Rabu, 27 April 2011

Bukan Lembar yang Hilang*

S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

TAK pernah terpikir aku akan menggoreskan pena untuk frasa ini. Tapi memang yang digariskan hadir pasti kan tiba. Jika kau cari di kumpulan surat-suratku kepada yang kucintai Ny. Abendanon, tulisan ini takkan kau temukan. Tapi ini bukan lembar yang hilang.

Seperti kumpulan naskah itu, lampir ini pun tak ada pada kiraku. Saat melepas segala beban kepada yang terkasih Ny. Abendanon, aku tak pernah menghitung kelak jejak penaku menjadi nyala zaman. Bagiku, menuangnya sepenuh cinta telah membebaskan jiwa dari segala belenggu duka. Sungguh tak kuraba jika bulir duka yang menjadi tinta suatu masa menjelma minyak lentera yang tak ada habisnya.

Aku tak pernah punya ingin namaku mengharum melebihi saat kuada. Semua berjalan di luar kuasa kalam pun kiraku. Andai penaku anak panah, tak pernah kutarik gendewa begitu rupa. Aku tak lebih melesakkannya pada sebuah cita, segumpal ingin, yang kuwasilahkan pada lembar-lembar yang kukirimkan kepada sang kekasih Ny. Abendanon. Dialah sahabat, ibu, kekasih jiwa yang memahami hasratku.

Atau tanpa kusadari dia racun hidupku, yang membuat tak nyaman dengan gelar raden ayu pun segala tradisi yang di matanya adalah belenggu. Perlahan penuh kepastian, umpama tetes air yang melubangkan batu, aku setumbuk dengannya. Dia hembuskan pengetahuan Eropa, aku menerima begitu rupa. Aku turut mendepa ada yang salah pada tradisi bangsaku, ada yang tak adil pada kaumku. Meskipun untuk segala cara pandang itu aku melukai hati ibundaku, mengoyak kepatuhan kaumku, menggundahkan saudara-saudaraku. Apa yang kuanggap benar, tak seiya dengan tradisi. Lalu mereka menggelariku pembangkang. Raden ayu yang berperilaku tak lugu. Menerjang pagar-pagar yang terpancang sepanjang ruang.

Aku tak pernah meraba, jika suatu masa lembar-lembar yang kukirimkan padanya menjadi cahaya yang lebih cerlang dari pelita. Ada yang bernaung pada pendarnya, juga mendapati kerlip nyala yang diterima dari kejauhan masa. Ada pula yang selalu mengenangnya dengan lambang-lambang suka yang dicipta dari zamannya.

Aku mendamba suatu zaman di mana perempuan tak terhalang menyecap pengetahuan. Kini zaman telah melerai belenggu-belenggu waktu. Tak kudapati lagi kumpulan perempuan yang diam di kamar menunggu pinangan. Bilik-bilik perawan dihuni saat mentari menepi. Kala benderang, wanita-wanita zaman menatah pengetahuan juga memamah remah kehidupan. Bertebaran bersama kaum Adam meraih rezeki pun kepandaian. Terang telah terbit, gelap telah menyisip, meskipun hadir kegelapan-kegelepan lain yang menjadi tugas cahaya kehidupan. Maka perempuan-perempuan akan menjadi lentera pada setiap zamannya. Kita hanya punya kisah dan waktu yang berbeda, pun keberuntungan yang tak sama. Adakah di masaku aku paling bercahaya? Tidak. Telah bertebaran bunga-bunga bangsa yang bermekaran pada ranah dan ruang yang tetap menjadi rahasia.

Setelah tiba masa pingitan, aku disibukan oleh hantu-hantu kecemasan yang berkeliaran. Zamanku menelikung langkah hingga kakiku lumpuh di bilik mimpi. Aku hanya punya angan suatu hari akan lempang kaki lembut perempuan ke ranah yang mampu dia jamah. Lalu aku goreskan pena hati dengan tinta yang dicelup pada setiap lelehan saksi sunyi. Di kertas kanvas kehidupan aku goreskan setiap yang menyesak di angan-angan. Kukirimkan keluhku ke negeri yang jauh. Kucecap semangat dari jiwa yang membarakan impian. Aku tak tahu berapa harga prangko yang kububuhkan, hingga lembar-lembar itu menembus dari zaman ke zaman. Mewangikan segugus ide yang tak semua terwujudkan. Adalah di ujung waktuku sebagian mimpiku maujud, meskipun masih menyisa harap tak terungkap. Andaikan ini menjadi sigi yang menerangi, aku tak sendiri.

Di ranah lain di ruang bangsaku, bermunculan perempuan-perempuan sezaman yang sebangun denganku. Yang juga merindu cahaya mentari pemekar biji-biji pengetahuan. Satu demi satu bermunculan, menumbuhkan kecambah-kecambah yang lebih mencerdaskan. Pada waktunya di musim hujan tetumbuhan itu bermunculan, bersemi menyemai diri. Hingga tumbraslah anak pemikiran tentang kesetaraan pada lahan perubahan. Lalu anak-anak zaman mengenangkanku, mengagungkan surat-suratku, hingga yang lain tersembunyi di balik batu-batu peradaban.

Jika di masaku aku banyak mengenal teman wanita sebangsa, mungkin tak hanya kepada Ny. Abendanon kukirim semua warta. Tersebutlah si cerdas Rohana, yang terlahir semasa denganku. Dia pun merindu kaumnya tak bersembunyi di bilik rumah gadang. Andai ruang menambatkankan kami, adalah dua sejoli yang saling menghargai dengan perpaduan energi. Tapi tak ada yang disesalkan dari pertautan ketentuan. Semua berjalan dengan tuntunan Tangan Yang Sama. Dia yang menghidupkan kami untuk menorehkan langkah-langkah kecil demi cita-cita tak terduga.

Adalah Rohana, yang bersuamikan Kudus, melangkah lebih lempang, menatah lebih dalam. Dengan waktu yang lebih panjang dari yang kumiliki, diterobosnya segala yang sebelumnya mimpi. Aku lebih banyak mencecap pengetahuan Belanda, meskipun tetap kujunjung adiluhung budaya bangsaku, sedang Rohana melahap yang datang dari negeri yang jauh pun bangsanya sendiri. Tidaklah patut membanding keberuntungan, tapi tak mengapa memuji kelebihan kawan. Saat aku disibukan dengan pikiran-pikiranku yang tertuang di lembar-lembar saksi sejarah itu, dia telah mendidik kaumnya dengan taksa. Jika aku asyik membaca lembar-lembar kabar dari Eropa, dia mencipta laman berita itu bagi kaumnya. Di tangannya pula Soenting Melayu menjadi warta pertama kaum hawa di Nusantara.

Belum tunai langkah cergas Rohana menitah kaumnya. Dia dirikan Sekolah Amai Setia untuk mematangkan pribadi kaumnya. Adakah langkah itu tak melebihi tajamnya surat-suratku? Jika buah pena menjadi getah damar yang menyalakan dian, langkah-langkahnya menjadi matahari yang menerangi semesta sepenuh tulus. Rohana, adakah kau lebih beruntung terlahir sebagai perempuan Sumatera, yang tak harus terbelenggu kasta. Ah…tak ada sesal kita Perca atau Dwipa, pun wanita di belehan Indonesia lainnya, ikhtiar dan ketentuan Yang Agung telah manjadikan kita ada dengan kurang dan lebihnya.

Jika aku boleh cemburu, karena kau tunai mendapat pengajaran dari guru-guru agamamu. Untuk mendapat pengajaran tentang agama, aku berperantara bangsa Belanda, dengan orang Belanda pula, yang bangsa tak disuka bangsa kita. Kepada Senouck Hugronye aku tanyakan tentang agama. Di tanahku, begitu sulit aku bertemu ahli-ahli agama yang siap menjawab gelisah manahku hingga tak tertangkup semua gelisah membara itu. Maka Rohana, begitu lengkap kau cecap berbagai cabang pengetahuan. Andai cita kita tersambung di masa itu, mungkin telah kita bagi segala ruah pun gelisah. Akan kukirimkan meja tulis ukiran Jepara untuk saksi-saksi kerjamu, pun gamelan Jawa yang aku suka.

Belum tunai kusebut satu-satu pendar lakumu. Tak cukup kau bimbing kaum Hawa memegang pena, mengukirkan tinta, kau ajarkan pada mereka beradu cerdas menukar barang pada Belanda. Kau tak hanya piawai menisik kain menejelujur benang, jalur dagang pun kau lempangkan. Ilmu siasah pun kau praktekkan. Duhai Putri Minang, adakah keraguan bangsa ini mengharumkan seluruh jejakmu, hingga aku lebih bersinar darimu?

Tak cukup bagimu Soenting Melayu pun Amai Setia, setelah prahara menerpa, kau lebih kukuh mengunggah langkah. Kau bangun Rohana School yang menandaskan baktimu pada kaum pun bangsamu. Di sana kau didik anak-anak zaman dengan takrir purna. Maka silaulah Belanda pada seluruh yang kau sangga. Sia-sia bangsa Eropa itu tak mengizinkanmu mengenyam pendidikan di sekolahnya, ternyata pengetahuanmu melampaui tempaan mereka. Maka menjadilah kau wanita utama, pendidik anak-anak bangsa kala gelap masih gulita karena Kartini tak seorang saja.

* Terinspirasi dari surat-surat Kartini dan kisah perjuangan Rohana Kudus.
** Untuk Mamak, perempuan tangguh yang paling mencintaiku.

Kastil Nurul Yaqin, April 2011

Ruang Publik Kebudayaan

Junaidi Abdul Munif
Seputar Indonesia, 27 Dec 2009

KERJA kebudayaan menjadi termenarik untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat akan situasi yang tak beres. Kerja kebudayaan menjadi feedback untuk merespons masalah sosial, politik, ekonomi, agama, dan problem-problem yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Kebudayaan bisa menjadi celah menemukan kesepakatan kolektif untuk membersihkan ”noda-noda” sosial, politik,ekonomi,juga agama. Kebudayaan yang menjadi milik publik bisa beralih bentuk menjadi alat untuk menyampaikan kritik. Ini misalnya dilakukan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadi ”corong” PKI untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan pada 1960-an. Perdebatannya yang sengit dengan kelompok Manifest Kebudayaan tentang politisasi seni atau seni untuk seni menjadi perdebatan yang ”legendaris”dan menentukan arah kebudayaan Indonesia di tahun-tahun setelahnya. Soeharto menang dalam tragedi G 30 S dan membersihkan ormasormas yang dituduh underbowPKI, termasuk Lekra.

Saat itulah seni benar-benar untuk seni yang ”terbebas” dari tanggung jawab politik. Seni dan produk kebudayaan dikebiri menjadi sebatas hiburan pengisi waktu senggang yang tak boleh nyerempetke urusan politik. Di masa Orde Baru,kerja-kerja kebudayaan diberangus atas nama stabilitas negara. Ormas-ormas yang berseberangan dengan kepentingan penguasa akan dihilangkan. Pada akhirnya mereka menjadi gerakan subversif yang tak juga muncul ke permukaan.Meski politik represif penguasa justru memicu kreativitas pelaku kebudayaan untuk membuat karya seni satire yang tak secara gamblang menohok pemerintah.

WS Rendra (almarhum) dengan Bengkel Teater maupun sajak-sajak pamfletnya adalah contoh generasi zaman yang lahir dari politik represif tersebut.Konsistensi untuk melawan dan berseberangan dengan kekuasaan terus ia pegang teguh sampai meninggal pada 7 Agustus 2009.Termasuk kerja kebudayaan yang digarapnya bersama Setiawan Djody,Iwan Fals,Sawung Jabo dalam grup musik Kantata Takwa pada awal 1990-an. Kini keran reformasi telah dibuka, ruang-ruang kebudayaan mulai tumbuh seiring menjamurnya LSM yang concern pada kemanusiaan. Periode Lekra yang menggunakan kebudayaan sebagai semangat perlawanan (alat politik) terulang kembali. Budaya virtual (internet) turut andil meneguhkan esensi ruang publik kebudayaan yang melintas batas geografis dan identitas.

Melawan Korupsi

Kekuasaan otoriter Orde Baru yang berjalan selama 32 tahun melahirkan ”budaya” korupsi.Korupsi menjadi hantu yang menggurita dari yang bersifat individu sampai kolektif, dari korupsi kelas teri sampai kelas kakap. Korupsi dianggap sebagai tindakan kriminal yang patut dikutuk dan merugikan negara.

Saat KPK sebagai lembaga resmi yang berusaha membersihkan negeri ini dari korupsi mulai dipreteli satu persatu pemimpinnya, kerja kebudayaan menjadi jalan untuk melakukan dukungan terhadap KPK. Aksi solidaritas menolak penahanan petinggi KPK digalang di berbagai daerah.Mereka menemukan musuh bersama (common enemy) yang menghidupkan elan kolektivitas untuk ”menjewer”birokrasi yang korup. Beberapa waktu lalu penahanan Bibit-Chandra oleh Polri menjadi isu menarik yang menukik di kesadaran para pekerja kebudayaan.

Bola panas ranah politik ini menjadi isu yang terus menggelinding. Sejak ditangkapnya Antasari Azhar,KPK seperti terus digembosi untuk melemahkan legitimasinya. Aksi masif para facebooker menuntut pembebasan Bibit-Chandra beberapa waktu lalu membuktikan kerja kebudayaan masih efektif untuk melakukan bargaining terhadap pemerintahan. Terbukti, Presiden SBY akhirnya memerintahkan Polri untuk melepaskan Bibit-Chandra, terlepas dari rekomendasi Tim Delapan yang (kebetulan) sejalan dengan tuntutan massa.

Pilar Demokrasi

Dalam model demokrasi trias politica ala Montesquieu yang dianut Indonesia, eksekutif bukan pemegang kebijakan tunggal dengan kekuasaan mutlak. Legislatif dan yudikatif adalah mitra eksekutif yang bertugas sebagai pengimbang dan pengingat satu sama lain.Kemenangan eksekutif dalam satu putaran pada pilpres lalu jangan sampai membuat eksekutif jumawa dengan menjadikan legislatif sebagai pendukung segala ”kebijakannya”.

Pertanyaan bisa dilontarkan untuk sedikit menggoda. Efektifkah kerja-kerja kebudayaan ini untuk melawan korupsi yang telanjur menggurita di negeri ini? Mengingat kerja kebudayaan dilakukan oleh LSM-LSM, komunitas seni, yang kurang memiliki power di kekuasaan.Sementara para pemegang kebijakan seperti tertutup telinganya untuk mendengar kritik. Dalam kajian ruang publik politis (public politic sphere) yang digagas oleh Juergen Habermas, kerja kebudayaan bisa juga (bahkan sangat) diperlukan sebagai ruang publik yang bebas dari intervensi kekuasaan.

Ruang publik, bersama pers dan LSM bisa menjadi pilar demokrasi keempat yang akan melakukan checks and balancesterhadap pemerintahan. Dalam kerja kebudayaan, publik berkumpul untuk menyamakan visi,lantas beraksi untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang berguna bagi kemaslahatan. Kerja-kerja kebudayaan harus terus digalakkan untuk menciptakan ruangruang publik politis demi sebuah tujuan mulia: menjaga demokrasi. Karena itu ruang-ruang publik kebudayaan harus terus eksis di tengah konspirasi kekuasaan yang cenderung mencengkeramkan otoritarianisme gaya baru.

Aristoteles pernah merasa skeptis dengan demokrasi karena menganggap sistem ini hanyalah penganut paham ”asal banyak”. Pendukung atau pendapat asal banyak ini bisa saja tak esensial dan merugikan masyarakat.Akhirnya, dia ”pasrah”dengan menganggap demokrasi adalah sistem pemerintahan yang buruk,namun paling mungkin dilakukan.Kita boleh saja berharap, dari rahim kebudayaan akan muncul pemimpin bangsa yang berperilaku layaknya nabi dan menerima ”wahyu ilahi”. Yang memerintah dan membuat kebijakan atas dan demi nama kemaslahatan rakyat.

Ketika lembaga negara, aparat pemerintah justru bersekongkol dengan musuh-musuh demokrasi, musuh hukum,pemelintir undangundang, dan pemutarbalikan keadilan, saat itulah kebudayaan akan menjaga umat manusia dari gebalau dunia yang profan.Dengan kebudayaan, akan terselip kearifan-kearifan transendental yang membuat manusia tidak menjadi homo homini lupus bagi manusia lainnya.(*)

* Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Centre, Ruang Publik Kebudayaan Semarang
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/ruang-publik-kebudayaan.html

Monumen Kata untuk Sitor Situmorang

Judul : Menimbang Sitor Situmorang
Penyunting : J.J. Rizal
Penerbit : Komunitas Bambu dan KITLV, Jakarta
Terbit : 2009
Tebal : xiv + 293 Halaman
Peresensi : Bandung Mawardi *
Lampung Post, 27 Des 2009

SITOR Situmorang dicatat sebagai pokok dan tokoh kesusastraan Indonesia modern oleh Subagio Sastrowardoyo, A. Teeuw, A.H. Johns, dan Harry Aveling dalam esai-esai panjang dan kritis. Sitor pun diakui sebagai penyair mumpuni dan cerpenis memukau dengan pergulatan identitas-kultural.

Jejak-jejak kepenyairan Sitor telah terekam dalam buku puisi Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Angin Danau (1982), Paris la Nuit (2001), The Rites of the Bali Aga (2001), Biksu Tak Berjubah (2004), dan Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948–2005 (2006).

Daftar buku puisi ini mengukuhkan pencapaian estetika puisi dari Sitor Situmorang sebagai penyair “si anak hilang”. Frase ini kelak mendapati gugatan karena Sitor sudah bukan “si anak hilang”, tapi menjadi “si anak belang-belang”.

Ikhtiar penghormatan dan pendokumentasian jejak kepenyairan Sitor secara intensif dilakukan oleh J.J. Rizal dan Komunitas Bambu (Jakarta) melalui seri penerbitan buku Sitor. Rizal sebagai penyunting buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948–2005 (2006) mengingatkan bahwa untuk bisa menilai Sitor secara proposional, harus ada pembacaan utuh terhadap puisi-puisi Sitor sebagai juru bicara penting. Pembaca mesti juga membaca cerpen, esai, lakon, dan autobiografi Sitor agar tak gegabah dalam menjatuhkan vonis dalam tendensi sastra atau politis.

Ikhtiar besar lalu dibuktikan dengan penerbitan buku Menimbang Sitor Situmorang (2009) sebagai dedikasi penghormatan terhadap Sitor untuk laku sastra. Penerbitan buku ini terlambat lima tahun dari rencana persembahan untuk hari ulang tahun ke-80 pada 2004.

Buku ini menghimpun esai-esai kritis, serpihan biografis, dan puisi-puisi dari A. Teeuw, A.H. Johns, Afrizal Malna, Alle G. Hoekema, Binhad Nurrohmat, C.H. Watson, D.S. Moeljanto, Farida Soemargono, Harry Avelling, Hasyim Wahid, Johann Angerler, Martina Heinschke, Muhammad Haji Saleh, Pranita Dewi, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge, Subagio Sastrowardoyo, dan V.S. Naipul.

Buku ini seperti monumen kata untuk mengekalkan Sitor Situmorang. Penghadiran kembali esai klasik dari Subagio Sastrowardoyo dengan judul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang mengingatkan pembaca pada puncak olah estetika Sitor dalam napas kosmopolitanisme. Sitor menjadi sosok ahli waris dunia dengan menerima warisan-warisan estetika dunia di Barat dan Timur untuk diolah dalam puisi.

Simbolisme menjadi kekuatan Sitor dalam tegangan lokalitas dan modernitas. Sitor juga merepresentasikan gairah pengarang dalam badai eksistensialisme dalam sastra Indonesia modern. Sitor adalah tokoh penting dalam puisi dan pencapaian puncak estetika telah membuat puisi-puisi Sitor pantas diabadikan sebagai penanda zaman.

Subagio Sastrowardoyo memberi konklusi bahwa puisi-puisi panjang Sitor membayangkan inti kemanusiaan sebagai orang yang sadar kehadiran di mana pun dan waktu apa pun, tapi tidak sanggup untuk mempertalikan diri. Puisi-puisi Sitor mengucapkan diri sebagai manusia terasing. Keterasingan ini tak membuat Sitor berhenti atau mati. Puisi-puisi justru terus mengalir meski usia senja.

Puisi jadi perlambang dari diri dan negeri dalam pergulatan identitas-kultural. Konklusi ini mendapat penguatan dari A.H. Johns yang mengungkapkan bahwa pergulatan identitas-kultural membuat Sitor ada dalam dua dunia dengan risiko: acuan kultural terhadap Batak telah hilang dan perasaan menjadi Indonesia sebagai identitas geokultural belum lagi matang.

Sumbangan puisi ikut menentukan posisi Sitor dan makna kehadiran dalam peta sastra Indonesia modern. Afrizal Malna mengabadikan Sitor dalam puisi Kuda Merah untuk Sitor: Sitor, 80 tahun seperti tempat tidur yang penuh gam-/bar. Hei, mulut waktu. Hei, sore yang menutup jendela./ Ibu sudah tidur. Kita bermain lagi. kita curi kuda merah/ milik leluhur. Hei, jangan ribut. Jangan berisik, ya. Nanti/ kita ditangkap para penjaga leluhur. Petikan puisi ini mengingatkan proses Sitor mencari jalan pulang ke “rumah kultural”. Petualangan di berbagai negeri telah membuat lelah. Rumah kultural (Batak) menjadi tempat untuk mengonstruksi ulang identitas kultural.

Perjumpaan V.S. Naipul dengan Sitor Situmorang ketika di Jakarta melahirkan kesan, “Ia seorang penyair yang hadir sebagai penulis yang manusiawi dan suka merenung.” Peraih Nobel Sastra 2001 ini memerlukan diri mencatatkan Sitor sebagai penyair penting dalam belantara perpuisian dunia. Sitor memiliki dunia dan dunia memiliki Sitor. Kehadiran esai Merekonstruksi Masa Lalu dari Naipul adalah sisi samar dalam biografi Sitor. Naipul memilih perspektif ini mungkin karena mirip dengan pergulatannya untuk mencari dan bergelimang dengan identitas-kultural. Begitukah?

*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/buku-monumen-kata-untuk-sitor.html

”Rumah Prosa” Indonesia

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Pramoedya Ananta Toer, prosais terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, cukup sering bicara soal rumah dan pulang dalam karya prosanya. Pram menempatkan rumah sebagai sejarah, rumah sejarah, sebagaimana ia menempatkan novelnya sebagai bagian dari ”novel sejarah” sekaligus ”filsafat sejarah”.

Dalam karya klasiknya, Bukan Pasarmalam, Pram dengan liris bicara soal rumah, kampung halaman, di samping tempat seorang anak di zaman revolusi. Sekeras-keras hati si tokoh Aku untuk bertahan menjadi manausia rantau di kota Jakarta, tetap saja perasaannya luluh-larut ketika harus dihadapkan pada kenyataan orang tuanya jatuh sakit dan dibayangkan tak akan sembuh lagi. Akhirnya ia memutuskan pulang menengok orang tuanya yang sedang terbujur di rumah sakit karena TBC. Tapi bukan hanya sosok orang tua yang ditengoknya, tapi juga rumahnya dulu, kampung halamannya, saudaranya, orang-orang kampung yang telah lama ditingalkannya.

Si Aku memang kembali lagi ke Jakarta setelah ayahnya dimakamkan karena ia telah bertekad dan memutuskan di Jakarta itulah tempatnya yang baru, sekaligus pertaruhan hidup-matinya di masa depan.

Dalam novel tetralogi, Pram memang begitu keras menanamkan semangat modernitas, menjajakan manusia modern tanpa ampun kepada pembaca, walau kemudian sikap itu akhirnya sedikit lunak pada bagian akhir serial terkenal itu. Dalam Jejak Langkah dikatakan dengan sangat keras, dan nyaris menjadi semacam ”pemujaan”, ketika Minke baru saja tiba di Batavia:

Akhirnya Bumi Betawi terhampar di bawah kaki, kuhirup udara darat dalam-dalam. Selamat tinggal, kau kapal. Selamat tinggal, kau, laut. Selamat tinggal semua yang telah terlewati. Pengalaman-pengalaman masa silam, kau pun tak terkecuali, selamat tinggal.

Memasuki alam Betawi—memasuki abad dua puluh. Juga kau, sembilan belas! selamat tinggal!
Aku datang untuk jaya, besar dan sukses. Menyingkir kalian, semua penghalang!….orang bilang: hanya orang modern yang maju di jaman ini, pada tangannya nasib umat manusia tergantung. Tidak mau jadi modern? Orang akan jadi taklukan semua kekuatan yang bekerja di luar dirinya di dunia ini. Aku manusia modern. Telah kubebaskan semua dekorasi dari tubuh, dari pandangan.

Dan modern adalah kesunyian manusia yatim-piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.

Itulah Pram. Nada bicaranya amat lantang. Semangatnya gigih. Keberaniannya layak dipuji, walau ia sendiri tak butuh pujian. Ajakannya untuk jadi modern, meneladani manusia modern, bukan yang pertama dan mula-mula, memang. Sebelumnya, kita telah mengenal Takdir Alisjahbana yang berapi-api. Sjahrir yang begitu percaya diri. Bahkan sebagian besar aktivis pergerakan, angkatan 1928, terbakar oleh fajarbudi dan semangat kemajuan, semangat modern, semangat yang dibawakan abad ke-20.

Baik mereka yang berlatar agama, politik, sastra, atau berlatar apa saja, ikut ambil bagian dari kampanye tentang kemajuan itu. Ada yang malu-malu, ada yang mencoba memberi catatan kritis, ada yang munafik, ada yang mencoba mencari jalan tengah, ada yang terlampau berani dan gagah.

Tema rumah tak hanya terdapat dalam novel yang pernah ditulis Pram. Bahkan dalam sejumlah cerpennya, tematik rumah begitu dominan. Satu di antaranya tergambar dalam buku kumpulan Cerita dari Jakarta. Ada satu cerita dengan tema sangat sederhana, yaitu tentang kecapi. Lewat kecapi Pram meletakkan desa dan rumah bukan merupakan entitas yang lebih luhur, apalagi lebih mulia dari kota. Rumah dan desa tidak selalu tempat untuk pulang. Bahkan dalam kumpulan cerita pendek itu, kesucian dan pulang bukanlah persoalan yang utama. Tokohnya yang hidup murung di Jakarta tahu bahwa di dusun asalnya di Lembah dan Gunung, kecapi bisa terdengar tiap saat, tapi di sana tanahnya terlampau sempit dan ia teramat miskin, dan sebab itu desa tak memberinya dasar untuk kembali.

Bahkan justru di kota, di mana seseorang bisa mengikuti imajinasinya sendiri dan mau mengerjakan sesuatu yang baru, meskipun ditertawakan oleh orang banyak di sekitarnya, tokoh Maman yang kere tidak terhanyut oleh perasaan nostalgis, bahkan ia mampu berdiri tegak.

Kampung halaman yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana disebut ”tasik yang tenang” yang selalu dirindukan banyak orang kota, tak membuatnya merasa rindu. Ia tak melakukan mudik. Ia tetap tinggal di kamar petak berukuran 4×4 meter. Bahkan kampung halaman yang oleh Albert Einstein disebut ”kerinduan orang kota untuk selalu lari ke lingkungan yang bising ke lingkungan yang damai, masuk ke dalam keheningan perbukitan—dimana pandangan bebas menembus udara murni dan tenang, yang seolah-olah diciptakan untuk selamanya”—tidak membuat tokoh-tokoh Pram tergiur untuk pulang.

Tapi pada cerita lain sikap Pram berubah. Akhirnya ia juga mesti kompromi. Dalam cerpen Jakarta, misalnya, Pram justru melukiskan tokoh Ridwan yang kalah dalam perjuangannya, yang cuma sekadar untuk tinggal di Jakarta saja untuk beberapa hari tak betah. Ridwan akhirnya harus hengkang, mencari kedamaian hati di tempat kelahiran. Rencana tinggal di Jakarta selama-lamanya dibuyarkannya dan ia kemudian pulang mencari kedalaman yang baru di desa.

Dalam melukiskan konflik perjalanan Ridwan pulang ke kampung halaman di desanya, Pram dengan gamblang menyatakan bahwa, apa yang dimiliki sang tokohnya hanyalah sebuah arca yang ditatahnya dalam hati gadis pujaannya. ”Selamat tinggal, Jakarta!” Demikian ucap Ridwan di bagian akhir cerita itu.

Sementara dalam cerita berjudul Sunyi Senyap Di Siang Hidup, Pram menarasikan niat tokohnya yang mendekati cerita autobiografis yang sangat kuat. Sang tokoh pergi meninggalkan kota praja yang telah menghidupkan aneka cerita tentang kegagalan. Pergulatan dalam perjalanan tokohnya dalam revolusi mengingatkan dirinya untuk kembali. Dan rumah dibayangkan sebagai pusat eksistensi. Pusat dari kehidupan penghuninya.

Pulang berarti kembali ke akar, kembali dalam ikhwal yang dialami sebagai milik kita sendiri. Apa yang dinamakan milik ialah tempat-diam: tempat di mana kita berakar; di mana di rumah kita merasakan jiwa yang tenang.

Rumah tak akan pernah bisa kita lupakan karena ia tertanam jauh dalam memori. Maka, barangsiapa ingkar pada rumah, lupa pada kampung halaman, dengan sendirinya ia akan dicap sebagai Malin Kundang. Dan cap ini begitu dominan dalam sejarah sastra Indonesia.

Bagi sebagian penyair, rumah telah menjadi bagian darah dan daging. Rumah merupakan cerminan dari sebuah kosmos. Tempat berlangsungnya kehidupan. Karena itu sering bersifat suci. Rumah menjadi sesuatu yang sakral atau disucikan, yang sering ditempel hiasan untuk menunjukkan keberkatan. Agar yang pergi ingat kembali. Agar yang tinggal merasa nyaman dan aman. Agar tak menjadi pendurhaka seperti si Malin Kundang dalam legenda lama.

Surat Dunia Maya Untuk Ajip Rosidi

Martin Aleida
http://boemipoetra.wordpress.com/

Bung Ajip yang baik,

Tiga bulan setelah menerima surat Bung dari Pabelan, tertanggal 5 Januari 2011, dengan tanda tangan dan tera sketsa mungil berwarna merah yang menggambarkan wajah Ajip Rosidi yang sedang senyum, saya belum juga menemukan ajakan yang pas untuk membalas.

“Tak menyangka samasekali Amak Baldjun mendahului hari ini.” Begitulah surat itu dibuka dengan sebuah kabar duka tentang aktor yang penampilannya di panggung teater mempesona saya. Semasa hidup, Amak gemar berolahraga jalan kaki. Beberapa kali kami bertemu di Senayan, sama-sama menikmati jalan dan lari-lari kecil menjelang tenggelamnya matahari. Kabar kemalangan mengenai Amak saya terima dari Bambang Bujono melalui pesan singkat (SMS), yang kemudian saya teruskan ke Ibu Empat di Pabelan dengan harapan disampaikan kepada sang suami.

Surat Bung dari Pabelan itu bercerita pula tentang rencana Bung untuk membangun Pusat Studi Sunda yang akan diberi nama “Perpustakaan H. Ali Sadikin.” Nama itu dipilih untuk menghormati Bang Ali “yang telah banyak berbuat untuk kemajuan kebudayaan kita.” Sebagai penutup, Bung menyiratkan keadaan fisik Bung sendiri yang sudah tidak prima lagi untuk mondar-mandir Pabelan-Bandung. Rapat Akademi Jakarta 21 Januari akan Bung loncati, karena harus berada di Bandung untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjadjaran, persis di hari ulangtahun Ajip Rosidi yang ke-73, tanggal 31 Januari 2011. Bung bilang, akan terlalu lelah buat badan yang mulai rapuh kalau sepulang dari Jakarta harus segera pula berangkat ke Bandung. Sekarang pun, kata Bung lagi seraya mengeluh, masih batuk-batuk sepulang menjadi saksi pernikahan anak almarhum Edi Ekadjati. “Mulai tahu dirilah,” begitu Bung menutup surat itu.

Ya, mulai tahu dirilah…! Sungguh sebuah ajakan yang arif untuk diri sendiri. Dan, marilah kita tengok perjalanan kepengarangan Bung yang sudah melampaui kurun waktu lebih dari setengah abad, dengan jumlah judul buku atas nama Ajip Rosidi, yang kalau dideretkan dari atas ke bawah, agaknya lebih dari satu meter tingginya. Sebutkan segala sisi kesusastraan dan gerakan kebudayaan Indonesia, maka Ajip Rosidi ada di tiap kata yang diterakan. Tidak hanya di dalam dunia kata-kata, Bung juga sudah menancapkan tonggak dalam gerakan kesenian dan kebudayaan. Taman Ismail Marzuki yang menghampar di tengah deru-deram pertumbuhan kota yang bengis sekarang ini, antara lain karena kesadaran yang muncul di dalam diri Bung pada penggal kedua 1960-an. Karena Bung dan teman-teman maka Taman ini dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin. Kalau tidak para seniman kita mungkin cuma bisa luntang-lantung di taman-taman kota, di warung-warung yang dekil, atau di terminal-terminal bus yang riuh-rendah dengan udara yang tercemar, dan dililit utang di mana mereka singgah. Belum lagi kalau diingat dari Jatiwangi, yang justru di tepi Tatar Sunda itulah Bung jatuh-bangun mempertahankan sastra dan budaya Sunda jangan sampai tergusur zaman. Belasan tahun Bung mengajarkan Bahasa Indonesia di daratan jauh, Jepang. Sesungguhnya tak mengherankan buat saya kalau Bung memperoleh penghormatan yang begitu tinggi dari Universitas Padjadjaran, yang Bung terima dengan sikap seorang seniman tulen. Naik ke panggung mengenakan toga, sementara kaki cuma berhiaskan sepasang sandal. Unik, tiada duanya di dunia.

[Ketika saya bisikkan apa yang saya lihat di panggung itu kepada istri saya di sebelah, tiba-tiba dari bangku depan A.D. Pirous menoleh kepada kami, menempelkan satu jari di depan bibirnya, dan pelukis tenar itu dengan sangat sopan bilang, “Sssst…”] Dan Bung menyampaikan pidato penerimaan dalam bahasa Sunda di depan Rektor dan seluruh jajaran petinggi Universitas serta sekitar 200 undangan, sesuai dengan syarat yang Bung patok. Tidakkah Bung catat, sebuah pusat pendidikan tinggi yang terpandang telah menyerahkan diri pada keinginan Bung! Sungguh pencapaian yang tak pernah saya bayangkan…

Namun, dalam kesempatan yang baik ini, ada yang hendak saya utarakan. Bukan petuah, tidak pula peringatan. Hanya satu keinginan yang hendak saya katakan dalam bahasa yang lebih halus, sebagaimana yang Bung dapat katakan dalam bahasa Sunda yang paling sopan. Tapi, sayang, saya tak punya bendahara setinggi itu. Karena itulah saya harus meminta maaf terlebih dulu sebelum Bung memutuskan untuk terus membaca surat ini. Perkenankanlah saya membasuh tangan dan kaki, menyeka remah yang tertinggal di bibir, menghela napas dan berkata, “Mulai tahu dirilah…” kata-kata, yang maaf, saya kutip dari surat yang Bung layangkan dari Pabelan, dari rumah Bung yang kesekian itu. Mungkin sakit untuk menyadari, serupa menyiksa diri, barangkali, walau tak perlu sampai harakiri, bahwa pencapaian dalam pendakian Bung yang sudah sampai di tataran yang begitu terhormat, telah tercemar. Sudah ternoda! Hanya lantaran hasutan seseorang, Bung telah mengotori puncak yang telah Bung taklukkan.

Semoga Bung tidak lupa, sebagaimana saya juga akan selalu ingat, di pagi sebelum matahari benar-benar telah bangun, Bung [yang bernama Ajip Rosidi] meminta saya dengan tekanan suara menyergah [dan didengar istri saya yang belum lepas telekungnya seraya menyiapkan teh buat seorang tamu sebesar Ajip] untuk membatalkan diskusi mengenai buku Asep Sambodja (sekaligus memperingati 100 hari wafatnya), yang akan diselenggarakan hari itu oleh kelompok mejabudaya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Bung tentulah menyelami mata saya, yang dengan mulut terkatup menahan amarah bercampur sedih. Dan di situ Bung mungkin bisa membaca bahwa saya tidak percaya tokoh sekaliber Bung bisa datang bagai mengamangkan pedang panjang untuk membantai niat baik anak-anak muda yang berhasrat membahas sebuah buku. Sebuah kitab! Sebuah tanda peradaban! Ketakutan apa yang yang berada di belakang pedang yang Bung genggam itu? Bung yang telah menulis segunung buku, tiba-tiba [hanya karena hasutan Doktor Honoris Causa Taufiq Ismail – ehem pakai “q” ya..!] berputus kata untuk membatalkan telaah untuk secuil tanda peradaban: buku yang ditulis oleh seorang sarjana yang belum lama meninggal setelah menderita kanker. Membatalkan diskusi buku! Kejahatan tingkat berapa ini? Bukankah itu hanya selangkah saja ke pembakaran buah pikiran dan penzaliman terhadap sikap seorang manusia?!

Yang muncul di bendul pintu rumah saya itu memang cuma sebilah pedang yang abstrak, yang mengambil bentuk ancaman yang Bung humbalangkan di depan saya, muridmu yang daif ini… Kalau yang datang itu adalah kekuasaan dengan sebuah front raksasa bernama “front penyair Indonesia,” maka yang terjadi tentu bukan cuma pembatalan diskusi, tetapi pemberangusan, penangkapan, dan pemenjaraan terhadap “mulut-mulut yang lancang,” yang hendak memahami Asep dengan baik-baik, dengan hati yang lapang, hati anak-anak muda yang ingin dibesarkan di sebuah meja peradaban di bawah tatapan H.B. Jassin.

Diskusi buku itu hanyalah sebuah titik dalam rentang panjang peradaban kita. Kalau sebuah ukuran bisa ditarik, dia hanya secercah cahaya, barangkali. Jika ada yang beranggapan upaya pembatalan diskusi itu merupakan noda, apakah dia layak menerima pengampunan? Untuk penyair sekeras dan beringas semacam Saut Situmorang TIDAK! Dari Yogyakarta dia mengirimkan SMS: “Buat apalagi dibantu PDS, Bang? Biar yayasannya yang sampah itu mintak tolong ke Taufiq Ismail. Jogja udah memutuskan gak mau ikut bantu PDS sebelum pihak yayasan mintak maaf kerna menuruti Taufiq Ismail melarang acara diskusi buku Asep itu! Sorry, Bang.”

Pesan singkat itu muncul di layar handphone saya sebagai tanggapan terhadap permintaan teman-teman muda yang menghendaki saya agar memohon kepada penyair berambut gimbal dan berewokan bak seorang pemberontak yang baru keluar dari hutan perlawanan itu, karena ada niat untuk, antara lain, melaksanakan lelang lukisan dan uangnya akan disumbangkan kepada PDS H.B. Jassin. Saut saya minta membujuk (temannya minum, kabarnya) pelukis Agus Suwage merelakan karyanya untuk disertakan dalam lelang.

Barangkali salah dugaan saya bahwa Bung menyerah pada permintaan busuk untuk membatalkan diskusi buku Asep Sambodja itu karena Bung sedang berada di Jakarta. Kota yang sumpek, di mana pengendara sepeda motor boleh naik ke trotoar menggusur pejalan kaki, dan melawan arus lalulintas pula. Jika Bung berada di Pabelan, apalagi di sawung Ibu Empat yang laris manis sambil menatap stupa-stupa Borobudur yang tertulis di pucuk-pucuk daun, agaknya Bung tidak bakal hanyut dibawa lahar kedengkian untuk membabat diskusi buku Asep Sambodja.

Bung Ajip yang baik, saya tak punya tanda mata untuk dibawa ke Pabelan. Tapi, kalau ada kesempatan untuk mampir lagi ke rumah Bung di sana, izinkanlah saya memegangi tangan Bung, sama-sama kita menatap Borobudur dan bersumpah tidak mengulangi kebengisan terhadap peradaban, sebagaimana terbaca pada arca candi yang lehernya telah ditebas oleh mereka yang kehilangan akal sehat. Memberangus sebuah kitab!

Salam hormatku untuk Bung dan Ibu Empat,

Sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2011/04/26/surat-dunia-maya-untuk-ajip-rosidi/

Jumat, 22 April 2011

SUNRISE

AS Sumbawi *
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

“Yap. Selesai sudah.” Kucoba mengangkat tas ransel yang memuat segala kebutuhan. Lumayan berat. Dari luar kudengar Bondan memanggil. Aku keluar.

“Bagaimana? Sudah beres?” katanya.
“Sip. Beres.”
“Ayo, sudah ditunggu yang lain!” katanya memberi isyarat menunjuk ke jalan. Di sana kulihat sebuah mobil van parkir.

“Ya, sebentar.” Aku kemudian mengambil tas ransel di kamar. Sebentar kami sudah berjalan menuju mobil.

Siang ini langit cerah. Matahari nyalang bersinar. Udara terasa gerah membuat tubuhku segera berkeringat. Dari kaca mobil yang terbuka aku melihat beberapa orang berada di dalamnya.

Kemarin ketika aku berada di kostnya, Bondan mengatakan dirinya akan mendaki gunung Lawu bersama teman-temannya.

“Kebetulan kami masih berlima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Kalau kau ikut berarti pas tiga pasang. Bagaimana, mau tidak?” Bondan tertawa sejenak, kemudian menghisap rokoknya.

“Ya, aku ikut,” kataku. Dalam kepalaku, acara mendaki ini akan memunculkan suasana yang baru. Refreshing bagiku. Ya, beberapa hari ini pikiranku bleng. Aku tak bisa mengerjakan apa-apa yang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. Kuliah? malas. Menulis? pikiran buntu. Mau membaca? tiba-tiba langsung tertidur. Main game? aku tak begitu suka. Sepanjang hari aku hanya duduk dan mataku terus menerawang. Hanya kehabisan rokok yang membuat aku tersentak. Aku kemudian menyulut sebatang lagi. Dan lagi. Lantas pergi ke warung membeli lagi. Dan lagi. Sementara asbak sudah menyerah tak mampu memuat lagi putung-putungnya. Akhirnya berserakan di lantai kamar. Begitu juga dengan sepai-sepai abunya berjatuhan ke mana-mana.

Aku juga sudah mencoba pergi ke mana-mana. Ke kost teman-teman, ke bioskop, ke alun-alun kota, ke toko buku, ke mall. Namun, setiap berada di tempat-tempat tersebut, sebentar kemudian aku sudah merasa bosan. Kemudian pindah ke tempat lain. Akan tetapi, rasa bosan segera mendera lagi. Terus berulang-ulang. Begitu juga dengan ketika aku berada di kost Bondan. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, aku lantas pamit pergi.

“Jangan lupa, besok habis Dzuhur,” katanya.
“Ya,” kataku kemudian pergi.

Sepanjang perjalanan pulang ke kost, kurasakan rencana mendaki gunung Lawu menguasai pikiranku. Aku cukup senang. Ya, paling tidak aku sudah punya rencana menghabiskan waktu di hari besok. Dua hari. Sabtu dan minggu. Di samping itu, apa yang dikatakan Bondan tentang kami yang menjadi tiga pasang itu, tiga laki-laki tiga perempuan pun memberi semangat tersendiri.

Sebelumnya aku dan beberapa orang teman sudah pernah mendaki gunung Lawu. Sayang, dini hari itu, saat kami berada di pos terakhir sebelum mencapai puncak, kami terserang hujan deras disertai angin yang cukup kencang. Memang saat pagi tiba dan arloji menunjukkan sekitar pukul delapan, langit masih mendung, matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari, dan angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur deras sehingga kami kemudian sepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Kami memilih turun daripada kedinginan di tengah gunung dengan baju-baju yang basah. Saat itu aku semester 2. Sejak saat itu, aku belum pernah mendaki gunung lagi. Dan kini, aku sudah semester 6.
*

Aku masuk mobil dan berkenalan dengan mereka satupersatu. Tiga perempuan itu masing-masing bernama Shofa, Diah, dan Meyvita. Sementara yang laki-laki bernama Han. Aku berkenalan dengannya di luar mobil. Sebentar kemudian mobil mulai melaju.
*

Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Aku sering menjadi pendengar. Maklum seperti itu. Aku masih baru di lingkungan mereka. Meskipun aku dan Bondan sendiri sudah akrab sejak kelas 1 SMU. Namun, aku cukup senang karena mereka cantik-cantik. Dan dalam diam itulah aku diam-diam memperhatikan ketiga perempuan tersebut. Kemudian dengan diam-diam pula muncul dalam pandanganku bahwa Diah yang paling menarik di antara ketiganya. Kulitnya yang putih bersinar, rambut hitamnya yang panjang dan halus, bulu matanya yang melengkung, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan sedikit tebal, serta dagunya yang lancip terpadu rapi menampakkan sebuah kecantikan yang pas menurut seleraku. Namun sayang, Diah duduk di samping Han yang memegang setir.
*

Setelah melewati Solo, percakapan di mobil mereda digantikan dengan percakapan dua orang-dua orang sesuai dengan tempat duduknya. Bondan dengan Meyvita. Aku dengan Shofa. Sementara Diah, tentu saja dengan Han.

Aku senang bercakap-cakap dengan Shofa. Sepertinya segala sesuatu diketahui olehnya. Di samping itu, suaranya yang merdu terasa begitu enak masuk ke telingaku. Shofa juga tak kalah cantik dengan Meyvita ataupun Diah. Dan barangkali karena kerap bertatapan mata, dia bertambah cantik di mataku. Meskipun begitu, pesona Diah tak tertandingi. Tak bisa kubendung lagi. Diam-diam aku kerap mencuri-curi pandang memperhatikan dirinya.
*

Sebentar lagi kami mencapai Tawang Mangu. Di depan mata kami, gunung Lawu menjulang dengan pesonanya yang terpadu dari keindahan dan kengerian yang terkandung di dalamnya. Dulu, ketika kami mendaki gunung Lawu untuk pertama kali dan gagal mencapai puncak, sesampai di bawah aku mendengar kabar bahwa sudah lima hari empat orang dinyatakan hilang dan dua orang ditemukan meninggal. Memang, saat itu musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dan disertai angin kencang. Membentuk badai. Dan kini, entah, sudah berapa banyak nyawa tercabut selama gunung Lawu dibuka untuk pendakian. Namun begitu, masih banyak juga yang ingin mendakinya. Termasuk kami saat ini.

“O, indah sekali,” kata Diah.
“Dan besok pagi kita ada di atas sana,” kata Shofa tersenyum ke arahku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ketika itu kami hendak mendaki gunung Lawu untuk pertama kali. Pada saat seperti ini kudengar salah seorang teman berkata meremehkan.

“Ah, cuma segini tingginya?! Kecil,” katanya tentang gunung Lawu. Entahlah, sampai sekarang aku menganggap bahwa kegagalan kami saat itu disebabkan oleh rasa sombong yang ada pada diri kami. Meremehkan ciptaan Tuhan. Maka seketika itu juga, aku berdoa semoga kali ini kami berhasil sampai di puncak. Ya, aku tak ingin gagal lagi.

Arloji menunjukkan sekitar pukul empat sore ketika kami sampai di Tawang Mangu. Kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah makan. Istirahat, makan, shalat, dan lain-lain. Satu jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Cemoro Sewu.
*

Malam hari setelah sholat Isya’, kami mengecek segala peralatan. Hawa begitu dingin dan terasa menusuk tulang. Kami pun memakai jaket, meskipun aku yakin bahwa sebelum mencapai pos pertama nanti kami sudah berkeringat.

Setelah melapor ke pos penjaga, kami berkumpul kembali. Berdoa bersama. Semoga selamat sampai di puncak. Dan selamat pula sampai di bawah. Kemudian kami memulai langkah memasuki gerbang. Aku berjalan di depan. Kemudian Shofa, Diah, Han, Meyvita, dan Bondan paling belakang.
*

Sepanjang perjalanan dari pintu gerbang ke pos pertama, kemudian dari post pertama ke pos kedua, lantas dari pos kedua ke pos ketiga, suasana hutan masih terasa sama—langit cerah. Suara binatang malam saling bersahut-sahutan dan kunang-kunang yang bersinar kekuningan terbang di sekitar kami—kecuali rute-nya yang tambah menanjak dan pohon-pohon yang bertambah padat. Di pos-pos itulah kami berhenti. Istirahat sejenak, kemudian meneruskan perjalanan. Dan di pos pertama, kami sudah menanggalkan jaket kami karena tubuh sudah terasa hangat. Sepanjang perjalanan itu pula, kami dilewati beberapa rombongan pendaki lain.
*

Di tengah perjalanan menuju pos keempat, terakhir sebelum puncak, tiba-tiba keadaan cuaca berubah. Langit menjadi gelap. Di sekitar tak terdengar lagi suara binatang malam. Dan tak jauh di atas kepala kami, angin bertiup terdengar bagai gemuruh. Terasa mencekam. Dalam hati ada yang terasa tidak enak. Khawatir sesuatu akan terjadi. Sebentar kemudian hujan mengguyur deras. Kemudian di bawah sebatang pohon kami berteduh sejenak. Memakai jaket dan mantel dan mulai berjalan kembali. Dengan disinari cahaya senter, kulihat arloji menunjukkan pukul setengah dua dini hari.

Setengah jam berjalan, dari arah depan kemudian kulihat cahaya senter diarahkan ke arah kami disertai teriakan.

“Pos empat. Pos empat. Selamat datang.” Sebentar kami sudah sampai di sana.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi dengan rombongan lain yang terdiri empat orang laki-laki, sebentar kemudian kami istirahat. Aku cukup bersyukur dengan hal itu. Ya, lebih baik di sini daripada kehujanan di jalan setapak yang cukup terjal dan licin. Di samping itu, tubuh kami pun terasa letih. Akan tetapi setelah beberapa menit beristirahat, aku merasakan sesuatu yang buruk. Ya, pos empat ini menghadap ke tempat yang terbuka. Dari arah depan angin bertiup cukup kencang disertai hujan menghempas tubuh kami.

Tak lama kemudian, aku melihat semua yang ada di situ rebah dengan melipat tubuhnya untuk menahan dingin. Aku bergabung bersama mereka. Barangkali karena dingin yang sangat di samping rasa letih, tanpa sengaja sebentar kemudian kami sudah berpelukan dengan berselimut mantel. Dan aku enggan untuk mencoba melihat siapa yang kupeluk erat waktu itu. Dalam hati aku tak putus-putus berdoa semoga badai ini cepat-cepat reda. Semoga kami selamat dan tidak mati kedinginan di sini. Sebenarnya aku ingin bangun dan menyalakan api membakar parafin. Akan tetapi, untuk membuka sarung tangan saja aku merasa sangat kesulitan.

Entah, sudah berapa lama? Dan selama itu, aku tak yakin bahwa kami bisa tidur. Akan tetapi, berada di antara keadaan tidur dan sadar. Tiba-tiba aku mendengar suara lirih meluncur di depanku. Sangat dekat. Terasa menempel. Suara seorang perempuan. Aku menduga ia adalah Diah. Ya, aku yakin itu.

“Ayah, ibu, kakak dan adikku. Kalau aku mati di sini, relakan aku, ya. Aku ke sini untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Maafkan aku tak minta izin kalian,” begitu katanya. Dalam hati aku ingin tertawa. Namun, rasa dingin tak mengizinkan hal itu.
Segera kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tak ingin ia kedinginan dan mati membeku. Dia masih muda dan cantik. Hatiku tertawan olehnya.

Memang, selama ini aku pernah berpacaran dua kali. Namun, aku tak pernah mengalami keadaan yang begitu dekat seperti ini. Wajah kami saling menempel seperti ini. Kalau saja saat ini bukan karena rasa dingin dan letih yang sangat, barangkali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara aku dan Diah. Namun, tidak. Sekali lagi tidak. Libidoku tetap berada di level bawah. Di samping itu, untuk kencing saja aku sudah tak punya keinginan untuk menghindar mencari tempat. Akhirnya kualirkan saja membasahi celanaku yang sudah basah. Dan terasa hangat di paha.
*

Entah, berapa lama berselang. Kudengar beberapa orang berteriak membangunkan kami. Saat terbangun aku melihat langit pucat. Matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari. Angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur. Kulihat arloji menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Kemudian kuperhatikan mereka satupersatu. Kusut, tentu saja. Ketika aku dan Diah bertatapan mata, kami saling melempar senyum. Ah, masih saja ia tampak menawan, pikirku. Sebentar kemudian, parafin telah terbakar dan kami duduk menjerang tangan.

Karena hujan belum juga reda, dalam kesempatan itu kami kemudian bersepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Untuk mengobati rasa kecewa, kami akhirnya pergi melihat Grojogan Sewu. Dan aku sangat gembira karena di Grojogan Sewu kami selalu berdekatan. Aku dan Diah.
*

Sore itu Shofa meneleponku. Dalam kesempatan itu, ia tak bosan-bosannya menceritakan pengalaman mendaki gunung Lawu kemarin. Ia sangat senang bisa mencapai puncak. Tentu saja, aku tak percaya. Bukankah kami turun setelah diserang badai? Namun, ia terus-menerus meyakinkan bahwa kami pagi itu sampai di puncak. Dan sebelum menutup telepon, tiba-tiba ia mengatakan apakah aku tak ingin pergi ke kostnya? Aku kemudian minta maaf karena masih terasa letih.

Setelah menutup telepon, aku pergi ke kost Bondan. Sepanjang perjalanan aku masih belum percaya tentang apa yang dikatakan oleh Shofa itu.
*

Aku tersentak. Bondan menunjukkan kepadaku foto-foto kami ketika berada di puncak Lawu. Aku tak bisa mengelak lagi.

“Kau begitu mesra dengannya,” kata Bondan ketika aku memperhatikan foto aku dan Shofa sedang berangkulan dengan background Grojogan Sewu.

Seperti tersadar, lemaslah tubuhku. Ternyata, beberapa hari ini pikiranku tidak hanya bleng. Tapi, sudah menciptakan halunisasi. Memang, ini bukan pertama kali kualami. Namun, aku kecewa. Kenapa hal itu terjadi saat moment penting itu muncul? O, Sunrise yang begitu indah. Lagi-lagi aku gagal menikmati keindahannya. Dan Shofa, apa yang telah terjadi dengannya? (*)

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (Pustaka Pujangga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).

Minggu, 17 April 2011

Karya di Tengah Silang Sengkarut

Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 29 Des 2007

SEBUAH obrolan selepas di depan Taman Budaya Kalimantan Timur seusai Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, 26 Oktober 2007 yang lalu.

Di situ ada Saut Situmorang, Isbedy Stiawan Z.S., Ari Pahala Hutabarat, Oyos Saroso HN, dan cerpenis Trianto Triwikromo. Hanya sebuah obrolan santai sambil saling berseloroh. Tapi tiba-tiba suasana menjadi serius dan panas. Dan itu dimulai dengan pertanyaan Saut yang ditujukan pada Isbedy dan Ari Pahala, “Bagaimana, enak diundang TUK?” Pertanyaan itu awalnya diladeni Isbedy dan Ari Pahala dengan gurauan dan sindiran. Akan tetapi, kemudian lama-kelamaan suasana jadi tambah panas. Saut terus berbusa-busa menerangkan sejumlah hal dan sikapnya yang cenderung menyerang komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Ketika Isbedy, Ari Pahala, Trianto, dan Oyos dianggapnya membela TUK, tiba-tiba telontarlah makian Saut, “Ah! Kalian semua tahi kucing! Bela-bela TUK!”

Kejadian itu hanyalah bagian kecil dari riuh-rendahnya silang sengkarut dalam sastra Indonesia sepanjang tahun 2007. Silang sengkarut yang tak hanya terjadi di milis, tapi juga hingga ke forum-forum diskusi sastra. Bahkan, sebuah news letter seperti Boemi Poetra pun diterbitkan untuk menegaskan bahwa hegemoni sastra itu ada dan berbahaya. Di bagian lain, sebuah polemik lama pun muncul kembali pada tahun 2007 ini, yakni perdebatan ihwal sastra, seks, dan moral. Perdebatan ini muncul sejak Pidato Kebudayaan penyair Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki (TIM) tanggal 20 Desember 2006. Penyair senior ini melontarkan apa yang disebutnya dengan Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) untuk mengidentifikasi kecenderungan sejumlah karya sastra Indonesia yang dianggapnya mengeksplorasi seksualitas. Selain Taufiq Ismail dan Saut Situmorang, juga tampil Hudan Hidayat, Mariana Aminuddin, dan Fajroel Rachman meladeni Taufiq Ismail di seberang lain. Kebebasan ekspresi sastra dan moral di situ dipertengkarkan.

Namun apa pun, seluruh silang sengkarut yang menamakan dirinya politik sastra itu, juga polemik kebebasan sastra dan moral, sepanjang tahun 2007 telah menghadirkan sebuah perkembangan menarik.

Akan tetapi, kritikus sastra Acep Iwan Saidi seolah hendak menginterupsi peristilahan politik sastra yang dilabelkan pada silang sengkarut yang selama ini terjadi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan politik sastra? Apakah ia berarti sebuah strategi untuk mencapai sesuatu? Jika benar apa yang ingin dicapainya, kualitas karya? Perjuangan mendudukkan sebuah estetika baru? Atau jangan-jangan hanya mencari popularitas semata? Ia menilai sepanjang tahun 2007 yang tampak adalah ketidakjelasan arah pemikiran. Sekelompok orang menghujat kelompok lain sebab merasa kelompok lain itu menerapkan hegemoni. Lalu melontarkan pernyataan-pernyataan emosional, bahkan sangat kasar.

Tentang GSM yang dilontarkan Taufiq Ismail, Acep Iwan Saidi memandang betapa lontaran itu tidak disertai oleh data-data tekstual.

“Jangan-jangan karya sastra yang dimaksudnya porno itu menjadi porno justru karena Taufiq menjulukinya demikian. Terus, Taufiq juga tidak mengungkapkan data sebatas mana karya-karya yang dianggapnya porno itu memengaruhi masyarakat. Saya pikir di bagian ini pendapat Taufiq justru terasa ganjil jika dihubungkan dengan apa yang bertahun-tahun ia gemborkan: bahwa para siswa sekolah dasar sampai menengah jarang sekali membaca karya sastra, jauh berbeda jika dibandingkan dengan di negeri jiran. Pemimpin-pemimpin kita juga katanya tidak dilahirkan dari generasi pembaca sastra. Nah, lho, kalau begitu, bagaimana ceritanya sampai kemudian Taufiq merasa khawatir jika karya-karya porno itu bisa meracuni masyarakat.”

Moral dan etik

Di sisi lain, berbeda dengan Acep, penyair dan redaktur majalah sastra Horison, Jamal D. Rahman, memandang bahwa polemik ihwal seks dalam sastra lebih berkorelasi dengan moral dan etik sastra di tengah lingkungan sosialnya. Sebuah lingkungan sosial yang amat menyedihkan. “Kita tahu, situasi sosial kita dewasa ini penuh bencana, mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir (bandang), lumpur Lapindo, kemiskinan kian menggencet, dan lain-lain dengan ribuan korban yang masih menderita entah sampai kapan. Pertanyaan dasarnya adalah dalam situasi menyedihkan seperti itu, apakah menjadikan seks sebagai tema dalam karya sastra dapat diterima secara moral?”

Di bagian lain, Jamal pun setuju dengan asumsi bahwa silang sengkarut dan berbagai polemik yang terjadi telah menyebabkan lenyapnya karya sastra dalam perbincangan, di samping juga karena adanya sejumlah faktor yang turut melemahkannya, yakni kritik sastra, terutama kritik di media-massa. “Ya, banyak orang tidak tahu karya sastra apa yang dapat kita anggap penting di tahun 2007 ini yang dipertimbangkan dengan pemikiran, diskusi, atau polemik, Karena kritik dan media kritik sastra sangat minim, peran kritik sastra diambil alih oleh industri atau pasar. Pasarlah yang menentukan apakah karya sastra ’heboh’ atau tidak. Begitu pasar menerima karya sastra, ’heboh’-lah karya sastra itu. Tak ada karya sastra yang di-’heboh’-kan oleh kritik,” tuturnya.

Sementara itu, Acep Iwan Saidi menilai bahwa sesungguhnya terdapat banyak karya menarik yang layak dan penting untuk diperbicangkan di tahun 2007 ini, ketimbang berkerumun dan menghujat.

“Saya ingin menunjukkan beberapa contoh saja melalui beberapa pertanyaan berikut: 1) mengapa sajak-sajak Joko Pinurbo dalam antologi Kepada Cium menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan sajak-sajak sebelumnya?; 2) Mengapa Acep Zamzam Noor membuat judul antologinya, Menjadi Penyair Lagi?; 3) Mengapa Andrea Hirata menjadi demikian populer, ada apa dengan Laskar Pelangi yang terbit tahun sebelumnya?; 4) Mengapa Bu Guru yang dijadikan model tokoh dalam Laskar Pelangi itu tiba-tiba menjadi populer?, dan 5) mengapa Soni Farid Maulana senang sekali menerbitkan kumpulan puisi? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini lebih layak diperbincangkan dan didiskusikan daripada berkerumun dan menghujat.”

Senada dengan Acep Iwan Saidi, penyair dan esais Adi Wicaksono memandang banyak terdapat karya menarik sepanjang tahun 2007, terutama di genre yang dilabeli sastra pop. Selain semakin kuat di pasar, sesungguhnya sejumlah karya sastra pop seperti Laskar Pelangi Andrea Hirata tidaklah melulu hanya menghidangkan permasalahan cinta seperti banyak diduga. Dalam sastra pop juga terdapat permasalahan-permasalahan identitas dan pluralitas. Perkembangan sastra pop, kata dia, sekarang tidaklah bisa disamakan dengan zaman-zamannya Lupus Hilman Hariwijaya.

Perkara tafsir

Berangkat dari fenomena 2007 dan membayangkan tahun 2008 mendatang, Acep Iwan Saidi atau Adi Wicaksono sama merasa optimistis bahwa sastra Indonesia akan melahirkan karya-karya yang bagus, seraya juga sebaliknya menyimpan pesimisme yang sama terhadap perkembangan kritik sastra. Di bidang pemikiran, satu hal yang ditegaskan Acep Iwan Saidi adalah soal kritik dan tafsir atas karya. Polemik-polemik tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, menurut dia, salah satunya dipicu oleh kesimpangsiuran tafsir.

“Satu peristiwa penting yang tidak Anda tanyakan di tahun ini –padahal sangat penting– adalah soal pemberedelan sajak ’Malaikat’ karya Saeful Badar di harian ini. Saya pikir Anda sendiri pasti mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi sebab timpangnya tafsir yang kemudian diikuti oleh tindakan sepihak yang merasa memiliki kebenaran. Ada satu pendapat umum bahwa siapa pun bebas menafsirkan karya seni sebab seni bersifat subjektif. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Semua rumah punya pintu, dan Anda harus terlebih dahulu mengetuk pintu itu jika ingin masuk ke dalamnya, kecuali jika Anda preman atau pencuri. Ini artinya, jika Anda ingin menafsir seni, Anda juga harus mengetahui ilmunya, setidaknya Anda berdiskusi dengan ahlinya. Apalagi, jika kemudian berdasarkan tafsir itu Anda mengklaim, menista, dan merusak. Anda tidak bisa menyebut buku harian sebagai novel, begitu pun saya tidak bisa menafsir sebaris ayat Alquran sebagai selarik puisi.

Islam bahkan dengan sangat jelas menyarankan bahwa setiap persoalan hendaknya diberikan pada ahlinya. Untuk itu pula sebenarnya sekolah didirikan dan disiplin ilmu disusun. Bagian penting dari soal tafsir di ruang publik–dan ini yang selalu jadi soal–tentu saja media publik itu sendiri. Media, saya pikir, harus bertindak objektif dan netral sebab ia media publik, jelas ia milik publik. Kasus sajak ’Malaikat’ yang, menurut saya, fenomena budaya paling penting tahun 2007, terutama di Jawa Barat, adalah sebuah contoh yang tidak baik. Ini kritik saya untuk Pikiran Rakyat. Saya berharap ini tidak terulang pada tahun 2008,” paparnya.

Sementara itu, Adi Wicaksono memprediksi bahwa sastra pop, termasuk yang bertemakan keagamaan (Islam), akan tetap menjadi perkembangan menarik sepanjang tahun 2008 . Satu hal yang justru dicemaskannya adalah perkembangan kritik sastra. Keengganannya untuk menjamah sastra pop dan yang berkembang di berbagai daerah akan membuat kritik sastra mengalami involusi.

“Dia hanya melulu melihat ke dalam, tidak mau ke luar. Ya, seperti katak dalam tempurung,” ujarnya. ()

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/sastra-karya-di-tengah-silang-sengkarut.html

Ngobrol Bareng Ayu Utami

Ian Ahong Guruh*
http://boemipoetra.wordpress.com/

Minggu (1/8) malam kemaren, aku mendapat sms dari teman, “Ayu Utami ke Yogyakarta besok, senin jam 19.00..”. Waduh, senin malam. Pasti sudah lelah karena seharian harus mengurus penjualan majalah, mengambil majalah di agen, mengantar ke pelanggan2. Setelah itu, mengajar di sebuah bimbel, lalu melanjutkan mengantar. Baru malam sekitar jam tujuh selesai. Apakah sempat dan kuat? Tapi karena penasaran atas nama yang membuat kontroversial ini, dan terlebih sudah kucicipi rasanya Saman dan Larung, kedua novel pertama Ayu Utami. Kayaknya nama Ayu Utami sebegitu menjadikanku penasaran hingga aku mengusahakan untuk datang.

Untungnya waktu mengijinkan dan fisikpun dapat diajak kompromi. Banyak hal yang ada di kepala perihal nama Ayu Utami sebelumnya. Memang awalnya penuh praduga dan penasaran. Pertama kali mendengar nama dia dari beberapa teman yang mengkritik karya-karyanya, terutama Saman dan Larung. (Perihal kontroversi ini teman2 bisa coba buka google dan ketik kata “sastrawangi” dan “Perang Sastra boemipoetra vs TUK”. Lalu, untuk tercetak ada Politik Sastra karya Saut Situmorang dan Jurnal boemipoetra). Seorang teman kampus sebelah bilang dia itu feminis tapi malah mengobyekkan perempuan. Karya-karya dia bukanlah karya feminis, kata dia. Lalu, teman satu kampus bilang kalau karya dia sungguh dibesar-besarkan. Namun, menurut media arus utama, dia dicitrakan sebagai penulis besar dan terkenal. Wah-wah, ada2 aja orang kontroversial begini, yang kalau kita menyangkut dia, kita berada di pihak pro atau kontra, hampir tak bisa netral.

Akhirnya aku sempatkan baca novel Saman dan Larung, walau dua2nya pinjem..wk…wk.wk..(gaul bro). Saat membacannya, biasa-biasa saja. Datar, memang agak asik di bagian-bagian bercinta itu. Wah, imajinasi pornoku disenangkan nih. Gamblang dan menyenangkan. Bikin birahi.he..he.he…(ttiitt). Tapi, ada kata2 yang menyakitkan mataku, kata2 yang diucapkan seorang pastur lelaki, wisanggeni, terhadap perempuan gila haus seks. Bunyinya kurang lebih mengatakan andai dia perempuan dan perempuan gila itu laki-laki, dia pasti akan lebih gampang memuaskan hasrat birahi perempuan gila itu. Wah, udah mulai ndak beres ni, batinku. Ini seperti menyetujui perempuan lebih sebagai pemuas seks melulu. Tapi, secara umum biasa saja. Ide2nya juga biasa, cara penyajiannya biasa. Ada orang yang bilang plot-nya bagus dan pembaharu. Tapi aku pikir plot-nya lebih canggih Atheis karya K.Mihardja yang ditulis tahun 1943. Di Atheis, penutup cerita sudah ada di bab pertama, lalu plot berbalik dari masa lalu menuju awal, kembali pada bab pertama. Tapi, kata-kata terakhir dirancang untuk menjawab misteri di bab awal. (novelnya ada di perpus USD). Singkatnya, aku pikir Ayu Utami biasa-biasa saja.

Demikian prolognya sebelum diskusi ma Ayu Utami di Yayasan Umar Kayam, Senin (02/08).

Aku datang terlambat, entah berapa menit. Waktu datang sudah ramai, juga dia bicara apa tak jelas. setelah berusaha nyambung, baru aku tahu dia bicara tentang khasanah nusantara, juga tentang penulisan-penulisan sastra, terutama perihal sejarah yang terlupakan. Dia sebut-sebut FPI dan krisis pasca-reformasi adalah kekerasan terhadap umat beragama.. juga dia sebut religiositas kritis. Religiositas kritis itu istilah yang dia pakai untuk menekankan bahwa kita bsa beriman sambil tetap kritis, bahwa berpikir, kritis tidak harus meninggalkan iman. Ayu Utami ambil contoh para pemikir yang “Eropa, Kiri, rasional” yang mengatakan meninggalkan iman itu merupakan suatu tahap selanjutnya (ini kayaknya tahap2nya August Comte dech..bukan semua bilang gitu, Nietzsche aja yang Atheis ndak mempermasalahkan politheisme (baca Anti-christ dan The Gay Science)).. Hmmm……bahasanya aneh dan tak aku mengerti…..

Setelah ada kesempata bertanya, kok ndak ada yang tanya ya? Ya udah, iseng aja sambil makan gorengan dan kacang aku tanya. “apa yang Anda maksud dengan khasanah nusantara? Terus, tentang FPI, apakah Anda memuat hingga aliran dana dari mana, lalu pendukung politiknya dari mana. Terus, kata “religiositias kritis” serta stereotip2 dia tentang agama yang timur dan barat yang rasional, gak beda jauh ma jaman penjajahan yang slogan rasisnya si Kipling terus didengung-dengungkan bahwa barat adalah barat, timur adalah timur, keduannya tak mungkin bersatu. Gak ada bedannya ma zaman penjajahan dong dia?

Ayu menghindari menjawab pertanyaan2ku atau lupa ya? Dari tiga itu, cuman satu yang dijawaba…waduh2..tobat…ya udah, biar temen2 dapet jatah kan nanti ada dinamika lagi. Setelah itu, ada sepasang pria dan perempuan paruh baya yang bertanya, tapi menurtku mereka seperti inferior dan termakan mitosnya Ayu Utami yang ada di media masa. Merek tampak kagum sama Ayu. Bahkan ada yang mengatakan, aku sudah membaca semua karya Ayu Utami.

Setelah itu, ada seorang temanku menanyakan rentetan pertanyaan, ada lebih dari sepuluh kalau gak salah. Dari reaksi Ayu ma temanku itu, baru aku sadar, kayaknya si Ayu ini memang suka ndak njawab pertanyaan nih. Bahasa gaulnya, ngeles gitu bro..kecuali, dia memang gak paham pertanyaannya. (Hanya Ayu tahu mana yang benar, tapi kayaknya kedua tuduhanku kok gak enak semua ya? ha..ha.h.a.)

Contohnya, membantah klaim Ayu bahwa bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh dan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam, temanku berkata bahwa matematika berbasis bilangan sepuluh, yang menurut Ayu berbasis tubuh, sebenarnya bukanlah berbasis tubuh. Di esai karangan Alan Bishop berjudul “Western Mathematics: A Secret Weapon of Cultural Imperialism” dijelaskan ada 600 bahasa di Papua New Guinea dan ratusan sistem berhitung. Dan yang banyak yang berbasis tubuh, bukan cuman bilangan sepuluh. Tubuh yang bilangannya sepuluh tu cuman jari. Kenapa dikaitkan dengan tubuh bilangan sepuluh? Bilangan-bilangan lain juga ada yang menggunakan tubuh untuk berhitung. Lalu, pertanyaan menarik, temanku ini membantah pernyataan Ayu bahwa sastra memang mainnya halus, tidak terang-terangan. Dia mengambil contoh puisi2 Wiji Thukul yang blak-blakan. Apakah itu dianggap bukan sastra? Temanku ini mengingatkan pertanyaanku tentang FPI yang belum dijawab tadi. Terus, temanku juga membantah bahwa sastra itu tidak berbahaya bagi kekuasaan, lalu dia menanyakan kenapa sastra, dari sastra kanan hingga kiri, tidak diajarkan di sekolah menengah?

Jawaban2 Ayu kurang lebih seperti ini, jika aku ingin mengangkat bilangan berbasis 12 bukan berarti tidak ada bilangan lain. Dan Ayu menuduh temanku berpikir dikotomi ( berpikir seperti hitam putih dan tidak ada warna lain). Jadi, Ayu mengambil perumpamaan, jika aku mengatakan Romo Mangun bagus, bukan berarti aku mengatakan Pramoedya jelek. Kok bisa dikotomi? Anda harus meninggalkan pemikiran dikotomi. Ha? Padahal kan temanku itu bilang dia ingin menanyakan perihal bilangan yang berbasi tubuh kok bisa hanya bilangan sepuluh? Bukankah ini sama sekali ndak nyambung? Tanya A jawabnya B. Aku jadi berpikir tentang dua kemungkinan tadi, dia ngeles atau memang gak nangkep ya.

Ini terjadi lagi saat dia jawab pertanyaan tetnang FPI. Dia bilang tadinya masalah tu di toleransi dan kekerasan pada kebebasan beragama, seperti yang dilakukan FPI. Dan novelnya Bilangan Fu dia tulis untuk mengkritik itu. Aku tanya tadi, kritiknya sampai gak dari mana dukungan politis terhadap golongan ini? Berapa dana yang masuk dan dari mana danannya yang mengalir ke FPI. Contohnya. Terus, dia seperti biasa, ngeles lagi.h.eh.eh.e. dia bilang, ya, itu sudah ada di alam bawah sadar saja. Bahwa kalau ini pasti ada kepentingan politisnya dan ada dukunganya, jadi bukan agama semata. Bawah sadar? Mang alam pikiran semua orang kayak gitu? Wah2, jawabannya benar2 bikin kepalaku yang lagi pusing tambah pening.h.e.h.he.h.e.eh….terus dia malah cerita bagaimana “heroisme” JIL saat diserang FPI. Dari situ, JIL dikabarin polisi akan diserang FPI dan Ayu menyumpulkan memang ada hubungan antara mereka berdua. Loh..loh…kok malah narsi2an cerita diri sendiri mbak? Terus pertanyaanku tentang samapai mana karya dia mengkritik gerakan2 kekerasan beragama itu tak dijawab dech.

Ayu, dalam menjawab, juga tidak konsisten. Ini terlihat dari cara dia menjawab bantahan temanku tentang klaim dia bahwa sastra mainnya halus, tidak eksplisit. Terus, Ayu jadi bicara bahwa seni itu tidak ada larangannya. Termasuk sastra, jadi bisa saja sastra yang main halus ada, terang2an juga ada..Eh, ini dia mbantah klaim dia sendiri nih si Ayu.

Yang tragis lagi, pertanyaan terakhir temanku bahwa sastra juga berbahaya tidak dijawab..ha..ha.ha.h.a.ha..(ayo kenapa coba?)

Terus, ada penanya lagi yang menarik, dia tanya kenapa sebagian besar sastra yang mengunkap sejarah g30s hanya menjadi anti-thesis (lawan atau kebalikan) dari versi resmi Soeharto yang menuduh PKI sebagai dalangnya? Kita butuh perspektif baru, seperti bahwa rejimnya setelah 65 bukanlah militer, tapi jendral. Bapak aku militer tapi rendahan, sekarang cuman bisa jadi satpam R.S itu udah mending. Teman aku bapaknya nganggur. Perspektif apa yang ditawarkan karya Anda?

Ayu, kali ini tidak menjawab, juga tidak ngeles, jadi cuman mengiakan bahwa kita butuh perspektif baru. Terus gak dia menceritakan peristiwa para tahanan yang akhirnya akrab dengan militer2 rendahan. Ada penulis yang disuruh bikin surat cinta untuk keasih oleh seorang militer. Dia bilang, benar, ini memang rejim jendral. Waduh2..ini ya ndak beda jauh. Dia ndak menjawab tentang apa yang ditawarkan karya dia.

Diskusi berakhir pukul 09. Jadi hanya sekitar dua jam saja. Waktu segitu relatif sebentar untuk hitungan diskusi buku sastra, apalagi kali ini temanya luas karena Ayu mempersilahkan siapa saja menanyai dia dengan tema bebas. Kenapa begitu cepat? Teman aku ada yang sampai geleng2 kepala, “kok wes bubar?” katanya.

Setelah acara selesai, kami ngobrol2 dan seorang teman lagi (pokoke ndak nyebut merek, cuman teman2..ha..hah.a.) bilang “iki mbake kaya presiden Bemu pas neng kongres mahasiswa, jawabane personal2 dan ndak cerdas. Ndak konsisten dan suka mbulet2.” Terus, aku tanyakan temanku yang menanyakan banyak pertanyaan tadi, “piye pendapatmu?” Kecewa, sudah berkali2 aku dengar tentang dia. Tapi ini benar kongkrit dia di sini. Dan, “mengecewakan”. Seorang teman yang nge-fans sama Ayu Utami, semula berencana ingin foto bersama, lalu dia membatalkan niatnya. Katanya malu, juga ndak bawa kamera. Aku tawarkan temanku yang ada kamera, karena dia kebetulan wartawan dan setelah acara mewawancarai Ayu. Tetap ndak mau juga ambil foto bersama Ayu temanku yang nge-fans ini. Hmmm, apa dia masih ngefans ya ma Ayu setelah diskusi dan mengetahui Ayu suka ngeles (atau memang ndak paham pertanyaan?) juga kata2 temanku yang bilang “kecewa!” ini cukup mendengung-dengun di telinga walaupun dia sudah tahu dia tak bisa berharap banyak dari Ayu, tapi jawaban2nya itu lebih2 bikin dia “kecewa!”..

Akhirnya aku pulang dan terheran2, kok bisa ya penulis menang hadiah Prince Claus Award? Memang aku sudah pernah baca tulisan Katrin Bandel tentang ini, cuman masih heran aja rasanya. Gak nyangka sebegitunya…

Wah2..Ayu Utami, kau lebih dari yang aku kira sebelumnya……***

* Ian Ahong Guruh, mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

IN BED WITH AYU UTAMI

Saut Situmorang
http://boemipoetra.wordpress.com/

Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ?(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”!

Kesepuluh hal di atas merupakan (+1) “sikap politik seks”, “ideologi tempat tidur” yang mesti dipahami oleh setiap laki-laki yang ingin mengajak Ayu Utami tidur, walau cuma sekedar sebuah one-night-stand doang.

Tapi tentu saja ada detil-detil lain yang juga mesti diperhitungkan oleh setiap laki-laki pemuja Si Parasit Lajang penulis novel sensasional Saman ini. Bukankah, kata orang, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya tidak meninggalkan kesan yang cukup menawan untuk dikenang? Cuma separuh ilusi, sesuatu yang cepat retak dan gagal menjadi abadi, menjadi fantasi. Easy-come-easy-go-ism.

Tubuh yang indah adalah sebuah foreplay yang mesti ada dalam ars sexu?lis à la Ayu Utami. Jangan nyatakan birahimu dengan sekuntum mawar merah, itu mah udah kuno hah! Say it with your body, your hard and beautiful body! Ingat kan pepatah itu: Good man is hard to find, but hard man is good to find! Sebagai laki-laki Dunia Ketiga, kau tentu suka nonton film action Hollywood atau mini-series di televisi, bukan? Nah, tipe laki-laki bertubuh ideal Utamian itu adalah si jago karate asal Belgia Jean-Claude van Damme (terutama waktu dia masih memakai gaya rambut cepak Magelangan itu) atau si dewa laut David “Baywatch” Haseldoff. Sexual politics posmo, atau post-Kate Millett feminism, telah mengharuskan laki-laki untuk juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan perempuan. Militer dan olahragawan adalah sexual symbols abad 21 ini, bagi Sang Ayu. Kekuasaan para senator-orator Athena sudah berlalu, sekarang adalah zaman para gladiator Sparta. Untuk produk lokal, mungkin semacam blasteran antara Taufik Hidayat dan… Wiranto! Jangan lagi jadi anggota Taman Bacaan dan tenggelam dalam komik (yang underground sekalipun), apalagi Kho Ping Hoo. Mulailah ikut aerobics atau Tae-Bo. Karena good man is hard to find, but hard man is (van damme) good to find!

Dulu perempuan adalah korban pasif dari ideologi wham bam, thanks mam perkawinan patriarki, tapi sekarang politik kesetaraan jender telah menciptakan para Parasit Lajang yang tahu dan memburu apa-apa yang mereka mau, khususnya soal anatomi tubuh. Revolusi selera ini juga bisa dilihat pada para selebriti pornografi terutama para artis film XXX, para bintang laki-laki BF, para superstar para Ayu Utami dunia.

Hal lain yang mesti diingat setiap laki-laki pemuja Parasit Lajang kontemporer adalah – nikmatilah seks! The pleasure of sex, kalau mau kebarthes-barthesian. Lakukanlah seks demi kenikmatan seks itu sendiri, sex for sex’s sake, bukan demi yang lain, apalagi demi mendapatkan keturunan. Kalau kau mampu nge-seks minimum 25 menit, dengan basa-basi awal tak lebih dari cuma 5 menit, maka kau sudah sangat dekat dengan fantasi Samanismemu! Kau sudah lulus ujian Kamasutra Jahudi yang berat itu! Kau sudah mengerti Sigmund Freudmu! Eureka!!!

Pernah nonton Sex and Zen, film alegori Buddhis yang berdasarkan novel paling lama yang pernah dicekal dalam sejarah peradaban manusia itu, yaitu sejak zaman Dinasti Ming Cina? Minimalisme koan Zen yang khas budaya samurai, dalam film tersebut, telah dikembalikan ke selera baroque fiksi wuxia daratan Tionggoan. Alegori menggantikan haiku, kungfu ketimbang kendo. Verbalisme ketimbang kematangan konsep. Feminisme radikal posmo yang dipretensikan oleh judul buku Si Parasit Lajang ternyata cuma mengingatkan saya pada slapstick pseudo-cersil Sex and Zen – yang dalam film tersebut dengan apik dibawakan oleh aktor eksil orang awak dari Petisah, Medan sono, Lo Lieh-locianpwe – tapi minus imajinasi film dimaksud.

Sangat sulit membayangkan betapa seorang novelis kontemporer, yang bahkan diklaim telah melakukan sebuah “revolusi estetika” dalam fiksi kontemporer Indonesia, ternyata begitu membosankan “coretan-coretan biografis pendeknya”, yang nota bene cuma ditulis untuk media cetak yang gaul, ngepop. Bahasa yang sama sekali nggak kita banget, terlalu prosais mirip tulisan-tulisan di majalah dinding sekolah menengah kota-kota besar Indonesia, plus isu-isu yang dalam perspektif “cultural studies koran” pun terasa begitu tidak newsgenic, cuma menambah kesan betapa permainan font, warna, dan ilustrasi Si Parasit Lajang terasa sangat superfisial, dibuat-buat, sekedar biar dianggap beda belaka. Arty-farty. Eufemisme pretensi kerendahhatian ambisi dalam disclaimer Pra-Gagas buku – bahwa Ayu Utami bercerita dengan “ringan” tentang “hal remeh yang merupakan jerawat di muka raksasa persoalan”, yaitu “berbagai peristiwa di sekitar” yang kita anggap “biasa” dan “cenderung” lewatkan, padahal “berasal dari persoalan besar yang sering tak [kita] sadari” – gagal untuk menyembunyikan klaim terselubung betapa besar sebenarnya misi yang dibayangkan diemban buku “Seks, Sketsa, & Cerita” Ayu Utami ini.

Sebuah contoh berikut ini saya harap bisa menunjukkan apa yang saya anggap sebagai salah satu kontra-diksi antara teks dan konteks yang merupakan persoalan besar yang tak disadari, mungkin karena dianggap “hal remeh” seperti yang dikesankan, tanpa ironi sedikitpun, oleh Pra-Gagas buku di atas.

Kalau kita hubungkan judul buku Si Parasit Lajang dengan kenyataan diri penulisnya yang hidup “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki, maka di manakah “kelajangan” yang diklaim begitu heroik sebagai sexual liberation yang dibedakannya secara hierarki nilai dari perkawinan konvensional itu? Istilah “lajang” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti seperti istilah “single” dalam bahasa Inggris, yaitu seseorang yang jangankan menikah, pacar pun gak punya. Jomblo 100%. Seseorang yang hidup sendiri tanpa pasangan, baik yang berbeda jenis kelamin (kalau heteroseksual, seperti Ayu Utami) ataupun yang berjeniskelamin sama (kalau homoseksual), atau “not involved in an established romantic or sexual relationship” menurut Oxford English Dictionary (OED). Bagaimana mungkin Ayu Utami bisa mengklaim dirinya sebagai seorang “lajang”, yang “parasit” lagi, padahal dia hidup kumpul kebo dengan seorang laki-laki! Kerancuan pemakaian istilah seperti ini cukup dominan dalam bukunya itu hingga menimbulkan kecurigaan atas pengetahuannya tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin justru karena kekurangpahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tulisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang dianggap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis, di budaya Barat sana! Sebuah parasitisme konseptual!

Sabtu, 16 April 2011

Sandur :Teater Pedesaan

-sebuah diskripsi kesenian yang hampir punah-
Joko Sandur
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Sandur merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional kerakyatan yang sampai saat ini masih hidup dan terpelihara, serta dipercaya mempunyai kekuatan magis bagi masyarakat pendukungnya, khususnya masyarakat desa Yungyang. Kesenian yang konon lahirnya pada masa penjajahan Belanda itu, sampai sekarang tetap hidup, terpelihara, dan berkembang, serta eksistensinya.

Sandur merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional kerakyatan yang langka, bahkan dapat dikatakan hampir punah, mengingat durasi pementasan kesenian tersebut semakin memurun. Sandur sebenarnya tidak hanya terdapat di wilayah Lamongan saja, tetapi juga terdapat di daerah-daerah lain, seperti daerah Bojonegoro, Probolinggo, Pamekasan, Bangkalan, Jombang, Surabaya, Tuban dan Lamongan. Secara pragmatis menurut pengamatan penulis, dewasa ini di daerah, daerah yang disebutkan di atas, hampir tidak pernah ada durasi pementasan kesenian sandur tersebut. Jika dimungkinkan ada, maka durasinya sangat kecil bila dibandingkan dengan daerah Lamongan.

Kesenian sandur di daerah Lamongan ini mempunyai kesamaan dengan kesenian sandur yang ada di daerah lain (Tuban dan Bojonegoro). Kata sandur berawal dari sebuah artikel yang berjudul “Seni Sandur Saya Mundur”. Dengan kata lain bahwa sandur berasal dari kata mesisan ngedur atau beksan mundur, karena sandur dipentaskan semalam ngedur (semalam suntuk).

Kesenian sandur merupakan kesenian yang terminologinya diambil dari anonim sandur: isane tandur (sa’wise tandur) yang berarti selesai bercocok tanam. Dengan kata lain bahwa seni sandur adalah salah satu bentuk ekspresi seni masyarakat agraris yang dilakukan selesai bercocok tanam. Disamping itu cerita yang ada dalam sandur, berbicara tentang gambaran kehidupan petani dalam menjalankan aktifitas agrarisnya.

Membicarakan kesenian tradisional kerakyatan yang berupa kesenian sandur. Seolah memasuki lorong gelap sejarah kesenian yang berbasis sinkretisme ini. Kesenian yang terminologinya lahir di tengah masyarakat agraris ini hampir punah keberadaan dan eksistensinya. Sehingga perangkat dan materi pertunjukannya banyak menyimbolkan idiom-idiom pertanian. Misalnya dalam dialog, pertunjukan sandur tema cerita yang diangkat bertemakan sawah, ladang dan kehidupan para petani yang ada di pedesaan.

Sebelum kesenian ini dipentaskan, biasanya diadakan upacara ritual terlebih dahulu. Peristiwa tersebut merupakan bagian awal pertunjukan atau pementasan, dengan kata lain ritual tersebut merupakan suatu bentuk mensucikan semua perangkat pertunjukan yang berupa jaran kepang (kuda kepang), cemeti atau cambuk (bahasa jawa: pecut), instrumen musiknya berupa: gendang, jidor, cimplungan, tamborin, dan gamelan jawa diantaranya: kenong, kempol, gambang kayu, saron demung, saron barong, pun perangkat lainnya. Biasanya pencucian tersebut dilakukan tujuh hari sebelum pertunjukan, dan dilakukan di tempat yang dianggap keramat atau yang dikeramatkan (di punden ).

Sebelum pementasan berlangsung, diawali prosesi ritual dengan pembakaran kemenyan atau dupa yang dilakukan seorang germo (pawang) sandur. Dalam adegan tersebut disertai mulut komat-kamit, tidak lain memberikan mantra pada alat-alat yang digunakan pada pementasan sandur tersebut, seperti barong, kuda kepang, cemeti dan alat lainnya, disamping ritual tujuh hari sebelum pertunjukan. Kemudian dilanjutkan berbagai tembang-tembangan diantaranya: tembang kembang lombok, kembang ganggeng, kembang wijen, kembang glonggong, kembang girang, kembang klopo, kembang lampes, kembang jeruk, kembang putat, kembang pucang, dan lain-lainnya, yang kesemuanya berfungsi meminta bantuan para roh penunggu desa guna terselenggara dan suksesnya pertunjukan kesenian tersebut.

Kesenian yang berbau magis ini,bersetting alam terbuka (tanah lapang) yang berbentuk segi empat, tiap sudutnya diberi tiang pancang dengan ukuran kurang lebih 1,5 m dan tiap-tiap tiang pancang tersebut diberi sesaji yang berupa kupat, lepet, janur kuning dan kembang wangi, khusus untuk kembang wangi dan kemenyan ditempatkan di sudut bagian Timur Laut (Jawa; pojok lor wetan) atau posisinya sebelah kanan pada waktu pertunjukan serta diberi tambang sebagai pembatas antara penonton dengan arena pertunjukan.

Kesenian yang berbasis di pedesaan ini, dalam mementaskan keseniannya semua aktor yang terlibat tidak menggunakan alas kaki, dimana aktor-aktor tersebut terdiri dari dua aktor perempuan dan sebagian besar aktornyanya ialah seorang laki-laki, baik pemain teater maupun pemukul instrumennya.

Kesenian sandur selain menggunakan gerak (tari) juga menggunakan dialog yang menggunakan bahasa Jawa campuran (bahasa Jawa: ngoko dan kromo), disamping itu juga menggunakan tetembangan (nyanyian Jawa). Pertunjukan sandur ini diawali dengan sebuah prolog yang dilakukan salah satu wiyogo (pemukul gamelan atau panjak) sebagai narator terhadap tema yang akan dipentaskan, dilanjutkan dengan adegan tari jaranan yaitu sebuah tari yang intinya hanya sebagai pengisi waktu menunggu cerita inti sandur. Tarian tersebut juaa diiringi dengan tembang-tembangan. Adegan ini dilakukan oleh dua orang laki-laki hingga ada yang sampai trance atau kesurupan, adegan macam inilah biasanya yang ditunggu-tunggu masyarakat pendukungnya. Setelah permainan tari jaranan (kuda kepang) selasai dilanjutkan adegan yang disebut pentolan, sebuah adegan yang berisi lelucon. Usai adegan pentolan barulah memasuki acara utama sandur. Uniknya kesenian sandur ini, disamping bagi sarana hiburan masyarakat pedesaan juga sebagai sarana terapi berbagai penyakit.

Cerita kesenian tradisional kerakyatan ini menggambarkan kehidupan masyarakat petani, mulai dari membuka lahan, membersihkan lahan, masa bercocok tanam, pemeliharaan tanaman, dan hingga pada akhirnya masa panen serta dilanjutkan pada proses pemujaan atau ritual kepada Dewi kemakmuran, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap yang maha kuasa. Kemudian tokoh-tokoh dalam kesenian sandur pada pementasan tersebut, antara lain: Jasmirah, Balong, Petak, Jasmani, Pak Empang, Nyai Asil, Anton, Lithi, Pak Calak, dan seorang Germo. Dan tokoh tersebut merupakan tokoh absolut dipementasan sandur budi doyo, yang keberadaan dan eksistensinya di desa Yung,kecamatan Modo Kabupaten Lamongan (Letak kelahiran Gajah Mada, deklarator Sumpah Palapa –red).

Berkaitan dengan agenda pra pertunjukan, kesenian yang berbau magic diawali dengan mulu komat-kamit membaca mantra dibarengi pembakaran kemenyan atau dupa yang dilakukan seorang Germo (pawang sandur), dengan tujuan mendatangkan roh atau danyang yang ada disekitar wilayah pertunjukan, guna membantu kelancaran, suksesnya pertunjukan. Kemudian dilanjutkan tembang-tembangan, tari jaranan yang menggunakan properti kuda kepang, dan diakhir pra pertunjukan diisi semacam banyolan atau besutan.

Di samping itu pada acara pembukaan pertunjukan kesenian sandur, diawali sebuah prolog, yang dilakukan salah satu crew sandur, yang merupakan sebuah sinopsis dari cerita akan dipentaskan. Dilanjutkan dengan pengenalan nama-nama pemain, pemusik atau wiyogo. Nama-nama tokoh dalam cerita sandur, serta semacam kirap khusus tokoh cerita di pertunjukan, dengan mengelilingi arena pertunjukan.

Cerita pertunjukan sandur tersebut menggambarkan seorang pengembara mencarai pekerjaan, yang diperankan oleh tokoh Balong dan Pethak. Dalam pengembaraanya, kedua tokoh tersebut bertemu seseorang tokoh petani tulen, yang bernama Pak Empang, dan sekaligus dijadikan anak, di lanjutkan dengan membuka lahan, menanam, hingga proses menetik hasilnya (panen),diselingi acara ritual khitanan tokoh Pethak dan perkawinan pada tokoh Balong serta mendatangkan kesenian yang berupa seni tayub sebagai hiburan. Lebih jelasnya inti cerita kesenian sandur menggambarkan aktifitas masyarakat agrarisnya.

Opera Jaran Goyang

Naskah berasal dari sandiwara rakyat cirebon “Putra Sangkala”
Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Sinopsis :
Sebuah kisah tentang dua anak manusia yang dibedakan oleh status ekonomi. Baridin putra dari Mbok Wangsih dilahirkan di keluarga yang miskin. Ratminah putri dari Bapak Dam terlahir di keluarga kaya. Pertemuan Baridin dan Suratminah menumbuhkan benih-benih cinta di hati baridin. Tapi sayang cinta bertepuk sebelah tangan, suratminah menolak cinta dan lamaran baridin. Bahkan Mbok Wangsih yang mengantarkan lamaran baridin dihina dan dicaci maki oleh Suratminah dan bapak Dam.
Disinilah timbul dendam Baridin kepada suratminah atas kesombongan dan perilakunya kepada Ibunya, Mbok Wangsih.
Atas bantuan Gemblung dengan cara memberikan sebuah mantra kuno bernama “Ajian Jaran Goyang”, Baridin mengamalkan mantra tersebut demi balas dendamnya kepada suratminah.
Sampai akhirnya Suratminah terkena rapalan mantra itu, bukan berbalik cinta kepada baridin, tapi suratminah menjadi gila oleh mantra itu sampai menemui ajalnya.
Bagaimana dengan baridin apakah dia puas dengan pembalasan dendamnya ? Baridin yang terbebani oleh dendam dan cinta kepada suratminah tidak kuat mengatasi kehebatan dari mantra jaran goyang, sehingga baridin ikut juga menemui ajalnya.
Hingga saat ini baridin dan suratminah dimakamkan dalam satuliang lahat.
Inilah kisah dari cirebon.

Babak 1

Sebuah setting panggung di rumah sangat sederhana berdindingkan bambu. Seorang laki-laki tengah tergolek tidur di balai bamboo. Kemudian datang seorang perempuan dari dalam berumur sekitar 45 tahun sedang menyapu lantai.

Mbok wangsih :
Din… Baridin… bangun din ! hari sudah siang begini kamu masih tidur. Kamukan mau membajak sawahnya mang Bunawas.

Baridin Cuma mengeliat-liat dan berganti posisi tidur ketika dibngunkan ibumya.
Mbok wangsih:
Heh din ! bangun ! bangun ! sawah mang Bunawas bagaimana heh!!

Kemudian ada seseorang yang datang
Mang Bunawas :
Punten ! Punten!

Mbok Wngsih :
Eh .. mang bunawas

Mang Bunawas :
Baridin ada mbok?

Mbok Wangsih:
Ada mang….. Din ! ada mang bunawas !

Mendengar siapa yang datang Baridin segera bangun sambil menggosok matanya yang masih ngantuk.
Baridin :
Eh… Mang Bunawas..

Mang Bunawas :
He din ! hari sudah siang kamu masih tidur ! Niat kerja nggak ?!

Baridin :
Minta maaf mang Bun, tadi malam saya nonton wayang, jadi bangun kesiangan.

Mang bUnawas :
Jadi maumu apa ?

Baridin :
Kalau besok saja bagaimana mang?

Mang Bunawas :
Hei din ! yang benar saja, depan belakang sawah sudah dibajak. Masa sawah saya saja yang belum diapa-apakan. Pokoknya saya gak mau ! tahu hari ini harus selesai. Sanggup gak kamu din?

Baridin :
Ya sudah mang kalau begitu . Tapi saya belum jelas dimana sawah mang Bunawas?

Mang Bunawas :
Disebelah timurnya bukit dekat kelurahan. Tahu gak kamu.

Baridin :
Ya ya mang. Kalau begitu saya kesana.

Mang bunawas :
Ya sudah saya duluan. Saya tunggu lho din ! Mbok ! Mbok saya permisi dulu

Mbok wangsih :
Lho .. kok buru-buru mang ? belum saya buatkan minuman kok…

Mang Bunawas :
Trima kasih… lain kali waktu aja. Masih ada keperluan.. Mangga mbok..

Mbok Wangsih :
Mangga.. mang

Kemudian baridin keluar berangkat ke sawah
Baridin :
Kalo begitu baridin berangkat dulu. Minta doa restunya semoga cepat selesai pekerjaan baridin hari ini.

Mbok wangsih ;
Ya ya ..mbok doakan… Hati-hati dijalan din.

Baridin :
Ya mbok !..

Babak 2

Setting tempat disebuah jalan menuju pasar dekat jembatan. Seorang gadis sedang komat kamit mengingat sesuatu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, 3 orang pemuda sedang asyik ngobrol dan kemudian melihat kearah gadis itu muncul keinginan untuk menggoda.

Suratminah :
Aduuh…. Apa ya pesanan bapak tadi ? kok lupa ya…nggg…tak ingat-ingat dulu, tadi bapak pesan kopi , gula, ikan tongkol, …terus bawang merah, bawang putih, teruss..

Para pemuda :
Haaaa !!!!

Ratminah kaget dibuatnya
Pemuda 1 :
Latah ya ? masih muda kok latah
Pemuda 2:
Bocah cantik… bocah denok… nang-ning-nang-ning…

Ratminah :
Hei ! hei ! kebiasaan sih ! setiap pergi kepasar pasti ada saja yang iseng. Apa kalian tidak tahu kalau saya ini anak orang kaya !

Pemuda 2 :
Hei nok, jadi anak orang kaya itu ya jangan sombong..

Pemuda 3:
Hei dengarkan ini, beli manggis di pasar tanjung, naik ojek bayarnya mahal.. gadis manis yang kusanjung, jadi cewek jangan jual mahal !

Ratminah :
Hei ! dengarkan ini juga ya! Naik ojek sambil jalan-jalan, beli cuka dapatnya garam… orangnya jelek gak karuan ! ngomong suka gak punya uang !

Pemuda 1 :
He nok.. jagan malu-malu..sama aku saja. Ini aku punya kumis…. Lebat lagi kumisnya..

Para pemuda :
Seratus untuk kumis !!

Ratminah :
Hei dengarkan !! rujak manis rujak asem, rambutan manis terkelupas isinya.. punya kumis bau asem!! Rambutnya lebat banyak lalatnya !! sudah pergi sana!! Sana!! Tak bilangin bapak tahu rasa !!

Musik berkumandang lagu dinyanyikan

Para pemuda :
“lenggak-lenggok goyang jalannya
gadis denok tinggi omongannya
disapa malah marah-marah
apa gak ngerti… marah itu bisa jadi malah berbahaya “

Ratminah :
“dasar mata keranjang lihat gadis sintal
colak colek pinggir jalan omongannya kurang sopan
tidak malu sama orang
dasar kamu orang pengangguran “

Para pemuda :
“hei ! jangan bilang gitu !“

Ratminah ;
“sebab menghina aku …”

Para pemuda :
“Inikan intermezzo “

ratminah :
“dasar hidung belang beraninya keroyokan !”

Kemudian datang baridin mengganggu para pemuda yang menggoda Ratminah
Baridin :
Mang.. mang… permisi mau nanya, dimana sawahnya mang bunawas ?

Pemuda 3 :
Sawahnya mang bunawas luruuuss…ini luruus saja

Baridin :
Sebelah mananya bukit mang ?

Pemuda 3 :
Timurnya bukit. Sudah ya, sana pergi, pergi… ganggu orang saja..

Para pemuda itu kembali mengganggu ratminah selepas kepergian baridin.
Para pemuda :
Bocah manis.. bocah denok…. Blakthuk…blakthuk…
Ratminah :
Hei ! masih ganggu terus sih !

Pemuda 3 :
Buah salak, buah kedondong…. Jangan galak dong !

Ratminah :
Dasar gak punya aturan ! beraninya hanya di jalan ! kalian semua itu ya coba ngaca ! Ngaca ! Apa kalian tidak tahu ! yang suka sama suratminah itu orang-orang yang ber-dasi, ber-jas, ber-kaliber, ber-uang !

Para pemuda :
Hah ! jadi yang suka sama kamu itu B-E-R-U-A-N-G !!
“cepon-cepon kayu…oleh wadon asal ayu…
kayu-kayu crème…wong ayu manis eseme..
crème sipongpongan ayo pada jaipongan”
“nona manis jangan menangis
sendirian apa butuh teman
kalo boleh kami temani
bisa tinggal pilih….jangan takut banyak duwit asal minta cubit..”

Ratminah :
“Dasar mata keranjang ! makin macam-macam
colak-colek pinggir jalan omongannya kurang sopan
dasar lelaki kampungan
tak malu kalo kemps kantongnya

Para pemuda :
“hei jangan bilang gitu !”

Ratminah :
“ biar kamunya mikir”

Para pemuda :
“tapi aku tersindir”

Ratminah :
“dasar hidung belang lihat gadis ngomong senang”

kemudian tiba-tiba datanglah Baridin mengganggu lagi. Dan Ratminah yang melihat kesempatan itu menyelinap pergi.
Baridin :
Mang… Mang… belum ketemu mang, sawah mang bunawas,cari ditimur..ke barat gak ketemu.

Pemuda 3 :
Aduuuh… ini mengganggu saja.
Pemuda 1 :
Ceweknya hilang..

Pemuda 2 :
Waduuuh… ini gara-gara kamu..waaaah…

Para pemuda itu pergi mencari ratminah.
Kemudian Ratminah datang lagi dengan ketiga kawannya.

Suratminah :
Trima kasih atas pertolongannya tadi

Baridin :
Pertolongan apa ya ?

Suratminah :
Ya tadi para berandalan itu, tidak tahu kalo saya pergi, karena ada kamu. Ngomong-ngomong kamu jualan apa sih ?

Baridin :
Oh ini…saya bukan mau jualan, ini saya mau membajak sawahnya mang bunawas.

Suratminah :
Kamu kok lucu…

Musik berkumandang.
Baridin :
“tiba-tiba aku terkejut …. Lihat gadis langsung kepincut
lirikannya senyumannya sangat maut
bikin hatiku kalang kabut
perkenalkan aku baridin
hidup sedang menderita batin
tiap hari merasa dingin
sebab ingin merasakan kawin”

Ratminah :
“mau dingin mau kawin gak mikirin
sebab banyak gadis yang lain
bunga anggrek hidup di pohon

baridin :
“apa wong ganjen?”

Ratminah :
“Orang jelek tampangnya bloon
Tiba-tiba bicara soal kawin
Kalo ngomong harus piker-pikir
Kunci gembok kunci gerendel
Orang goblok mirip ondel-ondel”

Baridin :
“kalau mau ngomong jangan sembarangan
nanti bisa jadi bengong
jangan jingkrak-jingkrak kalau mau nolak
nanti bisa malah ngajak”

Suratminah :
“idih ! jangan asal ngomong
begitu juga ngajak gak apa ngajaknya
ngajaknya kamu aduh sangat lah percuma
sebabnya kamu orang gak punya
gak pantes ratminah jodohnya “

Baridin :
“kalo ditolak nanti dukun yang bertindak”

Suratminah :
“biar gilapun aku tidak akn mundur”

Baridin :
“ngomong begitu apa beneran “

Suratminah :
“biar sumpah tujuh turunan”

Gadis-Gadis :
“hei kau baridin ngomongnya dipikir-pikir
hei kau baridin jangan asal banting setir
ratminah gak mungkin mabuk baridin
dasar baridin kepingin kawin”

Baridin :
“nok-nok bocah denok bokong semok
nok-nok baridin suka tidak kapok
biarpun kamu lari kegunung kukejar walau kesandung”

Ratminah :
“ kepingin aku… aduh sabar dulu
apa gak tahu kau orang tak mampu..”

Baridin :
“kalo niat..”

Suratminah :
“orang yang niat, harus yang kuat
kalau benar kamu suka aku apa yang jadi lamaran ?”

Baridin :
“nih terimalah “

Ratminah :
“Apa? “

Baridin :
“Lamaran aku”

Ratminah ;
“Bajak ? !”

Baridin :
“Jangan mencibir, Ku ngarti kamu nolak jangan marah……. jangan murka….”

Ratminah :
”Orang jelek celananya sobek…. Omongannya kaya’ bebek”

Gadis-Gadis :
“hei kau baridin ngomongnya dipikir-pikir
hei kau baridin jangan asal banting setir
ratminah gak mungkin mabuk baridin
dasar baridin kepingin kawin”

kemudian Baridin ditinggal menggerutu sendirian.

Babak 3

Dirumah baridin, mbok wangsih sedang bingung menunggu kepulangan anaknya yang belum pulang juga.

Mbok Wangsih :
Hari sudah sore anakkku baridin masih belum pulang juga. Ada halangan apa ya ? tidak seperti biasanya..

Kemudian datang Mang Bunawas dengan marah-marah :
Mang Bunawas :
Mbok ! Mbok ! Anak kamu itu waras ?! apa gak waras ?!

Mbok Wangsih :
Ya waras mang… Memangnya ada apa mang ?

Mang Bunawas :
Coba kamu pikir, aku nunggu dari pagi sampai sore, eh dia gak datang-datang ! Kemana dia mbok !

Mbok Wangsih :
Dia sudah berangkat dari pagi tadi mang… Saya juga bingung, sudah sesore ini baridin belum pulang. saya pikir dia membajak sawahnya mang bunawas.

Mang Bunawas :
Mbajak sawah ?! bajak sawah bagaimana ? la wong dari pagi dia tidak kelihatan batang hidungnya !!

Mbok Wangsih ;
Tapi benar dia tadi berangkat…

Tiba-tiba baridin datang mengagetkan semuanya dengan melempar alat bajaknya.
Mang bunawas ;
Lihat Mbok ! anakmu ini memang gak waras ! Hei din, dari mana saja kamu ? aku tunggu dari pagi sampai sore, eh malah tidak datang. Ada apa din ?

Baridin ;
Maafkan saya Mang Bun, soalnya tadi di jalan saya mendapat halangan.

Mang Bunawas :
Halangan apa ?

Mbok wangsih :
Iya din, ada halangan apa ?

Baridin :
Halangan berat pokoknya !

Mang Bunawas :
Halangan apa ?

Baridin :
Pokoknya halangan saja ! Mang… bagaimana kalau membajak sawahnya besok saja ?

Mang Bunawas :
Hei din, kamu yang benar saja, kanan kiri, depan belakang sawah sudah siap ditanami padi, masa’ tinggal sawah saya saja yang belum diapa-apakan ? hei din saya percaya sama kamu, karena itu saya suruh kamu membajak sawah saya.. eh malah kamu gak karuan gitu !! Ya sudah ! saya cari orang lain saja ! Permisi mbok !

Baridin :
Maafkan saya Mang Bun..

Mbok Wangsih :
Maafkan anak saya mang ..

Mang bunawas :
Sudah ! Sudah ! (mang bunawas pergi)

Mbok wangsih hanya mengelus dada melihat tingkah laku anaknya.
Mbok wangsih :
Sebenarnya ada masalah apa din ? coba ceritakan sama mbok..

Baridin :
“Mbok wangsiiih… sebelum aku kesawah disebelah pasar dekat jembatan aku mendapat halangan..
halanganya ..bikin pusing pikiran.. bertemu gadis cantik suratminah namanya … bocah denok, bocah montok yang bikin orang suka..
aduh..aduh..aduuuuh…. aku jatuh cinta…”

Mbok wangsih :
Hemm … jadi halangan itu perempuan din ?

Baridin ;
Iya mbok..

Mbok Wangsih :
Kalau itu bukan halangan din

Baridin :
Bukan halangan bagaimana ? karena bertemu dia saya jadi malas kesawah. Selalu kepikiran terus. Mbok saya ingin melamarnya..

Mbok wangsih :
Melamrnya ?

Baridin :
Dia anaknya Bapak Dam

Mbok Wangsih :
Bapak Dam ? Ratminah ? bapak Dam kan yang terkenal kaya raya itu. Coba dengar, kita ini orang miskin. Kok, gak pantas kamu ingin gadis seperti suratminah.

Baridin :
Tapi mbok, sejak pertemuan itu, baridin ingin memilikinya.

Mbok Wangsih :
He din ! sadar din ! Sadar ! Kita ini orang miskin ! Gak pantas kamu ingin kawin sama Suratminah !

Baridin :
Pokonya saya ingin kawin dengan Suratminah !

Mbok wangsih :
Din ! mikir din ! mikir ! otaknya di pake ! kamu itu anake wong miskin. Sedang Suratminah Anake wong sugihan, wong gedean. Gak mungkin Bapak Dam ngasihkan anaknya ke kamu !

Baridin :
Kalau mbok wangsih gak mau, biar baridin bunuh diri saja !

Mbok wangsih :
Apa din ? Bunuh diri ? biar matipun kamu gak bakalan kawin sama suratminah.

Baridin :
Baiklah mbok , baridin bunuh diri saja. Lebih baik mati jika baridin tidak kawin dengan suratminah. Selamat tinggal mbok !

Baridin mengikatkan kain sarung ke lehernya, seolah-olah ingin bunuh diri. Mbok Wangsih mencegah.

Mbok Wangsih :
Din ! din ! Jangan din !din.. kamu anak mbok satu-satunmya jgan bikin susah mbok ya…Dari pada kamu bunuh diri, mbok akan melamar suratminah

Baridin ;
Yang bener mbok ?

Mbok Wangsih :
Tapi kamu jangan berharap lamarannya akan diterima.

Baridin :
Tidak mbok, baridin akan selalu berdo’a semoga lamaran kita diterima.

Mbok Wangsih :
Ya sudah, mbok kebelakang dulu..jangan bunuh diri din..

Mbok wangsih masuk.
Baridin :
Ya mbok !..

Babak 4

Setting di sebuah teras rumah yang lebih bagus, tampak seorang laki-laki berumur sekitar 50-an tahun, tampak gelisah menunggu sesuatu.

Bapak Dam :
Aduh… Aduuh… Ratminah pergi ke pasar sampai sekarang belum pulang juga. Ana halangan apa ini ya? Tadi malam saya bermimpi aneh…… ada halangan apa ya ?… macem-macem…

Kemudian yang ditunggu-tunggu datang.
Ratminah :
Pak ! Bapak !…

Bapak dam :
Hei ! darimana saja kamu ! sudah jam berapa sekarang ?

Ratminah :
Anu pak … tadi ratminah dapat halangan..

Bapak Dam :
Halangan apa ayoo…

Ratminah :
Itu tadi di jalan ratminah dicegat berandalan. Untung Ratminah bisa lolos.

Bapak dam ;
Dikejar-kejar berandalan ? terus..terus.. gak ada yang hilang ?

Ratminah :
Hilang apanya ?

Bapak Dam :
Hilang onderdilnyaa.. ya sudah masuk dulu.

Kemudian Ratminah masuk kedalam rumah sedang Bapak Dam duduk di teras rumah. Tiba-tiba datang 2 orang yang berniat melamar.
Para Pelamar :
Assalamualaikum……

Bapak Dam ;
Waalaikum salam.. eh ada tamu…

Pelamar 1 :
Apa benar ini rumah Bapak Dam ?

Bapak Dam :
Benar-benar silahkan masuk..masuk.. silahkan duduk.. Rat ada tamu !

Ratminah keluar. Musik berkumandang
Bapak dam :
“silahkan maunya apa?…”

Pelamar 1 :
“ Kalau mau tahu, aku juragan nelayan
tiap kali pulang uangnya pasti dolaran
tidak kurang sandang pangan.. anak bapak kenyang ikan “

Ratminah :
“tidak mau.. tidak mau.. sebab aku sudah tahu
katanya yang dulu-dulu
pelaut sukanya gitu
gak mau aku dirayu..gak mau aku di madu..
nanti dulu jangan harap dapat aku”

Bapak dam :
Sama juragan nelayan gak mau ? nanti kenyang ikan ?

Ratminah :
Nggak bapak

Bapak dam :
Ya sudah silahkan duduk..
“silahkan maunya apa ?’

Pelamar 2 :
“jangan macem-macem sama aku bintang filem
aku sudah yakin Ratmianh pasti kesengsem
hidup tentrem adem ayem siap pakai luar dalem”

Bapak Dam :
“saya suga seneng dapat mantu bintang filem
asal jangan sampai dapat peran macem-macem
mata melek merem-merem.. urusannya jadi runyem “

Ratminah :
“ memang serem-memang serem.. punya suami bintang filem
sering pulang larut malem.. alasannya macem-macem
bilangnya ada sutingan, bialangnya urusan peran
padahal sih diluar banyak simpanan..”

Bapak Dam :
Sama bintang filem gak mau juga ? nanti di suting ?

Suratminah :
Enggak bapak

Bapak Dam :
Ya sudah bikinkan minum tamunya. Maaf ya anak saya belum cocok dengan saudara-saudara. Jadi mohon maklum apa adanya..

Pelamar 2 :
Yaaa… kalau tidak cocok tidak apa-apa… tapi tadi kami naik becak ongkosnya 2000

Bapak Dam :
Terus..

Pelamar 2 :
Jadi mangga mriki… ganti ongkos..

Bapak Dam :
Heh ganti ongkos ?! sebentar-sebentar sampean kesini disuruh siapa ?

Pelamar 1+2 :
Yaaa … disuruh kami sendiri !

Bapak dam :
Nah.. terus..terus..

Pelamar 2 :
Nah..tadi kan saya naik becak ongkosnya 2000..
Bapak dam yang mendengar itu jadi marah dan menggebrak meja
Bapak Dam :
Heh !!! Apa sampeyan tidak tahu, Bapak dam mantan jawara. Sampean kesini mau ngrampok !! Ayo !! Ayo !! (bapak dam seperti mau ngajak berkelahi) ayo ! Tak jotos kupinge getien !!

Para pelamar itu lalu kabur. Kemudian Ratminah keluar sambil membawa air miinum.
Ratminah :
Lho ?? mana tamunya pak ??

Bapak Dam :
Tamu penipu !!

Ratminah :
Ya sudah buat bapak saja minumnya. Saya kebelakang dulu.

Bapak Dam kembali ke tempat duduknya. Kemudian datanglah pelamar berikutnya yaitu Mbok wangsih.
Mbok wangsih :
Waaah… rumah Ratminah besar dan indah. Baridin kok gak ngukur ya ..

Kemudian muncul suara anjing
Bapak Dam :
Rat ! Rat ! siapa ! siapa diluar !

Ratminah keluar melihat siapa yang ada diluar :
Ratminah : apa pak ?

Bapak Dam :
Biasa.. boby..lihat diluar siapa ?

Ratminah :
Oooh .. ada pengemis pak

Bapak Dam ;
Kasih..kasih..

Ratminah :
Berapa ?

Bapak Dam :
Seket !

Ratminah :
Seket ? Nih mbok skeet !

Mbok Wangsih :
Nok…. Tidak nok..mbok bukan mau ngemis..

Ratminah :
Idiiih gak mau ! gak mau pak!

Bapak dam :
Paling munggah-munggah

Suratminah :
Berapa ?

Bapak Dam :
Satus !

Ratminah :
Nih mbok satus !

Mbok wangsih :
Bukan nok mbok tidak mengemis, tapi mbok mau ada perlu…

Ratminah :
Pak ! gak ngemis katanya. Mau ada perlu..

Bapak Dam :
Ada perlu ? aduuh siapa ya ?

Setelah bapak dan tahu siapa yang menemuinya
Musik kembali berkumandang
Bapak Dam :
“silahkan maunya apa?”

Mbok Wangsih :
“sebelum di usir coba bapak pikir-pikr
walau hati nangis saya tidak mau ngemis
saya mau ada perlu suratminah calon mantu”

Bapak Dam :
“coba ngomonglah.. sebenarnya siapa ?

Ratminah :
“coba ngomonglah… kau maunya apa?”

Mbok Wangsih :
“diriku ini nama Mbok Wangsih
mau minta suratminah dari bapak dam
baridin ingin melamar”

Bapak Dam :
Ngarti..ngarti… jadi sampean kesini mau melamar anak saya ? mau meminang suratminah ? Surat mianah anak saya satu-satunya mau dilamar wong macem sampeyan ?! menghina ya ?! Ngece ?! tak jotos kupinge getien sira !!

Ratminah :
Apa pak ?! mau melamar ? iiih.. he mbok ! Mbok melamar buat siapa ?!

Mbok Wangsih :
Buat… buat anak mbok nok.

Ratminah :
Iya siapa ?!

Mbok wangsih :
Ba.. ba… baridin nok….

Ratminah :
Baridin ?

Bapak Dam :
Bridin.. bridin –bridin sapa ?

Ratminah :
Oooh…. Baridin yang bawa wluku ? yang celananya tambalan ? idiiih…. Amit-amit mbok.. siapa yang mau ?

Bapak Dam :
Hei! Hei ! Hei ! apa sampaean gak ngerti, tamunya bapak dam nembe pating kluyur.. wong gedean, wong sugihan… wong nggowo motor –mobil-sepur ! berani-beraninya nglamar ! wis ambune blenak !!

Ratminah :
Baunya Asem !!
Bapak Dam :
Rambute Ruwet !!

Ratminah :
Klambine dowal-dawul !! Apa mbok itu gak mikir ! gak mikir !

Bapak dam :
Usir! Usir Rat ! Usir ! Siram Rat !!

Ratmainah :
Pergi mbok ! pergi !

Mbok wangsih menangis setelah diludahi dan disiram ratminah.
Ratminah :
Orang Gila pak ..

Bpak Dam :
Iyaa…

Bapak dam suratminah masuk.

Babak 5

Setting panggung berada di rumah baridin. Tampak baridin gelisah menunggu kedatangan mbok wangsih.

Baridin :
Mbok wangsih kemana ini ya ? berangkat dari tadi kok belum pulang… (kemudian dia merasa senang) tidak disangka sebentar lagi baridin jdi pengantin…duduk bersanding dengan suratminah …uhuy !!

Kemudian datanglah kawan Baridin, Gemblung bertamu ke rumah baridin.
Gemblung :
Din ? din ?…

Baridin :
Eeeh… gemblung, sudah lama kita tidak bertemu…dari mana saja blung ?

Gemblung :
Emangnya kenapa din ? dari tadi saya lihat cengar-cengir terus.

Baridin :
Kamu itu blung, kalo saya ibaratkan seperti ular maranin pentungan.

Gemblung :
Maksudnya apa ?

Baridin :
Maksudnya, kebetulan sekali. Sekalian undangan, saya mau kawin ! kawin !

Gemblung :
Syukur kalo mau kawin…. Tapi kawin sama siapa din ?

Baridin :
Ah gak ah… takut kamu ngiri

Gemblung :
Alaah !! Paling kamu kawin sama markonah !

Baridin :
Uuuu… markonah mah budheg blung

Gemblung :
Ah ! paling sama saritem ya?!

Baridin :
Saritem anake wong adol srabi ?

Gemblung :
Iyaaa !

Baridin :
Heee .. bukan blung. Kamu mau tahu ? Tapi ada syaratnya, kamu jangan ngirin ya..

Gemblung :
Iyaa..

Baridin :
Yang jadi calon pengantinnya baridin…ayune ..ayu. sugihe.. sugih. Namanya Suratminah Blung.

Gemblung ;
Suratminah ?! Apa saya gak salah dwengar ? Suratminah anaknya bapak dam yang kaya raya itu ?! apa kamu gak ngaca! Ngaca ! coba ngaca !

Baridin :
o-o-o-o… gemblung kliru. Hei blung, orang yang mencuri boleh kamu salahkan, orang yang membunuh boleh kamu salahkan. Tapi orang yang jatuh cinta jangan sekali-kali kamu menyalahkannya, kadang-kadang ada suami istri yang laki-lakinya muda, perempuannya sudah tua. Kadang-kadang ada suami istri laki-lakinya mlarat perempuannya kaya raya.

Gemblung :
Kalo saya terserah kamu saja, sebagai teman saya bahagia kalo lihat teman bahagia.

Baridin :
Terima kasih blung.

Gemblung :
Eh .. din saya pulang dulu ya..

Baridin :
Tapi jangan lupa kamu sering-sering datang kesini, siapa tahu saya butuh tenagamu.

Gemblung :
Ya ya.. ya sudah saya pulang dulu…(gemblung keluar)

Kesenangan baridin tiba-tiba berhenti ketika mbok wangsih datang dengan menangis.
Baridin :
Lho?1 Mbok?! Aduuuh… ditunggu dari tadi pulang-pulang malah nangis ada apa mbok. Ini terong empat dibawa lagi. Aduuh… kenapa mbok ? ngomong ?! Ngomong?!

Mbok Wangsih :
Ini gara-gara kamu din…

Baridin :
Iya ! kenapa ? ngomong ! ngomong !

Mbok Wangsih :
Lamarannya di tolak….

Baridin :
Lamarannya ditolak ?

Mbok wangsih :
Iya din.. malahan mbok di hina habis-habisan… dari pertama mbok sudah katakana, kamu terlalu muluk din.. tapi kamu tetap memaksa. Mbok diperlakukan seperti binatang. Sakit hati mbok din.. sampai kapan kamu menyusahkan mbok din ?

Baridin :
Maafkan baridin mbok… Baridin memang tidak berguna

Mbok Wangsih :
Bosan mbok dengar ucapan itu din ! kamu memang tidak berguna. Bisanya hanya menyakiti mbok! Kamu tahu din…saat ditolak mbok diusir seperti binatang, disiram air, bahkan meludaho muka embok !

Baridin :
Ratminah meludahi muka embok ?! biar kutampar mulutnya mbok !!

Mbok Wangsih :
Suada din ! Percuma ! Sudah cukup kamu menyusahkan embok ! mBok piker daripada kamu terus-terusan menusahkan embok, lebih baik kamu pergi dari rumah ini din..

Baridin :
Mbok….

Mbok Wangsih :
.Mbok cukup menderita dengan kelakuanmu

Baridin :
Mbok…

Mbok Wangsih :
Pergi din ! Pergi ! sebelum mbok memaksamu !

Baridin :
Baiklah mbok, baridin menerima keputusan ini… baridin minta maaf belum bisa membalas jerih payah mbok… baridin berjanji tak akan pulang sebelum membalas sakit hati mbok.

Mbok Wangsih :
Sudah ! cukup ! pergi sana Din ! pergi !

Baridin :
Tega mbok ?…

Mbok Waqngsih :
Tega ..

Baridin :
Mbok…

Bridin pergi dan mbok wangsih tak sanggup menyaksikan kepergian anaknya.

Babak 6

Setting panggung disebuah jembatan dekan pasar. Tampak baridin duduk melamun dekat jembatan, kemudian datanglah kawan baridin , gemblung menemuinya.

Gemblung :
e-e-e-e… dicari kemana-mana ternyata ada disini rupanya. Hei din !

Baridin ;
Huh ! Gemblung ! sana-sana blung ! Baridin lagi selon nih !!

Gemblung :
Ngapain kamu di sini ? ayo pulang ! ayo pulang !
Baridin :
Tidak Blung ! Baridin anak yang tidak berguna ! Sampai mbok Wangsih ega ngusir saya !

Gemblung :
He dengarkan ! Sekarang Mbok Wangsih sudar sadar. Malah saya disuruh mbokmu ngajak kamu pulang. Ayo Pulang ! Pulang !

Baridin :
Tidak blung ! Hidup Baridin sudah tidak berarti ! Hidup hanya jadi hinaan suratminah ! sudah lamrannya ditolah Bapak Dam, suratminah blung, suratminah meludahi Mbok Wangsih !!

Gemblung :
Surat minah meludahi mbok wangsih ?! Kurang ajar suratminah !!

Baridin :
Di caci maki, diusir, sakiit hati ini blng !! sudah hidup miskin jadi hinaan orang, lebih baik baridin mati saja !! (mau melompat dari jembatan ).

Gemblung :
Hei jangan ! Jangan !! kalau baridin mati gemblung siapa temannya.! Ayo pulang !

Baridin :
Tidak ! Baridin tidak akan pulang sebelum mambalas sakit hati mbok wangsih !

Gemblung :
Baiklah kalo mau kamu begitu…

Gemblung ragu meninggalkan Baridin, tiba-tiba gemblung ada sesuatu.
Gemblung :
Hei din ! sini ! sini ! kamu tahu gak kalo aku mendapat warisan ? (berbisik)

Baridin :
Huu!! Kita itu sudah berteman sejak lama blung! dari kecil sampai sekarang,saya tahu waktu bapak kamu mati ketabrak kereta, krieg ! Lalu ibu kamu mati di sambar petir, jgerr ! Bahkan mayatnya diinjak-injak jagir kerbau saya. Trus waktu geger dikelurahan soal warisan, warisan apa ?! warisan cowek bolong ! Warisan cowek bolong diomong-omong !!

Gemblung :
Hei din ! Ini bukan warisan harta. Bukan warisan cowek bolong. Tapi warisan do’a !

Baridin ;
Do’a blung ?

Gemblung :
Iya, do’a bukan sembarang do’a…. do’a aji kemat jaran goyang.. (berbisik)

Baridin :
Jangan macem-macem kamu blung !! Kalo mau bohong sana sama orang lewat !! Jangan sama teman !!

Gemblung :
e-e-e-… tidak macem-macem ini din! Mau bukti ? ini..ini ini din, selalu saya bawa terus. Ini kalo tidak percaya (sebuah kertas lapuk diberikan kepada Baridin)

Baridin :
Ajian …kemat…jaran ..guyang.. tulisannya jawa kuno ya blung..kertasnya sudah lapuk lagi..

Gemblung :
Bagaimana percaya tidak ?

Baridin :
Percaya ! Percaya !

Gemblung :
Kamu mau tahu caranya ? (kemudian gemblung berpikir sebentar ) tapi.. ini berbahaya din..berbahaya ! lebih baik jangan ya !! Jangan !

Baridin :
Eh ! eh ! demi membalas sakit hati mbok wangsih, saya terima resikonya !

Gemblung :
Ngggg….. baiklah maumu begitu. Begini din, kamu harus puasa 40 hari dan ini di baca tengah malam pas jam 12 tepat.

Baridin :
Boleh saya membacanya ? arepan ..ma..ca… ke..mat jaran…gu…yang….

Babak 7

Setting panggung disebuah teras rumah Bapak dam. Tamapak bapak dam bingung memikirkan jodoh anaknya.

Bapak Dam :
Aduuuh… jodoh suratminah apa sudah dekat apa masih jauh ya ? Semua lamaran ditolak.

Ratminah keluar.
Ratminah :
Bapak…

Bapak Dam :
Hei sini-sini.. bapak mau ngomong pemuda yang kamu cari itu seperti apa sih ?

Ratminah :
Iiih …bapak soal itu aja.. wong ratminah belum ada niat kok..

Bapak Dam :
Kamu kan sudah besar, sudah waktunya berumah tangga. Wajarkan bapak tanya itu ?

Ratminah :
Iya benar, ratminah juga ngerti. Begini deh pak, ratminah tahu selera bapak, ya pak ya ?

Tiba-tiba ada suara tokek.
Bapak Dam :
Suara tokek nok ! Nasib baik datang..

Ratminah :
Di hitung pak.

Bapak Dam :
(tokek) …Rejeki (tokek)…. Blai (tokek)…. Rejeki (tokek)….. Blai…

Rayminah :
Kok blai pak.. mestinya dihitung dari blai dulu pak.

Bapak Dam :
Oh ya ya… mungkin besok ada..

Tiba-tiba suara tokek muncul lagi.
Bapak dam :
Nah itu tokek lagi nok !…

Ratminah :
Dihitung dari blai pak ..

Bapak Dam :
Ya ya… (tokek)….. Blai… rejek….. lho ! Tekek kurang ajar ! Njaluk sogok ! Ning ndi iki ya …

Kemudian ada suara-suara orang ronda malam.
Bapak dam :
Kok sudah ada orang ronda ya..?

Ratminah :
Sudah malam pak

Bapak Dam :
Yo wis, bapak masuk istirahat dulu. Jangan lupa kunci jendela sama pintu.

Ratminah :
Iya pak..

Bapak dam kemudian masuk, suratminah yang masih ada diluar tiba-tiba merasa suasana menjadi menyeramkan. Ratminah ketakutan dan segera masuk kedalam.

Dipanggung digambarkan siluet ratminah yang masuk kekamarnya dan tidur. Kemudian terdengar suara seseorang yang membacakan mantra..
“niat ingsun arepan maca kemat jaran guyang…dudu ngemat-ngemat tangga..dudu ngemat wong liwat dalan…sing tak kemat anakke bapak dam kang aran suratminah… kang demen drajad desa milangkori..sing lagi turu gageh nglilira..yen wis nglilir gageh jagonga.. yen wis jagong gageh ngadeka…yen wis ngadek mblayua..mbrenginginga..kaya’ jaran… teka welas ..teka asih.. atine suratminah welas asih.. ning badan ingsun…”

Babak 8

Setting diteras rumah Bpak dam, suasana pagi hari. Bapak dam keluar ke depak teras.

Bapak dam :
Nok !! Bangun nok !! Ratminah bangun !! sekolah !! Ayoo bangun ! bangun!! sekolah !!

Kemudian ratminah keluar dengan agak sempoyongan.
Bapak Dam :
He sudah siang ! Ayo adus ! sekolah !

Ratminah :
Emoh bapak !

Bapak Dam :
Emoh ! emoh ! kena apa Sekolah emoh ?!

Suratminah :
Emoh bapak…

Bapak dam :
Yo wis adus..adus..sudah siang..

Ratminah :
Emoh bapak..

Bapak dam :
Sekolah emoh ! adus emoh ! kena apa rat ? … yowis gawekno bapak wedang… wedang..

Ratminah :
Wedang bapak ?…

Bapak Dam :
Iyaa..wedang.. nok !

Kemudiasn suratminah masuk.
Bapak Dam :
Heh ! ana apa ya ? macem-macem… sekolah gak mau adus gak mau…

Kemudian suratminah masuk bawa golok.
Suratminah :
Ini bapak…

Bapak Dam :
Heh !! wedang nok !! wedang!! Kenapa dibawakan golok !! budheg ya ?! wedang sama golok beda ! wedang-golok ! Wedang – golok ! beda jauh !…

Ratminah :
Wedang bapak..

Bapak dam :
Ya ! Wedang !

Kemudian Ratminah masuk lagi.
Bapak dam :
Aduuuh ! ana apa ya… ratmianah..ratminah…apa sakit ?..

Kemudian ratminah keluar lagi dan semakain sempoyongan, tidak sadar kakinya terantuk kursi dan terjatuh sambil latah menyebut nama seseorang.

Ratminah :
Kang Baridin !! Kang Baridin !!!

Bapak Dam :
Heh nok !! Nyebut ! Nyebut ! ada apa nok !! Kang baridin sapa ?!!

Ratminah :
Kang baridin pak…. Kang baridin lagi wluku pak..

Bapak Dam :
Heh nok ! kang baridin sapa ! lagi ngluku di sawah sapa ?!! heh !! Nok eling nok !! eling !!

Ratminah :
Kang baridin pak.. ayo pak nyusul kang baridin..kang baridin lagi di sawah pak…

Bapak Dam :
Nook…eling nook..eliiiing…

Ratminah :
Kang Baridiiiiinnn!!!….

Ratminah berlari keluar rumah dikejar oleh Bapak Dam.

Babak 9

Disebuah jalan desa tampak Gemblung seorang diri sedang mencari temannya baridin.

Gemblung :
Aduuh… baridin ini kemana ya ? dicari berhari-hari.. kok tidak kelihatan.. heh macem-macem.. kemana anak itu…Berhasil apa tidak ya ? tapi Baridin kemana ? saya jadi pengen tahu..

Tanpa sepengetahuan Gemblung muncul Suratminah yang sudah gila memegang tangan gemblung.
Suratminah :
Nah ! ini kang baridinnya !! Ayo kawing kang..

Gemblung :
Heh ! Orang gila ! mask kawin sama orang gila !
Suratminah :
Ayo kang baridin kawin.. lho ! kang baridin nya kok jelak ?

Gembleng :
Huuu !! enak saja ! dasar orang gila ! (kemudian gemblung sadar siapa yang sedang gila ) eh ..ini ratminah… waah.. ratmianah sudah gila..berarti baridin sudah berhasil..

Suratmianah :
Ayo kang kawin … kang baridin ..hik hik hik..

Gemblung :
Ratminah gila !! Ratminah gilaaaa !!

Gemblung lari dari pegangan suratminah.

Babak 10

Setting di sebuah jembatan tampak baridin, berdiri merenung, kemudian tiba-tiba Gemblung datang mendekati baridin.

Gemblung :
Din ! Hei Din ! (terengah-engah ) Bagaimana hebat tidak ?

Baridin :
Hebat apaan ?

Gemblung :
Yaa aji kemat jaran goyang itu.. bagaimana?

Baridin :
Kamu ngomong apa blung ?

Gemblung :
Kemarin saya lihat ratminah sudah gila

Baridin :
Yang bener kamu blung ?

Gemblung :
Bener din. Ratminah gila karena ajian kemat jaran guyang itu.

Baridin :
Saya tidak percaya.. kalo ratminah sudah gila, sebelum lihat dengan mata kepala saya sendiri

Gemblung :
Lho ini bener din

Baridin ;
kamu pasti bohong….

Gemblung :
Huuu !! dikasih tahu bener-bener malah nuduh saya bohong ! kepret siah !!

Tanpa diketahui Baridin ratmianah berjalan kearahnya. Kemudian baridin menyadari siapa yang datang. Dia tampak kaget ternyata yang datang adalah suratminah yang telah menjadi gila.

Suratminah :
Kang… ayo kawin kang..kang baridin… ayo..ayoo kawin kang.. kang baridin jadi kamajaya-nya, ratmianh jadi dewi kamaratih-nya .. ya kang.. ayo kang kawin…

Baridin yang sudah lemah karena mengamalkan ajian jaran goyang itu dan ratminah yang gila, tak bisa menguasai kesimbangan tubuhnya, dan kemudian mereka terjatuh.
Ratminah :
Kang !

Baridin :
Apa rat ? kawin ? ratminah ! ratminah ! gak pantas Ratminah kawin sama baridin. Baridin anake mbok wangsih ! wong ora duwe ! celanane tambalan ! wong gowo wluku ! Tidak Rat ! kamu kan sudah bilang, orang yang suka sama kamu itu wong gedeanm wong sugihan, wong nggowo motor ! mobil ! sepur ! Kapal ! kenapa kamu ngejar-ngejar saya ?!

Suratminah semakin lemah.
Suratminah :
Kaaang… ratminah sudah gak kuat kaang…kang baridiin..

Baridin menyadari sesuatu
Baridin :
Wah.. ini pasti akibat ajian jaran guying, ratminah sudah gila. Ratminah ! Ratminah ! Masak baridain kawin sama orang gila ! Baridin malu sama tetangga ! Bagaimana denganteman-teman baridin ? mereka pasti bilang, hoi ! baridin kawin sama ratminah anaknya bapak dam perempuan gila ! Ratminah ! ratminah ! perempuan gila itu kawinnya sama laki-laki gila !

Ratminah yang semakin lemah kemudian terjatuh dan mati menabrak dan di tangkap bariadin. Baridin menjadi bingung dan semakin kalut dibuatnya.
Ratminah :
Kaaang !!!….

Baridin :
Rat….. ratminah !!…. Ratminah!!..rat !!!….

Baridin yang juga lemah semakin kalut dan tak bisa mgatasi kelemahan fisik dan psikoliginya, sehingga dia mati didekat suratminah sambil mnyebut gemblung dan ajian jaran guying.

Baridin :
Blung !! Gemblung !! Ajian kemat Jaran Goyang Bluuung !!!!!!……….

Baridin dan suratminah telah mati. Tanpa disangka Gemblung kembali ketempat itu dan terkaget melihat kenyataan atas kedua anak manusia itu. Dia mencoba bangunkan baridin.

Gemblung :
Din ! din ! ( Baridin tidak terbangun )Ini….ini…. ini pasti akibat ajian kemat jaran goyang !!!

Takut akan terjadi sesuatu Gemblung lari meninggalkan mayat keduanya.

Selesai…….. !!!

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati