-orang hilang. Adegan awal memulai sebuah kisah tentang penghilangan manusia secara paksa; enforced disappearances, kata orang-orang di Komnas HAM. Pram sendiri tidak hilang, bahkan ia sendiri mengakui hikmah di baliknya pelarangan karyanya. Tidak ada drama pembantaian yang dilakukan Adolf Hitler yang dikenal dengan sebutan Malam dan Kabut—Nacht und Nebel Erlass dalam karya Pram atau yang dilakukan penguasa seperti halnya Elie Wiesel. Tapi, seperti kemudian kita saksikan bersama, Pram yang hampir mati justru hidup, bahkan karyanya lebih hidup dari karya-karya sastra lain.

Pram memang sering menohok kekuasaan politik. Tapi tetraloginya tak ada komunis kata Rendra. Dan Rendra betul. Bahkan kritik yang dilakukan Pram terhadap kekuasaan jauh lebih keras dalam novel Bukan Pasar Malam dan Mereka yang Dilumpuhkan ketimbang Bumi Manusia. Dalam Bukan Pasar Malam Pram justru menohok kekuasaan dengan gaya stilis yang kuat dan menohok.

Kendati begitu, Bumi Manusia lebih cocok sebagai studi pascakolonial yang mendekonstruksi ilusi modal dan kekuasaan kolonial yang pernah berlangsung di Nusantara. Keterbelengguan Pram pada masa hidunya dan kemampuannya membebaskan dirinya tanpa melupakan, pada akhirnya memang menghasilkan apa yang leh Karlina Leksono disebut sebuah ”penyelesaian yang berbeda terhadap berbagai bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia”. Karlina masih menaruh percaya pada sastra dengan kekuatan kata. Tapi, sewaktu-waktu ia tak jarang mengeluh, “Ah, Republik Kata-kata. Semua harus dikata, tak satu pun yang mau kerja dan berbuat”.

Pram telah berbuat. Sampai ketika ia berpelung ke pangkuan ilahi tahun 2004, ia telah berbuat begitu banyak untuk Indonesia. Kendati pelarangan atas karya-karyanya sampai akhir hayatnya masih belum dicabut. Namun Pram bebas menyatakan pendapat. Bahkan ketika ia ikut mendeklarasikan PRD, tak ada yang mengusiknya. Puluhan tahun menjadi manusia bubu telah membentuk wataknya yang berani menghadapi apa saja, bahkan ancaman maut.

Terakhir saya membaca pandangan Pram dalam wawancara dengan majalah Play Boy. Kecintaannya terhadap generasi muda tidak pernah berubah. Tapi ia kecewa dengan tokoh PRD yang justru memutuskan sekolah ke Inggris dan bukannya sekolah bersama massa partai. Pram memang bukan makhluk gerombolan yang suka meneriakkan slogan-slogan dan kampanye di jalanan. Dalam kesehariannya ia lebih banyak menyendiri. Melakukan refleksi di ruang kamar sempit tempat dia menuangkan refleksi-refleksi perjalanan hidupnya. Sikap kesendirian inilah yang kerapkali menghasilkan novel dengan kualitas yang belum tertandingi di negeri kita hingga hari ini. Namun, kesendirian semacam itu bukanlah kesendirian dengan tiadanya perbuatan—seperti umumnya berlaku—sebab kesendirian seorang pengarang adalah kesendirian yang melahirkan empati dan tindakan melawan segala bentuk yang hendak melupakan.

Pram memang ibarat situs perjalanan kesusastraan modern Indonesia sendiri, yang tertatih-tatih dalam mencari bentuk dan menyikapi zaman. Novelis ini mengalami begitu banyak hal untuk dikenang dan dicatat. Ia seorang anak desa yang menjadi urban. Pengarang yang aktif menyuarakan harga diri kemanusian Indonesia, kendati harga dirinya sendiri di injak-injak.

Puluhan karya sastra yang dihasilkan dalam rentang 50 tahun lebih kepengarangannya menjadi ladang subur bagi persemaian (bahkan pertikaian?) gagasan dan pertaruhan politik kekuasaan di sini. Dengan wataknya yang keras, dan kritik-kritiknya yang tajam di tahun awal 1960-an, banyak yang merasa terganggu dan gerah.

Pram memang bukan seorang yang pandai berbasa-basi. Bahkan Bung Karno yang begitu berpengaruh pada zamannya seringkali mendapat sasaran kritiknya. Ia pernah mengkritik keras buku Sarinah. Menurutnya, buku itu hanya menghasilkan sikap yang tidak berwatak, sebentuk kumpulan bahan mentah yang tak berjiwa, atau kumpulan sesobekan kertas tua di keranjang takakura perpustakaan.

Pram pernah juga mengkritik novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Novel ini mengangkat tema seputar tegangan Barat dan Timur yang “dipenting-pentingkan”, sehingga si pengarangnya lupa pada kemestian untuk menerima-memberi. Tak luput pula karya pengarang Anak Agung Gde Agung, yang menurut Pram banyak mengambil secara mentah-mentah kebudayaan Barat sebagai ukuran kebudayaan Indonesia—sebuah ukuran yang sangat ganjil, seperti halnya menilai cuka dengan ukuran kecap.

Sebelum menjadi orang Lekra, ia pernah mengkritik Lekra. Waktu itu Lekra menuduh bahwa setelah Chairil Anwar mati, sastrawan angkatan 45 telah mati pula. Pram membela angkatan 45—walau ia sendiri sangat kritis terhadap angkatan ini dan hanya memasukkan Chairil dan Idrus sebagai yang pantas menyandang gelar angkatan 45—dengan mengatakan bahwa tidak betul itu. Tuduhan Lekra dan juga S.T. Takdir itu tidak benar. Memang satrawan 45 sudah tidak ada lagi sejalan dengan bergesernya iklim kekerasan dalam Revolusi Bersenjata ke arah iklim pengalaman hidup yang normal. Anggatan 45 pernah ada, tapi sekarang tidak kecuali karya-karya peninggalannya. Ini diucapkan Pram dalam esai 45 Indonesia Dalam Sejarah Kesusastraan di majalah DUTA tahun 1953.

Watak keras Pram memang agak berkurang dalam novel tetralogi: Bumi Manusia ( 1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Pram banyak bermain dengan alur yang agak terarah, tapi pada saat yang sama, tetralogi itu mampu menyihir para pembaca untuk ikut bersimpati dalam perjuangan tokoh-tokohnya menegakkan keadilan dan kemanusian. Akibatnya, banyak sekali kritikus sastra memahami perubahan watak tokoh yang ditindas dalam novel tetralogi tak sekuat dalam karya terdahulunya.

Tahun 2004 penerbit Lentera Dipantara menerbitkan catatan lama Pram yang tercecer di berbagai media massa, yang diberi tajuk Menggelinding 1. Buku ini merupakan napak tilas penting atas kreativitas kepengarangan Pram yang memang “menggelinding” dalam rentang waktu tak sampai sepuluh tahun (1947-1956).

Pram merekam ingatan-ingatan sosial tentang sejarah, politik, agama, sastra dan kebudayaan. Meski sebagian besar dari karya-karyanya yang pernah terbit di tahun 1950-an belum seluruhnya ditemukan, kekayaan gagasan Pram begitu menjulang. Bagi Koesalah Soebagyo Toer, dari lima puluh enam tulisan Pram sejak 1947-1956, yang terkumpul dalam buku Menggelinding I itu, hanya empat puluh persennya yang bisa ditemukan kembali.

Agaknya, penerbitan tulisan-tulisan awal Pram diniatkan sebagai bahan bacaan lain dari apa yang pernah kita ketahui lewat novel-novelnya. Kelainan itu tentu dengan alasan-alasan bahwa Pram tidak hanya seorang penulis novel dan sejarah yang bernas, tetapi sajak-sajaknya, esai, cerita pendek, refortase media, kolom, opini bahkan karya terjemahan tak kalah pentingnya mewariskan ingatan kolektif dari apa yang pernah terjadi di negeri pascakolonial.

Pram bahkan pernah menulis beberapa puisi. Tapi Pram gagal menulis puisi. Dan puisinya terlampau kering dari metafor. Pram memang seorang prosais, dan di sana-sini seorang esais. Ia sangat produktif mengisi esai di rubrik buletin DUTA. Bahkan, majalah Mingguan Merdeka yang diasuh oleh Darmawidjaja—gurunya sendiri—pernah juga memuat tulisannya. Masalah menulis, jelas Pram sudah mengerjakannya jauh sebelum tahun 1947. Ia berkali-kali menyatakan bahwa ia menulis sejak masih di kelas 3 Sekolah Dasar (atau Sekolah Rakyat). Beberapa naskah yang ditulisnya selama masih bertugas di Bekasi (1945-1947) bahkan pernah disita oleh marinir Belanda di stasiun Klender.

Dalam biografinya tentang Hikayat Sebuah Nama, Pram pernah mengeluarkan majalah Sekolah Taman Siswa yang memuat juga tulisannya. Namun, seperti kita ketahui bersama, separuh lebih dari tulisan-tulisan Pram diberbagai jurnal dan surat kabar di atas telah raif, terutama sejak meletusnya kudeta 1965.

Dalam menulis, Pram banyak menggunakan nama samaran. Seperti diceritakan Koesalah Soebagyo Toer, paling tidak ada sembilan bentuk namanya, sebelum akhirnya ia menggunakan nama terakhir itu. Ia menggunakan nama Pramoedya Tr., Pr. Toer, Ananta Toer, Pramoedya Tr., M. Pramoedya Toer dan lain-lain.

Dalam sebuah tulisan terjemahan; “115 Buah wasiat Majapahit (beberapa petikan)”, ia menggunakan nama Pramoedya Tr. Dalam tulisan “Si Pandir” dan “Bunda untuk apa kami dilahirkan” tulisan Lode Zielens yang dia terjemahkan, ia memakai nama Ananta Toer, dalam sajak berjudul “Huruf”, ia menggunakan nama M. Pramoedya Toer, dalam tulisan “Kalau Mang Karta di Jakarta”, “Ori di Jakarta” dan “Dayakhayal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu” ia menggunakan nama Pr. A. Toer, dalam “Bingkisan; Untuk adikku R” ia menggunakan nama Pramoedya Toer, dalam “Keluarga Mba Rono Jangkung”, ia memakai nama Pram Ananta Toer, dalam “Lemari Buku”, “Kedailan sosial para pengarang Indonesia” dan “Sepku”, ia memakai nama Pramudya Ananta Tur, dalam “Kalil siopas kantor” , “Yang tinggal dan yang pergi”, dan dalam puisi “Anak Tumpahdarah” ia memakai nama Pramoedya Ananta Toer.

Mengapa begitu banyak nama samaran yang dipakai Pram saat menulis diberbagai jurnal dan surat kabar waktu itu? Kita hanya bisa menduga-duga jawabnya: pertama, berkaitan dengan kekuasaan waktu itu yang sebetulnya tak kurang represifnya melakukan sensor dan bredel. Bahkan, di tahun ketika pemberlakuan PP. Nomor 10 oleh Soekarno, Pram ditangkap dan dipenjara karena ia menentang keras kebijakan itu.

Kedua, sebagai sosok penulis muda yang mengidap “libido” menulis yang luar biasa produktif, ada rasa tidak enak jika tulisan-tulisannya “menghegemoni” seluruh media tanah air. Dan samaran nama seperti ini lazim digunakan oleh penulis-penulis di zaman Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Ketiga, mengikuti apa yang dikatakan Koesalah Soebagyo Toer, sikap seperti itu bukan sekedar masalah teknis, melainkan ada hubungan dengan pencarian psikologis mengenai jati diri dan tempatnya di tengah masyarakat umumnya dan lingkungan kepengarangan khususnya. Ketiga, mungkin sebagai pencarian nama yang diras pas dan cocok.

Pram, sebagaimana para penulis umumnya, tak puas dengan hanya satu bentuk tulisan. Ia menulis beberapa catatan pribadi, sajak-sajak tanah air, perjalanan dan refortase hingga laporan-laporan jurnalistik yang tangguh, yang begitu penting menghargai perjalanan waktu.

Menulis bagi Pram merupakan langkah penting untuk menjaga ingatan agar tak mudah (di) lupa (kan). Dan sastra adalah media paling ampuh bagi Pram untuk menjaga ingatan melawan lupa itu. Pram melukiskan karakter manusia Indonesia dan elit politiknya yang baru saja selesai merayakan kemerdekaan. Dalam Bukan Pasar Malam dengan liris ia mengisahkan tokoh ayah yang didera TBC hingga akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya. Dari judulnya, karya ini syarat metafor, yakni metafor pasar malam: sebuah kisah tentang hiruk-pikuk manusia Indonesia modern yang terjebak sendirian di tengah-tengah kemeriahan pasar malam.

Pram rupanya membayangkan eksistensi dirinya yang terasing sendirian di tengah-tengah gegap-gempitanya suara Revolusi Indonesia, sementara satu persatu temanya pergi untuk selamanya, sedang yang belum pergi berharap-harap cemas menanti giliran. Di tengah orang ramai, Pram tetap merasa kesepian, sendirian, bahkan penderitaan.

Pram pernah bilang, wajah demokrasi yang kita warisi tampak seperti binatang melata yang pasrah dalam diam dalam menerima kenyataan. Pram kemudian mengusulkan agar kita hidup seperti laron yang mencari api, meski ia harus terbakar dan mati, tapi ia mati sebagai orang yang berguna. Seperti halnya Socrates yang mengejek demokrasi, yang memberinya hak untuk mengejeknya, Pram telah menggunakan haknya untuk meruntuhkan sophisme, mengkritik demokrasi sebagai perkoncoan, dan jadi perintis baru bagi dunia kepengarangan.

Demokrasi, kata Pram, mengandaikan “setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh –ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum miskin yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pramoedya terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial.

Sebagai konsekwensi dari sikapnya yang berani, Socrates harus kehilangan nyawanya sendiri. Sementara Pram mengatakan: kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Kematian selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad. Keberanian menghadapi mati dan hal-hal yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan sekarang ini. Sebuah keberanian yang, betapa pun ganjilnya, muncul dari hati yang jujur.

Apa yang terjadi pada Pram semasa hidupnya tak lebih sebagai sebuah ironi di tengah republik kata-kata. Sebuah negeri yang dalam ungkapan Pram dilukiskan sebagai ”negeri di mana orang gampang memaafkan, gampang mengakui dan juga gampang melupakan. Itulah negeri Indonesia. Ke-Indonesia-an, dimana kegagalan demi kegagalan, pukau demi pukau terlentang tebal di depan. Dan sukses hanyalah bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita… Apa yang pernah diperbuat umat manusia, adalah permulaan dari segala yang hendak diperbuatnya di kemudian hari. Mereka mungkin tersenyum puas dari segala yang hendak diperbuatnya. Kalau Tuan kenal Baco–manusia renaisans Eropa—Tuan akan mengenal apa arti permulaan. Apa arti perbuatan tuan sendiri?…Akhirnya, manusia dalah biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri. Tiap-tiap orang memaki: Tukang becak pun memaki parlemen. Aku mau tetap sendiri. Aku bukanlah makhluk gerombolan.”

Sistem apa pun tak akan pernah membenarkan terjadinya pelanggaran kemanusian yang berlarut-larut. Puluhan tahun ia harus mendekam dalam penjara, kreatifitas dan kebebasan berkarya dilarang dan disensor, caci-maki yang tak henti-hentinya dilakukan oleh lawan-lawannya politik. Barangkali tak mengherankan bila A. Teeuw (1980) menaruh simpati padanya dan menyebut dirinya sebagai penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah hanya dalam satu abad.

Almarhum Y.B. Mangunwijaya dan Sapardi Djoko Damono menganggap roman Bukan Pasar Malam sebagai karya yang berhasil dalam sejarah kepengarangan Pram. Kesaksian tokoh-tokoh dalam roman ini menunjukkan bagaimana sejarah kita telah diselewengkan oleh mereka yang sama sekali tak mengerti makna sejarah. Demokrasi yang menjunjungtinggi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ternyata hanya mimpi yang penuh ilusi.

Sejak Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasilanya Soeharto, mimpi keadilan sosial hanya melahirkan ketidakadilan sosial. Bagaimana mimpi besar Bung Karno untuk mewujudkan masyarakat proletar yang berdaya, ternyata melahirkan diskriminasi rasial yang menakutkan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (atau P.P. 10) adalah contoh kebijakan yang sangat tegas ditolak oleh Pram, meski ia harus mendekam dalam penjara. Tak sepenuhnya benar anggapan bahwa Pram adalah “anak spiritualitas” dan pendukung gagasan demokrasi Bung Karno.

Dengan menyindir para aktor demokrasi, Pram kembali melontarkan kritiknya terhadap sistem ini: “Setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Pram menyebut uang sebagai ciri dari sistem demokrasi elitis, sementara yang melarat, demokrasi hampir tak memiliki makna apa-apa. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum paria yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pram terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial. Dalam buku ini, ia mengatakan secara tegas: “ di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”.

Pram kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan sang ayah, yang dalam kesaksian-kesaksian orang ketiga dalam roman Bukan Pasar Malam, sangat pantas mendapatkan predikat pahlawan. Ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru dan pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung dan dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional tak lebih sebagai buatan rezim resmi yang menipu. Kalimat-kalimat reflektif Pramoedya melukiskan bagaimana makna kemerdekaan telah jauh dari arti semula. “Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”. Dengan menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pram kembali mengingatkan kita:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa Pram dalah situs kesusastraan Indonesia yang akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya memperjuangkan politik ingatan untuk melawan lupa. Jika kemudian Milan Kundera pernah memformulasikan bahwa: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”, jauh-jauh hari Pram sudah mengingatkan hal itu. Ia telah memberikan pelajaran berharga, bagaimana pentingnya melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan menjaga dan menuliskan ingatan melalui karya sastra. Sebab, seperti yang selalu diingatkan dalam perjuangan Pram, sejarah kita ditulis bukan oleh mereka yang dikalahkan, tetapi oleh para jenderal yang menang–history is written by the winning general!

Sastra, Agama, Tuhan

Dalam esainya bertajuk Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan (1953), Pram mengatakan: masalah Tuhan tidak akan habis-habisnya dibicarakan dalam sastra. Namun, sampai tahun 1953 Pam masih melihat sebagian besar pengarang Indonesia dalam mendekati Tuhan terlebih dahulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Sungguh aneh baginya, kaena hakikat dari kepercayaan itu sendiri begitu luas, yang tanpa kejujuran akal-pikiran maka ia bisa berubah kefanatikan. Dan sepanjang sejarah, kata Pram, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran. Dan karena kefanatikan itu pula, membuat mereka jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja. Dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis.

Kematian yang romantis selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam tiap zaman. Bagi mereka yang membaca buku-buku sastra dan filsafat yang sering termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan meniadakan, mengejek atau mengingkari Tuhan, perkataan janggal adalah terlamapu lunak untuk itu. Sebaliknya, perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi di negeri ini.

Dalam kesusastraan, konflik pemahaman tentang Tuhan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar, kata Pram, adalah sosok dari pengarang yang memahami Tuhan bukan dalam keyakinan buta. Hamzah Fansuri dan Siti Jenar terpaksa memberikan jiwanya karena pemahaman Tuhan di luar kebiasaan.

Bagi Pram, bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai durhaka, sebab bukanlah yang dimaksudkan dengan Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan semacam itu dilemparkan oleh sekelompok golongan kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran Kebiasaan (keyakinan resmi).

Pemikiran Pram telah melahirkan pandangan yang religius dan humanis. Pram nyaris tak pernah berhenti mencari makna di balik semua perkataan manusia tentang Tuhan. Apa yang pernah dipahamainya tentang Tuhan, direfleksikan, dibongkar dan direfleksikan kembali. Esai Masalah Ktuhanan dalam Kesusastraan ini pernah ditampik beberapa penulis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan secara simplistis disimpulkan bahwa Pram atheis (Lihat buku Prahara Budaya, terutama bagian lampiran). Padahal, pemahaman tentang Tuhan bagi Pram adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi lalu dianggap selesai, dan perdebatan pun berhenti sampai di situ. Apa yang diyakini dan dipahami manusia tentang Tuhan diungkapkannya kembali sampai ia menemukan sifat hakiki yang unik, yang cerdas dan—mungkin juga—subversif.

Pram memahami Tuhan sangat kritis, bahkan mengambil jarak dan wasapada: ia-sekaligus-tak (minjam ungkapan Sindhunata). Dalam tulisan-tulisan awalnya, Pram banyak bersentuhan dengan ide tentang Tuhan dalam kesusastraan. Menurutnya, pengertian manusia tentang Tuhan dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh kebiasaan (mainstream). Refleksi terhadap Tuhan menghasilkan sebuah pandangan yang nyaris menyimpan aura mistik dan magis sendiri, yang jika dibaca dalam terang etika keagamaan resmi, mungkin bisa disebut a-religius.

Pram melihat bahwa diskusi tentang masalah ketuhanan seakan-akan Tuhan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat lain lagi adalah Tuhan sebagai obyek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami. Dengan demikian, ada Tuhan yang harus dipercai dan Tuhan yang harus dipahami. Yang pertama, adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua.

Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ia adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah, soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapat obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusian. Kebimbangan dan kesaksian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titik mati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak perlu benar mengutuk demokrasi yang mengakui hak asasi manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Socrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, sebagai konsekwensi dari keberandalannya itu, ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Tanpa ada gebrarakan semacam ini dalam lingkungan masalah ketuhanan, maka pemikiran hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnya, kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampusan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Tiap istilah, tiap pengertian, dan tafsir tentang Tuhan menurutnya, akan senantiasa berubah. Maka, kesusastraan sebagai cermin kehidupan manusia tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan di dalamnya. Namun sayangnya, kebanyakan para sastrawan Indonesia masih terjebak dalam melukiskan Tuhan sebatas sebagai Tuhan yang dipercaya suntuk memecahkan segala masalah. Sementara Tuhan yang dipahami sangat jarang ditemukan dalam novel-novel kesusastraan Indonesia. Karena itu, Tuhan dalam pengertian inilah yang menjadi garapan para sastrawan. Tuhan yang dipuja selamanya akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu penindasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban umum.

Bagi Pram, keberanian mengkaji azas-azas pemikiran bisa jadi jalan untuk mengerti, memahami, dan memaknai. Tanpa keberanian, jalan ke arah penindasan hak asasi manusia akan semakin terbuka lebar. Keberanian untuk menafsirkan Tuhan dengan pikiran dan kalbu yang dinamis akan menghilangkan keragu-raguan tentang Tuhan itu sendiri. Pemberontakan terhadap pakem dan tafsir resmi atas Tuhan harus dilakukan, dan tugas seorang sastrawan untuk menciptakan makna baru tentang Tuhan yang tidak pemarah dan tukang memangsa, tapi Tuhan yang indah dan berani. Pengertian Tuhan semacam ini akan membawa karya sastra sebagai cermin masyarakat dan cermin kepribadian pengarangnya. Sastra dengan kadar religiositas semacam inilah yang akan melahirkan karya sastra yang subversif.

Emansipasi Kartini dalam Karya Pram

Harus saya catat di sini bahwa Pram begitu terpukau pada Kartini. Pandangan Pram tentang kebebasan dan kritiknya atas agama dan ketidakadilan gender begitu dekat dengan Kartini. Emansipasi agama dianggap sebagai sebuah keharusan jika agama akan tetap punya pesona bagi pemeluknya, juga banyak diwarnai oleh pertemuan Pram dengan Kartini. Dengan menohok pandangan orang terhadap agama yang rigid, Pram bahkan pernah dikampanyekan sebagai sastrawan atheis.

Dalam roman Gadis Pantai tampak nuansa pergulatan Kartini masih begitu kuat membayangi kritik yang dilakukan Pram terhadap sistem feodalisme Jawa yang menempatkan perempuan sebagai abdi laki-laki. Gagasan emansipasi yang dibawakan Pram dalam novel-novelnya memiliki banyak kesamaan pandangan dengan Kartini dalam Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pram sangat mencintai Kartini dan telah mengambil tidak kurang dari separuh semangat emansipasi Kartini dalam karya-karyanya. Berkali-kali Pram mengakui bahwa ia beguru dengan surat-surat Kartini. Pram sendiri telah menghasilkan buku riset yang langka bertajuk Panggil Aku Kartini Saja—yang diterbitkan petama kali oleh N.V. Nusantara, Bukittinggi-Djakarta, 1962. Buku ini lahir oleh sebuah desakan kecintaan Pram pada Kartini.

Novel Bumi Manusia, dengan perwatakan tokoh Nyai Ontosoroh dan putrinya Annelis, Pram menampilkan kesan sebagai sosok emansipasi perempuan yang menyerupai Kartini. Menurut penjelasan Minke, Nyai Ontosoroh tak menyimpan rasa kompleks terhadap pria, bahasa Belandanya sangat fasih, ”seperti seorang guru dari aliran baru yang bijaksana”, ya seperti Kartini—soko guru pendidikan itu. Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan yang telah meninggalkan dapur rumah tangganya dengan mengenaka baju-kerja dan mencari kehidupan pada perusahaan orang, berbaur dengan pria tanpa rasa canggung.

Annelis sendiri dilukiskan Minke sebagai gadis dengan sifat ke kanak-kanakan yang tidak tamat SD tapi mahir dalam mengkoordinasi pekerjaan yang begitu banyak, sering menunggang kuda sendirian, memerah susu sapi jauh lebih banyak dari yang dihasilkan semua pemerah; ”gadis luar biasa, seperti seorang ibu melayani rakyatnya dengan ramah; jangankan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih sayang, lebih agung dari dara yang pernah kuimpikan”, kata Minke:

Tak berlebihan bila suatu waktu di dekat perkebunan, tiba-tiba Minke mencium Annelis nyaris tanpa disadarinya sendiri. Bagi Minke, apa yang dilakukannya bukanlah karena ia jatuh cinta, atau ini tentang kisah cinta: ”tak ada cinta dan kisah cinta muncul mendadak. Saya tak mengerti cinta”, kata Minke pada Jean dengan polos. Pram sendiri dalam beberapa wawancaranya pernah mengatakan bahwa dia nyaris tak pernah merasakan artinya jatuh cinta. Cinta adalah rasa kebudayaan, cinta mendadak bukanlah cinta. Tapi Jean Marais tak kehilangan akal untuk menasehati Minke ketika menceritakan tentang keluarga Nyai Ontosoroh lewat frase yang paling menggugah laki-laki: ”Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Dahsyat!

Pram begitu kagum pada sosok Kartini dengan semboyan ”aku mau” itu. Bahkan dalam salah satu kisah Bumi Manusia, Pram melukiskan kesannya terhadap Kartini sebagai guru yang telah mendorongnya jadi penulis: ”Memang ada banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyi Ontosoroh yang pernah kutemui”. Sebelum Ontosoroh, Pram menyebut seorang perempuan pribumi yang cerdas lewat tokoh Minke:

Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J—wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya pertama diumumkan ia berumur 17 tahun. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah kubuktikan aku juga bisa melakukan? Biar pun mash tarap coba-coba dan kecil-kecilan? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis.

Orang tahu siapa sosok perempuan pribumi yang diceritakan Pram di atas, dan saya kira perempuan yang ingin dipanggil Kartini saja itulah yang telah ikut mebentuk pandangan ”feminisme” Pram—walau bukan satu-satunya. Berbagai persoalan besar yang digugat Kartini kita temukan juga dalam gugatan Pram; terhadap kolonialisme, pendidikan, feodalisme, penindasan terhadap perempuan, hingga agama.

Kartini seorang pribumi yang sudah mengenal bahan bacaan dari Eropa dan seorang penulis surat upaya yang mengagumkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Pram seorang Jawa yang tak menulis dalam bahasa ibunya, tetapi pandangan dan semangat pembebasannya sangat Eropa. Revolusi Prancis telah membentuk watak emansipasi Kartini dan Pram. Dalam novel tetraloginya, Pram sendiri bahkan sempat dicekam kebimbangan dalam menempatkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda, dan ia sendiri sangat fasih berbahasa Belanda, tapi menulis dengan bahasa Melayu—atau bahasa Indonesia. Nnovel-novel awalnya, seperti Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai, bahasanya terasa lebih Melayu ketimbang karya orang Melayu Sumatera sendiri pada waktu itu.

Kritik yang dilakukan Pram terhadap agama sangat diwarnai semangat emansipasi Kartini, yang keduanya khas pandangan pencerahan Eropa. Agama, sebagai harapan satu-satunya untuk membebaskan rakyat dan kaum perempuan bumiputera dari keterbelengguan, dalam penghayatan Pram dan Kartini justru berwajah menindas. Sistem perkawinan, sitem perceraian, sistem pembagian harta waris dan zakat yang rigid dan diskriminatif, lebih banyak merepresentasikan keinginan laki-laki dan kolonialisme ketimbang kaum perempuan bumiputera. Perselingkuhan kolonialisme-feodalisme telah membuat Nusantara berada dalam kegelapan, dihempas badai dan dirundung duka, sebagaimana kita lihat dalam frase awal telisik ini.

Bagi Pram, kebimbangan dan kesangsian yang sehat mengenai agama dan Tuhan, jauh lebih baik ketimbang keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya. Kartini menggugat agama dengan sangat menohok khas kritikan kaum intelektual Eropa abad ke-19. Agama baginya telah kehilangan semangat emansipasinya. Kartini bahkan menunjukkan kepada kita betapa sistem patriarki yang bertamorfosis dengan sistem feodalisme dan kolonialisme itu ternyata tidak hanya telah merendahkan derajat kaum perempuan, namun juga telah menempatkan perempuan sebagai abdi kaum penjajah.

Dalam surat-menyuratnya tampak tergurat nada sastrawi dalam bentuk surat upaya dengan gaya puisi-prosa yang terkadang begitu getir mempersepsikan masa depan Nusantara. Kartini, sebagaimana juga Pram, tampak gamang dan gelisah dalam menempatkan buah pikirannya di tengah arus besar perubahan sejarah negeri pascakolonial, mulai dari persoalan pendidikan, filsafat, agama, sastra, budaya, sejarah, hingga ke persoalan (kuasa) bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.

Bagi Pram, apa yang dikatakan bebas oleh Kartini tak berarti bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa perlu mengenal batas. Bila Kartini menyebut kata bebas dalam suratnya, yang dimaksudkannya ialah kebebasan jiwa. Orang Indonesia, kata Pram kemudian, masih belum bebas dalam menafsirkan kehendak Tuhan dengan terlebih dulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Hakikat dari kepercayaan yang begitu luas menjadi kerdil, dan tanpa kejujuran nurani dan pikiran maka seorang yang beragama sekali pun bisa berubah menjadi fanatikus yang buta. Dan sepanjang sejarah, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran.

Baik Pram maupun Kartini, keduanya melihat penyelewengan dan kemerosotan agama bukan dari sebuah pembacaan tanpa realitas, tapi keduanya menyaksikan dari dekat bagaimana agama telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologis-politis yang menempatkan teks melulu sebagai legitimasi untuk membenarkan kesewenang-wenangan yang kelak akan kita temukan juga dalam pandangan Adonis—penyair dan pemikir Arab-Islam kontemporer. “Benarkah agama itu restu bagi manusia?” tanya Kartini dalam surat betanggal 6 Nopember 1899. Kartini ragu, gamang, bukan karena ia tak percaya bahwa di dalam Islam masih terkandung kebaikan dan rahmat bagi manusia dan semesta raya, tapi ia terlanjur menyaksikan “betapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu”, tulisnya.

Tak berhenti di situ, Kartini pun tak tanggung-tanggung mengarahkan penanya kepada Islam, dan ia juga mengatakan dirinya turunan kaum muslim, tapi baginya, “Tuhan Allah hanyalah kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada arti dan rasanya”. Sementara Pram mengakui, pemberontakan terhadap Tuhan bukanlah sesuatu yang baru bagi pengarang-pengarang di Indonesia, dan Kartini telah memulainya. Bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kata Pram, maka kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai jahanam, sebab bukanlah yang dimaksudkannya adalah Tuhan yang sebenarnya, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati.

Cemoohan terhadap Tuhan adalah cercaan yang dilemparkan oleh golongan tertentu kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama tersebut oleh sang rezim kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, kata Pram, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran kebiasaan (keyakinan resmi dan mayoritas).

Kartini menolak agama yang dijadikan legitimasi oleh sebagian orang untuk berperang atas nama Islam dan Kristen di bumi Nusantara. Pram membaca dalam banyak surat kabar bagaimana Islam, Kristen, dan Hindu saling membenarkan perang dan menghancurkan kemanusiaan di India dan Bangladesh. Kedua penulis ini begitu terluka menyaksikan kalangan agamawan yang masih terus menjadikan agama yang terorganisir sebagai sandaran teologis dalam perang dan mengukuhkan sistem patriarki warisan feodalisme Jawa dan kasta di India itu.

Dalam suratnya tertanggal 13 Agustus 1900, yang ditujukan kepada Abendanon, Kartini mengkritik Islam yang melegitimasi poligami dan pembodohan terhadap perempuan. Demikian pula dalam suratnya bertanggal 23 Agustus 1900 yang ditujukan pada nyonya Zeehandelaar, gugatannya terhadap sistem perkawinan, serta gambaran betapa sulitnya seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya kendati harus mengemis berkali-kali, merupakan contoh gugatan Kartini terhadap agama, yang belakangan ini begitu semarak diwacanakan oleh kaum feminis.

Kartini menampilkan empat perubahan yang diharapkannya yang dimulai dari ”habis malam terbitlah terang, habis badai datanglah damai, habis juang sampailah menang, habis duka tibalah suka”. Sudahkah kegelapan yang dilihatnya pada penduduk pribumi itu melahirkan cahaya terang? Jawabnya tentu sangat pesimis. Sistem perkawinan dan perceraian dalam Islam yang dikritik Kartini lebih dari satu abad lampau masih belum berubah.

Pram dan Kartini bukan hanya jadi juru bicara emansipasi dan kemerdekaan kaum perempuan pada zamannya, namun telah membuktikan bahwa keduanya bukan manusia yang mudah dijinakkan. Gugatan Kartini dan Pram terhadap Islam dan sistem feodalisme Jawa tidaklah harus dilihat dari antropologi dengan tendensi rasisme, karena sebagaian besar kaum intelektual Jawa masih mempersepsinya demikian. Kritik kedua pujangga ini terhadap Kuasa Jawa justru meberikan alternatif bagi penghayatan sasta dan religiusitas yang membebaskan. Sasta dan religiusitas yang mendorong tegaknya harkat dan martabat kaum perempuan dan rakyat kebanyakan tak bisa tunduk pada feodalistik.

Ungkapan-ungkapan yang bernada dekonstruksi terhadap agama telah menempatkan Kartini dan Pram dalam barisan tokoh kritis dalam memandang agama dan Tuhan. Sebuah laku yang, kendati oleh Kartini sering digugatnya, telah memberikan teladan dari hasil pencariannya: “Kami telah menemukan Dia; karena kini ini kami tahu—kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan mendjagai kami. Tuhan itu akan mendjadi penolong, pembudjuk hati, tempat kami berlindung didalam kehidupan kami jang akan datang dan ini sudah terasa oleh kami”, tulisnya dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902. Surat terakhirnya bertanggal 7 September 1904 melukiskan “Tuhan tiada akan tuli mendengar sekian banjak jerit hati yang mendoa”.

Kendati Pram sering disebut sebagai pemikir yang nyinyir dalam memandang Islam, dalam roman Keluarga Gerilya dan Bukan Pasar Malam, kita akan menemukan sosok pergulatan yang intens dalam pencarian hakikat ketuhanan. Babak akhir Keluarga Gerilya melukiskan dengan suasana religius mirip doa: “Tuhanku, biarlah aku mengalami fajar merah sekali lagi. Ya, Tuhanku, aku paham akan alamat yang Kauberikan padaku. Dosaku banyak. Aku Tahu. Dan Engkau Mahamengetahui. Engkau sendiri yang mengizinkan dosa-dosa itu berlaku di dunia ini. Dan berpuluh-puluh jiwa telah kuputuskan untuk korban pada bangsa baru yang Kaulahirkan di tanah airku. Bangsa ini Kaulahirkan di atas dosaku—dosa kita semua. Ya, aku tahu—alamatMu itu sudah kupahami. Akan sampailah ajalku…”
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Selasa, 13 Desember 2011

Dunia Jawa dalam Serat Centhini

Andi Nur Aminah
Republika, 9 Des 2011

Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai pengetahuan dan kehidupan masyakat Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat.
SEBUAH tempat makan sederhana menyajikan menu yang unik. Tongseng bajing mlumpat atau tongseng bajing melompat. Biasanya, jenis masakan ini, umumnya menggunakan daging kambing yang dimasak menggunakan kuah berwarna kuning kecokelatan. Rasanya cukup bisa menghangatkan badan dengan perpaduan rempah, seperti kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan merica.

Tapi, Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang ada di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta, menyajikannya lain. Seperti namanya, masakan ini terbuat dari bajing atau tupai. “Saya pernah mencobanya, disarankan oleh teman ke sana karena makanan ini sebagai obat,” ujar Ika Saraswati, seorang ibu asal Bandung. Ibu dua anak ini memiliki penyakit asma yang cukup berat. Menurut Ika, informasi tentang hidangan tongseng tupai ini diperolehnya dari rekannya. “Katanya bagus untuk mengurangi sesak dan bisa menyembuhkan asma,” ujar dia.

Menu masakan tongseng tupai adalah salah satu racikan makanan yang diambil dari naskah kuno Serat Chentini. Sewaktu mengetahui informasi tersebut, Ika pun makin bersemangat berburu kuliner unik itu. “Kalau memang racikan masakannya diambil dari Serat Centhini, saya yakin ampuh.

Orang-orang dulu kan kuat-kuat dan ini pasti resep turun temurun,” ujarnya. Entah karena keyakinannya yang begitu besar dengan efek memakan tongseng tupai itu, sesak napas yang langganan menyerang Ika perlahan berkurang. Dan, setiap ada kesempatan, Ika yang bermukim di Solo, kerap datang ke Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk makan tongseng tupai.

Serat Centhini atau lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia yang berisikan berbagai hal tentang dunia masyarakat Jawa. Dalam berbagai literatur disebutkan, Serat Centhini mulai ditulis pada 1814 hingga 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V). Ini merupakan sebuah karya sastra besar di dunia.

Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.

Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai macam pengetahuan dan kehidupan masyarakat Jawa. Di antaranya, tentang agama, sastra, situs, primbon, keris, obat-obatan, resep masakan, juga seks. Kitab ini bahkan lebih banyak dikenali khalayak sebagai kitab ‘kamasutra Jawa’. Salinan kitab Serat Centhini, yang pasti ditulis menggunakan huruf Jawa kuno, merupakan kesusastraan Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat.

Yang dimaksud macapat adalah tembang Jawa yang diiringi irama tertentu. Jumlah suku katanya pun tertentu, memiliki akhir kata tertentu dalam satu bait tembang. Tembang macapat ini sangat popular merefleksikan suatu peristiwa melalui tembang.

Di beberapa daerah, macapat dikenali pula namun dengan istilah yang lain. Tembang berisikan puisi berirama ini bisa ditemukan pada masyarakat di Bali, Sa sak, Madura, Sunda, dan beberapa wila yah di Sumatra, seperti di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya, diartikan sebagai membaca empat-empat karena untuk membacanya terjalin tiap suku empat-empat. Kisah inti dari kitab ini menceritakan tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga, putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia.

Jayengresmi adalah tokoh yang penuh dengan sisi kekhawatiran, kecemasan, dan keingintahuan. Di sisi lain, saat menjadi Amongraga, ia memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.

Dalam salah satu bagian kitab tersebut dikisahkan dalam pelariannya mencari adik-adiknya, Jayengresmi yang telah berubah nama menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Pada bagian lainnya, Amongraga pun bertemu dan jatuh cinta pada perempuan cantik bernama Tembangraras, putri seorang Kyai. Setelah menikahi Tembangraras, Amongraga banyak memberikan wejangan pada istrinya yang selalu diikuti oleh Centhini, pembantu setianya.

Adalah Elizabeth D Inandiak, penyair Prancis yang juga mantan wartawan yang cukup berjasa menerjemahkan Serat Centhini. Pada 1999, Elizabeth mulai menerjemahkan Centhini dengan bantuan murid rekannya, PJ Zoetmulder, yakni Sunaryati Sutarto, yang piawai berbahasa Jawa klasik.

Ia kemudian menyadur naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis yang diberi judul Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini. Buku tersebut terbit pada 2002. Setelah memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada 2003, Elizabeth kemudian mengalihbahasakan karyanya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi yang diterbitkan pada Juli 2008.

Saat ini, naskah Serat Centhini sudah mulai diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Indonesia. Sunardian Wirodono termasuk salah satu yang menggeluti naskah-naskah Centhini yang kemudian disadurnya dalam bentuk buku. Sunardian, pada April lalu, telah meluncurkan terjemahan Serat Centhini yang dikemasnya dalam judul Serat Centhini Dwi Lingua.

Tak ada yang menyangsikan tingginya peradaban Jawa kuno di zaman terciptanya karya sastra nan indah dalam Serat Centhini. Lantas, pada sebuah pameran buku yang digelar baru-baru ini, seorang kurator dan kolektor buku-buku kuno, Daud, mengaku memiliki salinan naskah kuno Serat Centhini. Naskah kuno tersebut ditemukannya pada 2006 dari seorang purnawirawan yang bermukim di kawasan Menteng. Setelah menyimpan dan merawatnya selama lima tahun, kini Daud berniat menjual naskah tersebut dengan harga Rp 5 miliar.

Mahal? Beragam pendapat bermunculan. Menurut kolektor buku, Andriani Primardiana, jika ditinjau dari segi keilmuwan dan tingginya nilai budaya dari karya pujangga yang telah menulisnya sejak berabad-abad silam, harga Rp 5 miliar adalah wajar. Tidak terlalu mahal untuk sebuah karya yang sangat luar biasa seperti Serat Centhini yang mengandung pengetahuan dan karya seni, Rp 5 miliar itu sangat murah, ujarnya.

Sementara itu, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Joe Marbun mengigatkan, terkait naskah Serta Centhini sebagai salah satu warisan budaya, merupakan warisan yang dilindungi UU No 11/2010 tentang cagar budaya. Sesuai dengan UU tersebut, maka warisan budaya melalui proses penetapan bisa dimiliki individu atau kelompok.

Sesuai UU tersebut, memang dimungkinkan terjadi proses jual beli selama hal itu dilakukan untuk kelestarian warisan budaya tersebut dan tidak dibawa keluar wilayah NKRI. Artinya, negara sebagai regulator terciptanya proses jual beli tersebut, ujarnya.

Dalam UU Cagar budaya, kata Joe, juga disebutkan bahwa proses jual-beli, diprioritaskan pertama kali kepada pihak pemerintah. Apalagi, yang berkaitan dengan warisan budaya yang sangat penting.

Kepala Balai Bahasa, Sugiyono, mengatakan, upaya penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, kata Sugiyono, uang negara terbatas untuk membeli naskah kuno, contohnya Serat Centhini yang dibandrol Daud dengan harga Rp 5 miliar.

Sugiyono pun mengatakan, salinan naskah Serat Centhini saat ini ada tersimpan di Solo dan Yogyakarta. Balai Bahasa sendiri, kata dia, hanya memiliki sadurannya.

Sebagai naskah kuno yang kerap dipakai sebagai referensi sejarah oleh akademisi untuk mengungkap banyak pengetahuan dari berbagai perspektif, Joe mengatakan, adanya patokan harga yang diberikan oleh kolektor terhadap naskah kuno Serat Centhini, merupakan ujian sekaligus kritik kepada berbagai pihak. Terutama kepada pemerintah agar lebih proaktif melihat permasalahan seputar warisan budaya yang sangat kompleks.

Cerita di Balik Rp 5 M Serat Centhini

Terobsesi membangun museum pribadi berisi literatur Tionghoa. Itulah keinginan Daud, kurator dan kolektor buku-buku langka, yang kini me mi liki naskah Serat Centhini. Di tengah hiruk pikuk pameran buku 2011 di Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu, stan Samudra miliknya cukup menarik minat pengunjung.

Stan Samudra menyediakan cukup banyak buku-buku langka. Warna-warna kertasnya sudah mulai menguning dan aroma khas buku tua cukup menggelitik hidung. Beberapa buku diberi sampul plastik lagi. Tapi, di antara buku-buku yang mulai menguning itu ada juga terselip buku-buku baru terbitan medio 2000-an.

Di salah satu pojok ruangan, ada lagi tulisan yang cukup mencolok. Di atas kertas berwarna kuning, tertera : Tan Malaka, Bapak Republika Indonesia, Rp 150 juta; di atas kertas berwarna merah, tertera: Album Foto Orisinil Kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang 1968, Rp 200 juta. Dan, di atas kertas berwarna hitam tertera: Serat Centhini, Rp 5 Miliar!

Harga fantastis untuk sebuah buku. Daud memiliki alasan tersendiri, membandrol buku Serat Centhini ini seharga dengan mobil sedan supersport keluaran Inggris, Bentley Continental GT, keluaran terbaru. Demi membangun museum pribadi, itulah alasannya. Menurut Daud, koleksi literatur Tionghoa miliknya sudah cukup banyak. Beragam jenis buku, majalah, surat kabar, atau cetakan lainnya yang berbau Tionghoa sudah dikumpulkannya lebih dari 10 tahun lalu. Koleksi-koleksi ini tidak saya jual, justru saya yang membelinya, kata Daud.

Diakuinya, butuh anggaran tak sedikit untuk memenuhi obsesinya itu. Karena itu, jika Serat Centhini yang disimpannya itu akhirnya berpindah tangan dengan harga Rp 5 miliar, hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun museum pribadi, melengkapi koleksi-koleksi literatur Tionghoanya dan tentu saja pemeliharaannya.

Ayah tiga putra ini memilih literatur Tionghoa karena menilai belum banyak orang yang fokus menyimpan dan mengumpulkan literatur Tionghoa. Saya tidak muluk-muluk, hanya ingin suatu hari kelak, anak-anak kita jika ingin tahu banyak tentang Tionghoa dengan mudah mendapatkannya. Banyak hal yang bisa kita pelajari tentang Tionghoa ini, bahkan sejarah keberadaan kita di Indonesia pun masih terkait ke sana. Apalagi, kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujar Daud.

Menurutnya, pada 2010 lalu, ia pernah dihubungi oleh perwakilan dari Dinas Purbakala Jakarta yang ingin membeli Serat Centhini. Ketika itu, naskah tersebut masih dijual dengan harga Rp 3 miliar. Namun, karena kendala pendanaan, transaksi antara Daud dan pihak resmi negara yang bertugas menyelamatkan naskah-naskah kuno itu tidak terjadi.

Sejumlah Balai Lelang juga pernah mendatangi Daud untuk melihat Serat Centhini miliknya. Namun, semuanya mundur teratur mendengar penawaran harga yang dipatok Daud.

Naskah kuno salinan Serat Centhini diperoleh Daud pada 2006 lalu. Ia mengaku membelinya dari seorang yang tinggal di kawasan Menteng. Awalnya, Daud sendiri tak tahu apa itu Centhini. Dia hanya melihat naskahyang sudah sedikit lusuh tersebut bertuliskan bahasa Jawa kuno. Ia lantas menunjukkan buku itu pada seorang kawan yang mengerti bahasa Jawa. Saat diberi tahu bahwa itu adalah Serat Centhini, Daud pun terkejut bercampur senang.

Naskah yang diperoleh itu diyakini Daud sebagai salah satu dari tiga salinan naskah kuno Serat Centhiniyang ada di dunia. Di dunia ini hanya ada tiga, satu di Keraton Solo, satu di Keraton Yogyakarta, dan satunya ada pada saya, ujar lelaki jebolan teknik sipil ini.

Semakin ke depan, naskah ini akan semakin tinggi nilainya. Soal harga, Daud mengaku mematok harga berdasarkan survei nilai sebuah buku yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun lebih. Menurutnya, di Indonesia tak ada lembaga yang memiliki otoritas menentukan harga buku, maka ia menentukannya sendiri.

Daud yakin, harga yang dipasangnya untuk naskah sekelas Serat Centhini, sudah selayaknya. Kolektor filatelis saja, kata Daud, harganya bisa lebih mahal daripada harga buku yang dibandrolnya. Kalau tidak laku dengan harga itu, ya tidak apa-apa. Saya simpan saja, ujarnya enteng.

Jika tahun lalu dia memasang harga Rp 3 miliar dan tak laku, tahun ini mematok harga Rp 5 miliar dan juga belum laku, maka tahun depan dan seterusnya, nilai naskah ini akan semakin mahal. Karena sebagai sebuah naskah kuno, semakin tua usia nya, semakin tinggi pula nilainya.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/12/teraju-dunia-jawa-dalam-serat-centhini.html

Lawatan Budaya Menggugah Kekuatan Desa

Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

Perubahan Anda sudah disimpan

Berawal dari grenang-greneng antar seniman yang mengandaikan bagaimana caranya bisa mengekspresikan diri dalam satu forum dan tidak berbelit dengan urusan dana, lembaga dan atau instansi terkait, dari sanalah ide Lawatan Budaya muncul. Kemudian para seniman tersebut menyiasati daya untuk mewujutkan terlaksananya titik sentral ide tersebut. Sertamerta bagi yang ingin terlibat, pletikan kekuatan pun mulai terumus, bahwa tidak ada kata kunci yang jitu, kecuali membakar lemak jiwa dengan sistem‘rewang, soyo, gotongroyong, semua yang terlibat mengikhlaskan energi untuk urun mengisi agenda.

Berangkat dari gejolak kebebasan dan terlaksananya kemampuan berkesenian dimaksud, menandai awal ‘Komunitas Suket Indonesia’ terpanggil untuk terlibat. Namun keterlibatan ‘Suket’ dalam pelaksanaan ini hanyalah sebagai fasilitator yang mewadahi geliat para seniman. Jauh hari sebelumnya, seperti yang diungkapkan salah satu pentolan Suket: Mbah Catur (Kepala desa Mojowarno yang juga lulusan UMM tahun 1998) bersama istrinya Riris D. Nugrahini (lulusan IKIP Tuban 2001), “kalau teman-teman ingin menggebyarkan semangat berkesenian, dipersilahkan. Kami hanya bisa menyediakan tempat, yakni gedung Balai Desa, silahkan dipakai. Bagi yang jauh juga kami sediakan mess tidur. Soal hidangan, tur mergo kalian tamu, umpomo gak ono duwek yo tak utang-utangno, tapi gak iso mewah, sak onoke wae.” Berawal dari konsep semacam inilah munculnya gagasan Lawatan Budaya, yang informasinya kemudian disebar antar kawan seniman dengan jejaring facebook. Alhasil, siapa pun yang bersedia bergabung, artinya bukanlah sebagai fihak ter-undang, tapi berpartisipasi dengan uang saku sendiri yang disebut istilah rewang, gotongroyong di atas. Sama artinya bahwa siapa pun yang hadir, entah pada Lawatan Budaya yang sudah terlaksana atau pun yang akan datang, yang bersedia terlibat adalah sekaligus merangkap panitia, semua harus berkordinasi serempak, tanpa harus jagakno satu sama lain, atau dituankan.

Adapun gambaran secara gamblang proses terlaksananya Lawatan Budaya seperti yang diungkapkan Riris D. Nugrahini (Bu Lurah Mojowarno) di awal agenda Lawatan Budaya pada diskusi 23 Juni 2011, bahwa “Lawatan Budaya bermula dari niatan para seniman untuk melangsungkan ‘reuni plus’ menambah teman dengan jejaring baru.” Seperti yang sudah berlangsung, Lawatan Budaya teragenda dari tanggal 23-26 Juni 2011 lalu.

Repertoar tanggal 23 Juni 2011

Hadrah

Acara dibuka secara khitmat oleh penampilan seni Hadrah dari Ranting ISHARI desa Mojowarno. Pembukaan Hadrah molor hingga jam 20;00 dari jadwal semula jam 18:00. Hal ini dikarenakan Ranting ISHARI ini memiliki kegiatan rutin saban malam Jum’at untuk berhadrah di masjid seusai magrib (17:45-80:00) yang tidak bisa ditinggalkan. Namun sekali lagi, bahwa dalam rentetan Lawatan Budaya tidak menekankan teori praktis bardasar sketdjoule jadwal yang kemudian memaknai kegagalan jika terjadi kemelencengan dari planing terterap, tetapi lebih menekankan kesempatan, kemauan, serta kebersediaan tampil urun mengisi. Ketidaktepatan waktu bukanlah hal yang esensi, sepanjang satu fihak dengan fihak lain dalam waktu tunggu benar-benar masih berjuang bersama, berkesenian di tempat lain. Dengan demikian tidak ada kesan yang terbangun akibat kemoloran yang dianggap mencuri waktu orang lain.

Orasi Budaya

Seusai Hadrah, acara dilanjutkan dengan pemaparan konsep ‘Watak Nusantara Sebagai Negara Agraris’ oleh Pak Sunu Budiman selaku wakil warga desa Mojowarno. Dalam paparannya, Pak Sunu mengudal sejarah Majapahit yang khusus berkaitan dengan wilayah Mojowarno berdasarkan cerita turun-temurun dari nenek moyang setempat. Di antaranya bahwa sentra perekonomian Majapahit dahulu terletak di pelabuhan Canggu (sekarang wilayah sekitar pabrik Ciwi Mojokerto). Di Canggu ini dahulu serupa teluk yang menjorok dari sungai Brantas dan bermuara di selat Madura. Pusat pelabuhan Canggu tersebut sekarang ditandai dengan ‘Tugu atau Tonggak Gajah’. Dari Canggu inilah terkait erat dengan Mojowarno yang ditandai Candi Pangungak-an yang dalam bahasa masyarakat setempat berarti ‘ngenguk, nginceng, ndilok, memantau. Candi Pangungak-an berfungsi sebagai pengontrol, daya filterisasi berbagai transaksi dagang yang berlangsung di pelabuhan Canggu.

Pak Sunu juga menyingkap perihal ras asli warga Mojowarno berasal dari 3 wilayah, yakni Gunung Kendeng, Sidoarjo dan Yogyakarta. Khusus yang dari Jogja, adalah anak keturunan Pangeran Diponegoro yang lari ke wilayag timur saat geger makam leluhurnya yang hendak digusur Belanda yang mencanangkan pembangunan jalan Anyer-Situbondo.

Begitu pula ketika Pak Sunu memaknai buku ‘Negarakartagama karya Sota Soma dan Emputantular, kata Karta=aturan, Gama=senggama yang artinya menjalankan berkehidupan warga yang berhubungan erat dengan pertanian (sistem agraris).

Dalam buku Negarakartagama juga digambarkan pola budaya zaman Majapahit yang tertera semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Waha Wisesa’, yang diasumsikan sebagai kekuatan simbol kesederhanaan. Di mana kesederhanaan juga meliputi cara pribumi dalam mempertahankan tanah airnya dengan semboyan “Sak Dumuk Bathuk, Sak Nyari Bumi, dibelani sampek mati.”

Pak Sunu mengakhiri sambutannya dengan menyimpulkan contoh kongkrit keberadaan warga Mojowarno yang hingga kini belum terjadi kasus sengketa tanah antar warga. Ketidaksepahaman yang mengarah ke konflik warga, cukup diredam dengan rundingan antar sesepuh desa.

Monolog Andhika (Yogyakarta)

Meskipun anggota ISHARI kelar menampilkan tugasnya, tetapi mereka tidak langsung pulang. Anggota yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut kemudian bergabung bersama para seniman untuk menyaksikan pementasan monolog sesi pertama yang diperankan oleh Andhika (Yogyakarta) dan sesi ke dua yang dibawakan oleh Galuh (Surabaya). Pementasan Andhika yang menyodorkan teater tubuh, gerak tanpa kata, tubuh yang berbicara, bagi warga desa terkesan rada aneh. Mereka membayangkan Andhika sama dengan pemain pencak silat jaman dulu yang hanya mengungkapkan ekspresi tubuh ketika menyelaraskan musik. Saya sempat bertanya kepada salah satu penonton, “apakah bapak mengerti apa yang dimaksud penari ini?” “Tidak,” jawabnya. Saya bertanya ulang, “tetapi apakah bapak percaya bahwa dibalik tariannya, sesungguhnya ada yang dimaksudkan tentang suatu hal?” “ Ya.”

Monolog Galuh (Surabaya)

Sesi kedua, panggung diisi pementasan monolog rekan Galuh (Surabaya) yang mengangkat tema kritik pengaruh globalisasi dengan judul ‘Kebun’. Naskah yamg diangkat Galuh bukanlah naskah berat, sebab masyarakat udik sudah akrab dengan cerita klasik ‘Kancil Nyolong Timun’. Namun, di sinilah kepiawaian Galuh sebagai seniman tertantang untuk menyuguhkan takhnik penceritaan berbeda dengan alur cerita umumnya. Galuh sebagai tukang cerita, berperan menjadi tiga aktor sekaligus, yakni Si Akulirik, Si Kancil dan Petani. Saat berperan sebagai tokoh Kancil, Galuh langsung berimprovisasi dengan salah satu penonton yang seketika didapuk sebagai Pak Tani yang memergoki ulah pencurian Kancil. Tokoh Pak Tani yang tanpa latihan proses teater terlebih dulu, spontan mampu ber-ekting geram dan berkacakpinggang di hadapan Kancil.

Konsep berkesenian Galuh yang demikian, seperti menjabarkan pertanyaan Arifin C Noer dalam opini pendeknya yang terangkum dalam buku Teater Tanpa Masa Silam (DKJ 2005). Berawal dari pertanyaan siapakah Aku, dalam kaitannya dengan Alam dan Karya, Arifin C Noer melesapkan Aku menjadi Kita. Kita harus senantiasa bocah dan alam menjadi teman sepermainan. Sehingga terjalin hubungan seumpama lelaki dan perempuan yang menghidupi kelengkapan alam anorganik, fisis-chemis, yang kimiawi, vegetatif, animal, human, supranatural dll. Lebih spesifik dari Arifin C Noer, Asrul Sani menyebutnya ‘keterlibatan seluruh civitas teater’ yang meliputi penonton, pewarta, bahkan EO sekali pun yang ia tulis sejak tahun 50-an dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Suspansi pementasan Kebun memasuki titik klimaks naskah yang diangkat Galuh. Yakni ketika ‘Kancil’ terlelap tidur dalam kurun sejarah yang teramat sangat lama, dan diperagakan Galuh dengan bersandar pada salah satu bahu penonton. Terkesan sekali, simbol dua subyek yang enjoi dalam (kesepakatan) keterlenaan. Hingga saat sejarah membangunkan ‘Kancil’ dengan perubahan menyeluruh yang tidak terduga, yakni suara gemuruh 2 motor vespa yang sejak sore dipasang asesoris panggung. Kancil pun tergeragap bangun. Ia kaget. Betapa keterlenaan sejenak, sejarah sudah berubah menjadi modernisasi deru mesin. Yang paling naïf bagi Kancil ialah betapa matanya kehilangan entitas kebun Pak Tani sebagai lahan curian timunnya, telah berubah menjadi gedung pabrik, mall, reil estate. Namun keberhasilan Galuh masih ditentukan di akhir pementasan, yakni ketika Galuh merayu-sentuh hati penonton untuk diajak menyaksikan gubuk dan patung yang berjarak 100 meter dari ruang pementasan. Gubuk yang dibangun oleh Sanggare Cah-Cah Tuban, mengingatkan betapa penting dan mahal karya petani meski pun berupa gubuk di tengah sawah, patung bikinan untuk menggusak manuk, atau sekedar umbul-umbul klaras bahkan kain warna warni sebagai pertanda padi (mbok Sri) hamil dan tingkepan (tradisi tileman). Kesadaran hal ini sengaja ditohokkan oleh Galuh dan Sanggare Cah Cah Tuban, bahwa komunitas petani dengan segala kecerdikannya menyiasati hasil panen lebih baik dengan sistim kerja nyaman. Sedang pada sisi lain, Galuh mengungkit ke tumpangtindihan budaya kota yang masih merindukan suasana desa, sementara di sisi lain, petani mulai meninggalkan kebudayaan desa dan merindukan suasana kota. Berbeda dengan ‘viuw rich farmer’ di Bali misalnya yang kalau kita amati pada 5 tahun terakhir mulai digarap ‘aspal setapak di tengah sawah’ untuk para turis yang ingin menikmati keindahan persawahan.

Repertoar tanggal 24 Juni 2011

Shering bersama Agung PW

Seri Lawatan Budaya pada 24 Juni 2011, menghadirkan Agung PW yang membahas seputar tema‘Heritage’. Ada wacana tak terduga dari pemaparan Agung PW, yakni penelusuran mengenai struktur wajah kebudayaan klasik hingga berbagai perubahan yang terakibat oleh perkembangan kebudayaan itu sendiri. Khusus wilayah Mojowarno misalnya, Agung menilai perubahan struktur artistik bangunan masjid, gereja dan beberapa model bangunan telah berganti still dari eksteroir lama. Begitu juga bidang pertanian, sistem kapitalisasi pertanian, sertamerta merubah pola pengolahan tanah, pupuk, pengairan dsb yang cenderung bersifat individualis (baca makalah Agung yang berjudul: Untuk Siapa Heritage Indonesia? Di http://dawetnesia.blogspot.com). Seperti diperkenalkan Abdul Malik dari komunitas Banyumili Mojokerto, bahwa sosok Agung PW, adalah seniman lokal Mojowarno yang luput dari jaringan seniman Jombang, padahal kiprah kesenimanannya berbasis STIBA Malang jurusan Inggris-Prancis angkatan tahun 87. Maka, menjadi berbobot jika kajian Heritage kemudian didasarkan atas perbandingannya selama ke Jepang (2008) dalam program Shimane-Indonesia Exchange of Traditional Arts.

Orasi Puisi Bersama 17 Penyair

Serentetan Lawatan Budaya tanggal 24 malam digebyarkan oleh gemuruh 17 penyair dari berbagai kabupaten. Acara yang rencana dimulai pukul 18:00 mundur hingga 20:00 WIB. Penyebab molornya ialah keterlambatan Gamelan Musik S’ketika yang jauh sebelumnya bersedia mengiringi kerempekan selama pembacaan puisi. Namun keterlambatan musik S’ketika tidaklah berarti jika dibanding kesediaannya turut mengisi acara, sebab semua menyadari bahwa awak musisi S’ketika baru pulang dari misinya mengikuti lomba di Probolinggo. Lebih tidak sebanding lagi jika ditilik dari perjuangan musik S’ketika yang di beberapa event kesenian di Jombang, tulus menyumbang memeriahkan. Dari liputan Tim Lincak Sastra misalnya, sempat menemui pemanggungan S’ketika yang kian ‘oke’(rancak) bergaya ‘ngiyaikanjeng’, namun lebih spesifik ke musikalisasi puisi. Tidak hanya di lawatan Budaya saja Sketia tampil, pada 10 April 2011, musisi ini mengiringi kehadiran Afrizal Malna dan Titarubi di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang. Tanggal 14 dan 28 Mei, S’ketika juga tampil secara sukarela di agenda rutinan Angkringan Seni di Dinsosnaker Jombang. Dan masih banyak lagi perjuangan musisi S’ketika di berbagai tempat, berbagai event, berbagai komunitas Jombang dan luar Jombang.

Sayup irama musik S’ketika mulai melantun dengan salam pembuka, khas musikalisasi puisi. Satu-dua tembang yang sekaligus menghantarkan MC (Yosi Ari Wijayanti dari Universitas Nusantara PGRI Kediri angkatan 2010) membaca larik-larik puisi Lawatan Budaya. Bait puisi yang sengaja diformat ‘Jejer-an” untuk mengikat ruang, memfokuskan kesadaran bahwa yang sedang berlangsung adalah pemaknaan sejarah dengan sastra. Cuplikan puisi Lawatan Budaya yang dilantunkan Yosi adalah:

Agenda Sastra pada serangkaian acara Lawatan Budaya di Balai Desa Mojowarno tanggal 24 Juni 2011)

(detik-detik penghantar Lawatan Budaya: diiringi instrument dengan lirik kalem oleh Musik S’ketika)

marilah mengunjungi bumi
di sana, milyatan manusia bersemayam
besama para Nabi terkasih
uluran tangan cintanya mengusap kerisauan, membelai ketenteraman
malayang sebulir padi. dengan sinar ke-emasan, jatuh dari angkasa
tepat, di dekat kutub selatan dan katulistiwa
terbentang berserakan indonesiaraya
kepulauan yang bergandeng-gandeng mesrah
sebuah negeri hijau ranau pantulan surga
kala pagi menyingsing. surya merangkak mendaki bebukitan
sinarnya semburat menerpa dedauanan
ceracau burung perenjak berkicau riang sambil bertelantingan di antara ranting dan dahan
sapi dan kerbau berdengau
panas mencandai hijau lembir klorofil
‘clak’, cangkul petani menyapa sawah
liuk pucuk padi, mekar mayang dan kembang tebu
kala malam menjelang
matahari beranjak pulang
cakrawala senja mengusap merah menjadi jingga
perlahan remang dan gelap mendekap hari
keriuk srengai sayap belalang, kerik jangkrik, denging anai dan keret bajang
menyambut tapak kaki perantau, menimang tubuh pejalan jauh, memijit lelah membuai manja.
selamat datang kembara jiwa. para perekam gravitasi sejarah.
inilah selonjor negeri memanjang bagai sajadah
dari langit ujung timurnya menyerupai peta yang dibawa rasul dari sidratul muntaha
peta takhiyat. kaki kiri bertekuk menjadi semenanjung Blambangan, Ketapang, sepanjang pantai Sritanjung. sedang kaki kiri berselonjor menjadi Madura. Jawa Timur, peta kebangkitan jaman.
sebuah negeri, dengan 10 gunung menjulang.
sebuah negeri, aliran sungai Brantas memanjang
sebuah negeri, bermekaran warna-warni, warno-warno, ijo-abang, Mojowarno-Jombang.

(Dilanjut dengan ucapan selamat datang kepada para tamu yang hadir)

Susunan acara sastra pada Lawatan Budaya tanggal 24 Juni 2011

Iringan Musik S’ketika:
-Mahendra PW……(Jombang)
-Ahmat Fatoni…….(Mojokerto)
-Toni Saputra…… (Trenggalek)
-Kukun Triyoga……(Mojokerto)
-Yoyok SP……….. (Nganjuk)
-Iwan Kapit………..(Kediri)
-Sabrank Suparno (Jombang)

Iringan musik S’ketika:
-Jabbar Abdullah……(Mojokerto)
-Juwaini………………(Kediri)
-Ratna Kumala……….(Nganjuk)
-M. Ali……………….(Gersik)
-Chairul Anwar………(Malang)
-Glewo Anam…………(Mojokerto)
-Titin Darma Ayu……..(Tuban)

Iringan musik S’ketika:
-Mbah Rego …………(Nganjuk)
-Abdul Malik………….(Mojokerto)
-Lek Mujib…………….(Jombang)
-Saiful Bahcri ………….(Mojokerto)
-Kotak Hitam……………(Lamongan)

Instrument musik S’ketika yang piawai dalam lekak-lekuk perpuisian, terus mengiringi setiap pembacaan berlangsung. Sebuah usaha memaksimalkan bunyi pendukung kekuatan penyampaian karakter puisi.

Mahendra PW yang didapuk sebagai pembaca pertama, durasinya terhambat oleh ‘byar-pet’jegleknya listrik yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Bahwa penambahan watt yang diserap banyaknya gamelan musik S’ketika, sertamerta mengurangi daya kekuatan listrik dalam gedung tersebut. Namun demikianlah refleksi yang terjadi, suasana gelagapan dadakan seperti turut memaknai bahwa sejatinya puisi terekam dari siang-malam, gelap-terang, kalut-nyaman. Keadaan demikian tidak menjadikan Mahendra PW kehilangan performa. Ia tetap memanfaatkan improvisasi dengan penonton walau dalam kondisi ruangan gelap. Menggali kekuatan suara. Tanpa lampu. Tanpa pemandangan.

Akhmad Fatoni, penyair berbakat dari Mojokerto tampil mengesankan dengan tiga judul puisinya: tentang kau yang ingin pulang, tentang penyair, dan cerita seorang petualang. Dengan matanya yang tajam, Akhmad Fatoni mulai berani menghidupkan pembacaannya. Tidak jauh dengan Akhmad Fatoni, rekan Iwan Kapit menggali ke PeDe annya dengan berpenampilan ala Taufik Ismail yang khas dengan topi baretnya. Kegenitan Iwan Kapit, saat ia mengekspresikan puisi binalnya yang membincang soal wanita simpanan. Iwan Kapit bersuit bagai barisan kigolog yang menunggu antrian tante-tante nakal di jembatan Delta Plasa Surabaya.

Banyak teori pembacaan puisi yang diperagakan oleh para penyair dalam serangkaian cara Lawatan Budaya. Jabbar Abdullah menyerupai sastrawan China-Taiwan yang berorasi sekedar membaca biasa, namun isi kedalaman puisi itu sendiri yang paling menentukan bobot. Demikian juga Glewo Anam, ia tampil khas dengan rambut panjangnya yang diikat. Sementara Abdul Malik berdandan dan bergaya Sipitung atau para peronda desa dengan sarung di leher dan memakai kopyah hitam.

Kekuatan orasi puisi Yoyok SP justru pada semangatnya yang menggebu di belantika perpuisisan. Didukung usianya yang cukup wareg dalam mengenyam asinnya garam, Yoyok SP merapal puisi puisi sumblim karyanya. Begitu juga Rego Ilalang, tak sekedar bait puisinya yang hidup ketika dibaca, namun ekspresi wajahnya ketika menghantarkan kalimat, merupakan catatan tersendiri bagi seorang Rego, ekspresi yang puitif.

Penampilan nyleneh justru diperankan Tosa Poetra, penyair yang bermukim di kaki bukit Jaran Dawuk Trenggalek. Sebagaimana Rego Ilalang, Toni Poetra berpenampilan atribut khas Jawa kulonan, yakni memakai udeng. Namun Tosa Poetra mirip dengan penampilan Sosiawan Leak yang ketika membaca puisi, merubah dirinya dulu menjadi babi. Tosa Poetra merubah dirinya menjadi Jaran Dawuk atau Kuda Putih. Ia mondar-mandir menguasai panggung dengan aksesoris krincingan. Ulahnya pun liar bagai kuda lepas kendali. Demikianlah Tosa Poetra dengan khas Jaran Dawuk sebagai inspirasi kekuatan lokalnya.

Cak Juwaini dan Choeroel Anwar, ke duanya bagai Nakula-Sadewa bila bertemu dalam satu panggung. Wajah, rambut, usia dan perawakan, ke duanya menyerupai Rendra si Burung Merak. Cak Ju dengan karakter panggung yang gelenggem namun menggema, sementara Choeroel Anwar menambah ulah performennya dengan membaca puisi sambil berdiri di atas meja yang kebetulan tersedia sebagai properti panggung.

Agenda yang terhapus dialami penyair Kukun Triyoga. Ketidakhadiran Kukun tersebab berbarengan dengan 7 hari meninggalnya orang tua penyair ini. Sehingga, selaku MC, Yosi Ari Wijayanti merefleksi ketidakhadiran Kukun dengan mengajak seluruh hadirin untuk membacakan do’a yang dikhususkan pada almarhum orang tua Kukun Triyoga. Namun ketidakhadiran Kukun, tidak mengurangi jumlah pembaca puisi, sebab seketika tergantikan oleh hadirnya penyair wanita asal Nganjuk, Ratna Kumala. Meski belum terdaftar sebelumnya, Ratna Kumala tidak mampu membendung demam panggungnya sebagai penyair. Ia segera menghubungi panitia untuk turut membaca puisi walaupun suaminya harus rela menggendong anaknya yang sedang menangis ketika Ratna membaca puisi. Shound pun menggelegar berkat suara sopram Ratna. Saya, sempat bertanya kepada suami Ratna, “apakah Mas, sering menyaksikan sang istri membaca puisi?” “Ya, saya selalu menghantarkan dia, itu hobinya.” Saya pun mencandai anaknya Ratna dengan mengatakan, “lihat itu! Mamamu sedang membaca puisi. Kau harus lebih hebat daripada Mamamu!”

Dari kawasan timur wilayah Gerbang Kertasusila juga hadir penyair wanita Titin Ilfam Mulib (Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Widya Darma Surabaya Angkatan 2009). Gadis kelahiran asli Tuban ini membacakan dua puisinya yang berjudul: Kemunafikan Fana // Menggerus Lokalitas. Sebagaimana Titin, M. Ali dari Gersik juga berpenampilan lugu, namun dibalik kepolosan sikapnya, tak dinyana kedua penyair kawasan timur ini memiliki kekuatan jiwa kepenyairan yang handal. Sedang saya sendiri yang jauh hari sebelumnya mendaftar baca puisi, sempat membaca puisi panjang yang berjudul: Ujaran-Ujaran Ambradoz. Itu saja. Sementara Muhammad Mujiburrohman (Lek Mujib) membacakan puisinya yang berjudul: Cuci Otak. Dengan khas suara bass, Lek Mujib menggedor-gedor kritikan tajam tentang berbagai ketimbangan kebudayaan dan cara berfikir. Gaya pembacaan puisi Lek Mujib di Lawatan Budaya, tidak jauh beda ketika satu panggung dengan D.Zawawi Imron, Sosiawan Leak, serta Max Arifin (alm) di Undar dalam acara Gebyar Malam 1001 Puisi sekitar tahun 2000-an.

Refleksi Puisi bersama Kris Budiman (Yogyakarta)

Serampung seluruh prosesi pembacaan puisi, agenda tanggal 24 Juni malam, ditutup dengan diskusi puisi yang dipandu Kris Budiman (Sosiolog Sastra dari Yogyakarta). Sebagaimana peserta yang lain, Kris Budiman juga rewang untuk menghadiri Lawatan Budaya. Sebuah keterlibatan yang petut diacungi jempol, lantaran kebesaran namanya di dunia sastra, tidak lantas mengkederkan diri untuk terlibat membina generasi penerus sastra. Keterlibatan Kris semacam ini, merupakan konsekuensi tersendiri sebagai profesionalis di bidangnya.

Dalam menyikapi budaya pembacaan puisi panggung, Kris Budiman berpendapat bahwa di Indonesia khususnya, puisi panggung merupakan ciri khas tersendiri, di mana puisi dipresentasikan dengan memadukan tekhnik berteater. Yakni usaha pendiskriftifan makna puisi dengan mengeksplorasi berbagai bentuk personifikasi. Puisi tidak sebatas ditulis dan dibaca. Memasuki wilayah kesempurnaan maknanya diperlukan berbagai cara untuk menghadirkan puisi secara utuh. Di sinilah pentingnya pemanggungan puisi, di mana pendekatan berbagai unsur: analitik, parafrase, emotif, ekspresif, histories, sosiologis, mimesis dll lebih mengena. Kris juga menyinggung secara khusus pendekatan puisi berdasarkan filologis. Adanya perbedaan morfologis pada setiap bangsa yang berkenaan dengan bahasa lokal. Orang-orang Inggris asli cukup berbicara dengan gerakan dagu. Berbeda dengan Orang Indonesia yang berbicara bahasa Inggris dengan mengandalkan bibir yang kemudian terkesan besosol (moncong).

Menyoal demam puisi pendek yang lagi digemari di Indonesia, Kris Budiman mengatakan sebagai gejala adopsi dari bentuk puisi Heiku Jepang. Di samping itu ada gejala kreatifitas lain seperti yang dilakukan Gunawan Maryanto yang sedang menggarap puisi berpolah tembang macapat Jawa, dengan ciri memperhitungkan jumlah ketukan, suku kata, sajak serta rimanya.

Repertoar Tanggal 25 Juni 2011

Diskusi bersama Joko Bibit Santoso (Teater Ruang Solo)

Makalah dengan tajuk “ Fakta Teater Yang Selalu Dipungkiri Secara Sosial” ditulis khusus oleh Joko Bibit Santoso untuk agenda Lawatan Budaya pada 25 Juni. Joko Bibit menuangkan catatan ringan yang terjadi pada kurun 1999 hingga 2005 berkenaan dengan fakta teater yang dilakoninya. Seorang pemuda kampung menanyakan hal sepeleh sebelum masuk anggota Teater Ruang. Apakah berteater bisa menjamin masadepan saya? Beberapa bulan kemudian (Fakta tahun 2000), pemuda tersebut dikirim Joko Bibit ke workshop kelompok teater terkenal dari Perancis. Alkhasil, ia terpilih menjadi aktor dalam karya terbaru mereka. Selanjutnya sebagai langkah pembekalan ia dikursuskan bahasa Inggris dan Perancis. Dalam kontrak 1 tahun pentas keliling dunia: Eropa, Amerika, Australia, Afrika, gaji pemuda tersebut 10 kalilipat gaji Walikota yang waktu itu sekitar 2 juta/bulan. Setelah keberhasilannya, si pemuda membelikan televise 1 inci untuk orangtuanya, 1 sepeda motor untuk adiknya, 2 mobil dan rumah elit di Solo Baru, memberi teman-teman di Teater Ruang masing-masing Rp.250 ribu, sedang untuk Teater Ruang sendiri senilai 1 juta. Namun ditolak oleh Joko Bibit dengan alasan sederhana: Bukan lantaran uang seseorang menjadi anggota Teater Ruang, bukan lantaran uang pula anggota dipersaudarakan. Namun karena teater mempertemukan anggota sebagai satu saudara.

Lebih jauh sesungguhnya yang diinginkan Joko Bibit terhadap pemuda tersebut adalah melebarkan wacana teater ke masyarakat. Bagaimana menerjemahkan konsep kebersamaan berteater memberi kontribusi-fungsi di luar kelompok teater itu sendiri. Joko Bibit menyarankan agar uang yang diberikan ke anggota Teater Ruang, dialihkan untuk membangun WC umum tempat dia dan keluarganya buang hajat. Dari beberapa kamar WC yang ia bangun, diperuntukkan khusus dia dan keluarganya, pasti diijinkan warga.

Pemungkiran terhadap fakta teater kian kentara pada sikap pemuda kampung tersebut setelah sukses. Ia benar-benar lepas dari kebersamaan. Diceritakan Joko Bibit, saat kelompok Teater Ruang membangun gedung ‘Kenthot Roejito’secara bergotong-royong, pemuda itu tidak membantu dan hanya mampir menitipkan atau menganbil barang saja. Akhirnya si pemuda dikeluarkan dari keanggotaan Teater Ruang. Setelah kontrak kerjanya habis dengan kelompok teater Perancis, perekonomian pemuda tersebut pun ambruk. Mobil, rumah, dan segala kemewahannya ludes terjual. Ia kembali bersama keluarganya menempati rumah kontrakan dengan atri WC umum seperti semula.

Fakta teater yang diceritakan Joko Bibit di atas, pada akhirnya dialegorikan pada fakta teater yang dialami Joko Bibit sendiri belum lama saat tulisan ini diturunkan. Dengan tulus berteater, Joko Bibit mengalami keajaiban tak terduga pada keluarganya. Saat anaknya masuk Fakultas Kedokteran UNS, uang regristasi senilai 7 juta tiba-tiba dibayar seseorang yang senang anak Joko Bibit masuk di Kedokteran. Tidak hanya itu, buku-buku mahal pun dibantu gratis oleh dosennya. Uang gedung senilai 10 juta dibebaskan. Dan masih mendapat beasiswa tiap semesternya senilai 5 juta dengan rincian 2 juta untuk membayar SPP, 3 juta untuk uang saku. Ditambah lagi uang regristasi senilai 7 juta yang sudah dibayar, dikembalikan pihak kampus dan akhirnya dibelikan motor untuk transportasi kuliah.

Lain makalah yang ditulis Joko Bibit, lain pula kegayengan saat berdiskusi. Menyikap iklim perteateran di Jombang yang hanya berproses ketika menghadiri event, terutama itu dijadikan konsep dasar teater pelajar, Joko Bibit mengkritik tajam. Berkesenian yang bertumpu pada event-EO, hanyalah berujung pembangunan nama besar bagi dirinya. Kebudayaan EO berakibat mematikan kreativitas kesenian yang pasti mandul jika tidak dikucur dana, dan cara berkesenian yang bertendensi materiel lebih baik membubarkan diri.

Kedatangan Joko Bibit bersama 2 pasukannya yang tergabung dalam Komunitas Tanggul Budaya (Solo), menyelingi diskusi dengan beberapa nomor puisi dan diiringi musik Siter. Bobot keilmuan berteater Joko Bibit pun tidak dilewatkan para seniman Jombang untuk Hadir. Tampak Ketua Dewan Kesenian Jombang (Agus Riadi), Inswiardi, Anjrah Lelono Broto, Farid Dulkamdi, A. Nugroho, Bambang Bei Irawan dll. Anjrah sependapat dengan konsep berteater Joko Bibit, bahwa jikalau seniman berani menentang arus, suatu saat arus akan mengikuti seniman penentang.

Seusai acara, Joko Bibit dkk megunjungi beberapa situs sejarah Majapahit bersama Riris selaku tuan rumah, dengan perhitungan senyawang berada di sekitar pusat Majapahit.

Monolog Herwasis W. Putro (Teater Laskar-Tuban)

Tema apa yang hendak diperankan Herwasis? Saat panggung terbuka, penonton disuguhi lantai penuh jerami serta properti kursi menggantung. Sebagai petani, orang desa, sang tokoh tidak hanya kehilangan lahan persawahan yang merupakan entitas seni tersendiri dalam hidupnya, melainkan kehilangan loyalitas generasi penerus bangsa yang kian tidak memahami budaya negeri sendiri. Naskah yang didaur seimbang antara realis dan surealis itu masih dipahami penonton ketika memparafrasekan kelangenan masa kecilnya yang hampir seluruh anak bangsa mengingatnya. Lantunan lagu kebangsaan, “Garuda Pancasila / akulah pendukungmu / patriot proklamasi / setia berkorban untukmu,” sayup sayup menyeret kenangan ke dalam relung masa kanak-kanak di bangku sekolah dasar. Dengan koor lagu Garuda Pancasila memletikkan semangat menyala dalam jiwa yang membubungkan harapan setiap anak, agar negaranya kelak gagah perkasa seperti Garuda sang Rajawali.

Realitas masa kecil yang kemudian dihadapkan pada ketimpangan masa kini, mengilhami Herwasis dalam menggarap monolognya. Semestinya kebesaran Indonesia di masanya, masa yang diidam-idamkan sejak kecil tidak pernah terwujut menjadi sosok Garuda pujaan, lantaran tapuk pemerintahan dipegang pemimpin berkarakter emprit dan cipret. Atau keputusasaan menjadi Garuda undil yang sayapnya tidak bisa mengepak lebar, lantang berkoar, terbang jauh melintasi benua dan pulau, serta daya akomodasi cupet terhadap mangsa jarahan. Sementra di sisi lain, militansi logosentrik yang kadung mengental di badan sejak kecil, sulit untuk dirubah. Yakni kesadaran bahwa perangkat organ Garuda sesungguhnya simbol yang lemah sebagai karakter suatu bangsa. Bukan sosok Garudanya, melainkan jumlah 17 sayap, 8 ekor, 45 bulu tidak memadai keperkasaan terbang sang Garuda ketika terbebani 5 perisai yang begitu besar. Di sinilah kelemahan burung Garuda idaman, tidak kuat terbang dan cenderung mengurung dalam sangkar dan hanya mematuk makanan yang tersedia di hadapannya.

Jika menilik ulang sejarah jumlah organ Garuda yang dipahami berhubungan erat dengan hari kemedekaan Indonesia, yakni 17-8-1945, sesungguhnya tidak lepas dari pengeboman Herosima dan Nagasaki Jepang oleh pasukan Sekutu pada 14-8-1945. Setelah 3 hari masa vocum, barulah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Padahal bisa dibayangkan jika Herosima dan Nagasaki dibom tanggal 31 Januari. Nah, jika logosentris dihubungkan dengan hari kemerdekaan, betapa Garuda sebagai lambang negara adalah burung bersayap berindil.

Monolog ‘Nyanyian Angsa’ oleh Arif (Teater Swara Malang)

Sejak awal panggung disetting satu bentuk untuk beberapa kali penampilan. Panitia menyarankan bila terjadi pergantian konsep tata ruang atau properti, pemeran dimohon berkordinasi dengan rekan yang tampil lebih awal, sehingga memudahkan proses penataan ruang kembali tanpa merubah total.

Menyambung penampilan Herwasis, Arif menggarap ‘Nyanyian Angsa’ naskah karya Chekhov. Setting tokoh sengaja dikondisikan dengan kebudayaan aslinya, sehingga tampaklah Arif seperti bule Chekoslovakia masuk desa. Naskah yang mengisahkan pentingnya penghargaan kasih sayang kepada seorang gelandangan sekali pun.

Kemiripan cerita yang sama pernah digarap Yenusa Nugroho dalam cerpennya Kalung Kolang Kaling (Jawa Pos..2010). Tentang betapa sunyi jiwa seorang tokoh panggung terkenal kala pertunjukan usai. Yel yel riuh tepuk tangan penonton tidak terdengar sebagaimana di atas penggung beberapa jam sebelumnya. Sang tokoh tidak memerankan ketokohannya, dan kembali memerankan diri-sendiri di balik layar, di gedung yang semua orang sudah bubar, bahkan tinggal dirinya sendiri. Apalagi bagai jatuh tertimpa tangga, akibat kecapekan berakting, sang tokoh nyaris tertidur dalam gedung pertunjukan yang terkunci. Apalah arti kekondangan, hanya dieluhkan sebatas profesionalitas belaka, dan bukan sebagai manusia yang membutuhkan kelengkapan kasih-sayang perangkat rohaniyah. Sendirian dalam gedung gelap, betapa sunyi yang menghiris, menyayat, mencabik sanubari. “Yegorka..! Pedruska..!” Demikianlah sang tokoh kesunyian jiwa Svetlovidof (Badut tua) memanggil dua penjaga gedung pertunjukan yang menguncinya. Naïf bagi Svetlovidof, ia hanya menemukan Nikituska (Ivanits) seorang kawan akting pemeren pembantu yang pasti menjadi teman setia satu-satunya dalam gedung tersebut. Alkhasil, ditemukanlah Nikituska tertidur dalam almari. Keduanya lalu bergurau, mamahami arti ketenaran yang pincang dan lucu jika dihadapkan pada dua realitas, yakni panggung dan kehidupan nasibnya. Dalam gedung kosong tersebut, mereka berdua memerankan diri mereka sebagai manusia yang menggali penghargaan kasih-sayang antar sesama.

Dalam diskusi setelah pementasan Herwasis dan Arif selesai, barulah kedua pemeran mendapat apreseasi serta beberapa kritikan dari penonton. Juwaini (Cak Ju) penyair Kediri yang sempat bermalam beberapa hari di Lawatan Budaya, mengkritik penampilan Arif dengan monolog ‘Nyanyian Angsa-nya’, terlalu sembrono dengan properti cagak mikorofon, betapa properti yang tidak berhubungan dengan pementasan, sangat mengganggu pemandangan, apalagi juru kamera.

Repertoar 25 Juni 2011

Workshop Mendongeng oleh Rumah Baca Kol. Sampoerno, Mojokerto

Rentetan Lawatan Budaya Mojowarno juga tak luput dari bidikan seniman yang memperhatikan pembentukan, perkembangan jiwa anak-anak. Metode cerita atau mendongeng dinilai media paling efektif untuk menancapkan patok nilai moral sejak file jiwa anak masih putih dini. Selaras dengan sistem nourologi, di mana otak mampu memutar ulang memori hingga 60 ribu kali setiap harinya, dongeng atau cerita yang baik, syarat dengan pembentukan karakter nilai moral, dimungkinkan rekaman yang merasuk saat anak dini, akan diputar ulang saat anak dewasa dan memegang tampuk pimpinan sejarah akan datang.

Atas dasar itulah Komunitas Rumah Baca Kol. Sampoerno Mojokerto merasa penting berkesenian dengan melibatkan anak-anak. Gagasan ini juga menyadarkan para pendidik dan orang tua, bagaimana seharusnya mempengaruhi pendidikan anak dengan pola harmonisasi keluarga, anak, dan pendidik. Yaitu bagaimana masing masing berperan aktif dalam porsinya, orang tua berteater keseharian sebagai orang tua, pendidik sebagai guru, dan anak berperan sebagai anak. Contoh semisal pada sistem pengajaran anak yatim-piatu se-Indonesia, para pendidik mengajarkan anak berwajah melas, memperihatinkan, nelangsa ketika mereka berhadapan dengan para donatur. Pembentukan karakter demikian terhadap anak didik, sangatlah keliru, sabab hanya membangun mental anak berpangku tangan pada belas kasihan atas perubahan nasibnya. Bukan sebaliknya, bermental tangguh yang tidak akan mengharap pada siapapun atas perubahan diri mereka, kecuali meng-asah kelebihan yang bernilai pada diri sebagai mengambilan hak atas dedikasinya. Tidak serakah mengambil hak orang lain, kecuali mengambil hak kelebihannya.

Pantomim dan Puisi Anak Autis

Perhatian terhadap kepedulian anak, hingga me-nyektor ke anak autis yang oleh masyarakat dan kawan sepermainan acapkali termarginalkan. Kekurangsempurnaan takdir yang diterima sebagai manusia normal, membuat anak autis harus berjuang ekstra dalam menyelesaikan tujuan hidup layaknya standarisasi manusia wajar.

Pantomim yang diperankan anak autis, menceritakan rutinitas anak sekolah (desa), bagaimana ia mengawali keseharian sejak berangkat ke sekolah, mandi, naik sepeda sampai di rumahnya, membantu ayahnya mencangkul.

Melalui wahana seni, dalam hal ini teater dan sastra, Lawatan Budaya juga mengapreseasi kemahiran anak autis yang sebelumya terbina ber-pantomim dan puisi. Rasa percayadiri anak autist ini sengaja digali dan dibangkitkan oleh asuhan Hadi Sutarno bersama istrinya (Fitriyah) yang memang sejak lulus Fakultas Psikologi Undar Jombang, mereka bergiat khusus dalam bimbingan anak autis seputar Jombang.

Anak autis ini membaca puisi ‘Aku-nya Chairil Anwar. Namun bagi Hadi Sutarno dan Fitriyah, membutuhkan waktu 3 bulan untuk melatih, baik puisi atau pantomim.

Kentrungan Bersama Sarkadek Lamongan

Seni kentrungan yang dibawa Sarkadek dari Lamongan, merupakan kentrungan khas Lamongan yang menceritakan babat perjalanan para wali. Sebagaimana diketahui, 5 dari 9 wali bermakam dan mukim di Jawa Timur pesisir utara (Gersik, Lamongan).

Gebyar (Semi) Wayang Kulit Bersama Manunggal Laras Bareng-Jombang

Jiwa kesenimanan dalang muda, Heru asal Bareng, yang kini menjabat sebagai KASI Kebudayaan Disporabudpar Jombang, terpanggil untuk rewang mengisi pertunjukan wayang kulit. Kesenian tradisional Jawa yang paling tua itu, merasa perlu diperkenalkan secara mengena ke benak generasi muda yang kian berpaling pada kesenian modern sejalan merebaknya era-facebooker, hp, dan google. Di sinilah dalang Heru memaparkan perihal mendasar dalam pertunjukan wayang kulit. Yakni menyangkut tatanan wayang berjajar memanjang pada lanskap (kleber putih) yang sekaligus sebagai medium pementasan.

Susunan wayang berawal di titik tengah, tempat dalang menggebyakkan lakon cerita. Di tengah inilah tempat Kelir atau Gunungan sebagai membuka sekaligus menutup lakon. Pada kelir bergambar hutan dan singa, simbol suatu adegan sedang memaparkan kondisi wilayah hutan belantara. Sedang kelir bergambar keraton, menunjukkan bahwa lakon mengetengahkan kondisi (sedang) kerajaan, atau negara. Dari kelir menuju pinggir (yang paling jauh dari dalang), tatanan wayang disebut ‘Sumpingan’, yang artinya tatanan menyerupai bentuk kuping, dari lingkaran kecil pusat selaput gendang, kemudian melingkar lebar di tepi. Disebut sumpingan, juga karena bersifat seperti rumah siput. Dalam tradisi wayang Jawa Timuran, istilah sumpingan biasa disebut ‘Sampiran’, yang artinya dari jajaran wayang pada kleber, terdapat satu wayang yang disampirkan. Pada bagian kanan dalang, wayang yang disampirkan di pundak wayang berjajar lainnya adalah tokoh Betoro Guru, sedangkan pada bagian kiri, wayang yang disampirkan adalah tokoh Betari Durgo.

Dalam kesempatan Lawatan Budaya lalu, dalang muda Heru mementaskan lakon ‘Ilange Jimat Kalimosodo’ yang dalam wayang Jawa Timuran dikenal dengan lakon ‘mBangun Candi Sapto Wargo. Lakon yang padat dengan simbolik dan reflektif dengan berbagai alur perubahan tampuk kebudayaan pemerintahan Indonesia.

Ilange Jamus (Jimat) Kalimosodo membeberkan cerita keteledoran pembesar Astina yang kurang peka dalam menyerahkan penentu kebijaksanaan negara, yakni tidak menyeleksi secara tepat perihal: Siapa? Atas nama apa? Kepentingan apa? Akibatnya, kewibawan negara Astina runtuh karena seluruh gudang persenjataan terkuras habis dicuri lawan oposisi sayap kiri yang dipimpin Ratu Bumiloka. Dalam menjalankan aksinya, Bumiloka didukung Adik perempuannya Mustokoweni. Dalam lakon ini, Mustokoweni berperan aktif dengan ilmu kadigdayaannya yang mampu merubah diri, menjelma menjadi siapapun yang dikehendaki. Dengan ilmu mancoloputro-mancoloputri, Mustokoweni tidak kesulitan merebut Jimat Kalimosodo dari tangan para punggawa Astina. Ketika pusaka dipegang Arjuna, Mustokoweni menjelma diri menjadi Kresna yang berpura membutuhkan jimat tersebut. Tanpa syakwasangka, Arjuna pun memberikan Jimat Kalimasada begitu saja. Begitu juga ketika Jimat di tangan Kresna, Mustokoweni merubah diri menjadi orang terdekat Kresna. Namun kekalutan perihal hilangnya Jamus Kalimosodo oleh ulah Mustokoweni diketahui Semar. Dengan gampang Semar turun tangan menyelesaikan kekalutan Astina, sebab Semar yang memahami data sejarah Mustokoweni, mengetahui kalau Mustokoweni mempunyai pria idaman yang digadang menjadi pendamping hidupnya, yakni Bambang Priambodo. Semar pun merubah diri menjadi lelaki imajiner, kekasih bayangan Mostokoweni, yakni Bambang Priambodo. Semar memahami betul bahwa konsep umumnya manusia ialah apapun yang ia punya, akan jemrintil jika berhadapan dengan kekuatan cinta.

Lakon ‘Ilange Jamus Kalimasodo’ mengeja detail politik di Indonesia, bahwa bermacam-macam partai sesungguhnya bertujuan sama, yakni atas nama memperjuangkan kepentingan rakyat. Di sinilah semua partai, lembaga, institusi, komunitas apapun berulah mendo-mendo, merubah diri menjadi pejuang rakyat dalam mengambil simpati masyarakat. Bahkan tak segan-segan menampilkan begraund kekuatan super power meski imajiner di balik kancah perpolitikan sekali pun.

Pementasa Jaran Kepang ‘Tung Dor’ Kesenian Asli Desa Mojowarno

Di samping mempersilahkan seniman luar kabupaten atau propinsi untuk turut menyemarakkan Lawatan Buaya yang didukung Pemerintah Desa Mojowarno, Komunitas Suket, serta Komunitas Seni Mawarno juga menampilkan kesenian tradisi desa sendiri. Kesenian Jaran Dor atau Jaran Kepang yang pelakunya asli warga desa Mojowarno sengaja diuri-uri oleh Kades Catur agar bangkit kembali setelah vocum beberapa tahun. pementasan Jaran Kepang Mojowarno merupakan penutup seluruh rangkaian acara Lawatan Budaya. Seperti pementasan Jaran Kepang umumnya di daerah Jombang, tak kurang 300 penonton berjubel melingkari pelataran pementasan, dari kalangan tua, muda-mudi, dan anak sekalipun. Namun yang berbeda dari penampilan Jaran Kepang desa Mojowarno dibanding performa Jaran Kepang lain ialah proses ‘strum’ atau yang dikenal kerasukan, sengaja memakai strum lepas. Dalam strum lepas ini, proses keranjingan bias saja menimpa secara liar kepada siapapun yang ada di sekitar. Bahkan beberapa penoton gadis berteriak untuk ikut terkana strum. Dan proses strum inilah acara yang paling diminati penonton, bagaimana mereka menyaksikan pemain, teman atau siapa saja kerasukan yang berulah seperti penari Jaran Kepang. Ada yang menarik dari proses strum Jaran Kepang di penghujung Lawatan Budaya lalu, yakni keranjingannya Arif seniman asal Malang yang mementaskan monolog ‘Nyanyian Angsa’,tersaut strum sejak gamelan Jaranan ditabuh. Arif yang berada di dalam gedung Balai Desa, tiba tiba mendengus dan berulah seperti kadal. Ia merangkak serta kuku tangannya mencakar. Beberapa pawang mencoba menyembuhkan Arif, namun proses pemulihan Arif dari roh yang merasuki tergolong kuat. Saya (penulis) dan Bu Lurah Riris D. Nugrahini sempat kebingungan, apalagi saat Arif kerasukan, sempat mencakar beberapa kabel listrik. Dalam kekalutan tersebut, saya dan Riris sempat berbisik, ”sesungguhnya inilah pementasa Arif yang menarik daripada yang ia pentaskan saat bermonolog Nyanyian Angsa kemarin.”

*) Penggiat Lincak Sastra-Jombang.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati