Sabtu, 25 Desember 2010

LIMA ROMADHON DARMINTO

Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/

Darminto seorang preman kampung kami, tak usah macam-macam menyebutnya, tak usah mempercantik kata, begitu saja karena memang tidak puitis. Sehari-harinya ya mabok, judi, berkelahi, main pelacur, dan lain sebagainya yang mengukuhkan posisinya sebagai preman nomer satu di kampung kami.

::ROMADHON PERTAMA::

Suatu kali, entah kenapa dia tiba-tiba bilang padaku ingin belajar sholat. Aku ingat itu menjelang bulan Ramadhon lima tahun lalu. Aku ajarkan gerakan dan bacaan-bacaan sholat yang aku tahu. Setelahnya dia hanya bilang, “Terima kasih, nanti saya coba hapalin semuanya. Soalnya saya mau ikut ngerasain sholat Idul Fitri”. Menyadari itu, aku ajari sekalian tata cara sholat Ied yang kumengerti.

Rupanya Darminto ndak ikut sholat Ied, ternyata dia terlambat bangun karena malamnya maen gaple sambil minum-minum di pos ronda. Saat dia bangun, sholat sudah selesai. Aku lihat dia berdiri di pinggir jalan sedang memperhatikan jama’ah sholat Ied yang pulang dari masjid dengan mata yang masih memerah. Kecewakah dia?

::ROMADHON KEDUA::

Kudengar dari obrolan warga kampung Darminto mulai sering sholat, walaupun masih bolong-bolong. Puasa dia sudah mulai tapi lebih sering batal. Pada waktu sholat Ied aku kembali tidak melihat dia. Rupanya kudengar kabar, Darminto masuk rumah sakit. Semalam dia berkelahi dengan preman desa sebelah di sebuah tempat pelacuran. Darminto kena bacok dan sempat kritis.

::ROMADHON KETIGA::

Darminto menghentikan kebiasaannya main judi kartu, gaple, mabok, dan ke tempat pelacuran. Sempat aku bertemu dengannya dipasar, dia bilang, “Aku masih pengen banget sholat Ied Jo, tapi belom kesampean. Mugo-mugo aja kalo ndak sering keluyuran malem aku bisa bangun pagi hoahahahahaaaa…” Tawanya yang menggelegar khas. Semua orang dipasar sudah maklum dengan suaranya yang menggelegar.

Pada waktu sholat Ied, aku mencari-cari Darminto. Tapi sampai selesai sholat aku tidak melihatnya. Kembali aku dengar dari warga kampung, ternyata saat dalam perjalanan menuju mesjid waktu mau sholat Ied, Darminto melihat sekelompok orang menyusup kerumah Pak Haji Kasmin. Padahal saati itu Pak Haji Kasmin sedang jadi imam sholat. Darminto memutar motor RX Kingnya dan mengejar mereka. Darminto berhasil membekuk mereka sendiri, dengan bertarung tangan kosong melawan lima orang pencuri tersebut yang rupanya bukan warga desa kami. Sayangnya, Darminto belum berkesempatan untuk sholat Idul Fitri.

::ROMADHON KEEMPAT::

Luar biasa perubahan pada diri Darminto. Sholat lima kali sehari tak pernah lewat, puasanyapun tak bolong. Suatu kali dia bilang “Ben iso lancar sholat Ied ku nanti Jo haa… ” dia sudah hampir tertawa keras lagi tapi kuperingatkan kalo di Masjid ndak boleh bersuara keras, apalagi saat itu khutbah taraweh sedang berlangsung.

Saat sholat Ied, aku baru saja sampai di Masjid ketika suara motor RX King tuanya Darminto memekakkan telingaku. Aku lihat dia datang ke Masjid, sumringah, semua orang disapanya, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Namun begitu sampai di gerbang, dua orang mantan anak buahnya mencegatnya. Mereka ngomong serius sekali. Raut wajah Darminto berubah, tapi akhirnya dia memacu RX Kingnya, ngebut pergi. Darminto sekali lagi tak jadi sholat Ied.

Aku baru tau beberapa hari kemudian, kalo ternyata waktu itu ada mantan anak buah Darminto yang sedang bermasalah dikantor polisi. Darminto ndak bisa membiarkan anak buahnya begitu saja, darah preman bukan darah politikus yang bisa tidak perduli pada sesamanya. Darah preman adalah darah persaudaraan. Darminto mengusahakan segala cara agar anaknya buahnya bisa lepas, memang berhasil lepas pada akhirnya. Tapi kami sempat menonton anakbuahnya yang masih muda itu dihajar habis-habisan oleh Darminto sambil ngomong “Gara-gara kowe!!! Aku ra sido sholat Ied lagi, cuk!”

::ROMADHON KELIMA::

Kampung kami kedatangan serombongan orang yang memilih tinggal di Masjid. Awalnya kami merasa aneh dengan mereka, sebab dandanannya aneh. Berjubah putih-putih dan berjenggot panjang. Mereka ada sekitar tujuh orang. Tapi mereka rupanya orang baik, mereka meminta izin baik-baik pada Pak Dukuh, cara mereka bergaul dengan kami pun sangat ramah, lagipula mereka tidak berkeberatan untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan desa. Mereka sering mengajari kami cara berdzikir dan sholawat juga guna dan manfaatnya. Mereka juga mengajari kami agar setiap selesai sholat ada baiknya kita bersalam-salaman sambil bersholawat “Agar hubungan kita sebagai sesama manusia tetap terjalin dengan baik,” kata seorang yang paling dituakan diantara mereka itu. Jubah, surban, dan jenggotnya sama putihnya.

Darminto sendri sudah berubah jauh. Waktunya lebih sering di masjid, dan sesekali ‘mengajak’ para anak buahnya ikut sholat di Masjid. Kadang Darminto menjadi tontonan lucu buat orang kampung bila sedang menyeret-nyeret anak buahnya ke mesjid. Adalah sang tetua rombongan berjubah itu yang menasihati Darminto agar jangan terlalu keras bersikap pada anak-anak buahnya. Darminto sendiri hanya cengar-cengir.

Suatu hari, sepulang dari taraweh Darminto bercerita padaku, “Pokoknya sholat Ied kali ini gak boleh gagal aku Jo, anak buah ku dah tak jak ke Masjid kuabeh ben gak ada yang ngerepotin lagi hoahahahahahaaaa….,” suaranya masih memekakkan telinga.

Pada hari Idul Fitri, saat aku datang ke masjid, Darminto sudah berada di tengah-tengah jama’ah. Raut wajahnya khusyu’. Sambil menanti waktu sholat dia ikut bertakbir.

“Allaahu akbar… Allahu akbar Allahu akbar…. Laa ilaa ha illallahuallahu akbar… Allahu akbar walilla hil hamd….”

Sambil bertakbir tak henti-henti air mata bercucuran membasahi wajahnya yang sangar itu.

Saat selesai sholat Ied, bapak rombongan berjubah itu mengarahkan agar kami bersalaman satu sama lain sambil bersholawat pada Kanjeng Nabi. Berurutan membentuk baris, dari shaf paling belakang menuju depan. Kami semua pun bersalaman, Darminto semangat sekali. Setiap orang dijabatnya dengan erat, sambil bibirnya terus bersholawat

“Shollallahu alaa Muhammad… Shollallahu alaihi wasallim…”

Begitu sampai pada gilirannya menjabat tanganku, dipeluknya erat tubuhku, air matanya masih bercucuran, “Akhirnya aku sholat Ied juga Jo… alhamdulillah….”

Setelah semua selesai, Darminto masih saja menampakkan wajah sumringah. Begitu RX Kingnya selesai distarter dia langsung tancap gas sambil tertawa-tawa sendiri “hoahahahahahahaaaaaa……” Aku geleng-geleng kepala melihatnya.

Namun…

Begitu sampai di pertigaan, Darminto tidak melihat sebuah bus melaju kencang. Dia lupa kalau itu jalur antar provinsi, dia lupa (mungkin saking senangnya) untuk berhenti sejenak melihat kanan-kiri. Bus menghantam RX King itu dengan hebat! Brraakkk…!!!! Tubuh Darminto terpelanting beberapa meter, darah mengucur, bercipratan kemana-mana. Semua orang menjerit, bus sudah kabur. Aku buru-buru menghampiri tubuh Darminto. Namun saat aku sampai, Darminto sudah tak bernafas. Darminto tewas seketika, darah membasahi skujur tubuh dan wajahnya namun senyum masih menghiasi bibirnya.

_______________
Darminto, seorang preman kampung kami. Namun dia dipanggil kehadirat-Nya tepat ketika dia sudah menjabat tangan kami semua, setelah dia meminta maaf atas segala kesalahannya pada kami. Yang membuat kami heran adalah rombongan orang berjubah itu. Setelah selesai mengurusi proses pemakaman Darminto, bahkan saat sholat jenazah, pak tua pimpinan rombongan itu sendiri yang menjadi imamnya. Namun setelah semua itu selesai, mereka langsung pamit. Seolah mereka datang memang untuk menghantar almarhum Darminto.

Sampai sekarang kami masih tidak tahu, siapa mereka itu. Yang pasti kenangan tentang Darminto akan selalu hidup dihati kami. Apalagi setiap Idul Fitri.

Selamat jalan Darminto, semoga disana kau bebas tertawa sepuasmu.

Rabu, 22 Desember 2010

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Cinta Paripurna Pablo Neruda

Abdul Aziz Rasjid
http://www.suarakarya-online.com/

"Matilde: nama sebentuk tumbuhan, atau batuan, atau anggur,/ dari segala hal yang bermula di bumi, dan akhirnya: / kata yang di sana tumbuh fajar pertama yang membuka,/ yang di sana musim panas menyinari jeruk-jeruk yang rekah".

Begitulah cara Pablo Neruda memanggil, menghikmati serta memuja nama istrinya dalam sebuah soneta. Sebuah nama yang dicinta memang bisa menghasilkan kejutan yang menyentak, menggaungkan sejumlah makna yang sangup menggedor pikiran dan selanjutnya menantang hasrat penyair untuk menuangkannya dalam kejelian untuk melakukan perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat dalam bentuk puisi.

Matilde Urrutia adalah misal yang baik tentang kisah pesona sebuah nama. Dia adalah mantan seorang penyanyi Chili yang pernah dipekerjakan untuk merawat Pablo Neruda ketika terserang flebilitis pada lawatannya ke Meksiko pada akhir 1945 dan akhirnya menjadi istri dari penyair terpenting yang pernah dilahirkan sastra Amerika Latin abad ke-20 itu. Selanjutnya, nama Matilde mengawali madah cinta seratus soneta yang terkumpul dalam buku bertajuk Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta (2009) yang disulih oleh Tia Setiadi dari buku 100 Love Sonnets karya Pablo Neruda yang dalam versi asli berbahasa Spanyol berjudul Cien sonetos de Amor (1960).

Kiprah Matilde sebagai istri lantas menginspirasi sang maestro pemenang Nobel sastra 1971 itu untuk menghayati aktivitas serta memperhatikan detail-detail sehari-hari yang merujuk pada hubungan rumah tangganya, semisal ketika Matilde Urrutia memasak di dapur, mondar-mandir menyiram bunga-bunga mawar dan anyelir, atau ketika istrinya tengah menyiapkan spraei dan ranjang tidur dengan lagak-lagu tubuhnya yang anggun. Jadi tampak wajar, jika seratus soneta yang dideklarasikan sebagai fondamen cinta itu, dikatakan oleh Pablo Neruda sebagai soneta-soneta kayu yang lahir karena Matilde yang memberi kehidupan.

Apa yang tersirat dalam seratus soneta cinta ini, seakan-akan menggambarkan bahwa keagungan sudah terjelma begitu sempurna dalam diri Matilde, sehingga tak berlebihan memang jika Tia Setiadi sebagai penyulih sekaligus penulis esai pendamping yang bertajuk "Neruda dan Keabadian sebuah Ciuman" mengatakan bahwa bagi Pablo Neruda, jagad raya adalah mikrokosmos sementara Matilde Urrutia adalah makrokosmos.

Dalam soneta XVI, Pablo Neruda menulis: "Aku mencintai segenggam bumi yang tak lain adalah Engkau./ Sebab padang-padang rumputnya, meluas laksana planet,/ Aku tak punya bintang lain. Engkaulah tiruanku/ Atas semesta yang berlipat ganda

Esai pendamping yang ditulis oleh Tia Setiadi itu, memang patut dijadikan perhatian, sebab memuat pula ikhwal hayat dan karya Neruda yang dapat membuat pembaca menjadi akrab dengan sosok dan perjalanan kepenyairan Neruda. Sekaligus juga dapat difungsikan oleh pembaca untuk membantu upaya-upaya penafsiran. Semisal alenia berikut: "Puisi Neruda, lebih dekat ke nafiri kejujuran yang tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini, bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara yang berbinar-binar, bagiakan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah kepergian sekaligus kepulangan".

Melihat kembali pada pembacaan capaian perkembangan kepenyairan Pablo Neruda, Saut Situmorang dalam sebuah esai yang berjudul "Pablo Neruda dan Imperialisme Amerika Serikat" (2004) memaparkan bahwa secara umum keseluruhan corpus Pablo Neruda yang begitu ekstensif dan bervariasi selalu diklasifikasikan dalam empat perkembangan tematik besar: pertama, puisi cinta seperti yang terdapat pada Duapuluh Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa dan Sajak- sajak Kapten; kedua, puisi "Material" seperti kumpulan Berdiam di Bumi yang bercirikan kesunyian dan depresi yang membawa kepada pengalaman bawah sadar yang demonik: ketiga puisi epik seperti pada Canto General dan Epic Song yang merupakan semacam usaha reinterpretasi Marxian atas sejarah Amerika Latin dan perjuangan bangsa Amerika Latin melawan penindasan dan ketidakdilan: yang keempat adalah puisi yang berbicara tentang hal remeh temeh, binatang dan tanaman, seperti pada kumpulan Ode Elementer. Sedang Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta dapat digolongkan sebagai bagaian dari fase terakhir perkembangan gaya pengucapan Pablo Neruda yang beralih dari gaya surealis menjadi realisme sintaksis bahasa sehari-hari yang sederhana dan mudah untuk dimengerti.

Seratus soneta cinta dalam buku ini, terbagi dalam empat perbedaan waktu, yaitu: Pagi terdiri dari 32 soneta (I-XXXII), Senja terdiri dari 21 Soneta (XXXIII-LIII), Petang terdiri dari 25 soneta (LIV-LXXVII) dan Malam terdiri dari 22 Soneta (LXXIX-C).

Pembagian waktu ini, mengungkapkan bahwa hasrat dan rasa cinta Pablo Neruda pada Matilde adalah keabadian tak putus-putus yang sekaligus menjelaskan keberbagaian upaya untuk memperlihatkan pada pembaca tentang keteguhan cinta Neruda pada istrinya.

Hal yang dapat dicermati pada soneta-soneta lainnya, adalah tipikal Neruda yang selalu mengkaitkan soal dalam puisinya dengan keadaan sosial, dimana karena hal itu Pablo Neruda sering disebut sebagai "Penyair dari kemanusiaan yang diperbudak" (poet of enslaved humanity), dalam soneta "XXIX" hal ini paling kental terasaTTK "Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di selatan,/ dari lanskap-lanskap liar yang dingin dan berlindu/ yang menawarkan pada kita setelah dewa-dewa itu terjungkal/ ke dalam kematian hikmah hidup, yang terbentuk di lempung.// Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman/ dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,/ merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,/ tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat.// Gadis kecilku, jantung kemiskinan ada dalam dirimu,/ kakimu terbiasa mengasah batu-batu,/ mulutmu tak selalu punya roti, gula-gula.// Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula: / di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian/ dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku."

Merujuk pada konsepsi Erich Fromm, cinta Pablo Neruda yang dipersembahkan dalam aneka rupa seratus soneta pada istrinya itu, telah mewujud sebagai integritas, ketetapan untuk menjadi diri yang lebih matang, yang memaparkan sebuah usaha untuk menjadi pribadi yang aktif, sadar, dan berproses untuk terus "menjadi".

Maka, Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta tampil untuk merayakan cinta yang lebih menawarkan supaya kekurangan dan kelebihan mesti disyukuri lantas dimaknai sebagai modal utama eksistensi cinta, yang pada akhirnya eksistensi itu dengan bersetia mendekati eksistensi lain untuk saling meleburkan diri. Di situlah cinta yang sempurna menetap, dan kita mendapatkan contoh yang luar biasa dalam seratus soneta cinta Pablo Neruda. ***

* Abdul Aziz Rasjid Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto

Senin, 13 Desember 2010

Remy Sylado: Apresiasi Puisi Sekedar Basa Basi dan Puisi Sebagai Perkayaan Rohani

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Yapi Tambayong atau yang lebih kita kenal dengan nama pena Remy Sylado, seorang pemusik, pedrama, dan pelukis, juga seorang sastrawan yang karya-karya novelnya banyak terpajang di etalase-etalase toko buku ternama dan diminati banyak penyuka karya sastra mulai dari Kembang Jepun, Cau Bau Kan, dan yang paling muakhir adalah Diponegoro. Bahkan salah satu novelnya pernah difilmkan oleh seorang sutradara muda Indonesia dengan berbagai prestasi.

Saat ini Remy Sylado memilih menahbiskan diri sebagai Pesyair meskipun dengan berbagai bakat seni yang dia miliki yang dia anggap sebagai nugraha Ilahi. Kenapa demikian? Bagaimana dia mencermati keriuhan puisi saat ini yang semakin banyak diproduksi dan disyiarkan diberbagai média? Bagaimanakah proses kreatifitasnnya dalam mencipta puisi yang menjanjikan perkayaan rohani? Bagaimanakah pandangannya tentang apresiasi puisi dalam berbagai peristiwa budaya yang melibatkan puisi didalamnya?

Berikut ini adalah hasil wawancara saya, Zawawi (ZA) dengan Remy Sylado (RS) dalam sebuah imajinasi pertemuan yang tentunya bilakah dan dimanakah wawancara tersebut berlangsung tak perlu saya sebutkan dan rasanya memang tak begitu penting untuk diketahui.

Zawawi (ZA): Apa kabar Pak? Sehat?

Remy Sylado (RS): Puji syukur saya sehat-sehat saja meskipun Anda lihat sendiri rambut saya telah banyak yang memutih termakan usia ha..ha..

ZA: Begini Pak, yang saya dengar Anda sekarang pun memilih menahbiskan diri sebagai penyair dengan berbagai bakat dan keahlian serta “profesi” yang telah Anda geluti selama ini. Bila dikaitkan dengan kondisi saat ini dimana kemajuan teknologi telah mempermudah sebaran dan akses informasi. Banyak kita jumpai teks-teks puisi diproduksi, baik oleh para penyair ternama maupun penyair pemula atau bahkan meminjam istilah Hasan Aspahani (HAH) para awam puisi, bagaimana menurut Anda?

RS: Hasan Aspahani? Siapa dia? Oh ya, saya ingat, bukankah di Penyair juga, karyanya sering nongol di Kompas, Tempo, dan beberapa koran nasional lainya. Ya, ya, memang jalan menuju puncak puisi, jalan menjadi pesyair berpercaya tidaklah lempeng, banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih.

ZA: Jadi, maksud Anda dalam dunia kepenyairan juga ada semacam seleksi alam begitu ya. Kalau menurut Anda karya puisi yang baik itu kriterianya apa?

RS: Begini, ketika saya muda dan masih menuntut ilmu di perguruan tinggi teologi di Semarang, saya pernah bertanya kepada Prof. Dr. Bufford L. Nicholas, rektor seminari itu; kenapa film-film yang dibuat oleh bangsanya untuk tiap-tiap adegan penguburan selalu di bacakan ”The Lord is my shepherd”. Lalu beliau menjawab bahwa kandungan puisi itu berkasad menghibur orang yang ditinggal dan sekaligus memberi kepastian adanya harapan kehidupan baru bagi orang-orang yang percaya. Nah dari situ ada yang membingkai dalam pikiran saya sekarang yaitu puisi yang punya nafas panjang, yang dibaca secara tetap oleh khalayak, adalah puisi yang memberikan faedah penghiburan dan pengharapan kini dan hari esok.

ZA: Dengan kata lain karya puisi yang baik adalah karya yang abadi, bernafas panjang, dinikmati khalayak dari masa ke masa, dan memberikan faedah bagi pembacanya begitu ya?

RS: Ya, begitulah saya pikir dan topik itu pulalah yang mendasari atau sekurangnya mewarnai kemauan saya menulis puisi, karena saya yakin itu akan memberi faedah bagi banyak orang. Saya tertarik dengan pernyataan Sitor Situmorang bahwa kepengarangan, berikut tanggungjawab intelektualnya, ada kesejajaran dengan dan dapat dikiaskan sebagai kenabian.

ZA: Sebagaimana telah saya sampaikan diawal bahwa teks-teks puisi banyak diproduksi, berserakan di etalase-etalase toko, di koran-koran, di majalah-majalah, belum lagi yang ada di dunia cyber dan banyak juga disyiarkan di panggung-panggung dengan berbagai nama kegiatan, bagaimana Anda mencermati hal ini?

RS: Tidak diingkar, bahwa keramaian puisi diatas panggung itu baik juga. Tetapi selanjutnya dipertanyakan dapatkah keramaian itu menjamin adanya rasa kebutuhan – bukan lagi apresiasi, sebab apresiasi sering menjadi basa basi – bagi khalayak untuk mau membeli buku puisi, menyimpannya di antara buku-buku di rak koleksinya sebagai pelengkap ciri kehidupan berbudaya? Saya memang memuji usaha pementasan puisi dengan berbagai nama kegiatan baik lomba atau festifal sebagai peristiwa budaya, toh saya juga ingin berkata kurang yakin usaha itu serta merta dapat mendorong apresiasi menjadi kebutuhan pada puisi yang memperkaya rohani.

ZA: Maksud Anda?

RS: Ya, saya lebih yakin memperoleh perkayaan rohani bukan diperoleh dari peristiwa yang disaksikan diatas panggung, diantara sorak sorai orang banyak, tetapi justru lebih efektif diserap dalam sebuah ruang baca, dalam rumah, dalam konsentrasi pupil mata mengamati huruf dan pengertian yang terangkai pada kata-kata. Jadi menurut saya hubungan puisi dengan khalayak saat ini karuan lebih padan sebagai tontonan. Dan tontonan ini sebagaian besar dinimkati oleh usia remaja, dan barangkali belum mapan dengan suatu kerja tertentu.

ZA: Selama ini Anda dikenal sebagai sastrawan dengan karya-karya yang banyak diminati pecinta karya sastra, bahkan salah satu karya Anda diangkat ke dalam sebuah film, disamping sebagai pedrama, pemusik, dan pelukis. Sekarang Anda merambah ke dunia kepenyairan sebagai Penyair, bagaimana Anda memandang hal ini?

RS: Saya menahbiskan diri sebagai ”Pesyair” bukan Penyair. Saya menjadikan sebutan ini menjadi khas bagi diri saya. Maunya, jika orang lain Penyair, maka saya ”Pesyair”.

Ya, saya memilih menjadi Pesyair diluar menerima bakat saya yang lain seperti yang telah Anda sebutkan tadi. Saya meyakini bahwa hal tersebut sebagai bakat seni yang dianugerahkan Ilahi kepada diri saya. Saya sangat bersyukur atas anugerah tersebut.

ZA: Bagaimana maksud Anda dengan Puisi yang memberi perkayaan rohani sebagaimana yang telah Anda sebutkan diawal tadi?

RS: Begini, dengan kemampuan sebagai pesyair yang saya yakini sebagai nugraha Ilahi tadi, maka sudah seharusnya anugerah tersebut dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, maka pesyair harus menyadari kewajibannya untuk secara ikhlas bersyukur kepada penciptanya melalui hasil ciptaan yang memandangNya sebagai sumber kedayacipataan. Bersyukur berarti juga bersaksi akan kebesaranNya, kemahakasihanNya dengan kata-kata yang terencana; kata-kata yang lahir dari dorongan estetik menjadi ekspresi dorongan estetik.

Dengan kata lain, dalam bersaksi melalui kerja seni itu berarti pesyair membagi kata-kata atas perasaan dan penghayatan spiritualnya kepada manusia sesama, memberikan pengalaman-pengalaman spiritual itu sebagai pertimbangan atau pendorong kearah penemuan atau pembentukan suatu sikap spiritualitas, seraya berharap dari kerja itu sang maha pencipta berkenan menerima sebagai ibadahnya. Baru setelah itu maka puisi memperoleh arti maknawi akan pertanggungjawaban insani sebagai wujud perkayaan rohani.

ZA: Bagaimana Anda dalam proses berkreatifitas sehingga tercipta karya yang menjanjikan perkayaan rohani?

RS: Ketika saya menulis puisi, saya memanggil ilham itu, bukan menunggunya. Saya anggap ilham harus menjadi pengamatan yang tersimpan, dan yang sewaktu-waktu dapat dipangggil kembali untuk hadir: dari pelbagai pergumulan yang dipetik atas kehidupan sesungguhnya, atas kerinduan, dambaan, harapan, hari depan, atau dari kenyataan di sekitar kehidupan manusia pada lingkungannya. Berbagai pergumulan dari kenyataan itu lantas dibawa ke suatu tempat dalam kesadaran batin yang saya sebut ”sukma berdaya cipta”. Disitu pergumulan-pergumulan itu masuk menjadi semacam rengrengan, semacam sketsa dalam lukisan, dan diendap mengikuti proses pembentukannya, berlanjut pula seperti tahap membuat komposisi warna ideal dalam imajinasi lukisan, yaitu mengarah pada bentuk visual, sejauh bangunan itu sendiri sesungguhnya merupakan rangkaian kata-kata.

Begitu saya telah merasa mesti memindahkannya ke atas kerta, maka saya panggil ilham ini, atau saya panggil ingatan-ingatan yang telah tersimpan dalam sukma berdaya cipta tersebut, mengalir diatas kertas itu. Tak jarang ia mengalir dengan kejutan-kejutan, maksudnya dalam proses pembentukan itu, sering tercipta secara sekonyong kata-kata baru yang segera menyambung, menyisip, dan melengkapi rengrengan tersebut.

ZA: Bagaimana menurut Anda dalam proses kreatifitas oleh seorang Penyair dengan menggunakan obat-obatan atau sejenisnya untuk memacu keluarnya ilham?

RS: Dalam hubungan ini, saya merasa aneh, kendati tetap mencoba mengerti, bahwa ada penyair di Prancis, dari Charleville, Ardennes, yang harus dipacu untuk mendapat ilham dengan jalan mengisap ganja. Atau juga penyair Inggris dari Godalming, Surrey, yang memakai obat untuk memperoleh tingkat imajinasi yang unik bagi puisinya. Saya terkesan pada kata-kata Subaio Sastrowardoyo yang menyebut ini sebagai ”tanda ketaksabaran”. Saya malah terpikir menyebut itu suatu tindakan skeptisme, agnotisme, vrijdenker, ungodliness, ateisme. Diluar itu, sebaliknya saya bisa menghargai penyair di Bandung yang mesti menaruh dulu bunga dalam vas di jendela, supaya ia memperoleh ilham dengan melihat keindahan itu. Atau seorang penyair dari Yogya yang mesti kungkum dulu semalaman di Parangtritis supaya memperoleh ilham sejati bagi keindahan puisinya. Sebab, barangkali dengan cara itu, mereka mencoba mendekatkan visi pada misteri alam sebagai realitas adanya maha pencipta yang menguasainya, dan boleh jadi itu merupakan jalan ke sikap spiritual.

ZA: Apakah menurut Anda seorang Pesyair dituntut untuk memiliki moralitas-moralitas tertentu atas buah karyanya?

RS: Dengan terang ingin saya nyatakan disini bahwa sikap etik dalam menulis puisi, disandarkan pada kesiapan membuka nurani sebagai peradilan Ilahi. Bukankah pada dasarnya Tuhan adalah muasal masalah keindahan dan kepada-Nya pula perwujudan keindahan itu mesti diarahkan.

ZA: Wah Pak, kayaknya saya sudah menyita banyak waktu Anda. Pertanyaan terakhir saya, siapakah menurut Anda orang yang paling berpengaruh terhadap sastra Indonesia pada akhir abad 20 ini.

RS: Jika saya harus menyebut satu nama orang yang paling berpengaruh pikirannya dalam sastra Indonesia di dekade akhir abad ke 20, saya yakin itu adalah Goenawan Mohammad.

ZA: Baik Pak, terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan pikiran-pikiran yang mencerahkan bagi penggemar sastra di Indonesia khususnya dunia perpuisian.

RS: baik, sama-sama

Bacaan:
Puisi-Puisi Remy Sylado, Kerygma & Martyria, Remy Sylado, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Kekuasaan, Bahasa, dan Kebudayaan Jawa

Muhammad Qodari
http://majalah.tempointeraktif.com/

Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia
Penulis : Benedict R. O’G. Anderson
Penerjemah : Revianto Budi Santosa
Penerbit : Mata Bangsa, 2000, viii + 634 halaman

BENEDICT R. O’Gorman Anderson adalah murid yang lebih besar dari gurunya. Memang tidak jelas betul apakah Soemarsaid Moertono, penulis buku Negara dan Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, memang pernah mengajar Ben—nama panggilan Anderson—di tahun 1964, ketika Moertono menyelesaikan bukunya yang semula adalah tesis di Universitas Cornell. Yang pasti, Moertono memberi kredit kepada Ben muda, yang dalam ucapan terima kasih ia sebut “telah membaca, membaca ulang, memberi komentar, dan mengetik, dan mengetik ulang naskah tesis-nya” tersebut.

Dapat diperkirakan, selain kunjungan pertamanya ke Indonesia pada 1961-1964 yang ia rasakan “Indonesia saat itu pada dasarnya Jawa”, Ben Anderson mendapat wawasan dan ilham soal pengaruh budaya Jawa dalam politik Indonesia dari Moertono. Dan dia kemudian menulis The Idea of Power in Javanese Culture, sebuah tulisan yang disebut R. William Liddle sebagai karya paling orisinal dalam literatur politik Indonesia.

Di sini, bersama karya-karya lainnya, khususnya yang menyelami budaya Jawa dalam hubungannya dengan politik Indonesia, Ben menjadi lebih besar dari Moertono, Claire Holt, Prof. Poerbatjaraka, dan Pak Kodrat—orang-orang yang memperkenalkan kebudayaan Jawa, yang semula asing kepadanya.

Kini, bila membicarakan relasi kebudayaan Jawa dan politik Indonesia, nyaris setiap penulis dan pengamat politik Indonesia selalu menyitir namanya. Buku Ben berjudul Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, yang diterjemahkan dari Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, yang pertama kali terbit pada tahun 1990, dapat dikatakan berisi kumpulan karya-karya tulis Ben Anderson yang paling mencerminkan, sekaligus menyebabkan ia dikenal sebagai salah satu Indonesianis terbesar sampai saat ini.

Di luar karya-karya monumental seperti The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946 dan Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism, buku Kuasa-Kata mencirikan pendekatan khas budaya, yang membuat analisis sosial-politik Ben menjadi lain daripada yang lain.

Pendekatan budaya tersebut terlihat dari isi buku Kuasa-Kata ini. Dengan pengecualian Bab III, Negara Lama, Masyarakat Baru: Orde Baru Indonesia dalam Perbandingan Perspektif Kesejarahan, yang menurut Vedi R. Hadiz (1992) ditulis dengan pendekatan “struktural” non-Marxis ala Barrington Moore atau Theda Skocpol, hampir semua analisis Ben tentang dinamika politik di Indonesia, dari zaman kerajaan Jawa sampai Orde Baru, ditelusuri lewat bahasa dan penjelajahan artifak-artifak budaya lainnya, seperti babat, kartun, dan monumen nasional.

Secara keseluruhan, buku tebal ini terdiri dari delapan bab, ditambah satu bab pengantar panjang yang menceritakan “autobiografi intelektual” Ben semenjak ia masih menjadi mahasiswa sastra klasik di Universitas Cambridge, Inggris, sampai akhirnya menjadi seorang ahli politik tentang Indonesia.

Bagian pertama buku ini terdiri dari tiga esai tentang kekuasaan. Esei pertama, Gagasan tentang Kuasa dalam Budaya Jawa, menunjukkan “rasionalisme” atau lebih tepatnya “sistematika” kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa, yang kontras dengan “rasionalisme” konsep kekuasaan masyarakat Barat.

Konsep kekuasaan Jawa, dengan demikian, harus dipahami dengan cara yang berbeda dengan kita memahami kekuasaan melalui “lensa” Barat. Argumen lain tulisan ini, yang bertentangan dengan harapan orang saat itu bahwasanya kekuasaan Soeharto akan pragmatis dan rasional, adalah bahwa Soeharto sebetulnya mempraktekkan banyak konsepsi kekuasaan Jawa yang dipraktekkan oleh orang yang digulingkannya (Tak mengherankan, dalam terjemahan pertama naskah ini pada buku yang diedit Miriam Budiardjo pada tahun 1984, semua acuan yang menunjukkan kesinambungan ini disensor agar bisa terbit.)

Bagian kedua buku ini dipublikasikan pada tahun 1966, 1978, dan 1984, difokuskan pada relasi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dan politik. Esai pertama, Bahasa-Bahasa Politik Indonesia, juga merupakan tulisan yang tak kalah terkenalnya dengan Gagasan Kuasa. Sebab, ia menjadi tulisan pertama yang menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia modern dari sudut klasik.

Sementara dalam Gagasan Kuasa Ben membahas persistensi kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik kontemporer, dalam Bahasa Politik Ben membahas signifikansi politik dari pengaruh semacam proses “Jawanisasi” bahasa Indonesia, dalam arti yang psikologis.

Bahasa Indonesia yang revolusioner dan egaliter makin tergusur oleh proses Jawanisasi, yang membuatnya “lamban” dan hirarkis. Esai Kartun dan Monumen: Evolusi Komunikasi Politik di Bawah Orde Baru merupakan hasil pengamatan Ben terhadap direct speech dan symbolic speech. Kedua jenis speech itu memperlihatkan kelunturan semangat revolusi Indonesia, sekaligus tanda-tanda refeodalisasi dalam mentalitas masyarakat Indonesia.

Ilham tulisan ini sebetulnya dihasilkan Ben secara “tidak sengaja”. Akibat tulisannya bersama Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, pemerintah Orde Baru melarang Ben mewawancarai aktor politik Indonesia. Untuk mengisi waktu, Ben berjalan berkeliling Kota Jakarta, melihat-lihat monumen, membaca koran dan komik, dan menonton film, yang malah menjadi materi analisisnya.

Penggunaan serat, suluk, novel, biografi, dan teks lainnya ini pulalah yang dilakukan Ben pada esainya yang ketiga, Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Lewat penelusuran teks kuno dan kontemporer, Ben menunjukkan krisis kebudayaan Jawa dan kontradiksi yang membuncah di dalamnya.

Bagian ketiga dari Kuasa-Kata terdiri dari dua esai, yang oleh Ben disebut “eksperimental”. Keduanya mencoba menerangkan dan memahami perubahan besar dari alam kesadaran kaum intelektual Jawa, dari akhir abad ke-18 sampai dasawarsa pertama abad ke-20.

Esai pertama, yang Ben anggap sebagai karyanya yang paling berhasil dalam antologi ini, merupakan semacam “pembedahan” Ben terhadap biografi yang ditulis secara tidak biasa oleh tokoh pergerakan berkebangsaan Jawa terkemuka Indonesia, Dr. Soetomo. Ben menunjukkan “keterputusan”—dan karenanya tarik-menarik—antara diri Dr. Soetomo dan para leluhurnya dan antara semangat nasionalisme Indonesia dan akar ke-Jawa-annya.

Ben sangat kagum pada Dr. Soetomo, sosok yang menurut dia tidak hanya “lovely man”, tapi juga begitu altruistis kepada rakyat, orang-orang yang menjadi pengikutnya. Dalam esai kedua, sebuah artikel yang belum penah dipublikasikan sebelumnya, Ben melongok ke Serat Centhini dan Suluk Gatholoco, dua karya yang klasik karena keduanya—meminjam definisi Mark Twain—memenuhi kriteria “something that everybody wants to have read and nobody wants to read”.

Ben memperlakukan dua buku tembang tersebut bukan sebagai karya seni ataupun sebagai bukti peristiwa sejarah, melainkan sebagai “phantasmagoria”—imajinasi liar—yakni imaji-imaji politik sebelum istilah “politik” itu sendiri memasuki kosakata bahasa Jawa, dan fantasi tentang kelas sebelum kesadaran tentang kelas dikenal oleh masyarakat Jawa.

Menurut Ben, kedua naskah ini dengan demikian dapat dipahami sebagai cara “subversi” sekelompok intelektual Jawa abad ke-19 untuk merespons keruntuhan kepemimpinan oligarkis Jawa dan penyerahan tuntas Pulau Jawa kepada penguasa kolonial.

Karena analisisnya yang kerap keluar dari—bahkan menantang—konvensi yang umum, Ben Anderson tak jarang menuai kritik ilmuwan lain. Kritik pada level teoretis, misalnya, dilontarkan oleh Koentjaraningrat (1984), yang menolak konsepsi kekuasaan Jawa sebagaimana disimpulkan oleh Ben.

Bila diringkas, Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, pertama-tama menolak penggunaan bahan cerita, upacara, dan ujaran orang Jawa untuk menyimpulkan konsepsi kekuasaan Jawa yang sesungguhnya. Dalam kalimat Koentjaraningrat, “Anderson tidak cukup mengenal orang Jawa apabila ia mengira bahwa mereka juga menganggap apa yang ada dalam cerita-cerita itu merupakan realitas.”

Koentjaraningrat secara tidak langsung juga menyanggah kesimpulan partikularitas konsep kekuasaan Jawa dengan menguraikan komponen kekuasaan serta syarat-syarat kepemimpinan dalam tiga kerangka komparatif: masyarakat kecil dan sedang, masyarakat tradisional, dan masyarakat masa kini.

Koentjaraningrat juga mengkritik penekanan Ben, yang terlalu besar pada satu komponen kekuasaan Jawa: “kesaktian”. Kritik yang lebih praktis terletak pada implikasi gagasan “konsep kekuasaan Jawa”, yang seperti diargumentasikan Ben harus dipahami berbeda dengan konsep yang dipahami masyarakat Barat.

Ben, yang sesungguhnya berwatak revolusioner dan anti-status quo, dengan gagasannya itu secara tidak diinginkan terjebak dalam “pembelaan” terhadap rezim Orde Baru, yang dianggap banyak memiliki paralelisme dengan kerajaan-kerajaan Jawa Kuno.

Partikularisme konsep kekuasaan Jawa yang diterapkan Soeharto menjadi tameng untuk menangkis kritik-kritik politik yang dilontarkan, terutama oleh pihak luar, yang dinilai oleh pemerintah Orde Baru sebagai terkontaminasi budaya Barat.

Ben Anderson, yang semenjak 1972 selama 26 tahun dilarang rezim Orde Baru berkunjung ke Indonesia, secara paradoks “membela” musuhnya itu. Kritik berikutnya ditujukan bukan pada Ben Anderson, melainkan pada penerjemahan buku ini.

Menurut saya, hasil terjemahannya termasuk lumayan, tapi masih jauh dari elastis. Bandingkan terjemahan bab The Idea of Power in Javanese Culture di buku ini dengan terjemahan Samekto dan A. Rahman Zainuddin dalam buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, yang diedit Miriam Budiardjo. Terjemahan Samekto dan Rahman Zainuddin lebih enak dibaca.

Pembaca berkemampuan bahasa Inggris memadai akan lebih cepat memahami maksud kalimat Ben lewat teks bahasa aslinya (bandingkan dengan kita menonton film dengan subtitling yang bagus—maksud yang juga ingin dicapai dengan proyek penerjemahan buku).

Terlepas dari kesulitan mengalihbahasakan teks-teks Ben yang prosais, terjemahan buku ini terasa alot di kerongkongan. Memang, inilah problem umum yang menjadi kerikil (besar?) di tengah naiknya gairah penerjemahan dan penerbitan buku akhir-akhir ini.

Mochtar Lubis 80 Tahun

H. Rosihan Anwar
http://www.gatra.com/15 Maret 2002

WARTAWAN Mochtar Lubis merayakan hari ulang tahun ke-80 di auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, 9 Maret 2002. Selama acara dua jam, saya duduk di sampingnya. Secara fisik, Mochtar Lubis (ML) oke, memang agak kurus dan wajahnya menua. Kalau bicara, suaranya kurang jelas. Dia ketawa-ketawa kecil, tanda dia mengikuti dan memahami sambutan 10 pembicara, dari Jakob Oetama hingga Taufik Abdullah. Tahu-tahu, tangannya mengusut-usut punggung saya sebagai ekspresi kemesraan dan persahabatan. Kadang-kadang pandangannya sayu, memperlihatkan suatu kehampaan, sepertinya dia sendirian terkurung dalam dirinya. Sejak istrinya tercinta Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001, Mochtar kesepian. Teman setia yang biasa dia ajak bicara tidak ada lagi. ML jadi pelupa. Penampilan fisiknya sehat saja, tapi kondisi batinnya mulai mundur. Melihat itu, lidah saya kelu. Saya terharu, tak tahu ngomong apa, padahal biasanya saya orang yang bicara bijak.

Dalam acara, saya memberikan doa sahabat seperjalanan. Saya katakan, mencapai umur 80 tahun adalah karunia, anugerah Ilahi tanda belas kasih. Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman, “Apabila hamba-Ku telah mencapai umur 80 tahun, maka dicatat semua amal kebajikannya dan dihapus semua dosa-dosanya sebagai suatu pemutihan.” Mochtar Lubis adalah wartawan, sastrawan, budayawan, dalam satu kemasan, yang tiada taranya, tersohor sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Indonesia Raya, tercatat sebagai “the crusading journalist”.

Tentu kita bisa bicara banyak tentang perjuangan ML di masa silam, tapi saya memilih memandang ke depan. Diilhami oleh ucapan Bung Karno, kita boleh bilang, “For a fighting journalist there’s no journey’s end”, namun menurut kodrat Ilahi dan hukum alami, perjalanan pasti akan terhenti. Siapa takut? ML dahulu tidak takut pada siapa pun, tapi kini dia takut pada Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Seorang sufi perempuan di Baghdad beberapa abad yang lalu berucap, “Ra’sul Hikmah makhafatullah.” Kearifan yang setinggi-tingginya adalah takut kepada Allah. Pada usia 80 tahun, setelah melalui kebahagiaan dan kedukaan, sampai pada keadaannya seperti sekarang, Mochtar niscaya telah memiliki kearifan. Kita berharap, dia akan menempuh sisa kehidupannya dengan aman sentosa, diberkati Allah Ta’ala. Sebagai sahabat seperjalanan yang sebaya, saya doakan bagi Mochtar dalam langkah-langkahnya selanjutnya: Zahab fi amanillah, berjalanlah dalam keamanan Allah, Go with God, Vaya Con Dios.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ayahnya pegawai pangreh praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci. Demang Pandapotan itu digantikan oleh ayah saya, Demang Anwar Maharadja Soetan. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, ML melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi di Kayutanam yang dipimpin S.M. Latif. Seperti sekolah INS di bawah pimpinan Mohammad Sjafei yang juga ada di Kayutanam adalah sekolah partikelir, bukan sekolah gubernemen (pemerintah), sekolah ekonomi yang sederajat dengan SMP mampu menghasilkan pelajar-pelajar yang berjiwa mandiri. Pendidikan formal ML tidak sampai pada taraf AMS atau HBS, namun hal itu tidak mencegahnya menjadi guru sekolah sebentar di Pulau Nias, sebelum pergi ke Jakarta. Pembentukan intelektual ML terutama hasil belajar sendiri. Ia rajin membaca buku. Seorang otodidak sepanjang hayatnya.

ROSIHAN ANWAR Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang, dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, ML menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.

Baru setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali, ML bergabung dengan Antara di mana dia, karena paham bahasa Inggris secara aktif, jadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ML bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru, maka lahirlah harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, ML pergi meliput pertempuran di Korea Selatan dan ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya “personal journalism”, maka ML adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 yang kemudian berupa tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, ML membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut “affair”.

Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba “serem”. Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman yang saya pimpin berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono.

Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.

MOCHTAR LUBIS Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya –kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama– marah-marah terhadap ML dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan saya diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai “sesuatu pemberitaan”. Kami diminta untuk stand by terus, namun tidak kami indahkan.

Keesokan harinya, Mochtar dan saya serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan kami berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian kami kembali dan di bandara diberitahu, kami tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Saya memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ML dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, ML juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.

Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, ML melancarkan “perang salibnya” terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. ML memang menjadi “hero” di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ML ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. “Hero-complex”-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya.

MOCHTAR LUBIS Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. ML sendiri ditahan selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak, seusai ambruknya Orde Lama Soekarno dan timbulnya Orde Baru Soeharto, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas ML ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada dasarnya HUT ke-80 Mochtar Lubis, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar “person of character”, insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka “person of character” itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak “person of character”. Maka, dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI.

H. Rosihan Anwar, Wartawan senior
[Kolom Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, Beredar 11 Maret 2002]

KORELASI SOSIOLOGI DENGAN BUDAYA

CORELATION BETWEEN SOCIOLOGY AND CULTURE’
Janual Aidi
http://sastra-indonesia.com/

(063 80 102) VI. C
“Apa yang terjadi apabila masa kini adalah dunia tadi malam?”
(John Donne, Devotions upon Energent Occasions)

Jika berbicara mengenai ‘sosiologi’ dan ‘budaya’, maka dua ranah kajian ini seperti mata uang logam yang tak bisa di pisahkan. Untuk mengetahui korelasi kedua kajian ini maka ada baiknya jikalau kita kembali menukil definisi dari kedua kajian ini. Sosiologi yang dikenal pada abad ke-19 dengan nama yang berasal dari Auguste Comte (1798-1857) jika dilihat dari segi etimologinya yakni, sosiologi (Latin: socius yang berarti kawan, social yang berarti berteman, berkawan, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Atau definisi lain sosiologi yang saya (penulis) pernah dengar dari salah seorang dosen STKIP yakni Bapak Nurun Sholeh, M. Hum yang mengatakan bahwa “sosiologi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji masalah (tentu yang ada dalam tubuh masyarakat) supaya bagaimana kemudian masalah tersebut dapat terselesaikan atau ditemukan problem solving-nya”. (wawancara saat tes ujian masuk STKIP, Mei 2006). Atau definisi konvensional sosiologi yang secara implisit dibuka dalam berbagai buku teks seperti dalam bukunya Anthony Giddens yaitu Konsekuensi-konsekuensi Modernitas (The Consquences of Modernity ) bahwa “sosiologi adalah studi tentang masyarakat manusia”. Jelasnya, sosiologi mempelajari segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat yang menitik beratkan pada nalar-nalar sosial, termasuk juga budaya. Sedangkan budaya adalah konsep ide yang melandasi perilaku seseorang, kelompok ataupun sosial. Jadi, ‘budaya’ memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi masyarakat.

Mempelajari sosiologi sesungguhnya mempelajari budaya, dan sebaliknya mempelajari budaya sesungguhnya juga mempelajari sosiologi. Budaya lahir dari ide masyarakat yang kemudian dimanifestasikan lewat wujud-wujud budaya. Lalu, manifestasi budaya tersebut mempengaruhi masyarakat sehingga muncullah ‘konsep’ tatanan sosial seperti perangkat aturan-aturan sosial, nilai-nilai sosial, tradisi masyarakat, peradaban dan yang lainnya. Nah, konsep dan perangkat sosial yang telah terbentuk tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai acuan oleh masyrakat dalam menjalani kehidupan.

Kajian sosiologi memasuki ranah kajian budaya dan kajian budaya merasuki ranah sosiologi. Gambaran kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan ‘fhoto copy’ karakteristik masyarakat tersebut. Dalam kebudayaannya tersebutlah tertuang nilai dan norma. Maka, oleh sebagian budayawan mengatakan bahwa jalan pintas untuk mengetahui atau mempelajari suatu masyarakat cukuplah menggaulinya lewat kebudayaan yang dimiliki. Misalnya, John Ryan Bartholomew dalam bukunya yang berjudul Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, yang mengkaji tentang budaya suku Sasak (kawin lari-pen). Pada akhirnya John Ryan menemukan karakteristik sosial masyakat Sasak yang erat dengan ‘budaya maling’. Lalu, konon terkuaklah psikologi masyarakat Sasak yang dikenal memiliki ‘maling-maling’ yang handal. Proses ‘pengkayaan diri’ pun dengan berprofesi sebagai ‘maling’. Dalam karangan Edi Sedyawati mengenai Islam Wetu Telu dan Wetu Lima di Lombok pun memberitahukan akulturasi nilai-nilai agama yang di anut masyarakat Lombok dengan tradisi-tradisi kebudayaan. Melihat perbedaan ‘Islam Wetu Telu’ dan ‘Islam Wetu Lima’, oleh sebagian kalangan juga mengidentifikasikan dan menafsirkan bahwa masyarakat Sasak doyan dengan perbedaan dan konflik.

Nah, dari ulasan di atas menandakan korelasi yang sangat jelas dan kuat antara ‘sosiologi’ yang mengkaji tentang masyarakat dengan ‘budaya’. Setiap masyarakat memiliki budaya dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan budaya, karena sesungguhnya masyarakat adalah ‘mahluk berbudaya’. Dalam masyarakat kita kenal istilah budaya klasik, budaya pop atau budaya yang lainnya. Ini pula memberi pemahaman pada kita bahwa sejarah manusia adalah sejarah budaya. Adapaun adjusment terhadap bagusnya suatu budaya, jeleknya suatu budaya, unik dan eloknya suatu budaya merupakan bangunan dari kekuatan budaya yang dibentuk oleh masyarakat sendiri.

Ulasan di atas cukuplah memberitahukan kita tentang ‘the power of corelation between sociology and culture’. Namun penulis ingin menambahkan sedikit argumentasi kajian kontemporer korelasi antar keduanya bahwa kini masyarakat terlihat kembali pada budaya ataupun peradaban lama. Ini tertuang juga dalam pikiran serang tokoh yang bernama Paul Ricoeur, “Civilisations and National Culture” dalam History and Truth. Ia mengatakan: “Ketika kita mendapati bahwa ada beberapa kebudayaan, bukan hanya satu dari itu-itu saja, pada saat kita mengetahui akhir dari monopoli budaya itu, baik dia ilusi atau nyata, kita terancam oleh kehancuran temuan kita sendiri. Tiba-tiba ada kemungkinan bahwa ada yang lain, dan bahwa kita sendiri adalah ’yang lain’ diantara uang lain itu. Setelah semua makna dan setiap tujuan musnah ada kemungkinan untuk menjelajahi peradaban seolah-oleh dilakukan dengan melewati jejak dan reruntuhan. Selutuh umat manusia menjadi museum imajiner: kemana kita pergi diakhir pekan ini-mengunjungi reruntuhan Angkor atau berjalan-jalan santai Tivoli Copenhagen?

Intelektual, Pencerahan, dan Keadilan

Ruslani
http://suaramerdeka.com/

ADA berita menggembirakan di antara berita-berita tidak sedap tentang para pejabat dan anggota parlemen kita. Apakah itu? Salah seorang putra terbaik Indonesia, Anies Rasyid Baswedan, masuk dalam daftar ”100 Tokoh Intelektual Dunia” versi majalah Foreign Policy edisi April 2008.

Anies Baswedan merupakan satu-satunya tokoh Indonesia yang namanya bersanding bersama para tokoh intelektual dunia semisal Yusuf Qardhawi, Muhammad Yunus, Samuel Huntington, Gary Kasparov, Naom Chomsky, dan Francis Fukuyama.

Mereka dianggap Foreign Policy sebagai ”pemikir-pemikir yang mempertajam kualitas zaman ini”. Pemikiran introspektif mereka mampu memberi sumbangan penting bagi pencerahan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang masing-masing. Dalam konteks zaman terkini, kaum intelektual telah menjadi salah satu aktor utama yang berperan penting dalam memengaruhi perilaku sosial, politik, budaya, bahkan ekonomi masyarakat modern.

Lewat ilmu pengetahuan yang dimiliki, kaum intelektual berusaha menata dunia serapi dan seteratur mungkin dalam laci-laci kategori. Hasrat inilah yang mendorong ilmu pengetahuan terus memperbaiki diri, mempertajam klasifikasi-klasifikasi yang sudah ada.

Dari aturan inilah muncul kategori-kategori sains mengenai baik dan buruk, aman dan berbahaya, superior dan inferior, bahkan juga boleh dan tidak boleh. Dalam konteks ini, sains tak hanya berkutat pada masalah logis-ilmiah, tetapi juga sudah memasuki wilayah etika dan tatanan sosial.

Ihwal Intelektual

Julien Benda dalam bukunya La Trahison de Clercs (1975), menggambarkan kaum intelektual dalam sosok yang sangat ideal. Yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, melainkan mencari kebahagiaan dalam mengolah seni, ilmu, maupun renungan metafisik. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, dan ahli metafisika yang mendapat kepuasan dalam penerapan ilmu pengetahuan, bukan dalam penyerapan hasil-hasilnya.

Pandangan Benda mengenai kaum intelektual itu merupakan elaborasi dari kondisi kaum intelektual ideal masa lalu, seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltaire, dan Montesquieu.

Kaum intelektual adalah para moralis yang kegiatan utamanya melakukan perlawanan terhadap realisme massa, yaitu kecenderungan awam untuk menuruti kehendak-kehendak pribadi yang bersifat sesaat. Berkat kaum intelektual inilah, menurut Benda, meski selama 2.000 tahun umat manusia berbuat jahat, tapi mereka tetap menghormati yang baik.

Berbeda dengan Benda, Antonio Gramsci memiliki gambaran lebih realistik mengenai kaum intelektual. Dalam bukunya, Selections from Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ”semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”.

Lebih jauh, Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional, seperti guru, ulama, dan administrator. Mereka secara terus-menerus melakukan hal yang sama, dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional.

Intelektual jenis kedua ini adalah mereka yang begitu saja menyuarakan kepentingan sebuah kelas atau gerakan ideologis. Mereka seringkali bukan merupakan intelektual murni, tidak bebas dari pamrih, bahkan bersedia menjual keterampilan mereka kepada yang mau membayar. Mereka tidak integrated.

Sementara Edward W Said dalam Representations of Intellectual (1995) mendefinisikan bahwa kaum intelektual adalah ”pencipta sebuah bahasa yang mengatakan kebenaran kepada penguasa”. Ya, seorang intelektual harus mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak sesuai dengan kuasa-kuasa yang ada.

intelektual lebih cenderung ke oposisi daripada akomodasi. ”Dosa” paling besar bagi seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar dan tidak mengatakannya. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa. Ia hanya bersedia mengabdi kepada kebenaran, keadilan, dan hati nurani.

Intelektual merupakan individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik. Ketika mengartikulasikan bakat itu, intelektual selalu bermotivasi untuk menggugah kesadaran kritis orang lain.

Dengan demikian, orang lain menjadi berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta tak gampang dikooptasi pemerintah atau korporasi. Intelektual adalah seseorang yang mempunyai bakat mengkomunikasikan ide emansipatoris dan mencerahkan.

Intelektual dan UN

Sayangnya, berita tentang Anies Baswedan yang masuk daftar ”100 Tokoh Intelektual Dunia” itu datang hampir bersamaan dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang sarat dengan nuansa pembodohan dan ketidakjujuran. Para pendidik dan siswa dipaksa untuk mengikuti kebijakan sentralistik di tengah iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, otonomi, dan tanggung jawab individu.

Banyak siswa yang depresi menjelang UN. Banyak kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan UN, mulai dari kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban via SMS, hingga jual-beli salinan soal dan kunci jawaban. Namun Pemerintah lewat Mendiknas Bambang Sudibyo tetap keukeuh dan menganggap UN tahun ini jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Karenanya, salah satu tugas berat kaum intelekual saat ini adalah berbicara kebenaran kepada penguasa. Seperti dikatakan Naom Chomsky dalam Language and Politics (1988), salah satu tugas terpenting intelektual adalah ”mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai dengan penyebab, motif, serta maksud-maksud yang tersembunyi di balik tindakan-tindakan itu”.

Intelektual tidak boleh netral atau bebas nilai. Mereka harus berpihak, yaitu kepada kelompok lemah yang tak terwakili, kepada rakyat kecil yang sering menjadi korban kekuasaan korup dan tidak adil. Intelektual harus peka terhadap nasib mereka yang tertindas, serta menempatkan diri sejajar dengan kaum lemah yang tersisihkan dan tak terwakili.

Untuk itu, kaum intelektual harus siap menghadapi risiko apa pun, termasuk berseberangan dengan kekuasaan. Sebab yang dibutuhkan intelektual dalam memerangi realitas yang menindas bukanlah sikap akomodatif terhadap kekuasaan, melainkan oposisi.

Dalam hal ini, Sartre mengingatkan kita akan tanggung jawab intelektual dengan menggunakan idiom kepenulisan dan sastra. Dalam What is Literature? (1947), Sartre menyatakan intelektual-penulis dalam setiap karyanya harus mengusulkan pembebasan konkret berdasarkan situasi tertentu. Sastra bisa menjadi alat ampuh untuk membebaskan pembaca dari alienasi yang berkembang pada situasi tertentu.

Kehidupan kaum intelektual pada hakikatnya terkait dengan pengetahuan dan kebebasan. Pertanyaan dasar yang diajukan seorang intelektual adalah, bagaimana orang mengatakan kebenaran? Kebenaran apa? Bagi siapa dan di mana?

Karenanya, intelektual tidak bisa menjadi milik siapa-siapa. Dan karena itu, dia sering dianggap berbahaya oleh kekuasaan yang korup dan menindas. Karena keterlibatannya kepada kebenaran, seorang intelektual justru tidak dapat dan tidak boleh menjual diri pada pihak mana pun.

Kaum intelektual harus berpihak pada kebenaran dan keadilan. Itu berarti mereka harus membela nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan bagi siapa saja dan di mana saja, tanpa harus membedakan unsur suku, agama, ras, partai, maupun golongan.

*) Ruslani, direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab), tinggal di Yogyakarta.

POLITIK DALAM NOVEL

HARIMAU! HARIMAU! novel Mochtar Lubis
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1977
Cetakan: Kedua
Gambar Jilid: Popo Iskandar
Tebal : 215 halaman
Peresensi : Abdul Hadi W.M.
http://majalah.tempointeraktif.com/

NOVEL ini termasuk paling banyak dibicarakan di sekitar tahun penerbitan pertamanya (1975) dan mendapatkan pujian, selain beberapa keberatan. Bahkan Yayasan Buku Utama memberikan hadiah pada pengarangnya setelah Harimau! Harimau! terpilih sebagai buku terbaik 1975.

Salah satu keberatan misalnya dikemukakan oleh Jacob Sumardjo. Dikatakannya Mochtar Lubis telah membawa masalah dan tema orang kota, dalam hal ini politik, ke dalam novel yang menggunakan setting rimba raya atau pelosok. Sehingga, katanya, kesan bahwa sastra berkiblat ke kota semata-mata semakin jelas.

Sayang, Jakob Sumardjo lupa akan sifat simbolik yang dipancarkan oleh novel ini. Dunia sastra tidak harus identik dengan dunia nyata. Meskipun sebuah novel mengambil setting dan pelaku orang pelosok tak ada salahnya si pengarang menghidupkan novelnya dengan masalah orang kota.

Novel Mochtar Lubis ini memang novel politik. Sumbernya ditimba dari pengalaman dan kejadian politik terakhir di Indonesia. Namun demikian ia tidak jatuh pada propaganda. Masalah politik digarap dan ditelaah secara halus oleh Mochtar Lubis. Dikembangkan dengan imajinasi dan fantasinya menjadi dunia sastra. Sehingga menimbulkan berbagai tafsir tentang kecenderungan-kecenderungan manusia sebagai mahluk politik dan reaksi serta response-nya dalam situasi yang terjepit.

Mochtar Lubis mengisahkan bagaimana manusia itu berusaha survive di tengah-tengah bahaya tirani, kezaliman dan kesewenang-wenangan. Selain tema anti-kesewenang-wenangan, beberapa tema lain yang berkaitan dengan tingkah laku kekuasaan dan politik di Indonesia yang mendasari novel ini juga ada tahyul atau klenik, pengkultusan individu.

Mochtar Lubis percaya pada kekuatan manusia dan ia bertanggungjawab atas perbuatannya. Manusia harus berjuang untuk memenuhi tuntutannya, kalau perlu dengan kekerasan dan tidak tinggal diam terhadap kezaliman yang merajalela di sekitarnya.

Tulis Mochtar “Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain. . . besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang.” (hal. 214).

Harimau! Harimau! menceritakan tujuh pencari damar. Mereka berbeda dalam umur, sifat dan watak. Berbeda pengalaman, kecakapan dan latar belakang pembentukan pribadinya. Juga berbeda dalam ambisi dan cita-cita hidupnya. Tapi oleh nasib dan profesi yang sama akhirnya mereka bertemu dan membentuk suatu keluarga bersama di tengah rimba raya.

Persamaan kepentingan jelas menjadi motif mula-mula bagi utuhnya persatuan dan persahabatan mereka. Tapi dalam situasi terjepit, ketika sepulang mencari damar mereka dihadapkan pada bahaya harimau lapar, hal-hal yang semula tak tampak kini tampaklah.

Pengarang menampilkan tokoh Wak Katok sebagai manusia yang sewenang-wenang, ingin berkuasa sendiri dan semua usaha dilihat hanya dari kacamata kepentingannya sendiri. Begitulah ketika tiga orang kawannya telah mampus diterkam harimau, dia dilanda ketakutan dan hanya menginginkan dirinya selamat, dengan harapan: orang kampung nanti menyebut dia pahlawan, satu-satunya orang yang sakti.

Lebih-lebih karena dia mempunyai dan memegang senapan di antara rombongan tujuh itu, meskipun yang berhasil ditembak bukan harimau lapar yang membahayakan, tapi Pak Haji kawan seperjuangannya sendiri yang jujur dan tak punya pretensi apa-apa di antara mereka bertujuh.

Di bagian akhir dari novel yang mencekam itu, Mochtar Lubis menampilkan Buyung dan Sanip, yang termuda di antara mereka, sebagai tokoh pejuang yang murni dan berhasil merebut senapan dari tangan Wak Katok serta membunuh harimau yang mau menerkam mereka untuk kesekian kalinya.

Di bagian akhir novel inilah ketegangan dan konflik memuncak dan bersamaan dengan itu masalah politik yang hendak ditampilkan Mochtar semakin terasa menonjol. Tentang Wak Katok, profil politikus yang hanya ingin mengambil keuntungan dari hasil perjuangan orang lain / kawan-kawannya dan kalau perlu melemparkan kawan seperjuangannya yang dianggap berbahaya bagi kepentingan kekuasaannya.

Mochtar Lubis menulis “Dahulu ketika berontak dia selalu berlindung di belakang kawankaannya. Dan jika keadaan telah mereka kuasai, maka dialah yang mulai membunuh, merampok atau memperkosa.” (hal 152).

Pelukisan Mochtar Lubis mengenai setting, kejadian, perwatakan tokoh dan pembatinannya memukau, meskipun dia belum lepas dari gaya penulisan jurnalistiknya, yang lebih bersifat terus terang, sehingga bahasa masih kelihatan kasar.

Seperti novel Mochtar yang lain, novel ini belum lepas dari sifat yang terlalu mengajar, terutama di bagian akhir. Suatu bagian yang dimaksudkan sebagai bagian yang berisi uneg-uneg dan kritik Mochtar terhadap pola kekuasaan di negerinya selama ini, serta harapan dan cita-cita kemanusiaannya melawan praktek politik yang kotor.

Harimau! Harimau! jelas merupakan novel Mochtar Lubis yang terbaik, di samping Jalan Tak Ada Ujung. Masalah yang dikemukakan begitu aktuil dan menarik. Dibandingkan dengan Senja di Jakarta dan Maut dan Cinta-nya, meskipun sama-sama novel politik, Harimau! Harimau! mempunyai banyak kelebihan.

Bukan dalam plot, tema, penokohan dan perwatakan, tapi dalam pendalaman dan penyajian masalah dan gaya berceriteranya.

Di sana Mochtar tidak terlalu banyak mengajar pembacanya dengan menjejalkan buah pikiran dalam dialog tokoh-tokohnya, tapi lebih-lebih melukiskan persoalan dengan perbuatan tokoh dalam kerangka suatu situasi.

25 Maret 1978

Kebudayaan dan Kebangsaan

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Ignas Kleden
http://nasional.kompas.com/

Ketika kesadaran kebangsaan dicetuskan di Indonesia pada awal abad ke-20, wacana politik berlangsung di atas atau di luar kebudayaan. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin pada waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics (politik identitas). Seluruh rakyat dikerahkan untuk bersatu padu dan seakan harus ”melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.

Berlainan dengan nasionalisme di Barat yang berkembang dari kesadaran kebudayaan (berdasarkan Blut und Boden, darah dan tanah), nasionalisme Indonesia yang datang bagaikan puting beliung dari negeri-negeri yang jauh, diharap menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan oleh penjajah asing. Nasionalisme Indonesia datang dengan watak suprakultural.

Mohammad Yamin dan Roestam Effendi bolehlah dianggap sebagai penyair modern awal dalam sastra Indonesia Baru yang paling nasionalis. Keduanya berusaha menyanyikan Tanah Air dan kemerdekaan dalam sajak-sajak mereka, sudah pada awal tahun 1930-an, tetapi dengan menumpang metafora-metafora yang serba halus dan romantis, yang tak akan segera mengingatkan pembaca pada hasrat kemerdekaan.

Yamin merindukan tanah airnya, tetapi itu seakan rindu seorang muda remaja untuk pulang kampung ke Sumatera dan Bukit Barisan meskipun pada akhir sebuah sajak keluar juga pemberontakan itu: ”Aduhai diriku sepantun burung/Mata lepas badan terkurung” (sajak ”Sungguhkah?”). Roestam Effendi melukiskan hasrat kemerdekaan dalam perjuangan cinta antara Bujangga dan gadis idamannya, Bebasari, yang berkata kepada kekasihnya: ”Akh untungku putung/Bilakan lepas dari dikurung”. Bujangga dan Bebasari tentulah variasi yang dibuat dari kata bujang dan bebas.

Memang ada berbagai gerakan pemuda yang terhimpun dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, atau Jong Ambon, tetapi jelas itu bukanlah perhimpunan etnis untuk gerakan kebudayaan, melainkan komponen dari suatu gerakan besar nasionalis di kalangan pemuda di seantero negeri. Di kalangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, tetapi itu bukanlah pendidikan berasaskan kebudayaan Jawa, melainkan berdasarkan kepercayaan diri seorang nasionalis, yang enggan bahwa pendidikan dijadikan alat kolonial. Di Sumatera, MS Latif mendirikan INS Kayutanam sebagai alternatif terhadap pendidikan kolonial, tetapi asasnya bukanlah kebudayaan Melayu, tetapi kemandirian orang merdeka.

Di kalangan pemikir kebudayaan, S Takdir Alisjahbana mengumumkan penolakannya secara kategoris terhadap semua kebudayaan tradisional sebagai dasar masyarakat baru yang akan merdeka. Kembali ke kebudayaan tradisional adalah identik dengan kembali ke masa pra-Indonesia, yang akan membawa pertentangan etnis yang tak habis-habisnya di antara berbagai kelompok budaya.

Usulnya untuk mengambil kebudayaan Barat sebagai model kebudayaan baru di Indonesia mendapat banyak pertentangan, tetapi sangat dapat dipahami sebagai bagian dari gerakan nasionalis yang bersifat suprakultural. Tidak ada kebudayaan di Indonesia yang melahirkan nasionalisme dan karena itu tidak ada kebudayaan di Indonesia yang dapat menjadi dasar masyarakat baru dalam alam kemerdekaan.

Dalam sejarah politik Indonesia, kebudayaan barulah menjadi referensi kebangsaan pada saat penguasa menghadapi kesulitan karena politik yang mereka jalankan mulai bertentangan dengan kebangsaan dan kemerdekaan. Ketika Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin, dia mulai berbicara tentang kebudayaan sebagai kepribadian bangsa. Ketika Soeharto menghapuskan oposisi politik, dia juga rajin berbicara tentang nilai-nilai harmoni dalam kebudayaan.

Sekarang ini otonomi daerah telah membuat setiap provinsi dan kabupaten giat mencari ekspresi dan simbol-simbol kebudayaan lokal sebagai ikon bagi otonomi politiknya. Pejabat dan politisi di tingkat nasional masih juga mengulang dalil bahwa politik nasional haruslah berdasarkan nilai-nilai budaya Indonesia, sementara korupsi berkembang biak dan berjalan mulus tanpa dipersoalkan apakah itu bagian kebudayaan Indonesia atau bukan.

Akan tetapi, dengarlah kesaksian mereka yang benar-benar bekerja membangun kebudayaan: para pendidik, wartawan, ilmuwan, seniman, dan penyair Indonesia. Penyair Taufiq Ismail dalam ”Tirani dan Benteng” mengatakan: ”Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada tapi dalam/kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di/tumpukan jerami selepas menuai padi” (sajak ”Malu (aku) jadi orang Indonesia”).

Kita jangan berpura-pura terhadap sejarah. Kebudayaan tak pernah melahirkan kebangsaan di bumi Nusantara. Kebangsaan adalah ibu yang harus melahirkan anak-anaknya: kebudayaan baru dalam alam kemerdekaan dan memberi mereka tugas sejarah untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua anggota bangsa. Mengutip Abraham Lincoln dalam sebuah pidatonya tahun 1862: ”Fellow citizens, we cannot escape history. No personal significance or insignificance can spare one or another of us…. We shall nobly save, or meanly lose, the last, best hope of earth” (Sesama warga negaraku, kita tak dapat menghindari sejarah. Penting-tidaknya diri kita tak dapat menyelamatkan siapa pun dari antara kita. Kita akan menyelamatkan secara bermartabat, atau kehilangan secara hina, harapan terakhir dan terbaik yang ada di bumi).

Dalam kata-kata Chairil Anwar, kewajiban warga negara dan para pemimpin adalah: ”sekali berarti/sudah itu mati” (sajak ”Diponegoro”).

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Pesantren, yang unik yang benar

Abdurahman Wahid
http://majalah.tempointeraktif.com/

TRADISI PESANTREN
Penulis: Zamakhsyari Dhofier,
Diterbitkan: LP3ES, Jakarta, 1982,
192 halaman, indeks, tabel-tabel dan ilustrasi.

BUKU ini ditulis dalam bahasa Indonesia, dari disertasi yang diajukan penulisnya kepada Australian National University. Sebagai hasil penelitian lebih sepuluh bulan di dua pesantren di Jawa, ia mencoba memperlihatkan ‘wajah sebenarnya’ pesantren tradisional — lebih tepat lagi yang masih mampu mempertahankan sisa-sisa tradisionalismenya — di hadapan perubahan yang dibawakan proses modernisasi.

Bertolak dari titik berangkat seperti itu buku ini dimulai dengan penggambaran latar-belakang historis pesantren, terutama dalam pembentukan ‘tradisi keilmuan agama’ di dalamnya. Dalam bagian pendahuluan itu dibetulkan kesalahan konsepsi dalam meneropong ‘kaum tradisionalis’ selama ini. Berbagai pendapat yang sekarang masih banyak diterima dan diikuti, dalam bagian ini disanggah. Benar atau tidaknya sanggahan-sanggahan itu akan ditentukan kemudian dalam dialog yang tidak pernah berkeputusan di dunia ilmu.

Setelah itu penulis mulai membedah pesantren, dengan menggambarkan fungsi unsur-unsur utamanya dalam sistem ‘kehidupan pesantren’: pondok, masjid, pengajaran kitab kuno, santri, kiai. Fungsi kelima unsur utama itu, yang saling mendukung dan membentuk kebulatan antara mereka sendiri, ditunjukkan secara terperinci.

Walaupun tidak tuntas (exhaustive), deskripsi kelima unsur utama itu dalam fungsi masing-masing dan fungsi bersamanya memberikan gambaran akan kekayaan kultural yang terkandung dalam cara hidup yang diikuti pesantren tradisional. Setelah itu, dalam bab III dikemukakan kajian mendalam atas salah satu wajah menarik kehidupan pesantren, yang memberikannya kekuatan besar untuk bertahan hingga saat ini: hubungan intelektual dan hubungan kekerabatan sesama kiai.

Bagian itu, selain mencatat pola-pola besar kedua jenis hubungan itu, yang ke duanya juga bertali satu sama lain, meninjau pula sebuah kasus tersendiri sebagai penampilan salah satu keunikannya peranan K.H.M. Hasjim Asj’ari dari Tebuireng, Jombang, sebagai ‘godfather’nya para kiai pesantren di Jawa abad ini.

Cukup menangkap keunikan tersebut, walaupun judul sub-bagiannya terasa agak bombastis: peranan Hadratus-Syekh dalam perkembangan Islam di Jawa. Bab IV memuat gambaran deskriptif tentang pola kehidupan di dua buah pesantren. Satu sebagai ‘wakil’ pesantren besar, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang. Yang lain pesantren ‘kecil’ Tegalsari di Jawa Tengah, yang dijadikanprototip jenis itu. Walaupun deskriptif, tidak urung bab ini memuat gambaran lumayan juga tentang proses perubahan yang sudah mulai (?) memasuki dunia pesantren tradisional saat ini.

Menarik sekali adalah gambaran tentang cara Kiai Syamsuri Tebuireng menjawab serangan orang luar (yang justru alumni pesantren tersebut) atas kebijaksanaan Tebuireng membuka fakultas untuk santri wanita. Dua bab setelahnya melihat beberapa fenomena menarik dalam perkembangan kehidupan kaum muslimin tradisional saat ini di Jawa. Yaitu yang terjadi dalam hubungan kiai dan tarekat, serta dalam pengertian yang mereka miliki tentang paham ahlussunnah wa jama’ah (sering disebut ‘aliran sunni’, untuk membedakannya dari ‘aliran syi’i).

Disebut ‘pengertian mereka’, karena apa-yang muncul memang pengertian yang khusus berlaku di lingkungan mereka, yang akhirnya mewarnai tradisionalisme mereka. Bab terakhir meninjau masalah-masalah utama yang dihadapi para kiai, dan dengan sendirinya pesantren yang mereka pimpin, dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Yang menarik dalam bahasan ini adalah implikasi kenyataan, bahwa kiai tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan yang mereka anut selama ini, walaupun banyak sekali perubahan fundamental mereka lakukan atas aspek-aspek tradisi keilmuan itu sendiri (hal. 175).

Baik kemungkinan peningkatan keadaan pesantren maupun masalah dan tantangan yang timbul dari keadaan di atas, dikupas secara singkat. Walaupun tidak berpretensi telah ‘menghabiskan’ masalah yang perlu dibahas tentang hubungan pesantren dan masa kini serta masa depan, tinjauan sepintas itu terasa sudah memadai sebagai uraian perkenalan.

Kekayaan buku ini terletak dalam pcnggambarannya yang serba apa adanya tentang tradisi pesantren. Termasuk ilustrasi cara orang pesantren membaca teks Arab kuno dengan ‘model terjemahan’ mereka sendiri yang masih menggunakan metode kuno ‘utawi-iki’, yang di masa lampau sering diserang sebagai kebekuan dan kekolotan.

Ternyata, sebagaimana disimpulkan Zam Dhofier, cara itu memiliki dimensi yang mendalam. Tradisi pesantren, yang belum tentu diterima sebagai tradisi pesantren oleh sebagian pesantren modern, muncul dalam kebulatan dan keutuhannya. Memang ada pengulas yang menyerang pendekatan itu sebagai upaya menghidupkan fosil yang sudah hampir mati, dan bahwa tokoh-tokoh muda pesantren justru membawa penampilan tidak tradisional — bahkan meninggalkan pesantren.

Namun pengetahuan akan tradisi yang sudah mapan (betapa sekaratnya sekalipun tradisi itu sendiri dihadapan ‘kekinian’) secara mendalam, akan memberikan persambungan historis yang memungkinkan kita menatap masa depan dengan pengetahuan pasti. Demikian pula yang dilakukan Zam Dhofier, yang begitu digilakan oleh pesantren. Tidak ada yang salah dalam hal itu, karena pesantren toh tidak akan pernah hidup dalam keadaan hampa-perkembangan-historis.

Juga tidak akan pernah mengalami pertumbuhan yang serba meloncat-loncat, tanpa persambungan yang jelas. Tidak, jika tradisi itu sendiri dimengerti dengan baik. Kalau jawabannya ya, berarti hari-hari hidup pesantren akan berakhir dalam waktu tidak lama.

28 Agustus 1982

Jumat, 10 Desember 2010

Radikalisme Günter Grass dan Sastra Kita

Sigit Susanto*
http://oase.kompas.com/

Radikalisme Grass

Menilik karya-karya peraih nobel sastra Jerman tahun 1999, Günter Grass dan sepak terjangnya, hanya terdapat satu kesan kata: radikal. Grass yang hanya sekolah sampai di usia 15 tahun, mengaku menekuni sastra secara otodidak. Usai Perang Dunia II (1948-1952), baru ia melanjutkan sekolah jurusan pahat dan grafis di Akademi Seni Düsseldorf. Sebagai seorang penulis, punya tambahan tiga kegiatan seni lain, yakni pemahat patung, melukis dan grafis. Keempat kegiatan itu dilakukan silih berganti dan saling melengkapi. Ketika ia menggarap novelnya “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel) yang memakan waktu selama 4 tahun, untuk menambal kebutuhan ekonominya dengan kerja memahat nisan di kuburan.

Günter Grass lahir di Danzig, Polandia pada 16 Oktober 1927. Grass dibesarkan dari keluarga sederhana yang hanya memiliki rumah dengan dua kamar, tanpa kamar mandi pribadi. Grass dan adik perempuannya, Waltraut tidak punya kamar tidur sendiri. Ayahnya seorang pedagang bahan makanan. Ketika partai Nazi (Nationalsozialismus) menang pemilu di Jerman dan Hitler berkuasa, Grass masih berusia 5 tahun. Pada usia 15 tahun, Grass sebagai pembantu pasukan angkatan udara Nazi. Menginjak usia 17 tahun, Grass mendaftar menjadi anggota pelindung pasukan panser. Pada akhirnya Grass ditangkap pasukan Amerika dengan identitas sebagai anggota Waffen-SS.

Karier sebagai penulis mulai moncer setelah ia tinggal di Jerman dan menikahi penari balet asal Swiss, Anna Schwarz pada tahun 1954. Manuskrip “Genderang Kaleng“ ia kerjakan di Paris. Pada usianya yang ke 32, “Genderang Kaleng“ beredar di pasaran. Novel setebal 779 halaman ini menggetarkan sastra Jerman dan mampu melebar ke seluruh dunia. Grass memarodikan kekonyolan perang dengan menghadirkan tokoh manusia cebol Oskar Matzerath. Pengagum Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus) dari Albert Camus ini memasukkan unsur surealis yang langka. Oskar mampu memecahkan kaca atau gelas hanya dengan berteriak keras sambil matanya melotot. Grass menabur humor, di kala pasukan Nazi apel dengan iringan musik drum band, Oskar menyusup di bawah podium, ia menabuh genderang kalengnya dengan irama dansa. Kontan publik di apel militeris itu berubah berdansa. Tak sampai di situ, hobi Oskar ini masuk ke rok perempuan. Termasuk rok calon ibunya sendiri. Grass juga tidak segan-segan menampilkan adegan yang menjijikkan. Si Oskar ini suka kencing di sembarang tempat. Bahkan ia pernah disuruh minum sup dari kencing kawan-kawan sebayanya. Masih yang berbau menjijikkan, ada kepala kuda yang dibuang ke dasar laut dan diambil lagi, di dalamnya kepala kuda yang sudah busuk itu kemasukan banyak belut hidup. Dan muaknya, belut-belut dari kepala kuda busuk itu kelak digoreng untuk sarapan. Bagi penggemar sastra priyayi, harap minggir dengan aroma amis dan menjijikkan ini.

Begitulah Grass. Ia meramu tema-tema perang, paska perang, perpecahan dan penyatuan Jerman, hingga menggerus ke peristiwa politik terkini. Tak hanya tema yang krusial, tapi kekuatan bahasanya sangat puitis. Ia menabrak pertabuan yang berkembang di masyarakat. “Karena saya tidak takut hidup, maka saya masuk SPD“ (Sozialdemokratische Partei Deutschland), ujar Grass mengenai keterlibatannya dalam politik. Ia memosisikan diri sebagai sosok kiri dari partai SPD yang tengah. Tahun 1961, Grass bergabung dengan SPD dan ikut menyemarakkan kampanye SPD untuk memenangkan Willy Brandt pada pemilu di Jerman tahun 1969. Setelah Willy Brandt menjadi kanselir, tak jarang teks pidatonya yang membuatkan Grass. Risikonya, banyak pembacanya tidak senang. Inginnya pembaca, penulis sastra ya hanya berkutat di ranah sastra, tidak ikut terlibat di politik praktis.

Bagi Grass, sastra sebagai instrumen yang lincah untuk menyuarakan politik. “Trilogi Danzig“ yang terdiri atas “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel), “Kucing dan Tikus“ (Katz und Maus), “Tahun Anjing“ (Hundejahre), selalu mengusung tema politik. Bahkan novelnya yang terbaru tahun 2006 berjudul “Menguliti Bawang“ (Beim Häuten der Zwiebel) juga tetap tema politik tentang pengakuan Grass pernah menjadi anggota pasukan Nazi. Novel ini di Jerman menjadi polemik panjang. Setahun kemudian, 2007 Grass menjawab polemik itu dengan meluncurkan kumpulan puisi berjudul “Agustus yang Tolol“ (Dumme August).

Pada bukunya “Perbincangan dengan Günter Grass“ (Gespräche mit Günter Grass), ia jelaskan, ia menentang dua hal. Pertama, ideologi marxisme dan kedua, agama Kristen. Dikatakan, sudah tahu ajaran marxis tidak bisa mencari solusi kehidupan terkini, juga orang sudah banyak baca kitab Injil, tetap saja tak menjawab kehidupan. Ia pertanyakan, mengapa orang masih saja melakukan? Di sinilah letak radikalisme berpikir Grass. Secara politik, ia ikut garis marxis revisionis, temuan Eduard Bernstein. Memang Bernstein inilah think thank dan orang lama SPD. Antara Sartre dan Camus, Grass lebih condong ke Camus. Ia anggap teori eksistensialisme Camus yang absurd, tetap memberi peluang manusia untuk berusaha, walaupun tanpa harapan. Grass menolak filsafat sejarah dari Hegel. Uniknya menurut Grass, meskipun pengikut Hegel terpecah dua, Hegel sayap kiri dan kanan, tapi mereka tetap mengkaji teori Hegel. Ujung-ujungnya pembentukan negara yang totalitarian.

Sastra Kita

Iwan Simatupang pernah mengajak penulis kita,“Marilah tulis apa yang belum ditulis oleh Heinrich Böll“, pada “Esai-Esai Iwan Simatupang.“ Sudahkah ajakan Iwan dilakukan? Melihat perkembangan sastra kita terkini cukup menyenangkan, namun juga sekaligus mengkhawatirkan. Menyenangkan, karena banyak muncul penulis baru dan muda usia. Di toko buku rak-rak buku sastra bertambah dan tema bervariasi. Selain banyaknya wadah sastra, juga bermunculan taman baca yang dikelola oleh pribadi atau pemerintah untuk umum. Jaringan taman baca ini sampai ke daerah dan desa-desa.

Yang mengkhawatirkan, bagaimana mutu karya sastra kita? Penulis sebesar Iwan Simatupang pun, bahkan yang digelari Bapak Pembaharu Sastra, karyanya tak sampai menembus pasaran Eropa. Dibanding dengan para penulis Amerika Latin, seperti Carlos Fuentes dan Isabel Allende. Karya mereka menyusup dengan deras ke rak-rak toko buku di negara berbahasa Jerman khususnya. Memang standar mutu bukan ditentukan, apakah sebuah karya sudah bisa menyeberang ke benua lain? Tapi jangan lupa, ciri karya klasik modern adalah bahwa karya itu mampu menembus batas wilayah bahasa dan benua, serta baris-baris dalam karya itu sering dikutip orang berulang-ulang bahkan perlahan dijadikan aforisme.

Karya-karya penulis kita yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Jerman antara lain dari Pramoedya, Umar Kayam, Romo Mangun, Mochtar Lubis dan Tohari. Belakangan muncul dua novel, “Tarian Bumi“ karya Oka Rusmini dan “Saman“ karya Ayu Utami. Novel-novel ini karena diterbitkan oleh penerbit kecil, maka tak bisa ditemui di rak-rak toko buku.

Perlu disadari politik di Eropa dikuasai oleh partai-partai sosial demokrat yang sering dijuluki partai sosdem. Ideologi politiknya bukan neoliberal konservatif seperti dipelopori oleh Margaret Thatcher, tapi Jalan Ketiga ala Anthony Giddens, gurunya Tony Blair. Jalan Ketiga dianggap sebagai jembatan atau jalan tengah dari kelompok kiri, marxisme dan kelompok kanan, kapitalisme.

Membandingkan para peraih nobel sejak zaman Heinrich Böll (1972), Günter Grass (1999), Imre Kertez (2002), dan Herta Müller (2009), terdapat kesamaan tema, yakni politik. Akibat fasisme Nazi, para penulis sastra meraub sebagai tema-tema yang tiada henti. Meskipun Adorno pernah melarang, membuat setting cerita korban Yahudi, tetap saja memori perang menarik untuk dicatat kembali. Berangkat dari contoh-contoh peraih nobel di atas, sebetulnya Indonesia punya masa-masa perang di zaman revolusi. Indonesia kaya dengan perbendaharaan fasisme Orde Baru. Dari sana ada pembunuhan massal untuk orang-orang PKI, ada aksi penembak misterius, sampai reformasi dan korupsi yang sampai kini masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Sayangnya para penulis kita jarang yang tergiur dengan tema tersebut. Pramoedya menulis tentang tema kolonial dan Orde Baru, karena ia mengalaminya. Demikian Grass pun menulis tema-tema perang dan fasisme Nazi, karena ia mengalami sendiri. “Saman“ muncul mengusung tema reformasi, “Cantik Itu Luka“ membongkar sindikat prostitusi di zaman Jepang, “Tanah Tabu“ memaparkan kerakusan investor asing dan budaya patriarchat. Sekadar contoh saja, ketiga novel di atas berpotensi mengisi kevakuman novel berlatar politik dan kehidupan terkini.

Selebihnya atmosfer sastra kita ditaburi dengan aroma religius dan ideologi. Apa yang dikatakan Tahar Ben Jelloun, novelis Maroko yang domisili di Paris ada benarnya. Ia sebut, karya-karya sastra di negeri-negeri Arab, sesungguhnya sampul luarnya saja yang sastrawi, dalamnya berdakwah. Bertohld Damhäuser dalam wawancara dengan Tempo (27/3/2009) mempertanyakan, ia dengar kalau “Ayat-Ayat Cinta“ layak dinominasikan dapat nobel, karena mengembangkan sastra Islami.

Jika membandingkan peta politik di Eropa yang berhaluan sosdem di atas, sepertinya sebuah ilusi. Selama ini banyak peraih nobel sudah keluar dari lingkaran primordialisme. Sikap religius mereka banyak yang sekuler. Contoh paling jelas pada Orhan Pamuk dan Grass ini. Jika novel sejenis “Ayat-Ayat Cinta“ diharapkan dapat penghargaan, akan lebih bersahaja, sekiranya para raja negeri Timur Tengah juga mengeluarkan award seperti yang dikeluarkan raja Thailand, juga seperti yang dikeluarkan Stalin dulu untuk Pablo Neruda dan para penulis marxist. Dengan begitu peta award akan terbagi tiga, nobel Swedia untuk penulis sosdem, award Rusia untuk penulis marxist dan award negeri Arab untuk penulis Islami. Bukan tidak mungkin akan terjadi silang pemberian award pada penulis yang tidak sesuai ideologi pemberi award. Sayangnya komunis di Rusia sudah ambruk dan award dari negeri Arab tak pernah terdengar. Lepas dari ada award atau pun tidak, yang jelas radikalisme Grass berpotensi bagi penulis di negeri-negeri paska koloni. Seonggok borok penguasa, bagai bangkai yang harus dikuliti.

Membaca buku “HARMONIKA LELAKI SEPI” Sekumpulan Puisi karya Andi Wirambara

Peresensi: Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-

“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).

“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).

Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.

Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.

Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.

Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?

Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.

Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:

“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”

Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.

Apel

entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?

betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah

sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang

dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.

Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).

Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).

Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).

Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?

Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.

Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:

Harmonika Lelaki Sepi

harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam

: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk

: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit

: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih

sendu,
pada damaiku

(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)

Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.

Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang

Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang

nexts….

(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)

Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.

Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.

Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.

(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)

Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “

: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).

Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati