Rabu, 24 November 2010

Kenapa Jean-Paul Sartre tetap Eksis?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/


Terus terang matahari terang, aku menimba kenekatan darinya. Salah satu tulisanku yang terinspirasi olehnya bertitel “Realitas Masa Depan” di dalam buku “Trilogi Kesadaran”, pun ke bentukan lain mewarnai jiwaku.

Sedari angin ribut fenomenologi atau problematik filosofis Husserl dan metafisika tukang kisah Hegel, sampai hasrat selingkuh Heidegger. Sartre menciptakan kitab berlabel “The Psychology of Imagination” yang dituntaskan dalam tahanan Nazi, lantas mengarahkan pandanganya kepada Karl Marx, demi menjejakkan Eksistensialisme di muka bumi.

Yang diterbitkan Bentang di tahun 2000, diindonesiakan Silvester G. Sukur dengan judul Psikologi Imajinasi. Ialah gugusan gagasan yang menggerakkan diriku, menggemuli realitas dibalik kebendaan. Mendorongku menghatamkan soal-soal kerahasiaan pribadi, yang kian penuh percaya.

Jean-Paul Sartre lahir di Paris 12 Juni 1905, ayahnya perwira angkatan Laut Prancis, meninggal ketika Sartre berusia 12 tahun, sejak itu sudah mengakui ketiadaan Tuhan, sambil melahap perpustakaan kakeknya. Pada 1924, memasuki École Normale Supérieure, perguruan tinggi terselektif di Prancis, lulus meraih gelar Agregation The Philosophie 1929.

Bertemu Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat pada Universitas Sorbonne, lalu hidup serumah tanpa ikatan perkawinan. Bebijian filosofisnya disebar-luaskan ke ladang-ladang roman, sandiwara, karangan jurnalistik, sampai studi psikologi. Berkat bukunya “Les Mots,” mendapatkan hadiah Nobel Sastra, namun ditolaknya di tahun 1964.

Nietzsche, Sartre, pun orang-orang sejenis, alias warga kampus yang nekat dalam tuturan karyanya, paling aku sukai. Dengan begitu, mereka tak terpegangkap dalil-dalil akademis. Ketakpuasan itu malah menjebol krannya hingga menyemburkan mataair orisinalitas yang digelisahi, di dalam mengarungi naik-turunnya gelombang hayati.

Ku akui sedikit kesulitan berhadapan dengan Sartre sebagai obyek pembicaraan, sebab nyata selalu kurasai tak sekadar menatapi cermin atau bayangan tubuh di air sungai, tetapi lebih. Seakan membaca diri sendiri, menyimak hasrat serta letupan-letupannya menerbitkan kekuasaan berbahasa mandiri.

Setelah kemarin aku mewedarkan Absurditas Camus, kini kucoba mengurai Eksistensialisme Sartre. Soal nalar dan yang mengintrikinya, hampir setiap waktu aku bolak-balik antara Camus-Sartre. Bobot kedua orang ini kukira sama, pembelot, penganalisa hidup, merombak tatanan menata kepribadian intim berulang-kali. Serupa menulis di pantai berpasir kerap tersapu ombak, atau menyusun koin ibarat bocah yang dibuyarkannya sendiri demi keasyikan bermain.

Sisi tertentu, aku umpamakan saudara kembar yang ditakdirkan saling menghidupi laju pengetahuan. Kadang diriku mengalami kebingungan, Sartre kah yang kuhadapi atau Camus? Sampai suatu ketika ingin sangat menuliskan dialog imajiner mereka dikala pertemuan pada 2 Juni 1943, tepatnya berpisahnya faham di atas kedua tokoh tersebut.

Di sana aku lenyap, mereka pun lebur disaat melantunkan capaian-capaiannya, tersebab kata-kata merupakan wajah tersembunyi, mata seselidik hantu dan tuannya keinginan-keinginan membangun juga dapat menjadi hasrat perusak. Bagi Camus, jalan menuju kematian itu kesadaran, sedangkan Sartre punya anggapan, imajinasi ialah kesadaran.

Dalam usia dua belas tahun, kesepian ditinggal mati bapaknya, yang kerap mengolok-olok sikap religius ibundanya. Sartre menatapkan wajah ke buku-buku, membetulkan keyakinan, menyikapi soal sehari-hari demi menajamkan warna disukai. Kesunyian ini laksana tembok dingin membisu pengab ditumbuhi jamur-jamur pemikiran akan cakrawala kebebasan, dari ruang yang mengungkung kesendirian beserta mimpi berseliweran di lelangitan kamar.

Keheningan terisi sosok-sosok penyongkel peradaban, disertai suara-suara ganjil yang kelak menyempurnakan karyanya. Seakan keluar-masuk lubang kunci mengendarai cahaya, dan setiap ruang didiami, menawarkan kenikmatan berbeda. Pula bayangan tentang Peter atau Si Fulan itu, mengajarkan banyak hal yang nantinya diajak berdialog lebih serius, merambai kejiwaan manusia, pada tulisan-tulisan awalnya.

Sartre menggerayangi alam imajinasi, hingga terkuak lelapisan kesadaran, nafas-nafas insan berinteraksi atas dirinya dalam lingkaran sosial yang digumuli. Memasuki lorong-lorong dihidupi wewarna bayangan, menampilkan informasi terpenting jenjang penalaran, kala berhadapan obyek-obyek tengah terbangun, sedari bentukan benda- mulanya.

Yang digagaskan sebahan-bahan mentah bagi pondasi psikologi menentukan batas-batas pengalaman dengan lamunan, untuk hati kritis ini membahayakan. Tengoklah betapa keyakinan, iman terpancar segugusan masa depan, digoyang lewat berbagai hantu-hantu imaji, ataukah benar di atas tanjung kesaksian?

Aku anggap persoalan merisaukan sedari kegelisahannya menentukan, apakah umat manusia sudah sampai tetahap keilmuan mandiri, proses refleksinya sehabis menyetubuhi yang dihadapi. Ia tebarkan jala-jala kemungkinan, tercapai pengetahuan yang dapat disadap berbagai perkiraan, studi masa datang, antara wilayah kesadaran, di antaranya dan yang melampaui.

Persoalan mental tersebut, mengerubungi kerahasian anak-anak manusia menerbitkan penyesuaian-penyesuaian dalam kasus mengintriki jiwanya, disaat melayarkan sampan pelita hati-fikirannya. Kalau kumasukkan ke daerah puitik; bahasa yang dihadirkan kata-kata memiliki tingkatan kelas berbeda untuk menggiring para pembacanya. Dengan menampilkan corak duduk misalnya, penerimaan harus disesuaikan. Jika ingin menangkap seluruh magnetik dari tekanan nada-nada di dalamnya.

Olehnya sangat kentara dilihat dari bentukan sebuah karya, apakah warnanya selaras, atau njomplang tidak beraturan menimbulkan kesan dipaksakan. Di sini guna merambahi kejiwaan disamping sejarah yang diwedarkannya. Ruang-waktu mengandung perbagai rerupa, juga aturan tertentu bisa dijadikan patokan dari perasaan bernalar pada derajat imajinasi yang diterbangkan. Lantas tersembullah capaian kesepakatan ataupun penolakan, di atas jiwa-jiwa berbeda dalam dunia yang sama.

Para seniman yang bergerak di seni rupa, wujud olahan ciptanya dapat mudah ditangkap apa saja imajinasi yang merambahi kepalanya. Meski dalam karya bercorak realis, adanya penumpukan, dan manipulasi-manipulasi diperhalus oleh tingkatan kesabaran menunggui masa-masa kering cat minyak, pada wajah kanvas misalkan di dalam dunia lukisan.

Atau nalar-nalar koreografer tari menyuguhkan pernik-pernik balutan cahaya, di panggung menampilkan alam kesadaran. Yang menentukan nafasan penonton dalam ruang bacaan, jika disebutkan sebagai dimensi kalimah suatu karya sastra, serta sejenisnya.

Ini mengundang bersela tidaknya penikmat, dan dapat diambil garis lurus. Bahwa pecahan hidup, remuk-redam ditumbuki namanya gagasan, setelah melampaui teka-teki kenyang-laparnya kepribadian di hadapan meja kehidupan.

Secara sederhana, Sartre sudah hatamkan perihal kehalusan pribadi. Apa pun melatarbelakangi tetingkatan kesadarannya bernalar-berimajinasi, sebelum menentukan jawaban dalam ide besarnya, atas bintang “The Psychology of Imagination.”

Akibat tekanan pada usia belia, diejek kawan-kawan sebaya sebab lemah fisiknya, jiwanya terpaksa memasuki selubung rerahasia di atas. Itu terulang kembali mencipta perpecahan dirinya dengan Albert Camus yang absurd dimasa depannya. Seakan adanya bara api keabadian ditebarkan para surealis sebelumnya di ubun-ubunnya. Menjalar menerus di setiap cecabang penalaran bersatu jiwa, puncaknya menegakkan eksistensialisme.

Hasrat Sartre tak berjenis kelamin, alias diperluas tidak sekadar menyokong salah satunya; apakah maskulin atau feminin, atas faham didengungkannya. Tapi menyorongkan keduanya dapat eksis, oleh fitroh masing-masing. Atau pun kebetulan-kebetulan naluri disoroti cahaya gemilang dengan ujaran terkenalnya; “L’homme est condamné à être libre.” atau “human is condemned to be free.”

Ada semacam dendam bawaan berenergi positif mengupas ragawi insan, ini menjadikan peneletian sepenuh hayatnya. Mempersembahkan keseluruhan bangsa, ataupun bahasa imajinasinya, merasuki dialektika filosofis berargumentasi laksana racun merambati daging-darah kesadaran jaman.

Ia tak memakai kursi pengkhotbah di mimpir kemanusiaan, tapi dengan keasyikan gila senantiasa merasai keseluruhan indra, sampai terlupakan batas sesungguhnya dari sebuah papan datar penalaran. Namun tidakkah di sini keimanan, keyakinan diolek-olek dan kita dipaksa menelan kata-kata; “Apakah sebenarnya yang menggejala dalam diri manusia?”

Pola ini terbentuk tidak kurang hasil cetakan sang bapak yang selalu menghantui lelangkahnya, disamping ruang padat perpustakaan kakeknya, seorang guru besar pada Universitas Sorbonne tersebut.

Akhirnya, sikap penolakan terhadap anugerah Nobel sastra, menyempurnakan nilai-nilai ditancapkan pada keseluruhan hayatnya tetap eksis, dalam kehidupan yang berjubel imaji.

13 November 2010, Lamongan, Jawa.

Mazhab Sastra Facebookiyah

Fahrudin Nasrulloh**
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Sarang teknologi telah pecah. Menyebar ke pedalaman renik manusia. Buku, tradisi membaca, dan perjalanan kepengarangan telah dipadatkan jadi arca di kamar facebook. Kemanakah gelombang kesusastraan dan kepengarangan kita sekarang, ketika tentakel teknologi dan gerak perubahan berada di tubir ketidakpastian?

Dunia maya terkini telah menghadirkan produk terbaru yang kita sebut “facebook”. Terkait dengan dunia penulis, tak dapat ditampik, mereka juga menggunakan teknologi tersebut yang berdaya-guna praktis, cepat, dan berbagai kepentingan apa pun bisa digentayangkan di dalamnya secara serius maupun main-main. Inilah bagian dari ekses “guncangan media”, seperti yang disinyalir Afrizal Malna, di mana percepatan bersilang-salip, muncul-tenggelam, dalam aras gigantis yang terus merangsek keseharian manusia. Di sanalah dirayakan segala keterbukaan dan ketakterbatasan itu. Beberapa penulis yang terbilang berduit, pasti memiliki laptop dan modem sendiri untuk ber-internet-an. Malah dapat pula lewat telpon genggam.

Selain facebook yang tak jarang disesaki “status” basi-basi, saya mengamati seorang teman yang nyaris 24 jam nonstop tak beranjak dari laptopnya. Facebook telah dijadikannya sebagai rumah berkarya, mengusung semua karya-karyanya ke dalamnya, mengedit ulang, dan setelah itu menayangkannya dalan “note” ataupun “status”nya. Yang terakhir itu ia gunakan untuk menjalin sapa-kenal dan sambung-rasa dengan teman baru maupun teman lama. Saling bercengkerama, mengomentari, bahkan tak jarang dari teman pendatang “asing” nylonong masuk dan terjadilah percekcokan sengit soal apa saja ihwal politik, puisi, kesenian, pilkada, gigolo di Bali, hingga lomba karikatur Nabi Muhammad. Ini cerita kecil soal seorang penyair yang merasa karya-karyanya tertampik di koran. Ada dendam sampai tak bertekad lagi mengirim. Tapi semangat menulisnya tak pernah padam.

Ia terus bergerak dari batin terdalamnya yang kemudian menjadikan dirinya serpihan daun yang terapung-apung di belantara impiannya. Coba memaknai sesuatu yang tercecer dan mengendap lama dalam tempurung kepala dan daki yang mengerak di tapak kaki. Impian-impian yang diangankan, dalam keseharian yang pedat yang tak bosan-bosan menguntitnya, membentur apa saja yang bahkan kosong tapi kuasa mementalkan. Dan di tembok lapuk itu dirinya seolah membikin bundas batok kepalanya sendiri dengan seabrek kejayaan pengarang dan pemikir masa silam. Tapi tak ia perdulikan. Cinta atas nama puisi yang bergayut dalam dirinya menjelma menjadi hiruk-pikuk was-was, sakwasangka, dan kesumat penuh nafsu tersembunyi. Mengisi apa saja yang di tangkapnya dari jalan-jalan panjang yang pernah dilewatinya. Di lorong itulah ia, melimbur diri dalam dunia maya. Ada yang menyergapnya tiba-tiba di balik layar monitor, liang mause, dan pekatnya flashdisk.

Ia terus menulis, menulis apa saja untuk menebus apa saja yang pernah melongsor dari dirinya. Mengelupaskan diri dalam “status” facebook, hingga yang menguap pengap dari mulut para penyapa harus dipelototi dan “dijempoli”. Tapi dari “entah” itu, ia setidaknya ingin dianggap “ada”. “Ada” yang baginya penting ketimbang merasa sunyi sendiri di pelosok kampungnya. Hidup semakin kompleks. Kebutuhan sehari-hari makin mengimpit. Menulis adalah jalan yang diteguhkan pengalaman panjang sehingga menjadi sejenis iman. Tiba-tiba terasa ada yang menghentak, menelikung diam-diam, dari balik dinding keserbagamangan itu. Ia seperti biksu yang linglung, yang mencari makna bahwa keraguan yang dirawat baik akan menemukan lorong cahayanya sendiri.

Tiap sebatang rokok yang tandas, keringatnya mengudara dikesiur malam dan berakhir di perut asbak yang menggunung latu dan puntung. Kini menulis bukan perkara keramat dan wingit, semua orang dapat merayakan perkembangan teknologi yang dengan begitu murahnya terhadir di depan mata. Dalam fitur-fitur facebook itulah, ia jadikan sebagai medan bertapa. Khayalan cerita pendekar-pendekaran jaman dahulu mengisi imajinasinya. Laku bersyair, baginya, seperti lelaku si pendekar kelana yang menyerap ilmu dari guru ke guru demi menjadi pendekar pilih tanding.

Suatu hari, pada Selasa, 27 April 2010, ia menulis sebuah tulisan berjudul “Para Amatir yang Pemberani”. Tulisan ini agak panjang. Tentang energi menulis dan proses mengimaninya yang harus diperjuangkan. Ia menulisnya langsung di laptopnya dengan seberkas gairah yang barangkali amat jarang didapatinya di luar momen itu. Beberapa kalimat sempat saya rangkum berikut ini:

Inilah kesederhanaan hidup. Semua boleh menulis, asal tak bertolakan dengan hati nurani. Kegunaan nalar kalbu dijalankan. Tak mengganggu pekerjaan lain, yang telah digeluti. Dari pada bengong, menangis tanpa juntrung. Ambillah selembar kertas demi kesejatian nafas. Sebaiknya kita percepat pemberangkatan ini. Sekali-kali jangan mengemis, kita bisa bikin sejarah. Sebenarnya kita punya nyawa rangkap tapi wujudnya berbeda. Kelemahan kita hanyalah keraguan. Jangan ragu hidup sekali dan mati itu pasti. Bukankah keyakinan bakal mempercepat segalanya? Peristiwa pecahnya sarang nalar hampir mendekati turunnya ilmu laduni. Kurangi tidur sedapat mungkin, membasuh muka berkali-kali. Kasih mata ini sedikit garam kalau berani. Atau incipi asam Jawa biar jika diserang kantuk membuta, bisa mengelak. Terus membaca, sebab alam kantuk sanggup menancapkan ingatan sedalam sukma. Jangan sering pakai bantal, itu mengurangi dinaya ingatan. Semakin mengalami, kian kuat menahan apa saja. Singsingkan rasa malu, sebab separuh kesalahan dihasilkan dari situ. Alangkah indah dianggap remeh. Itu malah jadi godam kita suatu hari. Lewat ini darah kebodohan menggejolak. Tanah kehadiran butuhkan pengorbanan, darah juang tumbal semangat. Yang menyerahkan nyawa demi ilmu, merdekalah pemahamannya.

Penulis yang saya sebut itu adalah Nurel Javissyarqi, penyair dan bos penerbit Pustaka Pujangga dari Lamongan. Dari catatannya di atas jelas menyiratkan percikan dari endapan catatan perjalanannya dengan taburan tips menulis, agak filsafati, adventourus, dan sedikit magis. Setelah itu, pada 16 Mei 2010, ia menulis esai yang cukup menarik dengan judul “Untuk Bayi-bayi Besar Sastra Indonesia” yang didiskusikan dalam acara Geladak Sastra yang dihelat Komunitas Lembah Pring Jombang. Sedang pembicara lain, Bandung Mawardi dari Kabut Institut Solo, yang terbilang tulisannya kerap dimuat koran, menjadi kontras dengan pemikiran dan pengalaman Nurel. Yang satu bertapa-karya di facebook, dan yang satunya adalah “pengutuk facebook” yang telah merajai koran dengan esai-esainya.

Mencermati media facebook, juga media elektronik lain, sebagai “medan lintas batas” di mana “demokratisasi sastra” seperti yang disebut-sebut Afrizal Malna bergerak dengan percepatan dan ketakterdugaan yang berseliweran menerobosi keseharian penggunanya. Dan Nurel, setelah karya-karyanya tak digubris koran, ia memasuki lelorong facebook sebagai dendam skizofrenik yang “tak bertuan”.

Dalam arti lain, media koran sebagai sosialisasi karya para penulis, tidaklah menampung semua penulis. Ada ruang sistemik-prosedural yang berlaku dengan rambu-rambu tertentu di sana. Dan pertarungan di dalamnya pada akhirnya adalah bagi pemenang dan yang diberuntungkan. Koran dengan sendirinya telah benar-benar menjadi rezim sastra dan muasal dari segala proses itu adalah kegetolan mengirim karya, selebihnya seleksi, koneksi, dan jaringan personal-emosional yang terjaga baik antara penulis dan redaktur. Sejarah kecil “sastra koran” pada awal 2000-an yang pernah ditulis oleh kritikus Katrin Bandel dalam peta kesusastraan tanah air masih tetap menghangat diperbincangkan.

Dengan menjamurnya facebook dengan segala nilai positif-negatifnya, apakah kita juga melihat ihwal yang masih tersamar bahwa lewat sanakah kesusastraan Indonesia akan menilaskan jejak di kemudian hari? Tentu saja sastra koran adalah sisi lain yang masih kokoh tak tertandingi. Tapi penulis seperti Nurel dan lainnya, juga yang muda-muda dan yang tua-tua namun tetap bergairah, menjadikan facebook sebagai perlintasan jaringan informasi kekaryaan dan event kesenian yang sebenarnya jika diamati dengan cermat sungguh luar biasa perkembangannya. Itu salah satu pengaruh positifnya. Ekses lain mungkin dapat dibayangkan: penulis jadi malas riset berkarya, ajang gosip, tebar cerca dan fitnah, dan berpotensi ambeyen-liver-insomnia. Selain itu, banyak kita jumpai pengarang yang melahirkan karya lewat facebook, seperti Yusron Aminullah, adik Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain.

Para penulis dan impian-impiannya mengalirkan karyanya dalam arus besar teknologi dan pergeseran gigantik yang tak tertampik itu. Ini seperti ramalan Jorge Luis Borges: “Di abad mendatang, ketika orang meneliti kesusastraan abad ini, nama-nama yang dikenal sebagai para sastrawan besar bakal berbeda, para pengarang tersembunyi bakal bermunculan, para pemenang Nobel Sastra akan dilupakan. Saya berharap, saya akan dilupakan…”

Nurel dan penulis lainnya yang seperjalanan, tentu mengeram imajinasi puitik demikian dan di batin terdalam mereka terselip tekad untuk mendapatkan tempat selain di koran demi menggores sejarah masing-masing. Dan inikah sejenis tanda era kesusastraan kaum facebookiyah?

—–
**) Bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
*) dimuat di buletin [sastra] Pawon, edisi30 tahunIII, 2010

Bila Puisi Menggugat Cinta

Ach. Muchlish Ar
http://www.kr.co.id/

PUISI adalah suara hati nurani melalui mediasi kata yang sarat dengan makna. Bahkan setiap kata dalam puisi diisi roh oleh penyairnya, agar pembaca dapat masuk ke ruang rasa yang ‘suci’ sebagai hasil kontemplasi penyair merespons segala realitas. Hal ini oleh kalangan umum disebut “spirit power” yang menggugah pembaca dan pendengar untuk larut dan tenggelam di dunia teks. Sehingga pembaca sastra (puisi) cenderung terpesona oleh tampilan kata dan makna yang khas dan mendalam yang dideskripsikan oleh penyair.

Membaca antologi puisi tunggal Hasta Indriyana yang berjudul Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta seakan-akan larut di dunia kata. Karena penyairnya telah berupaya untuk bermain-main dengan kata walaupun makna, rasa, dan kekuatan estetik dari puisi tersebut memantulkan sinar yang sedikit buram atau seperti pendar teplok yang kehabisan minyak. Ini sebuah antologi pertama penyair muda kita yang terburu-buru menerbitkan karyanya (meminjam bahasanya Zainal Arifin Thaha, 2004). Karena dilatarbelakangi oleh “sofistikasi-deduktif” (kegenitan untuk bercanggih-canggih). Hal ini juga diiyakan oleh penyair perempuan yang sangat perhatian pada proses, yaitu Evi Idawati. Dalam antologi ini, Hasta tidak menaruh spisifikasi tema yang memungkinkan pandangannya terhadap objek tertentu secara mendalam, sehingga lahirnya antologi tidak wagu dan cenderung stereotipe.

Raudal Tanjung Banua dalam pengantar antologi ini menyebutkan, Hasta masih banyak terpengaruh oleh silogisme gurunya, Iman Budhi Santosa, yang mengambil tema Jawa (kampung-halaman), dan cenderung tradisional-romantis. Kenyataan ini semakin menafikan hadirnya Hasta Indriyana di pentas kesusastraan Indonesia, jika Hasta tidak menampilkan pandangan lain dan aliran lain dalam sajak-sajaknya. Karena upaya yang dibangunnya telah ditulis oleh pendahulunya seperti Iman Budi Santosa, Linus Suryadi AG, Suminto A. Suyuti yang jauh lebih canggih dalam mencitrakan Taman Sari, Campurasari, Tembang Tlutur dan realitas panembahan kebudayaan Jawa. Maka kehadiran Hasta menjadi keniscayaan di pentas kesusastraan kita.

Seorang penyair, sastrawan, budayawan, seniman harus rela menunggu “proses” sebagai kawan sejawat yang tidak pernah pergi mulai dari manusia pertama, ‘Adam’ hingga nanti di akhir zaman. Kata itu menjadi tugu bagi perjalanan kehidupan seorang sastrawan. Menjaga tugu itu harus sabar bertahun-tahun dengan bersanding kata, memindahkan kata dari lorong satu ke lorong lain, yang tak sesuai warna satu dengan warna lain sehingga kata itu terlihat dengan rapi dan menarik. Disanalah letak nilai estetika sebuah karya sastra yang akan menggiurkan pembaca.

Ke-wadag-an antologi ini kita lihat dalam puisi yang berjudul Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta yang mewakili keseluruhan antologi ini:

Kau paham, puisi pun menyediakan ruang
Bagi bait-bait cinta. Yang teduh yang jujur
Yang selalu mendesirkan harum bunga-bunga

Bait pertama dalam sajak di atas, aku (lirik) telah menggurui pembaca. Toh pada hakikatnya pembaca lebih cerdas dari penyairnya sendiri. Walaupun tidak diungkapkan dalam kata-kata kau paham puisi pun menyediakan bait-bait cinta, pembaca telah tahu bahwa puisi adalah ruang estetik sebagai saudara kandung dari cinta itu sendiri. Cinta dan estetika tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya, sebab apabila estetika tanpa cinta maka estetika itu akan gagal menjadi nilai yang indah. Begitu pula sebaliknya, cinta tanpa estetika akan menjadi kering dan kerontang. Puisi yang terlalu menggurui kepada pembaca pada hakikatnya menganggap pembaca seperti patung yang tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali diam. Anggapan semacam ini pada hakikatnya anggapan yang tidak kreatif.

Pada bait ketiga puisi ini telah menegasikan bait pertamanya. Jika pada bait awal aku (lirik) mengekspresikan secara jelas dan menyatakan dengan tegas bahwa puisi menyediakan ruang cinta yang seakan-akan penyairnya telah lama hidup di ruang itu, namun pada bait ketiga ini menyatakan Aku pun ingin menulis cinta di lembar yang selalu terbuka. Dengan pernyataan ini, ternyata aku (lirik) masih bercita-cita untuk bercinta. Di sinilah letak absurditas dalam antologi ini. Sehingga Hasta perlu mempelajari tiga persoalan yang diajukan oleh Raudal Tanjung Banua dalam pengantarnya itu.

Pertama, bagaimana menghadirkan tema spisifik di tengah berbagai tema yang ada, demi penajaman ruang lingkup estetik dalam ruang lingkup keberpihakan? Kedua, bagaimanakah bekal kampung-halaman dapat dipertanggungjawabkan dalam penajaman kerja estetik, terutama pada soal keberjarakan? Ketiga sejauh manakah totalitas aku (lirik) memberi sumbangan bagi penajaman misi estetik yang hubungannya dengan keterlibatan. Kemudian saya akan menambahkan dua catatan lagi.

(1) sejauh mana kematangan idealitasnya sebelum menulis sajak sehingga cenderung berbobot dan bermutu? Artinya dalam menulis sebuah puisi, berangkat dari pengalaman diri sendiri yang diakui oleh mayoritas, Misalnya seperti sajak Honey Moon (Bulan Madu) karya Abdul Wachid Bs. dalam antologi Ijinkan Aku Mencintaimu. Puisi itu ditulis berdasarkan penelitian pada bulan madu yang dialami dirinya sendiri, teori dan yang dialami oleh orang lain. Abdul Wachid Bs. telah melakukan penggabungan antara rasionalisme dan empirisisme. Jadi, jika demikian pembangunan ide yang dilakukan Achid dalam puisinya sangat kuat dan tajam, dan referensinya juga kuat. (2) Bagaimana karakteristik menggurui pembaca tidak lagi muncul dalam puisi Hasta.

Catatan-catatan di atas merupakan sebuah control eksternal-kontruktif sebagai upaya untuk memperbaiki bersama dan merupakan upaya (wa tawa shaubil-haq wa tawa shau bis-shabr) mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran (QS al-ashr:3). Tidak ada ceritanya, seniman atau sastrawan, tidak punya kepedulian pada sesama, lingkungan dan alam semesta. Apa artinya kata-kata jika kita tidak punya rasa, apa artinya rasa jika tidak ingin berbagi pada sesama. Maka semuanya akan absurd, akan terjadi tsunami pada batin kita masing-masing karena dikejar oleh image-image yang membuat diri terasing. Oleh karena itu puisi dalam antologi ini telah sah menjadi puisi, namun belum menjadi teks sastra yang dapat menggugah pembaca untuk berimajinasi lebih jauh dan mendalam. Tidak sebagaimana puisi-puisinya Chairil Anwar, Sutardji Colzoum Bahri, D. Zawawi Imron, Acep Zam-zam Noor yang lumayan nikmat dan imajinatif. Membaca satu di antara sajak-sajak mereka seperti membaca ribuan lembar sejarah umat manusia, filsafat, sosiologi, tasawuf dan lain sebagainya. Wallu A’lam.

Penulis adalah santri di Pesantren Budaya Hasyim Asy’arie & Pengelola Roma Seni Bungkal Madura-Yogyakarta

Andrea Hirata, Ingin ‘Sulap’ Tanah Kelahiran Jadi Desa Sastra Pertama

Endro Yuwanto, Neni Ridarineni
http://www.republika.co.id/

Penulis novel ‘Laskar Pelangi’, Andrea Hirata, ingin menjadikan Desa Linggang, di Pulau Belitung, yang merupakan tanah kelahirannya sebagai desa sastra pertama kali di Indonesia.

”Sampai sejauh ini konsep Desa Sastra Linggang merupakan inisiatif pribadi saya saja. Konsep ini sudah lama ada dalam pikiran dan ide saya itu semakin menemukan jalan ketika saya dapat beasiswa sastra ikut International Writing Program (IWP) 2010 di University of Iowa, Amerika Serikat ini. Iowa city ini baru tahun lalu terpilih sebagai Unesco city of literature. Maka saya telah lihat sendiri bagaimana konsep sebuah kota literatur dan bagaimana pengelolaannya,” kata Andrea pada Republika, lewat surat elektroniknya yang dikirim Sabtu malam (24/10).

Menurut Andrea, untuk konsep desa sastra Linggang, pada tahap awal akan diletakkan pada tiga aktivitas pokok yaitu residensi, apresiasi, dan sebagai tempat untuk event sastra . ”Untuk program residensi ini saya sendiri, dengan sumber daya pribadi, telah membangun rumah puisi itu. Di rumah itu saya menyediakan fasilitas cuma-cuma bagi para penulis baik dari dalam maupun luar negeri yang mau berkarya, bahkan ada perpustakannya. Beberapa penulis luar negeri yang saya temui di Amerika telah menyatakan kesediaannya untuk memnafaatkan program residensi itu,” tutur Andrea.

Selanjutnya, untuk apresiasi, kata Andrea, sementara ini masih dalam bentuk Festival Laskar Pelangi yang akan berlangsung tanggal 1-30 November ini. Dalam festival itu ada workshop kepenulisan, disediakan media untuk berekspresi berkenaan dengan karya sastra, mulai dari reading sampai pada penampilan musikalisasi puisi.

Sementara, aktivitas ketiga adalah Desa Linggang diharapkan mampu menyediakan tempat bagi event-event sastra seperti konferensi penulis/sastrawan, serta festival-festival sastra yang bersifat lebih spesifik.

Dia berharap dengan dijadikannya Desa Sastra Linggang dapat mendorong perkembangan dunia sastra dan tulis menulis di dalam negeri, semakin meningkatkan apresiasi pada karya sastra, dan meningkatkan minat baca. Di samping itu juga untuk membangun budaya dan pariwisata Desa Linggang dalam bentuk sebuah desa berkonsep. Diakui Andrea untuk membangun desa sastra yang ideal tentu tidak bisa terjadi sekejap mata dan diperlukan proses yang lama dan komprehensif.

Umumnya pemikiran-pemikiran kreatif amat susah diserap oleh pemerintah daerah setempat, Di Belitong Timur saja misalnya, orang-orang luar menganggap tidak ada konsep yang jelas selama lima tahun terakhir ini untuk menggarap momentum Laskar Pelangi. ”Dinas Kebudayaan dan Pariwisatanya tergagap-gagap. Namun sekarang Belitong Timur baru saja dipimpin oleh kepala daerah yang baru yang memiliki pemikiran progresif , terbuka pada ide-ide kreatif, dan menghargai karya budaya. Mudah-mudahan ide saya ini menemukan jalannya di kampung sendiri,” tegas Andrea dari Iowa.

Teknologi, Sprititualitas, dan Kesadaran

Munawir Aziz
http://www.suaramerdeka.com/

PERKEMBANGAN teknologi tak hanya berjejak dalam ruang eksperimen dan penelitian canggih. Gerak cepat kemajuan teknologi bukan semata-mata lahir dari observasi khidmat di laboratorium sunyi dengan perangkat mutakhir. Teknologi yang melesat cepat juga melewati rahim pemikiran, perenungan, dan proses imajinatif ilmuwan, pemikir, dan teknolog.

Di ruang kemajuan zaman, teknologi menempati traktat penting dalam memberikan alternatif fasilitas bagi manusia untuk menikmati hidup, mengendalikan alam, dan mengelola hasrat. Jadi, teknologi membantu manusia menemukan fasilitas kreatif yang mempermudah pekerjaan dan meringankan kesulitan hidup.

Akan tetapi sering kali kemajuan teknologi tak diimbangi keinsyafan manusia menemukan kebenaran dan hikmah yang menyembul di balik kreativitas. Dengan ketajaman intuisi, kecermatan observasi, dan kemampuan kreatif manusia, memungkinkan teknologi berkembang dan berlari kencang.

Pasca-Abad Pencerahan (Aufklarung), teknologi tak lagi dianggap panglima pencerahan, instrumen penting kemajuan peradaban. Akan tetapi kalau tak mampu mengendalikan, teknologi dapat menjadi monster mengerikan. Meledaknya reaktor nuklir Chernobyl merupakan musibah mengerikan yang tak dapat dilupakan dalam sejarah kehidupan manusia. Walau awalnya dapat dikendalikan dengan saksama, lengah sedikit bukan hanya mencederai anggota tubuh, melainkan membunuh jutaan manusia dan mengancam kelangsungan kehidupan.

Kesadaran Teknologi

Perkembangan teknologi di negeri ini belum sepenuhnya memberi angin pencerahan bagi kehidupan warga secara utuh. Teknologi seakan hanya jadi komoditas dari pengusaha, birokrat, dan ilmuwan komersial untuk mendulang profit besar.

Dalam analisis MT Zen (1982), hakikatnya sains dan teknologi tidak berdiri sendiri, tetapi bergerak dalam kerangka sosial. Pertumbuhan dunia kini, terutama pertumbuhan industri yang berlandaskan sains dan teknologi, hanya akibat dari kebijakan ekonomi dengan dorongan motif ekonomi semata-mata.

Desakan pengaruh dari motif ekonomi itulah yang menyebabkan teknologi seolah menjauh dari atmosfer sosial masyarakat. Bahkan dalam lorong kemajuan, teknologi — meminjam istilah Hudan Hidayat (dalam kamus sastra) — seolah “hendak menjauh dari Tuhannya”. Inilah masa krisis teknologi yang mencekam, ketika teknologi menjauh dari kebenaran awal.

Selain krisis jati diri yang menggempur perkembangan teknologi, bangsa ini belum sepenuhnya memasuki gerbang “kesadaran teknologi”. Artinya, warga negeri ini belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk menggenggam teknologi sebagai alternatif meringankan kesulitan hidup.

Keengganan memahami dan mendekap kemajuan teknologi menjadikan gerak kemajuan peradaban jadi stagnan. Padahal, untuk mengejar kecepatan kemajuan pendidikan, industri, dan perdagangan dari bangsa lain, teknologi menjadi instrumen penting yang harus selaras dengan kebijakan pemerintahan.

Hal itulah yang disesalkan YB Mangunwijaya (1999), yang menyatakan dalam generasi “pasca-Einstein”, manusia Indonesia harus memanggul teknologi untuk melesat cepat ke arah kemajuan peradaban. Akan tetapi ditemukan paradoks yang berat, yakni kekayaan dan keampuhan matematika, ilmu pengetahuan serumpunnya, dan teknologi sains, di satu sisi membekali generasi muda dengan kepastian serba-eksak, objektivitas, dan daya andalan yang tinggi. Di sisi lain, memberikan kesadaran kenisbian dan alternatif rumit sehingga menggoyahkan pandangan tentang alam semesta, kehidupan, termasuk makna manusia.

Perkara Tuhan

Teknologi yang hendak menjauh dari Tuhan menyebabkan manfaat percepatan sains yang menunjang keterciptaan perangkat teknologi seakan mengering. Padahal, dalam pemahaman teks agama, segala dalil kebenaran termaktub dalam kitab suci. Alquran sebagai pedoman hidup kaum muslim membentangkan beberapa dalil penting untuk membantu profesor dan teknolog dunia menyibak tabir kebenaran dunia.

Teori big-bang, yang jadi misteri besar dalam jagat sains, diterangkan secara gamblang dalam rentetan ayat Alquran. Penciptaan langit, bumi, dan makhluk hidup mendapatkan penjelasan utuh dalam ayat Tuhan. Berpegang dari teori dalam Alquran, misteri kehidupan dan struktur kimia yang masih terselubung kabut akan dapat dipecahkan. Bahkan dengan berpegang pada kebenaran kitab suci, banyak ilmuwan menentang teori penciptaan manusia yang diimani penganut mazhab darwinisme.

Sebagai pelopor perkembangan sains, Einstein pada masa tua juga menjadikan ilmu pengetahuan untuk mendekat pada keagungan Tuhan. Catatan sejarah yang menyatakan spiritualisme Einstein makin berserak. Biarpun melalui observasi rumit untuk menemukan teori relativitas, Einstein menjadikan sains sebagai media penting meraba ketakterhinggaan-Nya.

Teknologi yang senapas dengan kebenaran akan menemukan Tuhan dalam cahaya pencerahan. Kisah ilmuwan yang menjadikan teknologi sebagai entry point meraih kesejahteraan diri menjadi bukti betapa teknologi dan spiritualitas erat berkait. Ilmuwan seperti Bill Gates dan beberapa ilmuwan lain yang jadi konglomerat pada masa tua mengalokasikan profit pengembangan teknologi dalam bidang filantropi dan bantuan kemanusiaan.

Jadi, teknologi yang hendak menjauh dari Tuhan adalah kreativitas semu yang jauh dari misi pencerahan. Jika begitu, zaman kegelapan kembali mengancam peradaban manusia. Teknologi yang insyaf dengan nilai-nilai kebenaran dan spiritualitas akan memberikan manfaat bagi peradaban manusia dalam rengkuhan modernitas di selasar zaman yang berlari kencang ini.

*) Munawair Aziz, esais dan peneliti kelahiran Pati

Template Afrizal Malna

Ribut Wijoto
Radar Surabaya (7/11/2010)

Dalam beberapa hal, saya adalah penggemar Afrizal Malna. Ketika suatu kali Afrizal bilang bahwa banyak penyair sekarang sebenarnya tidak punya alasan untuk menulis puisi, sungguh, saya terpesona.

Apakah pernyataan itu dilontarkan setelah melalui riset yang panjang, pertimbangan mendalam, atau sekadar ceplosan, saya tidak tahu pasti. Yang pasti, dalam beberapa hari bahkan bulan, pernyataan itu terus terngiang dalam benak saya. Dia seakan merasuk inheren pada otak saya, istilah Jawanya, saya terus kepikiran. Beruntung bagi saya, pernyataan Afrizal tidak sampai membetot mimpi saya. Mimpi saya tetap terisi persoalan-persoalan rumah tangga. Semisal percintaan saya dengan istri saya yang tidak pernah jenuh kami lakukan. Pernyataan Afrizal hanya berkelindan dalam pikiran ketika saya sepenuhnya sadar.

Pernah suatu kali saya iseng menanyakan kepada Afrizal, apakah puisi-puisi yang termuat di media itu bisa dijadikan standar kualitas puisi di Indonesia. Dia menjawab dengan nada datar, “Ribut.., para redaktur itu banyak yang tidak paham puisi”. Waduh! Jawaban apa pula ini. Untung yang ngomong Afrizal Malna, tokoh idola saya. Coba kalau yang ngomong orang lain, saya tentu mendebatnya habis-habisan. Atau setidaknya, saya akan langsung menganggapnya sedang pilek pengetahuan. Tapi ini Afrizal, tokoh idola saya. Engkau tahu, setiap omongan idola adalah spirit menjalani kehidupan. Semisal engkau mengidolakan Amin Rais. Maka setiap omongannya tentang politik, engkau tentu menghargainya, menghormatinya. Nah, ini Afrizal Malna, seorang penyair dan dia berbicara tentang kepenyairan, tidak bisa tidak, saya menghormatinya.

Afrizal, dia telah mendedahkan 2 soal gawat bagi keinginan saya membaca karya puisi-puisi saat ini. Bagaimana tidak, penyairnya dinilai tidak punya alasan menulis puisi sedangkan redakturnya dianggap tidak paham puisi. Klop. Itu artinya, puisi-puisi yang dimuat media massa saat ini adalah sampah. Diam-diam saya berdoa, semoga penilaian ini salah.

Lantas saya berusaha mengabaikan statemen Afrizal. Saya tetap tanpa jemu mengikuti satu dua puisi di media massa. Membacanya. Kadang menyimaknya. Kadang memasuki lanturan imajinasinya. Kadang menyisir asonansinya, rima-ritmenya, pilihan diksinya yang mencengangkan, literasinya, juga tipografinya yang kadang sopan kadang norak. Saya menikmatinya. Bersanding dengan semburan berita, feature, iklan, dan foto lepas; keberadaan puisi tetap menyuguhkan dunia lain. Pada puisi, semua peristiwa penting bisa bertemu dengan peristiwa sepele. Berpadu pula dengan peristiwa seronok. Dan, ini yang paling istimewa, puisi-puisi itu mengajak saya untuk berkontemplasi. Bukankah ini asyik? Sangat berbeda dengan membaca berita. Apalagi baca iklan. Wekss!!

Tetapi begitulah, keasyikan saya membaca puisi tidak sepenuhnya menyebar di seluruh tubuh. Ada beberapa bagian tubuh saya menolak untuk menikmati puisi Indonesia saat ini. Semakin ganjalan itu saya tekan, semakin dia menolak untuk menyingkir. Dia membantah, mengajak beradu argumen, dan saya tidak menanggapinya. Saya hanya memberi saran pada sebagian tubuh saya; pikiran kamu itu tidak bersih, kamu telah dipengaruhi Afrizal Malna, istigfarlah, memohon ampun pada Allah SWT, kembalilah pada jalan yang benar, abaikan orang yang telah memprovokasi kamu, jernihlah memandang fenomena-fenomena baru, jangan terlalu percaya pada status quo. Bukannya menurut, bagian tubuh saya yang menolak puisi Indonesia semakin beringas, dia secara terang-terangan menantang saya. Sekali lagi, saya tetap tidak peduli dengan tantangannya. Saya anggap dia sedang caper (cari-cari perhatian). Maka, saya memilih untuk pamit pergi. Pura-pura sedang ada janji dengan teman.

Saya menuju warung. Memesan kopi dan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana. Sembari mengepulkan asal, saya bergumam, ah, hidup memang layak untuk dibuat gembira.

Sebagai penggemar Afrizal, saya merasa mengenal baik puisi-puisi Afrizal. Saya merasa sepenuhnya tahu, puisi Afrizal adalah reproduksi tradisi perpuisian yang sebelumnya pernah ada. Afrizal memahami teknik puisi mulai dari zaman Indonesia masih dijajah Belanda hingga puluhan tahun setelah Indonesia merdeka. Kesemuanya turut membentuk karakter puisi Afrizal. Secara sadar dia mengadopsi dan mengolah kembali sehingga membentuk pola puitik tersendiri. Dari situ, saya bisa katakan, Afrizal telah berkontribusi terhadap tradisi kepenyairan (baca: kesusastraan) di tanah air. Dia tidak sekadar mengekor. Lebih dari itu, dia mencipta ulang.

Mengekor dan mencipta ulang tentu saja berbeda jauh. Tradisi puisi menyediakan pola puitik seperti template website. Pada blog wordpress misalnya, pengguna telah disediakan beragam macam template. Tinggal memilihnya. Usai memilih, pengguna cukup memasukkan tulisan atau foto. Jadilah blog baru. Kegiatan ini yang saya sebut mengekor. Kalau mencipta ulang, pengguna bakal membuat template tersendiri. Setelah jadi, dia baru memasukkan tulisan dan foto.

Begitu pula dengan kepenyairan. Tradisi puisi itu semacam template. Seseorang bisa memasukkan kalimat atau kisah di dalamnya. Lahirlah puisi baru. Semisal template sajak perenungannya Subagio Sastrowardoyo, template sajak lirisnya Sapardi, template sajak mantra Sutardji Calzoum Bachri, atau template pantun. Banyak sekali template puisi yang disediakan tradisi puisi Indonesia.

Nah, Afrizal mempelajari template-template itu untuk menciptakan template baru. Inilah yang saya sebut sebagai penciptaan ulang.

Tidak cukup mencipta template, Afrizal juga membelakkan mata terhadap realitas keseharian sekaligus mendialogkannya dengan ilmu pengetahuan terkini. Dia lahir dan besar di ibukota, Jakarta. Kesehariannya sangat keras. Bayangkan saja, jumlah kantor terbanyak se Indonesia, ada di Jakarta. Supermarket terbanyak di Jakarta. Mobil dan televisi terbanyak ada di Jakarta. Dan di situlah, Afrizal hidup. Imbasnya, ketika menulis puisi, Afrizal tidak bersikukuh membicarakan daun dan laut. Gunung dan sawah. Afrizal menulis tentang deru kereta, barang-barang mewah, coca cola, pemerintahan yang sibuk, keterasingannya terhadap lintasan waktu, identitas-identitas liar di sekujur tubuhnya. Afrizal menulis karena segala peristiwa telah melebihi dirinya. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa, tulis Afrizal. Dia bisa sampai pada perspektif itu karena dituntun oleh pemikiran postmodern. Sejak tahun 1970-an dan memuncak pada akhir 1980-an, Indonesia memang sedang mabuk posmodernisme. Tidak terkecuali Afrizal. Maka, Afrizal pun mempertanyakan tubuh, mempertanyakan bahasa, memecah indentitas, menghirup simulakra, merayakan global village. Rosa membesar jadi sebuah dunia seperti Rosa mengecil jadi dirimu, tulis Afrizal pada puisi yang lain. Begitulah, Afrizal menulis puisi dengan mata terbelalak. Tradisi puisi ditangkap sekaligus persoalan kekinian disadap.

Saya tidak tahu pasti, apakah proses itu yang disebut Afrizal sebagai alasan menulis puisi. Apakah proses itu pula yang dianggap Afrizal tidak dipahami para redaktur. Sekali lagi, sungguh, saya tidak tahu pasti. Yang pasti saya tahu, penyair kerapkali berbohong dalam berbicara. Kejujuran penyair hanya ada pada puisi.

________________ Studio Teater Gapus, 2010

Kebudayaan dalam Dua Wajah

Donny Anggoro
http://oase.kompas.com/

Sebagai salah satu wilayah negara berkembang di Asia Tenggara, Indonesia terlibat dalam proses mencari kesepakatan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang mereka punya. Adapun kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah warisan berbagai bentuk yang diterima sebagai identitasnya.

Susunan pemerintahan lokal misalnya tata cara keraton Yogyakarta dan Solo, bahasa, nilai-nilai kepercayaan, dan berbagai bentuk ekspresi seni budaya di berbagai tempat dipertahankan sebagai bagian dari warisan sejarah itu.

Proses perkembangan dan modernisasi dengan menunjukkan pergeseran masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat yang lebih bersifat perkotaan dalam beberapa kasus tertentu menunjukkan perkembangan berarti. Tataran nilai-nilai konvensional dalam kebudayaan tradisi pelan-pelan didobrak sehingga dalam perkara kesenian, hasil-hasil seni yang dihasilkan relatif lebih kontekstual agar terlihat gesit mengikuti perkembangan zaman.

Tapi di tengah-tengah perkembangan tersebut, kegamangan ternyata meliputi mereka. Antara kebudayaan tradisi dan populer ternyata “jalan di tempat” dengan ideologinya sendiri-sendiri. Kebudayaan tradisional berpegang teguh pada nilai leluhur sedangkan yang modern (kini banyak disebut generasi “X” dan generasi “MTV” yang sungguh-sungguh tercerabut dari tradisi) begitu asyik dengan “cita rasa global”nya sehingga segala perkakas kebudayaan masa lalu perlu dipangkas menjadi sesuatu yang terlihat sungguh-sungguh modern.

Contoh kecil misalnya sebuah karya novel yang dihasilkan dari masyarakat kosmopolit tentunya sulit mendapat pengakuan kritikus atas kreativitas yang dihasilkannya sehingga hanya novel-novel yang akrab dengan budaya lokallah yang diterima. Tapi begitu berhadapan dengan selera masyarakat yang bersifat diskriminatif, novel-novel pop relatif nyatanya lebih mudah mencapai penjualan best seller dibandingkan novel-novel yang dikenal kuat muatan lokalnya.

Mungkin dalam perkara karya sastra, cara pencapaian dalam kerangka eksperimental (avant-garde) masih bisa diterima kaum kriktikus sebagai cara lain berpijak dari ungkapan-ungkapan yang bersifat dalam tataran kerangka lama. Tapi ini pun juga pada kenyataan yang sulit lantaran bentuk-bentuk keprihatinan yang seharusnya tidak terjadi diterima sebagai noda, bukan sebagai contoh perkembangan yang tengah terjadi di masyarakat.

Baiklah, fakta bahwa masing-masing mereka hanya “jalan di tempat” tak dapat disangkal. Fakta “jalan di tempat” membuat dua wajah kebudayaan kita ini, tradisi dan populer kemudian memiliki potensi yang dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri. Tapi betapa ajaibnya tatkala mereka sama-sama menghadapi realitas ternyata persoalan marginalitas juga yang menyelimutinya.

Masing-masing tiba-tiba menjadi teralienasi dengan kehidupan sosialnya. Yang lahir dari akar tradisi gagap tatkala berupaya meleburkan diri dengan modernitas. Anggapan-anggapan sinis seperti primitif, terlalu mengawang-awang (tidak kontekstual), tidak modern, dan kuno muncul sehingga ia ditinggalkan masyarakat modern.

Sedangkan yang lahir dari ketercerabutan akar budaya tradisi begitu sulit mencapai pengakuan kreatif dari kaum budayawan lantaran hasil seni yang dicapainya hanya bertumpu pada konteks kekinian dan kontekstual semata yang sama sekali jauh dari semacam nilai-nilai permenungan apalagi sejarah.

Hasil seni yang dihasilkan sebagai “kebudayaan pop” dengan kesan yang diberikan dari kata “populer” atau dengan kata lain menyangkut “massa” yang banyak kemudian dicaci sebagai “racun” dengan alasan “tidak membumi” karena telah meninggalkan tradisi.

Baiklah, alasan “tidak membumi” dapat diterima sebagai salah satu batasan mutlak. Tapi apakah kemudian para pelaku kebudayaan kontemporer yang notabene sedang mencapai pemikiran penggabungan antara nilai-nilai tradisi dan modern mudah mendapatkan pengakuan di tengah-tengah modernitas?

Dalam tulisan saya berjudul Nasionalisme? di majalah GONG, edisi 64/VI/2004 terbukti masih sulit dicapainya pengakuan itu. Keberhasilan grup musik Discus menembus label rekaman Italia, Mellow Records misalnya hanya diakui segelintir orang sehingga posisinya menjadi marginal walau sudah mengharumkan nama bangsa. Perjuangan sastrawan Pramoedya Ananta Toer agar masuk nominasi hadiah Nobel pun malah digerakkan Profesor Koh Yung Hun, seorang berkebangsaan Korea yang juga menggerakkan pusat budaya Indonesia di Korea.

Baiklah, kondisi ini membuat kita lebih mandiri sehingga tak perlu mengemis kepada pemerintah. Tapi, bukankah hal naif setelah berpeluh keringat, para pegiat kebudayaan tetap saja dalam posisi marginal? Atau memang persoalan kebudayaan belum dianggap penting?

Jurang pemisah dalam dua wajah kebudayaan kita ini menjadi sangat terbentang lebar. Yang tradisi mencela sebagai dampak buruk globalisasi, sedangkan yang berwajah modern mencelanya sebagai “potret-potret tulang berserakan” sehingga ia harus ditinggalkan dengan alasan “tidak keren”.

Ya, setiap seniman telah berusaha agar karyanya dapat muncul ke permukaan. Karya seni apapun bentuknya harus muncul masing-masing ke permukaan dalam kehidupan dunia modern, era informasi, dan globalisasi sekarang ini. Tapi setiap hasil karya seni tiba-tiba mempunyai jarak yang jauh dengan masyarakat penikmatnya walau untuk menyiasati tantangan dunia modern, masing-masing telah berupaya sekuat tenaga membungkus dirinya ke dalam formula bernama kitsch hingga menjadi satu kesenian yang dapat dikemas sebagai komoditi dagang.

Baiklah, untuk mencapai keuntungan komersial, barisan hasil seni yang lahir sebagai respon terhadap permintaan masyarakat perkotaan dapat mencapai perhitungan untung secara komersial dibandingkan barisan hasil seni yang lahir dari tradisi. Baiklah, untuk menyikapi modernisasi, pelbagai upaya agar dapat melebur kepada hitungan massal harus ditempuh.

Tapi, apalah artinya ketika dihadapkan kepada masyarakat yang rata-rata cenderung bersikap sangat diskriminatif, karena tahu apa yang mereka inginkan, dan tahu apa yang mereka mau, sehingga kegamanganlah yang kemudian melanda para pelaku kebudayaan.

Pertanyaan mengusik, benarkah ada yang salah dalam cara-cara penyampaian komunikasi dan sosialisasi sebuah modernisasi? Bukankah masing-masing memiliki ideologinya sendiri-sendiri agar diterima masyarakat? Bukankah jika meminjam istilah Mohammad Diponegoro dalam dunia sastra Indonesia “tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang menentukan sudut pandangan, dari mana cerita itu harus dilihat” sehingga masing-masing memiliki masyarakat pendukungnya sendiri-sendiri? Jika benar masing-masing telah memiliki ideologi dan masyarakatnya sendiri-sendiri mengapa masalah untuk menjadi marginal yang selalu menjadi hambatan?

Pola Sikap yang Keruh

Kebudayaan dalam dua wajah tadi telah disinggung dalam usaha meleburkan diri dalam perkembangan hasil karya seni. Bagaimana dengan pola sikap yang sedang berkembang? Hal inilah yang justru terlihat di masa sekarang malah semakin menunjukkan kekeruhan. Di zaman modern yang senantiasa tengah bergerak ini akan lebih mudah didapatkan potret-potret masyarakat sosial yang secara finansial sangat mampu mengapresiasi karya seni, tapi nyatanya mereka sendiri bahkan buta terhadap kesenian.

Kesenian dan profesinya dianggap kurang berarti dibandingkan pencapaian ekonomis. Sekedar contoh dalam kebijakan editorial media massa, rubrik kesenian, dan budaya cenderung terpinggirkan. Mungkin untuk mencapai kesepakatan kompromi, ada yang lalu menggabungkannya menjadi “seni & hiburan”. Tapi bagi ukuran media massa yang belum mapan secara ekonomis rubrik seni rata-rata dihilangkan jika semula memang ada sehingga hanya media massa tertentu yang relatif mapan mau menyediakannya.

Rubrik kesenian akhirnya terhimpit pada iklan, gosip selebritis, dan berita seks serta politik. Ia dianggap tidak efisien lantaran bobotnya hanya dibaca dan diterima oleh kalangan tertentu saja. Contoh lain lagi lebih banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang orientasinya adalah bisnis. Bahkan, kegiatan pembisnisan lembaga pendidikan ini semakin parah dengan aspek komersialnya.

Komersialisasi sebetulnya membuat kita tak percaya akan fungsi utama pendidikan sebagai medium antara masyarakat dalam menghadapi era globalisasi. Komersialisasi pendidikan yang seolah menunjukkan kemajuan seperti dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah (Eko Prasetyo, Insist Press, 2004) sesungguhnya malah kemudian berujung pada kompleksitas sosial dengan makin meningkatnya jumlah pengangguran. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan seni yang ada cenderung minim peminat karena ia tak mampu menunjukkan perkembangan yang membuat masyarakat kemudian percaya dalam kerangka ekonomis.

Baiklah, ada sejumlah pemilik modal yang “melek seni” atau para pelaku kesenian mencoba membuat media seni sendiri dengan cita-cita luhur “atas nama kebudayaan”. Tapi itupun juga lungkrah tatkala penerbitan berkala seperti jurnal, majalah, dan buku-buku setiap terbitnya hanya menumpuk di gudang.

Baiklah, ada juga media massa yang relatif mapan menambah porsi rubrik keseniannya. Tapi konsekuensinya ia menjadi begitu “gemuk” lantaran begitu banyak misi yang ingin disampaikan. Beruntunglah dengan modal yang dimiliki ia mampu menerbitkannya dengan format lain misalnya menerbitkan buku bunga rampai antologi cerpen, puisi, atau esai terbaik versinya. Bagaimana kalau tidak, sedangkan penerbitan buku-buku semacam itu toh ternyata juga kurang laku?

Penghargaan kesenian juga umumnya masih rendah sehingga para pelaku kesenian mau tak mau terpaksa harus “bersembunyi” ke dalam profesi lain sebagai alasan untuk bertahan hidup. Baiklah, mereka dapat bertahan, bisa survive dengan kemampuannya berkompromi dengan selera massa. Tapi apa jadinya tatkala ia selalu terjebak dalam keraguan untuk mengadakan eksperimen karena antara seniman, kritikus, penerbit, dan masyarakat masih jalan di tempat seraya masing-masing mencari pembenaran atas “idiologi” yang dianutnya?

Contoh paling gawat dari pola sikap masyarakat yang makin berkembang akibat tercerabutnya akar tradisi adalah pemakaian bahasa asing supaya terlihat “keren” dan bergengsi. Wilson Nadeak dalam Judul Asing, Daya Pikat? (Kompas, 7 November 2004) meresahkan pemberian judul dengan bahasa Inggris dalam penerbitan kita akhir-akhir ini. Ia resah karena tak jelas apakah dengan pemberian judul tersebut (dengan huruf bahasa Indonesia yang dikecilkan) bagian pracetak tak sulit menangani desain dari penerbit aslinya sehingga lebih komunikatif untuk menjangkau pembeli menengah ke atas atau memang pasar ASEAN sudah mulai merambah negeri ini?

Modernisasi sebagai Gagasan

Setelah 350 tahun dijajah, banyak yang belum menyadari kebudayaan sebagai aset nasional dalam wacana besar dapat membangkitkan nasionalisme. Wujud kebudayaan tradisi yang ada memang diperhatikan pemerintah. Akan tetapi hasilnya masih dalam tahap pelestarian yang boleh dibilang tersempitkan pada kesenian daerah saja. Sosoknya pun boleh dibilang hanya menjadi aksesoris penyambut turis semata karena tak melebur pada perkembangan budaya di negerinya sendiri.

Sedangkan untuk menjawab tuntutan “masyarakat global” di negeri sendiri pentas kesenian begitu ramai dengan pelbagai aktivitas pusat kebudayaan dari luar negeri. Tapi bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita punya pusat kebudayaan di luar negeri?

Umar Kayam dalam makalah kebudayaan yang pernah disampaikannya dalam Festival Ramayana di Pandaan tahun 1971 pernah melontarkan sebuah ide menjembatani dua wajah kebudayaan Indonesia. Penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini menyampaikan gagasan modernisasinya yang terpengaruh ide David Apter. Menurut Apter, untuk mencapai modernisasi yang ideal ada dua kondisi yang dibutuhkan.

Pertama, satu sistem sosial yang akan mampu secara berkala mengadakan inovasi tanpa harus berantakan di tengah jalan. Kedua, ada satu kerangka sosial yang dapat memberikan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam teknologi. Umar Kayam sendiri kemudian menyimpulkan sistem sosial dalam kondisi pertama adalah sistem yang mampu mengembangkan unsur-unsur “lama” sehingga akan mungkin sekali peranan seni tradisi dalam keterlibatannya menciptakan infra-struktur guna menggalakkan pencapaian kondisi minimal yang ditawarkan. Sedangkan dalam kondisi kedua jika dapat dikembangkan lebih kreatif maka akan mungkin sekali seni tradisional masih bisa “ikut berbicara”.

Dalam teori yang dikemukakan Apter, dapat disimpulkan pergeseran masyarakat akan bisa berkembang lebih baik jika ada dialog yang memuaskan dengan unsur-unsur tradisional itu. Paling tidak rasa kegamangan yang terjadi akibat masing-masing terlampau yakin dengan ideologi yang dianut dan eksistensi yang dimilikinya dalam mengikuti perkembangan akhirnya dapat bertemu jika mengacu pada anggitan teoritis David Apter.

Missing Link dan Masalah Eksistensi

Heraclitus mengatakan bahwa manusia sesungguhnya sedang putus hubungan dengan sesuatu yang hakekatnya dekat dengan dirinya sehingga ia selalu terobsesi untuk menemukan kembali mata rantai yang hilang (missing link). William Barret mengemukakan ihwal missing link ini dalam Existensialism as A Symptom of Man Contempoary Crisis (“Spiritual Problem in Contemporay Literature”, Stanley Romain H. (ed) New York, Harper Torch Book. hlm. 139 sehingga ada usaha mempertanyakan arti dan tujuan hidup dalam kerangka menghadapi dua wajah kebudayaan yang sedang “asyik” berseberangan ini.

Missing link yang terjadi antara kebudayaan tradisi dan populer di sini jika merujuk pada William Barret umumnya terjadi antara dikotomi materialistik versus idealistik. Maka sulit ditolak di tengah krisis nilai yang melanda kehidupan, kita telah mengalami perubahan yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatisme liberal. Homo economicus sebagai paham humanisme telah mempengaruhi pemegang kebijakan sistem bukan pada kompetensi.

Akibatnya segala sesuatu diukur secara ekonomis, begitu juga pada modernisasi sehingga produk-produk kebudayaan telah meninggalkan nilai-nilai luhurnya. Kalau kebudayaan tradisi “emoh” beranjak dari kekeliruannya, sedangkan kebudayaan populer serta merta juga meninggalkan sejarahnya sehingga masa lalu bukan dianggap sebagai cermin menyongsong masa depan.

Baiklah, sejarah telah mewariskan nilai-nilai adiluhung, akan tetapi kesalahan yang telah diperbuatnya misalnya cara-cara yang cenderung feodal dan sangat patronistik seperti ditinggalkan begitu saja sehingga dalam kebudayaan tradisi yang selalu diingatkan kepada anak cucu adalah kehebatannya, bukan pula kelemahannya.

Lewis W. Spitz seorang profesor sejarah dari Universitas Stanford dalam tulisannya Sejarawan dan Ia Yang Lanjut Usianya (God and Culture, D.A Carson/John D. Woodbridge (ed.), William B. Eerdmans Publishing Co. Diterbitkan versi Indonesianya menjadi Allah dan Kebudayaan oleh Penerbit Momentum, 2002) sudah mengingatkan bahwa seperti perkembangan semua umat manusia lainnya, sejarah pun memerlukan penglihatan ke depan seperti juga hikmat akan pandangan masa silam.

Baiklah, di antara kubu yang berseberangan itu masing-masing memiliki wujud eksistensinya. Sedangkan seorang eksistensialis menurut keyakinan Kierkegaard telah memiliki kebenaran mutlak dengan lompatan-lompatan yang dibuatnya.

Tapi, jika terus menerus melangsungkan atawa melanjutkan kehidupan adalah segalanya dalam ihwal eksistensi, guru besar filsafat New York, Profesor Sidney Hook berujar, telah ditentukan masa yang buruk bagi diri sendiri. Menurut Hook yang harus dihindari adalah kepercayaan pada kebenaran mutlak. Siapa yang mengira bahwa ia memiliki kebenaran mutlak akan melupakan batas-batas perspektif dalam rangka melihat atau menggambarkan sesuatu.

Nah, pertanyaannya sekarang apakah kita masih asyik melupakan batas-batas perspektif itu? Jika ya, sampai kapankah kita melupakannya?*

Rawamangun, Januari ‘05

Komunitas Sastra di Indonesia: Tumbuh Bak Cendawan, Sirna Laksana Asap

Iwan Gunadi
http://riaupos.com/

Sejumlah kecil komunitas sastra membatasi anggotanya dengan “persyaratan” yang lebih khusus, sehingga hanya orang tertentu yang dapat menjadi anggotanya. Ada yang membatasinya dengan semangat gender, seperti Forum Sastra Wanita Merah Hitam Kuning (Tamening) di Padang (Sumatra Barat) dan Komunitas Sastra Dewi Sartika di Bandung, Jawa Barat. Ada pula yang hanya menerima buruh sebagai anggotanya, seperti Roda-Roda Budaya dan Budaya Buruh Tangerang, Banten. Ada pula komunitas yang anggotanya berlatar “profesi” yang sama, yakni pengamen jalanan, seperti Kompi. Institut Pramoedya di Bandung, Jawa Barat, dihuni para pembaca setia karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Ada pula komunitas sastra yang para anggotanya adalah penggandrung novel serial Harry Potter besutan JK Rowling. Tapi, karena minat mereka juga tak hanya satu, sebagian dari mereka, tetap menjadi anggota, pengurus, atau bahkan pendiri komunitas sastra yang lain.

Komunitas-komunitas sastra yang berbasis di kampus, sekolah, atau pesantren tentu punya anggota yang spesifik, yakni mahasiswa, siswa, atau santri. Komunitas-komunitas sastra itu ada yang menjadi bagian dari struktur organisasi unit kesenian yang resmi dibentuk perguruan tinggi, sekolah, atau pesantren masing-masing dan ada pula yang didirikan secara independen oleh sejumlah dosen, mahasiswa, guru, siswa, kiai, atau santri di masing-masing lembaga pendidikan itu. Unit kesenian di kampus, sekolah, atau pesantren tentu dihadirkan setiap institusi pendidikan untuk menyalurkan minat dan bakat setiap mahasiswa, siswa, atau santri di masing-masing lembaga itu sendiri sekaligus memberi perimbangan dan atau pengayaan terhadap pelbagai pengetahuan ilmu yang mereka terima dalam proses pembelajaran dan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum di masing-masing lembaga itu. Yang terbanyak tentulah komunitas sastra yang berbasis di kampus lantaran sekurangnya sejak Orde Baru hampir setiap kampus atau perguruan tinggi memiliki organisasi Unit Kesenian Mahasiswa (UKM). Pemicu utama lainnya tentulah keberadaan fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya di suatu kampus. Dan, hampir semua perguruan tinggi berbentuk universitas di Indonesia memiliki fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya. Peran sastrawan yang tak menjadi bagian dari komunitas kampus juga tak dapat ditepiskan. Komunitas-komunitas sastra yang berbasis di kampus ini mampu memberikan kontribusi yang lumayan besar bagi perkembangan kesusastraan Indonesia sekurangnya selama sekitar 30 tahun terakhir.

Talent Cooter, Dewa Pemelihara Benih

Komunitas sastra sering diibaratkan sebagai habitat yang demokratis. Tak ada anggota yang berposisi lebih tinggi ketimbang anggota yang lain di luar konteks struktur organisasi. Tapi, walau tak banyak, ada saja anggota komunitas sastra yang menjadi titik as atau pusat dari komunitasnya. Anggota seperti itu biasanya punya pengaruh atau hegemoni yang lebih besar ketimbang anggota-anggota yang lain. Pada titik tertentu, hegemoni yang besar tampak dari sungkan atau “tak beraninya” para anggota yang lain membantah pendapatnya, misalnya. Pengaruh itu muncul bisa karena faktor pengetahuan atau karya sastra (otoritas kesastrawanan)-nya yang dinilai lebih unggul, hubungan yang luas, kepemilikan otoritas di rubrik sastra dan atau budaya media massa, kemampuan ekonomis yang besar, atau sekadar usia yang lebih tua atau senioritas. Dalam kaitan itu, tak heran jika Komunitas Utan Kayu (KUK) selalu diidentikkan dengan Goenawan Mohamad, Wowok Hesti Prabowo dengan KSI, Helvy Tiana Rosa dengan FLP, dan Gola Gong dengan Rumah Dunia. Sebelumnya, pada 1980-an, Putu Arya Tirtawirya selalu dikaitkan dengan Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nasional (HP3N) dan Umbu Landu Paranggi selalu diidentikkan dengan Persada Studi Klub (PSK) di Jogjakarta pada 1970-an. Begitu pula dengan WS Rendra yang diidentikkan dengan Bengkel Teater, baik ketika masih di Jogjakarta maupun setelah Bengkel Teater pindah ke Depok, Jawa Barat, hingga sekarang.

Khusus untuk faktor pengetahuan, sejumlah nama dapat disebut karena kemampuan mereka dalam melatih atau mendidik. Misalnya, selain Umbu Landu Paranggi, ada Saini KM, Herman Ks, Diah Hadaning, Korrie Layun Rampan, Victor G Rusdiyanto, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan Widjati yang laksana dewi atau dewa pemelihara benih kesastrawanan atau kesastrawatian. Tentu, tak semua dari mereka berkecimpung dalam “komunitas sastra” sebagaimana kita memahami KUK, KSI, FLP, dan Rumah Dunia, misalnya.

Puisi Bergemuruh, Karya Melimpah

Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Mereka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bahkan, akibat begitu banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia sedang mengalami inflasi penyair dan booming puisi. Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat “penyair” pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming yang muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya. Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa­ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual.

Sayangnya, semua itu hanya mampu diakses segelintir orang. Masyarakat luas tak mampu mengaksesnya. Satu hal itu terjadi lantaran masyarakat Indonesia tentu bukan pemburu buku. Dua, ketakmampuan mengakses tersebut terjadi lantaran karya-karya itu umumnya dicetak sangat terbatas. Bahkan, ada yang difotokopi hanya puluhan eksemplar.

Tiga, penyebarannya sangat sempit. Biasanya karya-karya itu hanya beredar dalam sejumlah komunitas yang memiliki jaringan dengan penerbit atau penulisnya. Paling sial —dan ini tak jarang terjadi— karya-karya itu hanya dinikmati anggota komunitas penerbitnya. Empat, kesadaran mereka untuk mendaftarkan karya-karya cipta itu sangat tipis. Akhirnya, pelbagai karya sastra lahir di pelbagai komunitas sastra bak cendawan di musim hujan dan jejaknya hilang laksana asap.

Puisi Dibaca, Diskusi Digelar

Lebih banyak komunitas sastra dengan kegiatan utama berdiskusi ketimbang komunitas sastra dengan kegiatan utama pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi (baca: deklamasi), musikalisasi puisi, atau teaterisasi puisi. Tapi, hal itu bukan jaminan bahwa kegiatan berdiskusi lebih banyak dilakukan ketimbang pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi.

Yang justru terjadi adalah sebaliknya: pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi, mendominasi berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas sastra di seluruh Indonesia. Diskusi formal atau informal, seminar, saresehan, pelatihan, penerbitan buku, dan jenis kegiatan lain tentang sastra yang diselenggarakan komunitas-komunitas sastra hampir selalu diselingi dengan kegiatan pementasan karya sastra, khususnya pembacan puisi. Bahkan, diskusi, seminar, saresehan, dan pidato yang membahas bukan tentang sastra tak jarang diselingi dengan aktivitas pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi. Banyak demonstrasi buruh dan mahasiswa diselingi pembacaan puisi, termasuk demonstrasi mahasiswa yang akhirnya memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden RI.

Kegairahan membaca atau mementaskan karya sastra seperti didedahkan di atas tentu tak lepas dari relatif terjaminnya kebebasan berekspresi. Di sisi lain, sambil meminjam terminologi dari buku Walter J Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, A Teew pernah menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia terimpit dilema di antara kelisanan dan keberaksaraan dengan kenyataan yang jauh lebih kompleks.

Kegiatan lain yang dominan dilakukan pelbagai komunitas sastra di Indonesia adalah berdiskusi. Ada sejumlah bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai berdiskusi dalam pembahasan ini. Mulai dari mengobrol, berdebat, seminar, saresehan, kongres, hingga bentuk-bentuk lain perbincangan yang memungkinkan peserta bertukar informasi, pikiran, dan perasaan; serta menyampaikan dan menerima pujian, tanggapan, saran, kritik, atau celaan dalam suatu topik tertentu.

Tak seperti kegiatan pembacaan atau pementasan karya sastra, kegiatan berdiskusi tak selalu hadir pada setiap kegiatan sastra. Selain sebagai kegiatan mandiri, kegiatan berdiskusi umumnya hadir pada kegiatan sastra dengan cakupan yang lebih luas. Pada pertemuan seperti itu, berdiskusi kerapkali menjadi kegiatan utama. Ada lumayan banyak nama yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti itu. Misalnya, dialog sastra, forum sastra atau sastrawan, festival sastra, jambore sastra, kongres sastra atau sastrawan, pekan sastra, pertemuan sastra atau sastrawan, silaturahmi sastra atau sastrawan, dan temu sastra atau sastrawan. Yang paling banyak digunakan adalah temu sastra. Cakupan peserta atau wilayahnya bisa satu daerah tingkat dua (kabupaten atau kota madya), beberapa daerah tingkat dua, satu daerah tingkat satu (provinsi), beberapa daerah tingkat satu, satu pulau, beberapa pulau, nasional atau se-Indonesia, beberapa negara serumpun (Melayu), dan bahkan ada yang bercakupan lebih luas dari itu. Acara-acara itu ada yang digelar hanya sekali, tiap tahun, atau tiap dua tahun. Tak semua kegiatan seperti itu diselenggarakan secara penuh oleh komunitas sastra. Kegiatan dengan skala yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas lebih sering digelar oleh lembaga pemerintah, dewan kesenian, atau komunitas sastra yang memiliki jaringan yang luas dan dukungan finansial yang kuat, termasuk memiliki jaringan atau dukungan di lembaga pemerintah, dunia usaha, atau lembaga donor dari luar negeri. Tak heran jika jaringan atau dukungan tersebut menyempit atau melemah, kegiatan yang semula diniatkan dapat diselenggarakan secara rutin terpaksa menjadi beberapa kali saja atau bahkan hanya satu kali.

Melimpahnya Karya Sastra, Melemahnya Mutu?

Menerbitkan buku merupakan “kegemaran” lain komunitas sastra di Indonesia selain membaca puisi dan berdiskusi. Pemetaan yang dilakukan KSI menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek saja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Angka tersebut belum memasukkan jumlah buku yang diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang baru berdiri pada 1997 di Depok, Jawa Barat. Ketika berulang tahun yang kesepuluh pada 2007, FLP pernah mengklaim telah menerbitkan lebih dari 500 judul buku selama rentang eksistensinya. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Kalau cakupan wilayah diperluas hingga seluruh Indonesia dan rentang waktu diperpanjang hingga masa mutakhir, tentu, jumlahnya akan jauh lebih dari angka itu. Melimpahnya karya sastra, sementara ini, memang menjadi sumbangan terbesar komunitas sastra bagi khazanah sastra Indonesia. Sebab, sekali lagi, begitu banyak karya sastra lahir di sana.

Menerbitkan buku sastra memang menjadi obsesi setiap komunitas sastra. Bahkan, bagi komunitas sastra yang punya dana lebih dari cukup, boleh jadi, hal itu merupakan suatu “kegemaran”. Pada sedikit komunitas sastra, obsesi dan “kegemaran” tersebut dibarengi dengan selektivitas yang ketat, sehingga mampu menghadirkan karya sastra yang mutunya terjaga. Pada banyak komunitas sastra yang lain terjadi hal yang sebaliknya. Maklum, banyak sastrawan dalam komunitas sastra menerbitkan buku sastra hanya bermodalkan keberanian dan kenekatan. Mereka tidak menguasai kata. Padahal, kata jugalah yang mereka tekuni setiap hari. Sedikit dari mereka memang berbakat dan atau memiliki intelektualitas yang cukup. Selebihnya adalah tanpa bakat dan intelektualitas.

Sayangnya, pelbagai kegiatan sastra yang dilakukan komunitas-komunitas sastra itu bergerak dalam frekuensi yang berubah-ubah, turun-naik, dengan intensitas perubahan yang berbeda-beda antara satu jenis kegiatan dan kegiatan lain, sejak 1970-an hingga akhir 2000-an. Situasi politik dan ekonomi tentu dapat ditengarai sebagai penyebab utama.

Di sisi lain, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir belum memperoleh kajian yang menyeluruh dan mendalam dari para peneliti, baik peneliti Indonesia maupun luar Indonesia. Will Derks, peneliti dari Belanda, memang pernah mengulas komunitas sastra yang hadir sebagai gerakan pada pertengahan 1990-an, yakni Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), melalui tulisan bertajuk “Sastra Pedalaman: Pusat-Pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia”, tapi RSP hanyalah salah satu riak penting dari dinamika komunitas sastra di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, peneliti dari Jepang, Shiho Sawai, mencoba mengkaji fenomena komunitas sastra di Indonesia, tapi kajiannya lebih ke sisi pembiayaan (finansial)-nya. Bahkan, belakangan, perhatiannya lebih fokus ke sejumlah buruh migran di Hongkong yang bergiat menuis karya sastra. Meski begitu, bila upaya-upaya awal yang lebih spesifik itu terus dilanjutkan, kita tetap akan memiliki gambaran yang lebih menyeluruh dan komprehensif tentang dinamika perkembangan komunitas sastra di Indonesia.***

Iwan Gunadi
Sedang melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Indonesia. Menulis esai sastra danbahasa di berbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur bahasa di beberapa media seperti Tabloid Penta dan Majalah InfoBank. Tinggal di Tangerang, Banten.

Ristata Siradt, Pengarang Sumut, Pengabdi Sastra Indonesia

Sugeng Satya Dharma
http://waspadamedan.com/

Kerap berpeci, semasa hidupnya pria tua bertubuh kecil ini adalah figur lelaki dengan kesetiaan yang luar biasa. Bertahun-tahun menjadi guru bahasa di SMP Negeri IV Tebing Tinggi Sumatera Utara, lelaki ini adalah potret seorang pengabdi sejati sastra Indonesia.

Murid, tetangga dan teman-temannya menaruh rasa hormat yang sangat besar kepadanya. Tutur katanya lemah lembut, nyaris tak pernah bernada emosi. Ketaatannya sebagai hamba Allah pun ia wujudkan dalam khusyuk sholat yang nyaris tak pernah alpa.

Ristata Siradt, dialah salah seorang sastrawan besar Sumut yang sunyi dari publikasi. Sampai wafatnya pun, kecuali segelintir teman dekatnya sesama seniman, nyaris tak ada orang yang memberi penghargaan lebih pada apa yang dikerjakannya.

Bahkan pemerintah setempat (Pemkot Tebing Tinggi, Sumut), tak cukup peduli terhadap keberadaannya. Padahal, selain sebagai sastrawan yang produktif, Ristata Siradt adalah dokumentator sastra satu-satunya di kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Lahir di Laras, Simalungun, Sumut pada 9 Juli 1932 dalam lingkungan keluarga buruh perkebunan tembakau, ayah dan ibunya berasal dari Jawa Timur. Saniman, ayahnya, berasal dari Ponorogo sedang ibunya Giah, berasal dari Trenggalek.

Ayahnya adalah seorang yang gemar memainkan gamelan dan ibunya pandai pula mengalunkan tembang-tembang Jawa. Kekentalan darah seni kedua orangtua itulah yang kemudian mengaliri buluh-buluh nadi Ristata. Meski demikian, semasa kecil Ristata justru tidak tertarik pada seni gamelan dan tembang Jawa. Ia justru lebih menyukai sobekan-sobekan “Sumatera Shimbun”, Koran lokal terbitan Pemerintah Pendudukan Jepang. “Saat itu saya masih duduk di kelas tiga sekolah rakyat,” tuturnya.

Bacaan-bacaan itulah yang kemudian mengasah kepekaannya pada sastra. Sampai ia dewasa dan kemudian menjadi guru, kegemarannya pada sastra terus berlanjut. Tak sekadar menulis cerita pendek, novel ataupun drama, ia bahkan bergelut dengan potongan-potongan guntingan koran yang dikumpulkannya dari hari ke hari.

Sampai wafatnya pun guntingan-guntingan koran dan majalah itu, yang berisi macam-macam esai, cerita pendek, cerita bersambung ataupun puisi, ia kumpulkan di lemari usang yang ada di sudut-sudut rumahnya yang tua.

“Cerpen kau yang pertama kali dipublikasi, juga ada tersimpan di sini, Geng. Lihat saja,” katanya suatu kali saat saya berkunjung ke rumahnya. Aku cuma tersenyum. Bangga. Sayang, hanya sedikit orang yang mau peduli dan menaruh penghormatan tinggi atas pengabdian yang dilakukannya itu.

Kini pak Ristata sudah tiada. Ia pergi dengan kesetiaan seorang pengabdi, bahkan sampai akhir usianya. Tapi apakah semangat dokumentasi karya sastra yang dilakukannya itu sudah mendapat apresiasi yang sepantasnya dari masyarakat dan pemerintah? Ataukah museum kecil sastra Indonesia di sebuah rumah sederhana di pojok kota Tebing Tinggi (kurang lebih 60 km sebelah Timur kota Medan) itu, pada akhirnya dilupakan begitu saja?

Harian Kompas edisi Rabu 18 September 2002 pernah menulis; Museum kecil sastra Indonesia itu memang tak sebesar Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin. Museum itu hanyalah sebuah rumah milik seorang pria tua berusia 70-an tahun bernama Ristata Siradt.

Sebuah rumah yang setelah kematian isterinya, ditinggalinya bersama dua cucunya. Bangunan tersebut begitu sederhana. Sebagian atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa, berdinding bata dan berlantai Semen. Perabotannya juga amat sederhana. Tak ada kompor, hanya tungku batu dan beberapa potong kayu bakar untuk memasak. Secara keseluruhan kehidupan pak Ristata adalah potret buram seorang pensiunan guru di republik yang telah puluhan tahun merdeka ini.

Namun di balik kesederhanaan itu, rumah yang terletak di jalan Tengku Hasyim tersebut memiliki begitu banyak rak buku. Empat lemari ia gunakan untuk menyimpan bundelan kliping koran dan majalah yang berjumlah kira-kira 550 buah. Ada lagi tiga lemari pakaian berisi koran yang masih utuh. Memang, telah sejak tahun 1950-an pak Ristata mengumpulkan aneka buku sastra dan guntingan koran tentang sastra.

Selain itu, dia sendiri juga menulis aneka karya sastra seperti cerita pendek maupun novel, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Berbagai pojok kota ia datangi untuk mendapatkan aneka kliping itu. Dengan masa pengumpulan sekitar 50 tahun tanpa henti, bisa dibayangkan berapa banyak koleksi buku dan data sastra yang dimilikinya.

Kliping karya sastra itu ia kumpulkan dari berbagai media seperti Kompas, Republika, Waspada, Analisa dan majalah seperti Horison. Termasuk di dalam koleksinya adalah karya-karya Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis sampai Danarto. Ia juga mengoleksi beberapa buku tua seperti karya Pramoedya Ananta Toer berjudul “Panggil Aku Kartini Sadja” cetakan pertama.

Sampai menjelang akhir hayatnya, perjalanan waktu tetap tak bisa menyurutkan semangatnya untuk terus mencipta karya sastra dan mengumpulkan karya tulis siapa saja. Kesibukan itu bahkan menjadi pekerjaan sekaligus hiburan bagi Ristata setelah tak lagi mengajar. Dengan pisau silet merek Goal yang sudah tinggal separuh, sebuah penggaris, satu set spidol aneka warna, serta sebotol lem kanji dan sebuah kuas, pak Ristata terlihat khusyuk menekuni dunia klipingnya itu.

Apapun jenis tulisan, baik itu sastra, kritik seni, sejarah sampai politik, dikumpulkannya. Sedangkan koran, majalah dan kertas diusahakannya sendiri dari menyisakan sedikit gajinya sebagai guru. Setelah pensiun, koran dan majalah itu ia beli dengan sisa uang pensiunnya yang tak seberapa.

Beberapa koran bahkan hanya ia beli jika ada rubrik budaya dan sastranya. Selebihnya ia hanya menunggu seseorang datang ke rumahnya membawakannya koran-koran atau majalah bekas.

Tulisan-tulisan itu kemudian ia tempel pada sehelai kertas buram, lalu ia jilid sendiri. Jilidan yang amat sederhana namun rapi itu kemudian ia simpan dalam tujuh lemari kayu yang sudah mulai keropos, bahkan beberapa di antara lemari itu ada pintunya uang telah copot. Untuk memelihara agar jilidan dan bundelan itu tidak rusak, iapun mengikatnya dengan tali rafia.

Dibawa kabur harta tak ternilai berupa aneka buku dan kliping sastra itu sempat mengundang banyak peneliti dari luar negeri. Pada awal September 2002 misalnya, seorang peneliti Malaysia, Abdur Razzaq dari Asian Public Intellectuals bahkan membutuhkan waktu berjam­jam mempelajari aneka kliping milik Ristata sebelum memutuskan untuk menfoto copy ratusan lembar naskah yang ada.

Tak hanya Abdur Razzaq, hasil ketekunan pak Ristata itu juga berguna bagi banyak kalangan seperti mahasiswa dan peneliti. Dalam seminggu rata-rata tiga mahasiswa datang ke rumahnya mencari bahan untuk menulis skripsi. Namun sayang, di antara mereka yang mendapatkan manfaat dari museum kecil sastra Indonesia itu, terselip pula orang yang mementingkan diri sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang meminjam koleksi kliping Ristata, namun tak mengembalikannya. Lebih dari 20 kilogram kumpulan tulisan itu dibawa kabur. Katanya untuk penelitian. Namun hingga pak Ristata wafat kliping-kliping itu tak juga dikembalikan. Pak Ristata sendiri sempat mengaku kapok meminjamkan dokumentasinya. “Sejak kejadian itu tak seorang pun saya bolehkan membawa kliping keluar dari rumah saya. Lebih baik saya membuatkan fotokopi dan saya sendiri yang akan mengantarkannya,” papar Ristata kala itu.

Atas dedikasinya pada dunia sastra itu, semasa hidupnya Dewan Kesenian Medan pada tahun 1982, menganugerahinya gelar Sastrawan Terbaik Sumatera Utara. Lalu pada tahun l984 naskah dramanya berjudul “Neraca” juga mendapat kesempatan untuk dipentaskan secara kolosal pada penutupan MTQ Nasional XVII di Tebing Tinggi.

Hebatnya, meski kesastrawanannya diakui secara nasional, sampai akhir hayatnya pak Ristata tetaplah pribadi yang bersahaja dan murah hati. Bahkan pengabdiannya pada sastra dan dokumentasi tetap tak berkurang seperti kebiasaannya lari pagi yang juga tak pernah berhenti. “Saya akan terus menulis dan membuat kliping sebagaimana saya terus berlari,” paparnya suatu kali. Ah….! (*)

* Penulis adalah Penyair dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)

Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme

Gunoto Saparie
http://www.suarakarya-online.com/

DEWASA ini di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut, di berbagai bidang, termasuk di bidang sastra. Dalam sejarah kesusastraan di berbagai wilayah, kita akan melihat berbagai keadaan yang memiliki persamaan sehubungan dengan keberadaan perempuan di bidang ini, yakni tersubordinasi dan termarjinalisasinya keberadaan mereka, baik pada tataran proses kreatif, kesejarahan, maupun sosial.

Di Indonesia, seperti pernah dikatakan Nenden Lilis A, keterpojokan perempuan di dunia sastra juga terjadi, meski tak seseksis di Amerika. Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat nama-nama dan karya-karya perempuan. Tetapi dalam penilaian terhadap karya-karya mereka banyak terjadi pengabaian. Kritik kesusastraan lebih banyak difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah dicapai perempuan, yang sebenarnya penting, tidak terjelaskan.

Maria Amin, misalnya. Penyair ini hidup di zaman Jepang. Saat itu, bentuk puisi kita mulai membebaskan diri dari aturan-aturan puisi lama dan menerima bentuk puisi Barat yang lebih bebas, terutama dari Eropa, seperti soneta, dan juga bentuk-bentuk lain seperti dilakukan Chairil Anwar. Maria Amin tampil dengan sajak berbentuk prosa yang belum dilakukan penyair sebelumnya. Namun, tak ada kritikus yang melihat hal ini sebagai suatu fenomena, apalagi menilainya sebagai pembaru puisi Indonesia.

Selain pada tingkat kesejarahan di atas, contoh lain dapat dilihat secara sosial pada pelibatan penulis-penulis dari kalangan perempuan dalam even-even sastra. Paling tidak hingga 1990-an, sebelum gencar desakan-desakan untuk memberi perhatian yang proporsional terhadap perempuan, even-even sastra sangat jarang melibatkan perempuan. Kasus-kasus lainnya terlihat dari minimnya perempuan yang terlibat dalam kesusastraan. Selain minim, usia berkarya mereka pun relatif pendek (pada umumnya mereka berhenti setelah memasuki lembaga perkawinan). Hal ini menunjukkan bahwa untuk berproses kreatif, perempuan mengalami hambatan sosiologis.

Kondisi-kondisi timpang di atas, seiring gerakan feminisme di berbagai belahan dunia dan berkembangnya kajian-kajian perempuan, dipertanyakan para feminis. Para feminis melihat perlu ada pengkajian dan penyusunan ulang terhadap kondisi kesusastraan itu dengan apa yang kemudian dinamakan kritik sastra feminis.

Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.

Lebih adil dan proporsional

Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Karena itu terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.

Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.

Tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik.

Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, posmodern, dan lain-lain, yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang antimaskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.

Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain, yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.

Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, ideologis, melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. Kritik sastra feminis ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan.

Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. Kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).

Memang sulit untuk menyangkal, bahwa ada banyak perubahan yang terjadi di dunia sastra Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir. Salah satu gejala perubahan yang sering muncul menjadi diskursus publik adalah lahirnya para penulis perempuan dengan karya-karya yang dianggap menawarkan kebaruan, laris di pasaran, dan beberapa emansipatoris. Banyaknya pembahasan tentang karya para penulis perempuan memancing munculnya perdebatan tentang kualitas kritis dan emansipatoris dari karya-karya ini dalam kolom-kolom di media massa. Semuanya menjadi begitu riuh: banyak orang berbicara tentang perempuan, karya, dan intertekstualitas yang melingkupinya.

Gejala perubahan kedua berkait dengan sedemikian terbukanya akses media massa untuk para penulis ini. Lalu lintas yang dahulu sedemikian terjaga antara yang sastra dan yang bukan, yang tinggi dan yang rendah, yang kanon dan yang populer, sekarang ini bisa mereka lintasi dengan mudah dan tanpa beban. Mereka muncul di media massa tidak saja berkait dengan konsep atau gagasan tentang karya yang mereka publikasikan, tetapi juga-sering kali-berkelindan dengan kehidupan dan sejarah personal mereka. Tetapi, siapa yang mengira bahwa bayang-bayang perubahan itu telah terjadi sejak enam atau tujuh dekade yang lalu? Mengapa elan perubahan itu seperti melintas begitu saja tanpa jejak dalam perkembangan sastra Indonesia sering kali tak terlacak dan tak tercatat?

Dalam perkembangan ilmu sosial sekarang ini, nilai personal dari penelitian tentang perempuan merupakan sesuatu yang secara tidak langsung memberikan ciri khas bagi perspektif feminis. Pengalaman ditimbang sebagai “sesuatu yang tidak bebas gender”, yang berarti bahwa gender adalah elemen yang turut membentuk apa yang disebut sebagai pengalaman. Karenanya, pengalaman personal peneliti sebagai bingkai analisis merupakan bagian dari metodologi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai nilai lebih.

Dalam pandangan Elain Showalter, ada sejumlah tahapan yang terjadi dalam perkembangan kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis, menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis. Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria memandang dan menggambarkan perempuan. Tahap kedua, perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perempuan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan masalah-masalah teoretis, merevisi pelbagai asumsi teoretis yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki.

Relatif Baru

Memang, kritik karya sastra dengan perspektif feminisme boleh dibilang relatif baru. Paling tidak, seperti pernah dikatakan Soenarjati Djajanegara, sampai saat ini belum banyak kritikus sastra dan mahasiswa sastra yang menggunakan perspektif feminisme dalam melakukan kritik terhadap karya sastra. Kita tahu, pada awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki. Karena itu tidak mengherankan kalau pada awalnya pengarang perempuan di Amerika pun pernah menggunakan nama samaran laki-laki agar karya mereka bisa diterima masyarakat.

Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama, kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya, bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis yang diambil dari Sigmund Freud. Bagi kelompok feminis ini, perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.

Karya sastra dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi jender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial. Feminisme bukanlah monopoli perempuan, seperti patriarki bukanlah monopoli laki-laki. Meneliti penulis laki-laki dan mencoba menganalisis relasi gender dan mempertanyakan tatanan sosial yang direfleksikan atau tidak direfleksikan atau dimis-refleksikan di dalamnya adalah analisis yang bersifat feminis sepanjang analasis itu diarahkan kepada tatanan relasi kekuatan antara laki-laki dan perempuan yang lebih seimbang.

Pada prakteknya dapat ditemui perempuan yang patriarkal dan laki-laki yang feminis. Penulis laki-laki dapat saja menulis teks yang berperspektif feminis dan menciptakan subyek perempuan yang tidak bisu, yang tampak, dan merupakan subyek yang setara. Menulis sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang sengaja dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih pada berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhannya, haknya, sehingga ia mampu menjadi subyek dalam kehidupannya. ***

Sebuah Pertemuan dan Kegelisahan

Judul: Pelacur Para Dewa
Penulis: Pranita Dewi
Tebal: i-xi, 94 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Agustus 2006
Peresensi: Gde Artawa
http://www.balipost.co.id/

PERJALANAN kreativitas sastra, khususnya di Bali, selalu diwarnai kejutan. Umbu Landu Paranggi “sang penjaga gawang” apresiasi sastra Bali Post mencatat, selalu saja ada yang menarik pada tiap babak perjalanan kreativitas sastra, khususnya puisi. Di belantara perjalanan anak sekolahan, pada kekuatan anak-anak muda, terekam jelas dalam memori Umbu sebagai tonggak historis sebuah perjalanan yang tentu sangat memerlukan kesetiaan. Kesetiaan itu akan teruji secara normatif oleh sang waktu menyangkut kemampuan bertahan atau menyerah untuk berkarya.

Dewan juri lomba penulisan puisi yang digelar Balai Bahasa tahun 2004 dikejutkan dengan kehadiran 603 puisi dari 240 penulis. Di samping kejutan secara kuantitatif, juri dipertemukan dengan anak muda bernama Pranita Dewi. Puisinya berjudul “Tuhan Langit Begitu Kosong” berhasil meyakinkan juri untuk terpilih jadi juara I. Intensitas, selektivitas dalam memilih medium sebagai alat ungkap, keliaran metaforis dan keberanian mengadopsi hasil renungan tematik sekaligus mengekspresikan dengan kedalaman rasa, menempatkan puisi Pranita menjadi pilihan juri.

Ada keliaran tersendiri pada Pranita yang selanjutnya mengajak pembaca untuk merasakan ada kegelisahan lain terjadi pada Pranita. Ia merasakan betul kalau pergulatannya dengan puisi berawal dari gesekan pergaulan kreatif, bagaimana personal dan komunitas di luar dirinya memberi energi untuk menjatuhkan pilihan jadi penulis puisi di antara pilihan-pilihan lain. Negeri ini seakan dipenuhi potret anak sekolahan yang agak terpinggirkan dari kesulitan dan kemendesakan hidup sebagaimana tiap detik dengan bangga disodorkan media penyiaran publik.

Sulit membayangkan ada anak muda yang berani memilih jalan kehidupan puitik seperti Pranita. Di luar dirinya agak jarang terbebani kesempatan untuk melakoni hidup secara kontemplatif di tengah desakan pola hidup instan dan ruang di luar dirinya yang berlomba-lomba menawarkan cara agar bisa memanjakan mereka. Hasil dari pilihan inilah yang barangkali mulai bisa dipetik Pranita dengan kumpulan puisi pertamanya, “Pelacur Para Dewa” (PPD), di samping sebelumnya beberapa puisinya ikut terhimpun dalam “Tuhan Langit Begitu Kosong” (2004), “Maha Duka Aceh” (2005), “Dian Sastro for Presiden! End of Trilogy” (2005), dan “Negeri Terluka, Surat Putih 3″ (2005).

PPD jadi menarik karena dari pemilihan judulnya, disadari atau tidak, tampak ambiguitas atau kemenduaan semantis yang mengesankan ada kontradiksi sifat subjek garapan, yang agak nyeleneh. Yang lazim terjadi, pemilihan judul sebuah kumpulan puisi bisa berangkat dari dua cara. Pertama, mengambil salah satu judul puisi untuk dijadikan judul kumpulan. Kedua, judul kumpulan puisi dipasang tidak dari salah satu judul puisi tetapi memberi gambaran sekilas keseluruhan tematik puisi-puisi di dalamnya.

Lakukan Terobosan

Semula, membaca judul “Pelacur Para Dewa”, pembaca dihadapkan pada jalinan komunikasi bahwa ada teks yang mewacanakan sejumlah subjek (para dewa) yang memiliki pelacur. Lebih lanjut bergulir pemaknaan untuk dilacak konsep dewa yang dimaksud dan konsep pelacur yang dimaksud.

Dari kerangka kesasatraan, dimana aspek referensi yang diacunya jelas yang segera membedakan antara teks sastra dan nonsastra segera bisa diusut ke mana kemauan Pranita dengan memilih judul kumpulan puisinya PPD melalui perjalanan pertemuan dengan 61 puisinya yang terangkum dalam PPD. Ternyata, Pranita melakukan terobosan bahwa judul kumpulan puisinya merupakan judul tersendiri yang berhimpitan dengan salah satu judul puisinya.

Pengakuan Pranita di awal kumpulan puisinya menyiratkan bahwa Pranita sendiri telah melakukan penyimpangan, menjadikan puisi sebagai pilihan hidup dan diyakini sebagai penyelamat kehidupannya. Muncul pertanyaan, sedemikian terdesakkah Pranita oleh gempuran kehidupan sehingga ia memilih puisi sebagai penyelamat? Pada tatanan religiositas, ada kesahajaan dan sikap rendah hati Pranita di mata penciptanya. Pranita dengan gigih mencapai identitas diri dan sebagai perempuan muda Bali dalam pencarian ia mempertaruhkan tubuhnya.

Selain “Aku Pelacur Para Dewa”, puisi-puisi lain menunjukkan upaya pertemuan intuitif melalui deskripsi lirik Pranita dengan yang kuasa, di antaranya “Ilusi Ilahi”, “Tuhan Tenggelam dalam Kelam”, “Tubuhmu-tubuhku Milik Waktu”, “Kau Hanya Debu Waktu”, “Boneka Tuhan”, “Kau Zaiarahi Tubuhku”, “Tuhan Pecah”, “Tuhan Langit Begitu Kosong”, “Rambutmu Dewi”, dan “Nuh Mengapa Kau Tak Datang Kali Ini?”.

Sebagian besar puisi Pranita dalam PPD menunjukkan terjadi upaya melakukan eksibisi leksikal: suatu upaya menggunakan kata, frase, kalimat untuk kepentingan deskripsi berupa pemaparan liar untuk menunjukkan sifat liris dari bahasa yang digunakan. Puisi-puisi Pranita tidak sekadar mimetik, tetapi sudah terlihat upaya merekonstruksi “dunia” baru yang mulanya personal jadi impersonal.

Ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda semantis keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tak ada artinya, misalnya dengan simitri (keseimbangan) rima, anyambemen, ekuivalensi makna dan homologues (persamaan posisi dalam bait).

Puisi-puisi Pranita lebih banyak beranjak dari konvensi puisi lirik yang ditandai oleh konvensi jarak dan deiksis (distance and deiksis). Di situ terdapat deiksis yaitu kata-kata yang penunjukkan berubah-ubah sesuai dengan siapa pembicara, saat dan tempat diucapkannya kata-kata itu. Dominasi pemakaian kata ganti “aku”, “kau”, menunjukkan dua kemungkinan: yaitu representasi dari personal Pranita sebagai mencipta, penutur, yang lain merepresentasikan siapa saja, “aku” liris. Atau “kau” liris.

Begitulah. Benar yang diucapkan Pranita, pertemuannya dengan puisi membuat hidup dan hari-harinya terasa lebih indah, segar, dan mampu memandang dunia secara berbeda. Jika kemudian PPD ikut meramaikan blantika penulisan puisi di tanah air, paling tidak, semoga saja komunitas masyarakat sastra untuk mencoba memandang dunia juga dengan cara berbeda.

Demokratisasi Sastra Pasca-Kongres KSI

Dad Murniah *
http://www.infoanda.com/Republika

Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 2008 di Kudus Jawa Tengah selama tiga hari (19-21 Januari 2008) baru saja usai. Penyair dan redaktur sastra Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, terpilih sebagai Ketua KSI yang baru. Para peserta, dari berbagai penjuru Tanah Air, telah kembali ke kota masing-masing, kembali ke ‘ruang sunyi’ dunia penciptaan mereka sendiri yang penuh tantangan kreativitas.

Tentu, banyak hal bisa didapatkan dari kongres itu. Kongres telah menjadi ajang silaturahmi, saling tukar informasi, menambah jaringan dan teman di kalangan sastrawan seluruh Indonesia. Tetapi, selain hal-hal itu, rekomendasi Kongres KSI yang dibacakan ‘ibu penyair’ Diah Hadaning cukup menarik untuk dicermati.

Butir pertama dari rekomendasi itu, misalnya. Dalam butir ini diingatkan mengenai pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, misalnya kemandiriaan dan kenusantaraan dalam karya, sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Dalam kaitan ini, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme.

Kita tahu, sastra Indonesia modern terlahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidak terlepas dari dialektika sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Tetapi harus kita ingat, bahwa tafsir atas nasionalisme tentu tidak terlepas dari dominasi kekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari praktik politik hegemoni. Karena itu, tak mengherankan jika perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia seakan-akan tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik.

Pluralisme

Butir lain dari rekomendasi Kongres KSI, antara lain menyebutkan bagaimana kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran versi mereka. Kebinekaan atau keberagaman laksana kehilangan pijakannya.

Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi.

Tapi, hal itu bukan berarti bahwa komunitas sastra tidak boleh mengidentifikasi diri secara spesifik, unik, atau khusus. Yang pokok, identitas yang spesifik dan unik tersebut tetap hidup dalam semangat inklusifisme. Semangat inklusifisme itulah yang diharapkan dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra.

Memang banyak yang lupa, bahwa konsep pluralisme, inklusivisme, dan toleransi merupakan landasan dasar terhadap penghormatan hak-hak asasi manusia sebagai kerangka acuan konsep demokrasi. Konsep demokrasi yang paling kental terlihat dari prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan syura (konsultasi dalam artian luas). Bukankah hampir tak seorang pun cendekiawan dewasa ini menolak ide demokrasi?

Gagasan civil society yang lebih dikenal dengan istilah masyarakat madani merupakan diskursus besar dalam menggulirkan wacana untuk mewujudkan kehidupan demokratis di negara kita. Tentu pemikiran ini tak lepas dari penelaahan secara objektif terhadap sisi sisi khas sosial budaya dan historis dari masyarakat kita.

Artinya, proses demokratisasi itu sendiri sangat erat hubungannya dengan pertanyaan terhadap pandangan masyarakat kita dalam memahami nilai-nilai demokrasi yang ada. Dan nilai-nilai itu sendiri merupakan faktor penting dalam gerakan implementasian dalam mencapai kehidupan demokratis secara langsung. Sebab ide demokrasi merupakan paradigma berfikir yang hanya memiliki kekuatan makna dalam nilai praktiknya, dan bukan merupakan teori belaka. Ini berarti, ia merupakan tantangan bagi para sastrawan untuk membuktikan dalam karya-karyanya.

Menarik juga butir rekomendasi yang menyebutkan tentang sejarah kesusastraan Indonesia. Sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan di negeri ini. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominan yang memengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia.

Untuk itu, misalnya, kita terutama pemerintah dapat membentuk semacam dewan sejarah kesusastraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusastraan Indonesia yang benar-benar mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, kita terutama pemerintah harus lebih dulu menyusun strategi kebudayaan (nasional) Indonesia.

Memang, selama ini periodisasi sastra Indonesia selama ini telah dipetakan sangat beragam oleh ahli sastra Indonesia. Baik oleh HB Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, A Teeuw, maupun Ajip Rosidi. Periodisasi sastra Indonesia yang dibikin mereka memang layak dipertanyakan. Karena, banyak karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang peranakan Cina di Indonesia, tetapi tidak pernah diperhitungkan oleh para ahli sastra dalam pembicaraan mengenai periodisasi sastra Indonesia.

Pemetaan periodisasi sastra Indonesia secara reduktif itu disebabkan oleh konstruksi kesejajaran atau analogi antara sejarah sastra dengan sejarah politik, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat sastra Indonesia kehilangan kepekaan terhadap operasi kekuasaan kolonial yang terus berlangsung bahkan sampai pada masa yang jauh sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai misal, penulisan dan diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia sampai tahun 1970-an terpusat hanya pada karya-karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poejangga Baroe, karya sastra yang disebut sebagai “sastra serius” dan sejenisnya. Padahal, sebagaimana yang kemudian mulai terbuka sejak 1980-an, di luar Balai Pustaka terdapat banyak penerbit, termasuk surat kabar, yang menerbitkan karya sastra yang sesungguhnya bisa dikategorikan ke dalam karya sastra Indonesia juga.

Akhirnya, setelah Kongres KSI 2008 yang hiruk pikuk itu, lalu apa? Setelah itu memang sebaiknya para sastrawan kembali ke dunia penciptaan yang sunyi namun penuh tantangan kreativitas itu.

*) Peneliti pada Pusat Bahasa Depdiknas

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati