Selasa, 30 Agustus 2011

SENIMAN SENEN

Reiny Dwinanda
Republika, 4 Nov 2007

Jauh hari sebelum Jakarta berdenyut cepat seperti sekarang, kawasan Senen sudah menjadi pusat beragam aktivitas. Mulai dari perniagaan hingga kesenian. Ya, di sanalah tempat berkumpulnya para Seniman Senen. Dulu, saban hari Seniman Senen berseliweran di sekitar Bioskop Grand, pagar Proyek Senen, dan Gelanggang Olah Raga Senen.

Di Senen, sejatinya para seniman tak memiliki tempat yang mewah untuk bertemu. Meski begitu, mereka tetap saja datang ke Pasar Senen. ”Tempat mangkal yang utama adalah sekitar restoran padang ‘Merapi’, kedai kopi Tjau San, dan tukang kue putu dekat pompa bensin,” urai Misbach Jusa Biran, sutradara kenamaan, ketika berbicara pada acara diskusi bertema Kehidupan Seniman Tahun 50-an Seri Tokoh Lintas Sejarah Berbicara yang digelar The Habibie Center, Kamis, 1 November 2007.

Konon, bertandang ke Senen tak ubahnya melanjutkan tradisi semasa para seniman masih menetap di daerah asalnya. Seperti yang dilakukan seniman asal Medan atau Padang. ”Begitu bertemu di Senen, mereka berbaur dengan seniman etnik Betawi, Bangka, Jawa, Kalimantan, Manado,” ujar Misbach yang ketika itu tinggal di Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat.

Siapa saja mereka? Seniman Senen berasal dari segala cabang seni. ”Tetapi, lebih dominan para perintis karir di bidang teater dan film,” jelas Misbach, kelahiran Rangkasbitung, 22 September 1933. Yang menjadi pengunjung tetap Pasar Senen adalah seniman yang sedang berusaha menemukan tempat. Selagi seniman senior bermarkas di kantor-kantor redaksi majalah kebudayaan dan seniman muda berbakat nimbrung di tempat yang sama, seniman lainnya lebih betah berkumpul di Senen. ”Mereka kebanyakan belum punya ‘sertifikat’ seniman, meski sajak atau cerpennya sudah pernah dimuat di penerbitan yang kurang bergengsi,” kata Misbach yang mengayuh sepeda jengki dari rumahya ke Senen.

Julukan Seniman Senen atau Anak Senen lekat menempel pada Misbach, Wachid Chan, Sukarno M Noor, Zulhamans, Muslim Thaher, DQ Lampong, Zen Rosydi, Wim Umboh, Wahyu Sihombing, Menzano, dan Harmoko. ‘Anggota’ tidak tetap juga ada. ”Saya sering datang tetapi tidak pernah ‘mendaftarkan’ diri kepada Wachid Chan Si ‘Camat’ Pasar Senen,” celetuk Ajip Rosidi, sastrawan senior, yang sempat bermukim di Kramat Pulo Gundul, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat.

Ajip mengenang Seniman Senen sebagai kelompok yang awalnya netral dari kepentingan politik. Perbedaan paham, pendirian, atau agama memang sering menjadi bahan perdebatan namun tak pernah membuat mereka terpecah. ”Sejak adanya Konsepsi Presiden tahun 1957, yang menyertakan Partai Komunis Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong, mereka terpecah belah,” kenang Ajip yang di ulang tahunnya ke-70 tanggal 31 Januari 2008 akan meluncurkan autobiografi berjudul Hidup Tanpa Ijazah.

Pergolakan ideologis membuat seniman mengkutub. Misbach bergabung dengan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang terkait dengan Nahadatul Ulama (NU). Anas Bey yang juga Anak Senen menjadi salah satu petinggi Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) bersama Pramoedya Ananta Toer. Di era yang sama, sejarah mencatat Sitor Situmorang mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Menggali ingatan tentang era 1950-1960, Misbach teringat naskah drama Bung Besar. Hasil karyanya yang mulai tersiar di awal 1958 sangat sulit mendapat izin pementasannya lantaran dianggap menyindir Presiden Indonesia pada masa itu, Sukarno. ”Saya jadi takut hingga termimpi-mimpi. Beruntung, di tahun 1965 ada Gestapu. Kalau tidak mungkin saya juga menjadi penghuni Pulau Buru,” kenang Misbach, suami artis Nani Wijaya.

Seniman Senen boleh jadi bukan merupakan komunitas yang terorganisir. Namun, atmosfer yang tercipta dari perkumpulan tersebut berpengaruh positif pada dunia seni. ”Kami sangat bersemangat untuk menghasilkan karya yang bernas meski dananya minim,” kata Misbach yang pensiunan kepala Sinematek.

Misbach merindukan fasilitas kesenian serupa Pasar Senen masa lampau. Namun, bukan sekadar tempat bertemu. ”Tetapi, tempat yang menyediakan atmosfer yang kondusif bagi para seniman untuk menemukan diri, mencari nilai, dan menghasilkan karya,” tandasnya. Seperti masa lalu!

Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2009/12/21/seniman-senen/

Sastra, Planet Senen, dan Potret Buram Bangsa

Ahmadun Yosi Herfanda*
Republika, 7 Sep 2008

MESKI bergerak ke arah perbaikan, negeri ini masih banyak menyisakan potret buram. Dan, itulah yang disorot oleh sastrawan Taufiq Ismail pada orasi sastranya dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka di plasa Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di Planet Senen, Jumat, 29 Agustus 2008, yang lalu.

"Sesudah enam puluh tiga tahun merdeka, apabila kita berharap akan keadilan, masih bisakah saudaraku menemukan keadilan di Indonesia hari ini, setelah pincang, tersaruk digebrak krisis, dihantam bencana, dan kehabisan angka kita menghitungnya," katanya. Ungkapan Taufiq itu tentu bukan untuk membuat kita pesimis, tapi menyadarkan kita betapa masih banyaknya pekerjaan yang harus kita selesaikan untuk mengisi kemerdekaan, betapa masih banyak tugas para pemimpin bangsa untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan, keadilan dan kemakmuran.

Setelah dilanda krisis dan berbagai kerusuhan pada masa akhir kekuasaan Soeharto, bertubi-tubi negeri ini dilanda bencana alam yang dahsyat, sejak tsunami Aceh hingga gempa Yogya. Belum lagi berbagai kasus korupsi dan penggelapan uang negara dalam kasus BLBI dan dana BI misalnya.Melonjaknya harga minyak dunia pun ikut melonjakkan harga BBM dalam negeri yang berakibat makin tergencetnya nasib rakyat oleh kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara, beban hutang negara Rp 1.600 triliun pun menjadi beban tersendiri, yang menyita hampir 40 persen APBN untuk mencicilnya.

Jadinya memang tidak mudah untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman kebangkrutan ekonomi dan kehancuran budaya. Seperti disorot oleh Taufiq pada orasinya itu, akhlak berbagai kalangan masyarakat juga mengalami kemerosotan, termasuk kalangan anggota Dewan, pejabat, penegak hukum, dan sastrawan. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan melanda Dewan, sementara dari kalangan sastrawan banyak yang mengagungkan kebebasan seks dengan dalih kebebasan berekspresi.

"Akhlak merosot, budaya permisif serba boleh menjadi-jadi. Narkoba, alkohol, nikotin, dan pornografi. Hak pakai alat kelamin di badan orang lain tak dihormati. VCD biru dalam kata-kata menjadi gaya fiksi masa kini, asyik dengan masalah selangkangan dan sekitar ini, diusung dengan rasa kagum kronis pada teori-teori neo-liberalisme," kata Taufiq. Pada akhir orasinya, Taufiq bertanya, masih adakah harapan bagi kita, manusia Indonesia? Dan, ia menjawabnya sendiri, "Mudah-mudahan masih ada. Ya, masih ada. Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa, dari atas sampai ke bawah. Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa. Semoga Indonesia kita tetap disayangiNya, selalu dilindungiNya."

Kawasan Planet Senen, yang pada tahun 1960-an menjadi semacam oase budaya bagi kota Jakarta, dan banyak melahirkan seniman besar, belakangan pun terkena polusi moral. Kawasan tempat nongkrong dan tumbuhnya Wim Umboh, Sukarno M Nur, Misbah Yusa Biran, Hamsad Rangkuti, Ajip Rosyidi dan SM Ardan itu belakangan kehilangan citranya sebagai oase budaya. Citra yang melekat pada kawasan Senen, tinggal kawasan bisnis, premanisme dan pelacuran.

Kesadaran untuk merevitalisasi fungsi kultural Planet Senen dan mengembalikan citranya sebagai salah satu oase budaya bagi kota Jakarta, akhir-akhir ini mencul dari beberapa penyair seperti Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu dan Giyanto Subagio. Mereka mencoba mendenyutkan kembali aktivitas kesenian sastra, tari, lukis, dan teater -- dari Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang menempati kawasan Planet Senen.

Untuk mendukung upaya itu pula Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka digelar di plasa gelanggang remaja tersebut, atas kerja sama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Planet Senen (KoPS), serta dukungan penuh Dedy Mizwar, Misbah Yusa Biran dan Taufiq Ismail. "Senen dulu banyak melahirkan seniman besar. Di sini pula dimulainya teater modern Indonesia," kata Misbah.

"Kegiatan ini positif sekali untuk mengembalikan citra dan fungsi kawasan Senen, bukan hanya sebagai kawasan bisnis, tapi juga oase kesenian bagi kota Jakarta," kata walikota Jakarta Pusat Dr Hj Sylviana Murni pada sambutan yang dibacakan wakilnya, Dadang Effendi. "Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini," tambah Kasubdin Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Pusat, Bambang Subekti.

Diawali dengan diskusi bertajuk Sastra Urban dan Kemerdekaan dengan pembicara Irman Syah, Helvy Tiana Rosa, dan Agus R Sarjono, acara dipuncaki orasi sastra oleh Taufiq Ismail. Sebelum orasi, panggung diisi pentas baca puisi oleh Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono, Diah Hadaning, Aby Nuh, Medy Loekito, Misbah Yusa Biran, Jamal D Rahman, Giyanto Subagio, dan Viddy AD Daery, serta baca cerpen oleh Yohana Gabe Threenov Siahaan.

Panggung yang dipasang di sebelah patung perjuangan kemudian diisi baca puisi, antara lain oleh Rukmi Wisnu Wardani, Mustafa Ismail, Sihar Ramses Simatupang, Amien Kamil, A Badri AQT, dan baca cerpen oleh Hamsad Rangkuti. Sejumlah penyair, seperti Imam Maarif, sempat naik ke atas balkon patung untuk membacakan sajaknya. Sejumlah grup musik, seperti Prasta dari Bogor pimpinan Uthe dengan vokalis Irma, serta performance arts Asep Sutajaya dan Abah Bopeng, menyempurnakan acara hingga larut malam.

Kesenian telah kembali menggeliat di Planet Senen, kembali menghamparkan oase sejuk di tengah kota Jakarta yang makin gerah, bising, sibuk, macet, dan penuh dekadensi moral. Semoga saja, kesenian-kesenian yang digelar di Senen adalah seni yang menjaga moral, yang mencerahkan hati nurani, dan menyempurnakan harkat serta martabat kemanusiaan publiknya, bukan yang sebaliknya.

* Ahmadun Yosi Herfanda, Wartawan Republika
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/wacana-sastra-planet-senen-dan-potret.html

FLP Hong Kong dan Sastra Perempuan di Negeri Beton

Helvy Tiana Rosa
http://helvytr.multiply.com/

"Menulis, mencipta sastra, membuatku merasa menjadi orang yang lebih berarti," itulah yang dikatakan Wina Karnie, Syifa Aulia dan Swastika Mahartika, tiga TKW di Hong Kong, yang meluncurkan dua buku kumpulan cerpen mereka: Perempuan di Negeri Beton (Haniya Press) dan Hong Kong Topan Badai ke 8 (Doyan Baca Publishing House), di Masjid Tsim Sha Tsui, 4 Juni 2006. Dalam kesempatan tersebut, di hadapan sekitar seribu rekan sesama TKW, ketiganya yang tergabung dalam komunitas Forum Lingkar Pena Hong Kong sempat membaca cuplikan cerpen mereka yang banyak terinspirasi dari apa yang mereka alami serta kental dengan warna lokal Hong Kong. Hadir sebagai pembahas buku adalah Helvy Tiana Rosa, sastrawati yang juga dosen sastra di Universitas Negeri Jakarta serta dari kalangan selebritis Cheche Kirani dan suaminya dai muda: Aa Hadi.

Membanggakan sekaligus mengharukan bahwa dalam keterbatasan sebagai domestic helper, mereka masih bisa menulis bahkan menghasilkan buku yang secara kualitas ternyata tak mengecewakan.

Salah satu pengarang, Swastika adalah pembantu rumah tangga yang tak punya kamar di rumah majikannya. Ia bahkan tak bisa membawa pulang sebuah disket pun dalam tasnya, karena disket apalagi flashdisc menuriut majikannya, bukanlah peralatan yang dibutuhkan oleh seorang penulis. Setiap hari keluar masuk rumah, majikannya selalu menggeledah tasnya dan membuang semua milik Swastika yang ia anggap tak berkaitan dengan pekerjaan Swastika. Bahkan ketika mendapat piala dalam sayembara menulis yang diadakan FLP Hong Kong, Swastika harus menitipkan piala itu pada temannya Dasih. Namun Swastika tak menyerah, ia memanfaatkan hari liburnya setiap minggu untuk mengetik di perpustakaan. Dan bila ia tak bisa keluar, teman-teman FLP Hong Kong membantu mengetikkan cerpen tersebut, menyimpannya dalam sebuah folder khusus.

Syifa Aulia lain lagi. Meski tidur di gudang dengan tempat tidur di bagian atas yang tak pernah bisa membuatnya berada dalam posisi duduk sempurna, setiap majikannya tidur, ia pun mulai mengetik dengan laptop bekas yang ia beli dari koceknya sendiri. Bila majikannya menegur karena lampu masih menyala, ia matikan lampu dan nyalakan senter. Kadang, Syifa juga memanfaatkan waktu di kamar mandi untuk mengarang satu dua puisi atau menggali ide untuk cerpen baru yang akan ditulisnya. Bukan itu saja, energinya masih tersisa untuk memimpin FLP Hong Kong hingga saat ini.

Wina Karnie pun demikian. Majikannya boleh menyuruhnya apa saja dari mulai mengurus rumah, anak, sampai usaha periklanannya. Namun Wina tak pernah lelah meluangkan waktu untuk menulis. "Ada semacam semangat yang saya dapatkan justru dari keterbatasan itu," ujar Wina, Wakil Ketua FLP Hong Kong yang sangat gemar membaca karya sastra.

Perempuan di Negeri Beton (Wina Karnie) maupun Hong Kong Topan Badai ke 8 (Syifa Aulia & Swastika Mahartika) boleh jadi adalah suara hati para pengarangnya sendiri bersama sekitar seratus ribu TKW Hong Kong atau sekian juta TKW Indonesia lain di mana pun mereka berada. Membaca kedua buku itu kita dihadapkan pada wajah retak para buruh migran Indonesia, khususnya Hong Kong. Padahal Hong Kong adalah tempat kedua yang memberikan upah tertinggi serta jaminan hukum yang lebih pasti bagi para buruh migran setelah Taiwan. Namun ternyata hal-hal yang menyedihkan juga ditemukan di sana, seperti gaji yang di bawah standar, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Salah satu kasus yang sedang hangat dibicarakan, yang juga ada dalam kumpulan cerpen Wina Karnie bercerita tentang seorang TKW yang dijanjikan bertugas menjaga bayi. Tetapi bukannya menjaga bayi lucu, ternyata ia dipaksa mengurus 10 ekor anjing yang kemudian tak berhenti mencakar dan menggigitnya. Tubuhya carut marut dengan luka, juga koyak sana sini, hingga rabies menyerangnya. Kasus tersebut kini sedang bergulir di pengadilan.

Wina juga menampilkan cerita yang mungkin tak pernah kita duga sebelumnya. Misalnya mengenai seorang pembantu rumah tangga yang dipaksa majikannya untuk mencuri tisu di beberapa toilet umum. Majikannya merasa tisu bukan barang yang layak ditukar dengan uang, sebab selalu hanya akan dibuang. Karena itu ia tak henti memaksa pembantunya untuk terus "mengambil" barang itu. Selain penderitaan para TKW di Hong Kong, Wina juga memotret kehidupan seks bebas dan lesbianisme yang menggejala di kalangan TKW sendiri.

Nyaris tak berbeda dengan Wina, Syifa dan Swastika pun menampilkan hal yang hampir sama dalam karya-karya mereka. Namun keresahan kehidupan para TKW dalam buku mereka, lebih dikaitkan dengan keluarga dan kampung halaman yang ditinggalkan, meski potret ketakberdayaan menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong juga muncul di beberapa cerpen, termasuk kala mereka dipulangkan dengan semena-mena oleh majikannya karena dianggap tak lagi berguna.

Dari segi ide dan teknik penceritaan, Wina terlihat memiliki kelebihan dibanding kedua rekannya. Wina tak memaksakan cerpen-cerpennya selesai, namun lebih menyukai ending terbuka yang memberi kita ruang lebih dalam menafsirkan. Meski demikian ketiga TKW pengarang ini adalah potensi dalam gerakan sastra buruh migran yang tak bisa diabaikan dan kelak bisa jadi secara nyata akan mewarnai sastra Indonesia.

Seperti yang dikatakan Wina Karnie, kalau tadinya menulis menjadi salah satu bentuk terapi stress bagi para TKW Hong kong, khususnya mereka yang tergabung di FLP Hong Kong, kini ,membaca dan menulis sudah menjadi kebutuhan mereka.

"Dua kali sebulan kami selalu berkumpul untuk belajar menulis dan saling bedah karya. Karena tidak punya sekretariat, kami berkumpul di Victoria Park, di Masjid Wan Chai, di mana saja yang mungkin," cerita Wina. "Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Pak Taufiq Ismail adalah beberapa nama yang pernah kami undang. Banyak sekali yang antusias," paparnya.

Hasil dari pelatihan-pelatihan itu kemudian diseleksi dan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen pertama mereka: Hongkong, Namaku Peri Cinta (Lingkar Pena Publishing House 2005)., karya tujuh perempuan pengarang: Andina Respati, Fia Rosa, Ikrima Ghaniy, Rof, S. Aisyah Z., Syifa Aulia dan Wina Karnie.

FLP Hong Kong berdiri Februari 2004, menambah daftar FLP Wilayah dan Cabang yang telah ada di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Organisasi yang didirikan pertama kali 22 Februari 1997 oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan Muthmainnah tersebut kini beranggotakan lebih dari 5000 orang. Sejak tahun 1997 hingga sekarang lebih dari 500 buku karya para anggota telah diterbitkan oleh 30 penerbit yang menjadi mitra FLP. Setiap minggu FLP di berbagai wilayah, cabang maupun ranting mengadakan berbagai kegiatan. Mereka juga mengelola Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) yang rencananya secara bertahap didirikan di berbagai FLP Wilayah. M. Irfan Hidayatullah, cerpenis dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNPAD pada Munas FLP Februari 2005 terplih sebagai Ketua Umum FLP Pusat menggantikan Helvy Tiana Rosa.

FLP Hong Kong adalah satu-satunya FLP Wilayah yang 90% anggotanya adalah para domestic helper. Sebelum Syifa Aulia, Endang Pratiwi dan Susanna Dewi tercatat pernah menjadi Ketua FLP Hong Kong, namun kini keduanya telah kembali ke Indonesia. Karena tak memiliki dana, sampai sekarang FLP Hong Kong bahkan belum memiliki sekretariat sendiri. Namun mereka terus berjuang, salah satunya lewat jalur penulisan. Tekad kuat mereka kian hari pun kian tampak, menjelma sepasang sayap kecil yang tumbuh di punggung mereka.....(HTR)

Sumber: http://helvytr.multiply.com/journal/item/183

Minggu, 28 Agustus 2011

APA untuk Ditulis, Bukan Sekedar Apa

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Jadi ingat saya, bagaimana ketika itu saya ingin sekali menjadi penulis. Sebagai konsekuensi, saya pun membaca Seno Gumira Ajidarma dengan serius. Beberapa saat kemudian, tanpa sadar saya membuat cerpen yang ke-Seno-senoan (menurut saya sih). Selanjutnya saya membaca serius Jorge Luis Borges, setelah lama sebelumnya saya membaca penulis Argentina ini sambil lalu, dan kemudian membuat cerpen yang, menurut teman saya sih, ke-Borges-borges-an (andai teman saya sekarang bilang begitu lagi, pasti saya langsung syukuran!). Semacam itulah. Hari-hari itu saya semangat sekali menulis. Ditambah lagi kemudian saya rutin menempuh perjalanan dari kota M ke kota K, dua kali seminggu! Maka saya pun menulis banyak cerpen.

Tapi, ketika kemudian saya melihat istri saya mati-matian menggemari Para Priyayi, Ronggeng Dukung Paruk, Canting, Burung-burung Manyar, dan sama sekali tidak pernah menyentuh Borges, Seno, dan penulis lain yang saya agung-agungkan, saya jadi mikir. Saya jadi curiga ada sesuatu di belakang novel-novel ini yang begitu mempesona. Bayangkan, istri saya bisa membaca Para Priyayi sampai enam kali dalam seminggu (ketika suatu kesempatan membawanya terpencil ke sebuah desa di kedalaman Blitar). Apa sih di baliknya? Begitu juga kasusnya dengan Burung-burung Manyar dan Ronggeng Dukuh Paruk. Saya pernah melihat dia membawa buku itu secara bergantian dia bawa ke tempat kerja selama beberapa bulan. Katanya sih kalau istirahat akan dia baca. Hmm… saya saja yang membelinya tidak pernah membaca buku-buku itu lebih dari sekali.

Akhirnya, saya pun melihat tulisan-tulisan saya lagi. Beberapa cerpen menurut saya sangat bagus (Hehehe…) dan beberapa lainnya punya tema yang mantap dan ending yang sukar ditebak (alah!). Tapi, saya tiba-tiba sadar bahwa setelah selesai membaca cerita itu, kemungkinan besar pembaca tidak akan membacanya lagi. Ya. Ya. Setelah masa kelimpungan yang panjang, saya pun menyimpulkan: tidak ada isi yang benar-benar kuat di dalam cerita-cerita itu, tidak ada pandangan yang baru, yang orisinil yang berarti, yang menggetarkan hati, yang layak dibaca lagi, dan lagi, dan lagi…

Akhirnya, saya introspeksi diri (hmm…) dan sedikit demi sedikit mulai melayangkan tuduhan kepada diri saya sendiri: kamu sih, MEMPELAJARI SENO GUMIRA AJIDARMA YANG MEGAH ITU HANYA SEBATAS MEMPELAJARI GAYANYA! kamu juga MEMPELAJARI SI JENIUS BORGES YANG ABADI ITU HANYA UNTUK MENGETAHUI BAGAIMANA DIA MEMBELOKKAN LOGIKA DAN FILSAFAT! dan kesalahan mega besarmu lainnya adalah MEMPELAJARI JAMES JOYCE UNTUK MENIRU BAGAIMANA DIA MEMBUAT BENTUK PROSA YANG ‘TUNE IN’ SAMA ISINYA! dengan mempelajari barang-barang ini DOANG, pasti lah kamu hanya akan bisa menulis cerita-cerita yang bermain-main dengan bentuk!!!!

Saya pun berdoa, “Tuhan, lantas apa yang musti saya lakukan!” Tuhan pun memberikan petunjuk tanpa melawan hukum alam: terbetik keinginan (ciyye…) untuk melongo APA sih yang mereka, para penulis agung itu, tuliskan. Menemukan buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara karya sang legenda gondrong Seno Gumira Ajidarma (sepenuh hormat!) adalah salah satu penemuan kitab terbesar dalam rentang karir kepemimpian saya. Membaca di Horison bagaimana Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk karena digerakkan oleh protes dan kemarahannya atas bagaimana pemerintah tidak begitu mengurusi rakyat kecil adalah momen bersejarah lainnya. Ya, ada sesuatu yang menyertai karya itu sebelumnya. Sesuatu itu bisa bernama kepedulian, bisa bernama kemarahan. Tulisan dituliskan bukan sekedar karena ingin jadi penulis.

Mungkin pada awalnya Seno Gumira Ajidarma atau Ahmad Tohari ingin menjadi penulis. Hanya Tuhan yang tahu, tak juga kau, tak juga aku. Tapi, untuk karya-karya agung mereka, mereka menuliskannya karena memang harus, bukan karena ingin sahaja. KARENA HARUS. Seno Gumira Ajidarma merasa HARUS MENULISKAN TRAGEDI TIMOR-TIMUR, karena dengan begitu semakin banyak orang yang mengerti tentang tragedi itu. Ronggeng Dukuh Paruk harus dituliskan sebab tanpa itu tidak banyak orang yang tahu bagaimana rakyat kecil nan tak berdosa juga terkena dampak penumpasan PKI.

Dan dengan segala sesal menganga dan malu yang menetes-netes anyir, saya pun harus mengakui bahwa saya harus tahu banyak, selain sastra, untuk bisa membuat tulisan yang berguna, yang dibaca, yang mencerahkan. Ya, kalau terus-terusan membaca cerpen orang untuk mempelajari gayanya, sama saja konyol. Apa saya ini cuma ingin menulis buku kumpulan gaya cerpen? Wah. Alkonsekuensi, saya pun jadi harus tahu banyak hal, harus sadar akan banyak hal, dan kalau memang memungkinkan, mengungkapkan pandangan-pandangan personal saya yang mungkin bisa menyumbang pemikiran. Ya, sementara menurut saya seperti itu. Kalau mau menulis, PENTING JUGA MEMIKIRKAN APA YANG DITULISKAN, BUKAN SEKEDAR BAGAIMANA MENULISKANNYA. Apa ini bukan sekedar apa, tapi benar-benar APA!!!
have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…

Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2007/06/13/apa-untuk-ditulis-bukan-sekedar-apa/

Selasa, 16 Agustus 2011

MENIMBANG KEPENYAIRAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI (SCB) DARI BUKU NUREL: MENGGUGAT TANGGUNGJAWAB KEPENYAIRAN *

Aguk Irawan MN**
http://sastra-indonesia.com/

Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 224-227).

Saya merasa perlu mengutip ayat diatas, karena selain SCB sendiri yang membawanya dalam kredo keduanya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, Pidato Kebudayaan dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat di HU Republika, 9 September 2007, Nurel Javissyarqi (NJ) sendiri penulis buku “Menggugat Tanggungjawab Kepanyairan SCB” (Penerbit Sastrenesia, 2011) juga secara nyinyir mencoba mengurai, mengupas dan merefleksikan nilai-nilai dan pesan ayat tersebut untuk memaknai kredo kedua SCB.

Setelah khatam menghabiskan buku NJ tersebut yang menyorot isi pidato SCB yang dilampirkan dalam buku tersebut, setidaknya saya menemukan dua alasan dalam kerangka besar keberatan NJ terhadap isi pidato tersebut. Pertama, NJ merasa, SCB berlebihan dalam memaknai profesi penyair (sastrawan), yang hanya sekedar bebas bermimpi dan mencipta lalu tak ada lagi setelah itu, termasuk pertanggungjawabannya kepada pembaca, kepada dirinya sendiri dan tentu kepada Tuhan. Karena menurut SCB, penyair itu hampir saja menyamai “profesi” Tuhan, yang sekedar bermimpi dan mencipta, maka jadilah, kun fayakun itu. Bagi NJ, profesi sebagai penyair, tidak kurang dan lebih sebagaimana profesi lain, pemotret, petani, pedagang, buruh, nelayan, guru dan lain sebagainya, yang tentu setelah ia berbuat sesuatu, ada sesuatu lain yang bahkan lebih besar dari semula, yaitu pertanggungjawabannya.

Kedua, NJ menganggap bahwa SCB telah sesat-pikir mengenai makna dan fungsi kata, bahasa dan tentu puisi dalam kehidupan, karena sejak lama SCB berpendirian, bahwa kata harus dibebaskan dari keterjajahan makna dan fungsinya sebagai alat pembawa pengertian. Kerenanya NJ mencoba menangkap maksud ini, lalu mengomel, dan tentu mengkritik disana-sini, meski ia sendiri nampak terbata-bata.

Sebagaimana yang sudah pernah saya tulis (Penyair dan al-Qur’an dalam Rekaman Sejarah) di harian yang sama dimana tulisan SCB terpublikasikan (Republika), bahkan tarikh pemuatanya juga pada bulan dan tahun yang sama (2007). Saya kutipkan pendapat Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), barangkali bisa sebagai penyeimbang gagasan antara SCB dan NJ, atau bisa dijadikan pelengkap dari data NJ. Dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily dan pencerah atas keulungan tersebut.

Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manuskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana bentuk puisi dan makna puisi itu bisa diterjemahkan? Lebih jauh lagi, bagaimana moral masyarakatnya, khususnya prilaku para penyairnya. Dari latar belakang itulah, Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) memaparkan hari lahir dan asal usul ayat diatas kenapa turun kepada Nabi.

Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.

Nabi dan tentu Islam percaya, hanya karya sastra yang bermakna, dapat ditelaah (baca: mengandung hikmah), yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadan dan para kreasinya di barisan paling depan untuk menjalankannyalah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban. Yang tidak “yaquluna ma yaf’’alun” (sekedar mengatakan, tapi tidak pernah merealisasikan). Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para pembual, pengakrobat kata, dan penelikung kata untuk diselingkuhkan yang awalnya demi kebaikan menjadi ke-amoralan, begitu sebaliknya, karenanya ayat tersebut mengatakan dengan tegas bahwa; penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat. Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224). Puisi yang dimaksud disini adalah jenis gombalan dan akrobati bahasa saja. Pengecualian hanya kepada penyair beriman, yang tentu tidak mau tergiur dengan arus akrobati bahasa saja, tetapi ia memberikan hikmah dan mengadakan pembelaan saat didzalimi.

Nah, dari sejumput pengertian ini setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, dengan apa yang telah dihasilkan oleh SCB dalam proses kreatif atau karier kepenyairannya. Ketika ia menyatakan, bahwa kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Bahwa kata-kata harus dimerdekakan dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus-kamus dan penjajahan lain.

Tidak sekedar itu, pada pemikirannya yang kedua dalam “Kredo”-nya tersebut, SCB juga ingin “mengembalikan kata kepada mantra”. Sehingga SCB dalam menyeret ayat diatas, mengemukakan tafsir, karena itu para penyair boleh berbuat semua-maunya dan berimajinasi sebebas-bebasnya, lalu menyusun kata seliar-liarnya, sesukar-sukarnya dan tentu, tidak perlu harus malu, apalagi terbebani untuk mempertanggungjawabkannya kepada khalayak, Tuhan dan dirinya sendiri. Ia lupa, bahwa ayat tersebut sebagai pemula atas penekanan akan “ketersesatan” penyair, juga ada pengecualian sebagai penegasan (yaitu penyair beriman). Mari kita ambil contoh dan nikmati satu karyanya itu:

KUCING
Sutardji Calzoum Bachri

ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau
kucing meronta dalam darahku meraung me
rambah barah darahku dia lapar O a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak memakan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar laparku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejumput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau! dia meraung dia menge
rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku
pasang perangkap di amazom aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota kota siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah

Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang dukun (penyihir) juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah. Menurut al-Jumahi, bahwa yang bisa menggetarkan orang tidak saja firman, tetapi juga puisi dan mantera dari jenis perdukunan/sihir. Itu berarti ada penekanan perbedaan antara hakikat firman, bahasa dan mantra. (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188). Bercermin dari sini saya sendiri meyakini bahwa antara puisi dan mantera adalah dua jenis yang berbeda, dilihat dari berbagai aspek dan syaratnya.

Meski sampai sekarang belum ada batasan yang tepat tentang pengertian puisi. Tapi setidaknya, ahli bahasa sudah sepakat, bahwa garis besar puisi adalah bentuk karangan yang padat dan terikat dengan syarat-syarat: banyaknya baris dalam setiap baris, dan terdapatnya persamaan bunyi atau rima, baik rima horisontal maupun rima vertikal. Yang menjadi titik tekan dari padat, tidak lain, tentu makna dan nilai-nilai filosofisnya.

Sementara Ajip Rosidi (1987:67) memaparkan bahwa mantra adalah rangkaian kata, dan seringkali mengandung kata-kata serapan asing yang kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta, Arab, maupun Tibet. Kata-kata dalam mantra tersebut diturunkan oleh pawang atau dukun kepada pawang lain secara lisan sehingga sering mengalami kerusakan sedemikian rupa dan sulit untuk menemukan bentuk asalnya. Pada hakikatnya, mantra sebagai salah satu bentuk puisi lama sesungguhnya merupakan suatu bentuk perkataan atau ucapan yang mampu mendatangkan daya gaib. Di dalam sebuah mantra yang lengkap pada umumnya terdapat unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan dan unsur penutup. Namun, yang paling penting dan paling pokok dalam mantra adalah unsur sugesti, sebab unsur sugesti inilah yang memiliki daya atau kekuatan untuk membangkitkan potensi kekuatan magis. Di samping unsur sugesti, dalam pengamalan mantra, seperti di daerah Jawa misalnya, terdapat pula unsur laku mistis yang mendukung. Unsur laku mistis itu antara lain adalah penyertaan kegiatan puasa dalam proses pembacaan mantra.

Kalau begitu, setujukah kalian, bila NJ dengan tegas, mengatakan bahwa SCB bukanlah penyair melainkan PEMANTRA atau DUKUN? Ataupun kalau masuk golongkan penyair, maka dia PENYAIR JAHILIYAH? Mari kita berdiskusi?

Rumah Kata, 18 Juli, 2011
* Disampaikan Pada Acara Bedah Buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB”, karya Nurel Javissyarqi, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, 21 Juli 2011.
** Penerjemah buku “O Amuk Kapak” menjadi Atholasim, karya SCB, terbit di Mesir 2005.
http://pustakapujangga.com/2011/09/reviewing-the-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri-scb-from-nurel%e2%80%99s-book-%e2%80%9cmenggugat-tanggungjawab-kepenyairan%e2%80%9d-sue-responsibility-of-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri/

Bung Tomo Bersajak

http://tempointeraktif.com/
Catata terkait: http://sastra-indonesia.com/2009/01/bung-tomo-pahlawan-penyair-indonesia/

Pu, Pu Garpu.
Mungkinkah wartawan menipu?
Sampai pembaca terbius bisu?
Yang dhalim tidak disapu,
4 sal wartawan bemandi susu. ***

BAIT di atas adalah salah satu bagian sajak yang kemudian populer dari Bung Tomo. Malam 2 Agustus itu ia mebacakan sajak-sajaknya Kepada Bangsaku (1946). Terali Sutera, dan KAMI (1966). Yang paling mendapat banyak sambutan adalah Kelompok Dinner-Set Saling Bertanya, tentang perilaku sebagian kaum wartawan kini.

Setelah dua tiga bait, selalu muncul ulangan:

“Petani-petani kecil cengkeh.
Tertawa sinis terkekeh-kekeh.
Pengisap-pengisap kretek,
Ikut protes merengek-rengek.”

Selesai bait ini, bendera merah dari kertas yang ada di tangannya dinaikkannya ke atas dan seperti yang telah diminta, hadirin meneriakkan:

“pungli, pung, pungli, pung.”

Sajak dinner-set ini dinyatakan ditujukan kepada Persatuan Wartawan Indonesia, yang beberapa waktu lalu menerima hadiah sumbangan perlengkapan alat-alat makan dari Ptobosutejo, adik seibu Presiden Suharto.

Kata Bung Tomo: “Saya mual mendengar pidato sambutan Ketua PWI Harmoko ketika menerima hadiah tersebut. Berlebihan pidatonya — hanya untuk dinner-set yang 7 juta rupiah”. Harmoko beberapa hari kemudian bilang: “Lha wong dikasih kok Ya harus menyatakan terimakasih.”

Altar Teater Luwes Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Tanan Ismail Marzuki Jakarta, cukup meriah dan penuh semangat. Di sisi podium, ada sebuah meriam terbuat dari kertas, patah larasnya. Kemudian tulisan: Merdeka tapi bingung ….. Bendera merah putih cukup besar terpampang disisi lain.

Bung Tomo malam itu mengenakan batik merah jambu. Biar umurnya kini sudah 57 tahun, suaranya masih lantang, mengingatkan orang pada singa corong radio yang membakar semangat kemerdekaan dulu.

Kemudian muncul Ketua Dewan Keluarga Mahasiswa (DKM) Labes Widar yang naik pentas untuk menyematkan lencana Merah Putih dan lambang Garuda Pancasila ke dada Bung Tomo. Kata Labes Widar “Di Yogya beberapa waktu yang lalu, seorang mahasiswa ditangkap karena mengenakan Merah Putih ini. Saya ingin tahu, apakah Bung Tomo akan ditangkap juga.”

Setelah Bung Tomo, tampil antara lain penyair-penyair Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, membacakan sajak-sajak. Antara lain: Kembalikan Indonesia Padaku, sajak ‘Taufiq. Kaos bertuliskan judul sajak tersebut, cap bendera Merah Putih kecil dan Garuda Pancasila, habis terjual.

Suasana memang santai dan kacau. Untung Tomo sendiri, ketika ditanya pendapatnya tentang anak-anak muda yang bersajak-sajak dengan nyindir dan tidak jarang jorok, herkata: “daripada mereka main tembak, kan lebih baik baca sajak. Kreatif.”

03 September 1977
Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1977/09/03/PT/mbm.19770903.PT75394.id.html

Sastra dan Identitas

Elisa Dwi Wardani
http://www.kr.co.id/

Pada umumnya, pembicaraan mengenai identitas dipandang perlu ketika identitas berada dalam suatu krisis. Hal ini mengingatkan kita kepada dua pandangan yang bertentangan mengenai identitas.

Pandangan yang pertama adalah pandangan essentialism yang percaya bahwa identitas bersifat tetap, universal, dan tidak terpengaruh oleh wacana dari luar.

Dari sudut pandang tersebut, identitas menjadi tidak mungkin untuk berubah sehingga pengaruh-pengaruh dari luar dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan sebuah identitas. Pandangan inilah yang melahirkan berbagai stereotip yang beredar di sekitar kita.

Sebaliknya, pandangan anti-essentialism meyakini identitas sebagai sesuatu yang bersifat cair, terbentuk oleh wacana-wacana dari luar yang kemudian diinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang, serta bahwa identitas merupakan penstabilan makna secara temporer.

Pandangan anti-essentialism yang postmodernis tersebut melihat identitas sebagai sebuah konstruksi yang dipengaruhi oleh berbagai wacana dari luar yang saling terkait. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk mengikatkan dirinya pada lebih dari satu konstruksi identitas pada saat yang bersamaan atau mengikatkan dirinya kepada konstruksi makna yang lain di lain waktu.

Identitas di dalam postmodernisme sangat terkait erat dengan bahasa karena pembentukan identitas seseorang tidak lepas dari bahasa. Identitas diri seseorang bahkan terdiri dari dan terbentuk oleh bahasa.

Bahasa dan praktik berbahasa menurut Foucault, sanggup menempatkan seseorang pada posisi sebagai subjek dalam bahasa, misalnya sebagai “perempuan”, “laki-laki”, “homoseksual”, “gila”, “orang asing”, dan sebagainya.

Lebih dari itu, bahasa dan praktik berbahasa juga dapat dipakai sebagai alat untuk memposisikan seseorang sesuai dengan keinginan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang bisa diperlakukan sesuai keinginan, yang bisa diukur, dinilai, dilatih, dihukum, disiksa dan sebagainya.

Dengan demikian, bahasa bisa dimanipulasi oleh kekuasaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebagai media dalam sastra, bahasa memiliki kekuatan untuk menjadi salah satu diskursus yang membentuk identitas.

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”

Sebagaimana teks adalah bukan sesuatu yang muncul dari kehampaan yang mandiri namun dibentuk oleh suatu praktik diskursus, maka pencerahan sang penyair tersebut tentunya berasal dari pemaknaan sang penyair pribadi mengenai wacana-wacana yang ada di sekitarnya.

Ideologi sang penyair pada gilirannya akan direproduksi dalam representasi yang terwujud dalam karya sastra. Dengan kata lain, pada akhirnya kuasa yang ada dalam kata-kata yang diolah oleh seorang penyair akan menghasilkan sebuah realitas tersendiri.

JK Rowling dan serial Harry Potter-nya yang mengisahkan tentang seorang anak yang memasuki sekolah penyihir Hogwarts sempat menimbulkan reaksi hebat di kalangan pembacanya.

Dalam sebuah wawancara JK Rowling mengakui bahwa dia menerima banyak surat dari anak-anak yang dialamatkan kepada Profesor Dumbledore, kepala sekolah penyihir Hogwarts, yang meminta supaya mereka bisa diterima di sekolah tersebut.

Beberapa dari para pengirim surat tersebut menyatakan bahwa mereka sangat sedih dan sangat berharap bahwa sekolah penyihir tersebut benar-benar ada. Hal ini menunjukkan betapa karya sastra adalah sebuah reproduksi yang mampu menjadi realitas itu sendiri.

Batas antara realitas dan representasi telah menghilang, karena representasi sekarang telah menjadi sebuah realitas. Apa yang khas mengenai sastra menurut Ignas Kleden adalah sifat dialektikanya yang menghubungkan makna tekstual dan makna referensial, dan kemampuan sastra untuk mengedepankan makna tekstual. Hal ini menjelaskan bagaimana karya sastra bekerja.

Realitas yang terbentuk dalam karya sastra menurut Lacan bagaikan cermin yang merupakan refleksi yang palsu dari identitas diri kita yang sesungguhnya karena ia hanya memberikan sesuatu yang bersifat imajiner. Meskipun demikian, sepanjang hidup kita, kita selalu mencari keotentikan dan identitas kita dalam ilusi yang sayangnya tergantung dari cara orang lain menunjukkan bagaimanakah wujud kita tersebut.

Karya sastra yang terdapat di seputar kita boleh dikatakan menjadi salah satu diskursus yang saling terkait dengan diskursus-diskursus lain yang saling berebut untuk menjadi sebuah point of attachment bagi konstruksi identitas kita.

Abad ke 21 sering disebut-sebut sebagai abad di mana kemajuan teknologi berkembang pesat yang menyebabkan menghilangnya batas-batas. Dampaknya, manusia akan terhubung satu dengan yang lainnya seolah-olah tanpa ada waktu, ruang dan tempat yang membatasi.

Kondisi tersebut memiliki potensi untuk mengaburkan identitas manusia itu sendiri. Dengan keterbukaan ala globalisasi, manusia nampak menjadi homogen. Dalam hal inilah sastra sebagai salah satu diskursus pembentuk jati diri memiliki peluang untuk ikut menstabilkan makna jati diri seorang manusia.

Ketika batas-batas membaur, dan bukan hanya batas-batas antar ruang dan waktu saja yang membaur, namun juga batas-batas antara disiplin ilmu, maka persoalan-persoalan akan membutuhkan pendekatan yang lebih interdisipliner.

Barangkali tidak berlebihan apabila sastra dinantikan sebagai sebuah agen yang mampu mengkonstruksi identitas, yang akan mampu untuk ikut menjawab tantangan mengenai persoalan identitas manusia.

*) Elisa Dwi Wardani, Dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma **) Artikel ini kerja sama Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma dengan KR.
10/05/2008 (sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=162722&actmenu=39)

Utopia Pesan dalam Botol

Putu Fajar Arcana
Kompas, 10 April 2011

SEBUAH pertanyaan besar: seperti apakah seni jika ia berbicara tentang hal-hal di luar estetika? Meski tidak mengeduk sampai ke relung kebrutalan, pameran Sin City, an Exhibition of Sustainable Art, mencoba menyodorkan seni dalam bingkai etika sosial pada masyarakat urban kota.

Foto dokumentasi dalam proses pembuatan video art karya Heri Dono yang bertajuk Scapegoat Republic ikut menyemarakkan pameran seni Sin City di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (8/4). Kegiatan ini akan berlangsung hingga 17 April mendatang. (Kompas/Wawan H Prabowo)

Rumusan tentang etika sosial itu diterjemahkan dalam sebuah proyek seni oleh seniman Hendra Bayu Hermanto bertajuk ”Wishes in the Bottle Project”. Ia menyiapkan satu bingkai cerita bahwa seseorang sedang berada di sebuah pulau saat zaman tak menentu, adakah yang bisa menyelamatkannya? Silakan tuliskan harapan-harapan di atas kertas, lalu masukkan ke dalam sebuah botol dan kirimkan (doa).

Hendra sedang memainkan memori-memori kultural kita tentang mukjizat dalam doa serta kecenderungan penerimaan terhadap cakrawala harapan yang menanti manusia di sebuah kutub. Ia menarik memori kultural itu sampai ke batas kehidupan manusia urban sekarang ini. Bahwa harapan boleh jadi sesuatu yang selamanya tersimpan dalam sebuah botol. Dan kita seperti bertamasya saja, bisa setiap saat membaca harapan-harapan itu lewat dinding botol yang transparan. Sebuah utopia?

Kurator Bambang Widjanarko dalam pameran yang berlangsung 8-17 April 2011 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, ini tidak secara spesifik mengarahkan pameran dalam sebuah dinding utopia. Ia hanya memberi bingkai kemungkinan apa yang tercipta ketika para seniman disodori diskursus tentang seni yang berwawasan global, lingkungan, dan keadilan sosial. Sebuah bingkai yang sangat longgar dalam sebuah kerja kurasi.

Karya Hendra seolah dipertegas oleh Eddy Susanto yang, meski masih menggunakan media konvensional, menyuarakan tentang dasar-dasar dari konstruksi sebuah kota kontemporer. Ia memberi judul karyanya ”City of God”. Jangan terjebak dalam judul karena di atas kanvasnya, Eddy melukiskan konstruksi gedung-gedung menjulang di kota dibuat dari label-label multinasional, modal-modal besar, yang sesungguhnya jauh dari jangkauan kita. Inilah kota yang kini menjadi memori baru di benak manusia-manusia kontemporer. Soal Tuhan? Daripada berdebat pada hal-hal yang utopis, maka Tuhan sesungguhnya nyata, ada di sekitar gedung-gedung berlabel multinasional itu, bukan?

Bahkan, di mata Ismanto Wahyudi, yang membangun karya ”Chapter 33” dari keybord komputer dan papan sirkuit elektronik, memperlihatkan paru-paru peradaban kota sudah terjebak dalam perangkat-perangkat teknologi. Otak manusia sudah jauh tertinggal dari hal-hal yang bisa dilakukan sebuah program dalam komputer. Lalu, apa yang tersisa sesungguhnya?

Sampah

Kendati jauh dari kesan naratif, pameran ini memberi gambaran bahwa sisa-sisa peradaban itu selalu bernama sampah. Oleh sebab itulah, seniman seperti Tisna Sanjaya sangat getol menjalankan proyek daur ulang sampah plastik. Ia bahkan membangun situs aktivitas seni di tengah-tengah penimbunan sampah plastik Cigondewah, Bandung. Ia memboyong mesin pengolah dan plastik-plastik olahan ke dalam ruang pameran dan dibungkus dalam tajuk ”Panen Plastik dan Beras”.

Penyandingan kata ”plastik” dan ”beras” jelas dilakukan sebagai sindiran dua peradaban yang saling berkelahi. Jika dalam masa agraris, panen beras (padi) menjadi pengharapan, tetapi pada masa peradaban modern, jika kita salah urus, jangan bersedih kalau akhirnya kita memanen sampah plastik. Itukah hasil dari pencapaian peradaban manusia? Jika modernitas hanya menghasilkan sampah plastik, tentu akan menjadi sebuah kemunduran peradaban.

Baiklah. Masih ada yang bisa dilakukan di tengah hidup yang makin utopis tadi. Komunitas Atap Alis, misalnya, membangun instalasi berjudul ”Metamorphosis”. Mereka membangun ulang sampah-sampah plastik menjadi berbagai mainan, seperti mobil-mobilan, sepeda motor, boneka, dan berbagai mainan anak-anak. Botol-botol minuman mineral tiba-tiba menjelma menjadi sebuah truk. Gentong plastik tiba-tiba menjadi sebuah akuarium yang bernilai jual.

Cara ini memang tidak mengubah plastik menjadi benda yang bisa diurai ke dalam partikel-partikel yang ramah lingkungan. Sampah dalam makna denotatif memang hanya sebagian dari persoalan manusia modern. Namun, sesungguhnya sampah menjadi persoalan gawat yang menyerbu masuk ke bilik-bilik tempat tidur kita sepanjang waktu.

Itulah yang didedahkan oleh Amalia Kartikasari dalam ”To Control or To be Cotroled”. Karya ini menunjuk televisi sebagai pembawa ”sampah” visual ke dalam diri kita. Tinggal apakah kita mau dikontrol atau mampu mengontrol segalanya dengan penuh kesadaran. Ini jelas bukan sesuatu yang utopis. Hanya butuh kesadaran, kesadaran….

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/utopia-pesan-dalam-botol.html

Mengimarahkan Sasterawan Negara

Mohamed Nasser Mohamed
—Utusan Malaysia Online

BARU-BARU ini, kerajaan mengumumkan Anugerah Sastera Negara yang dianugerahkan kepada Datuk Dr. Ahmad Kamal Abdullah atau nama penanya Kemala. Sasterawan Negara ke sebelas ini telah diangkat dan diiktiraf sebagai penerima anugerah berprestij dalam bidang kesusasteraan.

Pengiktirafan seumpama ini sebenarnya lebih signifikan jika kerajaan dapat memanfaatkan ketokohan beliau untuk generasi muda. Tidak kiralah dalam apa jua bentuk program yang berkaitan dengan kesusasteraan tanah air.

Sejak Anugerah Sastera Negara yang pertama pada tahun 1981, seramai sebelas orang sasterawan telah diangkat dan diiktiraf sebagai Sasterawan Negara dimulai dengan Keris Mas. Kemudian disusuli oleh Shahnon Ahmad, Usman Awang, A. Samad Said, Arenawati, Muhammad Haji Salleh, Noordin Hassan, Abdullah Hussain, S. Othman Kelantan dan Anwar Ridhuan.

Ilham Anugerah Sastera Negara sebenarnya timbul daripada gesaan bekas Perdana Menteri, Tun Hussein Onn yang menginginkan sebuah hadiah sastera yang berprestij demi mengangkat martabat sastera di negara kita.

Pada awal penganugerahannya, wang tunai sebanyak RM30,000 menjadi sebahagian daripada hadiah selain pelbagai kemudahan menjalani kehidupan dan berkarya. Sejak tahun 2003, nilai hadiah ini telah ditambah menjadi RM60,000 di samping kemudahan menerbitkan karya sehingga mencecah RM500,000.

Anugerah Sastera Negara dipilih oleh Urusetia Panel Anugerah Sastera Negara yang ditunjangi oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, di bawah seliaan Kementerian Pelajaran Malaysia.

Walaupun Anugerah Sastera Negara telah dianugerahkan kepada sebelas orang sasterawan, namun aspek pengimarahan mereka masih tidak memberangsangkan.

Pendedahan Sasterawan Negara kepada rakyat di negara ini khususnya kalangan generasi muda, pelajar sekolah, mahasiswa universiti masih tidak mencapai matlamat penganugerahan Sasterawan Negara.

Lebih malang lagi para Sasterawan Negara kurang dikenali di negara luar kerana tiada usaha yang berterusan dan teratur bagi memperkenalkan mereka dan karya kepada khalayak antarabangsa.

Sasterawan Negara sepatutnya dianggap sebagai aset negara. Mereka seharusnya dimanfaatkan dengan pelbagai program sebagai satu usaha pengimarahan. Usaha membawa Sasterawan Negara ke sekolah sama ada ke pelajar sekolah menengah mahupun sekolah rendah juga sangat kurang dilakukan.

Cuma dua tahun yang lepas pihak swasta (anak syarikat Kumpulan Utusan) melalui program Utusan Sukma: Sepagi Bersastera yang membawa Sasterawan Negara A. Samad Said menjelajah pelosok daerah di Negeri Sembilan. Usaha seumpama ini sewajarnya dijadikan contoh yang baik.

Usaha ini mampu memberikan inspirasi dan motivasi kepada warga sekolah untuk berkarya, seterusnya menerapkan nilai-nilai pengkaryaan setaraf Sasterawan Negara.

Berkala

Program penulisan secara berkala dengan kaedah bengkel yang bersesuaian dengan khalayak misalnya, boleh dimulakan dengan bimbingan kepada para guru yang mengajar subjek sastera di sekolah. Di samping itu guru yang terlibat di dalam pengajaran Komponen Sastera Dalam Pengajaran Bahasa Melayu (KOMSAS), sebagai satu usaha memperkasa pengajaran dan pembelajaran Sastera di sekolah.

Dalam pada itu, guru dan pelajar juga didedahkan kepada bimbingan Sasterawan Negara, bagi menghasilkan karya yang mampu mengangkat martabat sastera negara sebagai satu usaha berterusan.

Pengimarahan Sasterawan Negara tidak hanya setakat membawa dan mendedahkan Sasterawan Negara kepada warga sekolah dan masyarakat Malaysia, malah karya-karya Sasterawan Negara seharusnya mengisi rak-rak di Pusat Sumber Sekolah dan Perpustakaan Desa, Perpustakaan Awam dan Negeri, malah seharusnya dibincangkan secara lebih kerap.

Agensi-agensi Kerajaan khususnya yang terlibat secara langsung terhadap pengangkatan dan pengiktirafan Sasterawan Negara seperti Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kementerian Pelajaran Malaysia, Institut Terjemahan Negara Malaysia (ITNM) sepatutnya memainkan peranan yang lebih berkesan dan proaktif terhadap usaha pengimarahan ini.

Tidak dihormati

Seperti yang diungkapkan oleh Raja Ahmad Aminullah dalam Siasah (18-24 Mei) yang lalu: “Kalau seorang Sasterawan Negara sendiri tidak dihormati oleh orang yang dianggap berilmu atau berintelektual, siapa lagi yang dapat kita harapkan. Bagaimanakah kita akan mengatasi kelesuan dan kejumudan budaya kita. Apakah kita berghairah dalam soal-soal sepertiAkademi Fantasia dan politik seperti pilihan raya sahaja, sementara hal-hal yang berkaitan ilmu dipandang sepi”.

Usaha pihak swasta juga harus digembleng secara terancang, misalnya dengan dana yang diperolehi daripada Syarikat-syarikat berkaitan kerajaan (GLC), seperti Khazanah Nasional, para Sasterawan Negara boleh dihantar ke luar negara bagi memperkenalkan karya Sasterawan Negara ke khalayak antarabangsa. Seminar sastera bertaraf antarabangsa boleh menjadi medan mempromosi Malaysia, Sasterawan Negara dan karya-karya mereka di persada antarabangsa.

Jika agensi-agensi sedia ada semacam tidak berminat untuk mengimarahkan para Sasterawan Negara, atas apa jua alasan, seharusnya usaha ini dimandatkan kepada institusi mahupun organisasi lain yang lebih berminat ke arah usaha pengimarahan para Sasterawan Negara ini. Sejumlah dana boleh diuntukkan secara konsisten bagi menjamin usaha pengimarahan ini akan berterusan dan tidak terhenti di tengah jalan.

Usaha-usaha lain bagi mengimarahkan para Sasterawan Negara, misalnya boleh dilaksanakan melalui aktiviti-aktiviti promosi dan pendedahan secara hiliran, misalnya memperkenal setem kenangan para Sasterawan Negara, hal ini akan dapat secara tidak langsung menyuntik keghairahan untuk rakyat negara mengenali, memiliki, dan menghayati karya-karya para Sasterawan Negara.

Sikap masyarakat kita yang tidak begitu mengambil tahu atau mengambil berat mengenai kewujudan para seniman dan pengkarya khususnya di dalam bidang sastera bukanlah suatu perkara yang luar biasa. Pihak Kerajaan dengan kerjasama pihak swasta mahupun agensi kerajaan seperti pihak berkuasa tempatan (PBT) boleh juga menamakan nama-nama taman, jalan, perpustakaan (sekadar contoh) dengan nama-nama para Sasterawan Negara sebagai satu cabang pengimarahan bawah sedar.

Harapan bahawa penganugerahan Sasterawan Negara tidak seperti projek-projek mega yang akhirnya sekadar menjadi ‘gajah putih’ serta tidak mempunyai sebarang signifikan kepada perkembangan dunia sastera tanah air malah tidak juga mampu menjadi katalis menyemarakkan dan menyuburkan institusi Sasterawan Negara yang akhirnya semacam momokan dan tidak dipedulikan.

Sumber: http://ikatan-penulis-sabah2u.blogspot.com/2011/07/mengimarahkan-sasterawan-negara.html

Pasca Diskusi Sastera Sabah Sudah Mati

Dr. Ramzah Dambul
http://ikatan-penulis-sabah2u.blogspot.com/

Wacana sastera semalam berjalan lancar. Dari segi teknikal dan logistik. Dari segi pengisian, saya tidak mau komen. Sebab saya adalah panelnya. Tentu tidak telus (bahkan tidak adil!) kalau kita menghakimi diri sendiri, kan?

Tetapi ada juga rakan yang telah membuat catatan awal tentang acara tersebut: i.e. Hasyuda Abadi. Gambar-gambar pula boleh dinikmati bersama Pena Alam. Lihatlah para panel yang tampan!

i
Rupanya perkataan ‘mati’ telah mengundang rasa tidak senang dalam kalangan beberapa aktivis sastera Sabah. Ia ditanggap sebagai ungkapan yang tiada estetik sastera (mungkin bunyinya terlalu gasar?). Atau kononnya bernada pesimis dan negatif.

Bagi kumpulan individu ini, kata kunci wacana semalam (iaitu ‘mati’) secara umumnya dilihat sebagai destruktif (membinasa), dan bukan konstruktif (membina). Bila ia diguna dalam konteks memperkatakan aspek kesusasteraan Sabah.

Saya fikir itu satu pandangan yang wajar dihormati. Kerana mereka juga adalah sebahagian entiti penting dalam domain sastera Sabah. Tentu sekali buah-fikir itu relevan dan signifikan.

Tetapi saya juga ada pendapat tersendiri. Tentang kontroversi ‘mati’ dalam konteks wacana semalam.

ii
Pertama, saya fikir mentaliti begitu menunjukkan ketidakterbukaan kita kepada kepelbagaian proses menggali ilmu. Kata Plato, cara terbaik untuk mencari kebenaran ialah dengan menyoal.

Tentu sekali nilai tersirat filsuf yang dimaksudkan oleh Plato dengan kata-kata ini bukanlah sekadar ‘menyoal secara basa-basi’. Tetapi melontarkan persoalan yang berbentuk cabaran dan provokasi.

Tidak ada yang negatif atau positif tentang istilah ‘mati’. Ia hanya satu ungkapan neutral. Sama seperti ‘hidup’, ‘lesu’, ‘tenat’ atau sebutlah seribu lagi kosakata yang lain. Itu semua hanya satu kata-kata. Ia tidak membawa sebarang konotasi. Sama ada buruk atau baik.

Yang bakal memberi konteks dan perspektif kepada ‘mati’ (atau apa juga istilah yang dipilih) ialah tindakan kita. Perkataan ‘mati’ dan ‘hidup’, kedua-duanya mempunyai kebarangkalian yang sama tinggi untuk menghasilkan konotasi negatif atau positif.

Bergantung kepada bagaimana kita mengoperasikannya dalam wacana.

iii
Kedua, mati itu sendiri bukan semestinya bersifat mutlak. Ia boleh menjadi satu konsep relatif yang sangat terbuka. Relatif kepada apa? Itulah tugas kreativiti dan daya penilikan kita. Mencari dan menggali asas sandaran kepada ‘mati’ itu. Agar wacana diolah dalam satu satah pandangan yang, jikapun tidak tuntas sepenuhnya, sekurang-kurangnya menuju satu arah yang tidak tersongsang.

Dalam wacana semalam, kecuali pihak yang tidak menyukai istilah ‘mati’ – semua yang lain bersetuju untuk melihat judul wacana sebagai satu persoalan retorik. Ya, sesuatu yang bukan menuntut jawapan atau pembuktian empirikal. Tapi sesuatu yang lebih menuntut penaakulan, penilikan dan perkongsian isu. Saya melihat itu sebagai satu pendekatan yang sangat baik.

Dalam ertikata sebenar-benarnya, tindakan majoriti audien inilah yang dirujuk sebagai “thinking out of the box”. Maksudnya, bila berdepan dengan sesuatu yang secara lahiriahnya provokatif – kita tidak melatah atau melenting. Sebaliknya kita bawa minda kita keluar daripada ‘kotak dogma’ yang kita bina dalam diri sendiri. Kemudian berusaha mencari sudut yang positif untuk memesrai persoalan tersebut.

iv
Transformasi paling penting yang dituntut dalam dunia sastera Sabah (kalau benar kita ghairah berbicara tentang tranformasi): ialah anjakan paradigma. Saya namakan ini proses liberalisasi pemikiran, iaitu membebaskan minda kita daripada sebarang bentuk kongkongan dan sekatan. Maksudnya, kita robohkan semua idealisme yang bersifat ‘personal preference’ (kecenderungan peribadi). Kita harus bersedia untuk menjadi sebahagian entiti penggerak dalam kelompok massa. Tidak mengapa kalau anutan pemikiran kita berbeza. Kita lakukan gerakan dengan cara kita sendiri. Yang penting, kita mesti bersama-sama dalam arus itu. Jangan ada peminggiran dan pengasingan.

Polemik yang provokatif sebenarnya boleh jadi satu elemen yang sangat sihat untuk sastera Sabah. Asalkan saja ia dioperasikan dalam bentuk wacana. Saling menentang dan berlawan, tapi dalam diskusi secara profesional. Apa yang tidak sihat, pada hemat saya, bila kita memilih untuk berlawan dengan tidak ilmiah. Misalnya, memulaukan wacana kerana kita tidak bersetuju dengan polemik yang dibawa.

‘Escapism’ (melarikan diri) adalah sifat dayus paling rendah dalam diri seorang pemikir. Sama ada kita bersetuju atau tidak dengan sesuatu gagasan, kita tidak boleh menjauhi gelanggang. Kerana jika itu berlaku, kekuatan kolektif tidak dapat dipupuk dan dibina. Sebaliknya, kita semua akan menjadi entiti-entiti terpisah yang tidak akan mampu menjana kebangkitan bersama.

Sebagai seorang ahli akademik dan peminat tegar sastera, saya sedikit kecewa dengan situasi ini. Persoalan linguistik dan semantik sekecil begini pun boleh menjadi sedemikian besar. Seolah-olah debat hurufiah diangkat menjadi lebih penting daripada debat tentang isu dan gagasan. Pada fikiran saya, tidak perlu sampai bermain “drama” segadang ini, hanya untuk satu istilah yang remeh.

v
Selagi segregasi, konflik dan keengganan berkompromi (dalam kalangan aktivis) – terus menjadi warna-warna utama dalam dunia kesusasteraan Sabah; maka selagi itu asas sastera negeri ini akan terus kelabu kabut. Penyatuan tidak akan tercapai, dan kekuatan tidak terbina.

Justeru, sastera Sabah berkemungkinan akan terus sukar untuk menjadi releven (dalam konteks memasyarakatkan nilai sepunya), jarang dirujuk (dari segi pembudayaan dan perkongsian ilmu) dan kurang dihormati (dari sudut menarik pengiktirafan pihak yang memegang kuasa pentadbiran).

Kalau ‘asas internal’ pun belum dibangunkan: setegar manakah kita boleh mempersoalkan faktor eksternal, misalnya peranan institusi (badan-badan yang mendokong urus-tadbir dan iltizam politik)? Perubahan dan transformasi itu harus bermula dengan ‘saya’.

Bukan ‘dia’ atau ‘mereka’ atau ‘korang’. Bukankah?

Sumber: http://ikatan-penulis-sabah2u.blogspot.com/2011/05/pasca-diskusi-sastera-sabah-sudah-mati.html

Kematian Sastera di Sabah: sebuah penilaian

Hasyuda Abadi
http://ikatan-penulis-sabah2u.blogspot.com/

DUNIA sastera mengalami evolusinya. Sementelahan orang tidak faham bahawa sastera sebagai mekanisme kehidupan yang telah wujud semenjak manusia dilahir di dunia. Ia lahir bersama tangisan pertama bayi. Ia wujud terus hinggalah pada satu tahap kita sudah boleh berkata-kata dengan baik, mendengar suara merdu alam, menikmati makna setiap kata berdasarkan acuan yang dia ada, semua ini menjadi pengalaman dan menyebabkan dia bermakna dalam kehidupannya dan kehidupan manusia yang lain malah semakin ia matang dan dewasa, fikiran dan tingkahlakunya menjadi cermin orang lain dan masyarakat yang besar. Kini mereka menjadi pemimpin dirinya, bangsanya, agama dan negaranya. Namun sastera diberikan jenama yang lain yang dikeluarkan daripada jati diri seseorang hingga sastera itu sendiri telah mati. Satu kesedihan dan elegi ini untuk kita semua.Tapi benarkah ia telah mati? Selagi kita masih boleh berkata-kata dengan indah, selagi kita masih menikmati makna falsafah kemanusiaan dan selagi kita bahagia menjadi insan yang berfikir, sastera tetap hidup.Sastera tidak mati, percayalah.

‘Hidup’nya sastera berupa dunia yang tidak kelihatan tetapi ia dirasai dan dinikmati. Dari segi intrinsiknya, acuan menikmati itu juga tidak sama antara pembaca atau penikmat yang lain, yang berbeza latar kehidupan, latar pendidikan dan status dalam masyarakat mereka khususnya berkaitan dengan sikap, nilai dan dorongan. Dalam Puitika Sastera Malayu, Dr. Mohammad Haji Salleh (2006:38) meletakkan sastera sebagai alatan dan ekspresi bangsa Melayu yang terpenting, kerana di dalamnya juga tercakup karya-karya agama, adat istiadat, hukum, sejarah, salasilah, perubatan dan sebagainya. Ke dalamnya dicurahkan segala fikiran orang Melayu tentang tatanilai untuk dijadikan teladan, hubungan antara manusia yng melancarkan perjalanan masyarakat, malah hal-hal harian yang dapat membantu seseorang pembaca atau pendengar dalam hidupnya. Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia dalam konteks sastera beliau menyatakan bahawa hasil sastera dan seni itu ialah keindahan. Pengalaman merasa wujud indah itu terlalu kompleks, malah menjadi persoalan yang abstrak dan boleh sekaligus konkrit. Pengalaman estetik dalam dunia sastera menjadi persoalan falsafah dan menjadi teka-teki intelektual yang dibahaskan dengan hangat sejak zaman Yunani Purba hingga kini.

Wellek dan Warren (1956:240) juga menyebutkan bahawa sastera ialah ‘aksi sosial dan etika’, suatu lakuan atau perbuatan sosial sesuatu bangsa. Aksi boleh berupa tindakan jasmaniah, pemberontakan, perebutan kuasa atau serahan untuk memajukan bangsa. Secara abstrak, aksi juga boleh merupakan usaha memilih yang baik daripada yang buruk, yang lurus daripada yang berliku-liku. Dalam hal lain, sastera juga tidak silu-silu memberikan gagasan, contoh dan petunjuk ke arah bagaimana manusia dapat menjadi lebih sempurna, lebih maju dan lebih baik. Dalam berbuat demikian sastera menggerakkan manusia berfikir, dan seterusnya bertindak ke arah kesempurnaan, kemajuan dan kebaikan. Mauduk yang di angkat dalam perbincangan sastera baru-baru bersifat provokatif – Sastera Sabah sudah mati! Bunyinya sungguh tidak masuk ke akal, bagaimana sastera boleh mati? Namun sewajarnya kita tidak memejamkan mata dan melupakan hujah-hujah yang pernah dilontarkan seorang pelajar tahun akhir Sekolah Pengajian Seni, Universiti Malaysia Sabah. Selain provokatif, kalimat ini merupakan pernyataan yang menggambarkan perjalanan kehidupan sastera di Sabah yang selama ini melalui keadaan simpang-siur yang akhirnya kabur dari pandangan. Tindakan DBP menjadikan mauduk ini sebagai landasan perbincangan mutakhir walaupun agak betat tapi masih belum terlewat, memberikan ruang terbaik untuk menemukan fokus yang sebenar di kalangan khalayak sastera.

Menghayati perbincangan sastera mutakhir di Sabah ia tidak sekadar membaiki pintu tetapi mengajak kita membukanya dengan berhemah. Alangkah besar dan luasnya dunia sastera itu sebenarnya. Pasti tidak semudah menyusun diksi oleh seorang penyair atau calitan warna-warni seorang pelukis menerusi kemahiran masing-masing. Benar bahawa ‘Sastera Sabah sudah mati’ perlu dilihat daripada perspektif yang lebih luas. Sastera harus mampu dimanipulasi secara sehat dan jujur. Memang benar juga, ramai tidak menyedari ‘kematian’ itu sebenarnya terus terjadi, hinggakan kita tidak benar-benar merasai ‘roh’ sastera wujud. Semua ini berpunca daripada tipisnya program pengisiandalam satu tempoh yang amat panjang menyebabkan sambutan masyarakat semakin mengecil. Masyarakat yang dimaksudkan termasuklah penggiat, pelanggan sastera malah pengurus sastera itu sendiri. Apa yang terjadi, wujud sikap asal jadi, tidak serius, melepas batuk ditangga di peringkat pengurusan sastera.Cuma akhir-akhir ini sudah kelihatan adanya penjernihan, mungkin bagus juga, tetapi mana hari-hari yang telah dilalui itu, yang tempohnya memberi kerugian yang teramat banyak sekali. Dalam tempoh dua dekad atau dua puluh tahun sastera di Sabah banyak kehilangan hinggakan satu ketika paling meruncing terpaksa mencari hala tujunya. Mana hala tuju yang lampau?

Penggiat tegar oleh aktivitis persatuan penulis merasakan tidak menerima layanan yang diperlukan padahal pengorbanan yang mereka lakukan bersifat sukarela semata-mata mendambakan agar dunia sastera terus bernafas dengan segar di bumi yang mewah dan merdeka. Sedangkan segala kemewahan itu hanya dinikmati segelintir pihak yang bijaksana menggunakan peluang, manakala penulis khususnya terus dihantui peluang terbaik, sampai bila, kita tidak tahu. Ramai penulis yang merajuk dan tidak mungkin terpujuk, mereka ini merupakan penulis yang begitu berwibawa pada satu tempoh.Jika pandangan luar mengatakan Sabah mempunyai kumpulan penulis yang hebat saya fikir ia tidak semudah sekadar tanggapan tanpa merujuk kepada roh kegiatan sastera yang lebih menyeluruh. Kita perlu melahirkan lebih ramai penulis, bukan setakat ramai bahkan perlu mengangkat mereka dengan prasarana-prasarana sedia ada. Memang tidak mudah. Pengurus sastera termasuklah pempimpin kerajaan yang berkaitan, yang hanya faham tentang tanggungjawab kerana mereka dibayar gaji barangkali hanya mampu melakukan pada tahap-tahap yang telah ditentukan. Nilai tambah yang diperlukan oleh pelanggan mereka amat sukar ditemui saat ini. Natijahnya, para penulis dan penggiat sastera mahu tidak mahu perlu menjana kewibawaan mereka menggerakkan aktiviti mereka sendiri. Penulis tetap berkarya. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan sesama rakan, berbincang dan menjalani proses penciptaan mengikut acuan mereka. Kumpulan-kumpulan membaca buku di lokasi-lokasi strategik juga membantu menyemarak nikmat sastera itu sendiri.

Semua ini hanya berupa elemen-elemen sokongan yang menyebabkan aktiviti sastera dirasai kewujudanya. Apa yang sering dipertikaikan hanya berhubung dengan soal pengisian bukan bertujuan mencari salah siapa. Mencari langkah terbaik agar kita boleh meneruskan acuan yang pernah dibina oleh generasi masa lalu. Tanpa sastera, sebahagian besar daripada ilmu bangsa Melayu tidak akan sampai kepada kita hari ini, atau kepada berpuluh generasi sebelum kita yang memerlukannya. Sekiranya pupus cerita-cerita lisan dan tulis dalam bentuk manuskrip, maka akan hilang pulalah ilmu bangsa itu. Di sisi kemegahan yang kita diterima dalam apa juga bidang, kita juga terlupa bahawa masih banyaak kelemahan terjadi di luar sedar. Kita tahu tidak pernah ada kesempurnaan untuknya. Kita namun boleh memperbaiki ketika kita terlupa untuk melakukan kebaikan tetapi segala kelemahan itu natijah lantaran cabaran-cabaran yang hebat.

Setiap hari kita akan berbicara dalam ungkapan sastera, ambuigiti – berlapis makna tetapi ada masanya kita terpaksa berkata di luar sastera, kita berdebat secara sehat. Kewajarannya sentiasa kita fikirkan berdasarkan hujah-hujah yang membawa kedewasaan lebih matang.

Sumber: http://ikatan-penulis-sabah2u.blogspot.com/2011/05/kematian-sastera-di-sabah-sebuah.html

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati