Jumat, 25 Juni 2010

Sajak-Sajak Heri Latief

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Bisu

apa lagi yang mesti ditulis?
jika korupsi dianggap biasa
pemimpin cuma bisa nyanyi
di panggung tak ada suaranya
kerna bukan dia yang berkuasa

Amsterdam, 19/06/2010



Budak

uang panas membakar napsu
manusia jadi budaknya napsu

Amsterdam, 20/06/2010



Pengembara

setiap mengulang tahun
aku selalu ingat pesan ibu
bukalah mata hati jika pergi
jangan pulang kerna merindu
dunia pengembara siapa berani?

Amsterdam, 19 Juni 2010



Teks itu Bicara

jika keramaian kumpulan suara
tulislah sajak sebelum sarapan
refleksi diri bukan sekedar berpuisi
siraman rohani dari sebaris puisi?
silakan percaya pada layar kaca

Amsterdam, 19/06/2010



Jaraknya Mimpi

teknologi tinggi bikin hati kita makin dekat
jarak yang beribu kaki itu tinggal kenangan
waktu yang memberi tahu tentang rindu
duka dan bahagia selalu jalan bersama
pelabuhan mimpimu ada di dunia maya

Amsterdam, 18 Juni 2010

ORASI TERAKHIR

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.

Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.

Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.

Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.

Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.

“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.

***

Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.

Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.

Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.

***

Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.

***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.

Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.

Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.

Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.

***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.

***

Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.

***

Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.

“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.

Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh

Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.

Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.

Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar

Malang, 2004

Puisi, Penyair, Penjahat

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

BARANGKALI ini serupa cerita misteri saja. Meski demikian, mungkin juga cerita ini justru bermaksud melampaui keberadaan manusia sebagai diri yang misterius. Sehingga boleh jadi tulisan ini sesungguhnya hendak menerobos sisi rohaniah—sebuah ruang yang tidak untuk diperdebatkan ada dan tiadanya, disoal keyakinan atau kadar ketidakpercayaan atasnya.

Inilah suatu gambaran, betapa apapun sama-sama diberi hak untuk disoal, sebagai pertanyaan atas dirinya sendiri. Karena itu boleh dikata inilah upaya menyingkap tabir alangkah sangat terbuka dan memungkinkan membedah wilayah ini. Bahkan amat mengundang gairah ketika manusia, siapapun, penyair, agamawan, orang biasa, juga penjahat berbicara dengan bahasanya masing-masing atas wilayah rohani tersebut—sepanjang tanpa meninggalkan watak misterinya.

Sebaliknya, justru sangat dapat dimengerti, dicurigai atau bila perlu dianggap makhluk asing di buminya sendiri manakala ada diantara kita manusia ini tak lagi menempatkan sisi misteri atas ruang itu. Jadi kefatalan menimpa bilamana sekelompok orang amat percaya diri bahwa seolah-olah tidak ada satupun pojok-pojok semesta ini yang misterius.

Sungguh malapetaka ini telah terjadi: berjuta-juta manusia ada di posisi yang tak manusiawi ini—orang-orang yang sangat percaya diri, seorang penjahat yang hidup sendiri di semesta ini sampai tidak pernah terungkap apakah kehadirannya di semesta ini sebentuk kejahatan ataukah justru kemuliaan. Lantas siapa yang memahami atas tragedi itu, apalagi ketika tuhan pun melakukan hal serupa? Saat tuhan tidak tahu-menahu selain dengan sangat percaya diri menurunkan ayat-ayat yang meski belum sempat dia kirim namun ia menggariskan larangan dan perintah?

Lebih dari itu tuhan juga menyisipkan ayat-ayat kompromi. Hanya beberapa gelintir ayat saja yang tak sempat direnungkan, termasuk perihal tumbuhnya kepercayaan diri yang berlebihan. Kedengarannya, hal ini terjadi oleh karena dunia batin tuhan pun seperti terjadi pada manusia. Bahwa keduanya telah bersama-sama dalam keberadaannya yaitu dalam pusaran Takdir dan Waktu. Tak satu pun yang bebas dari dua dalam satu atau satu dalam dua: Takdir dan Waktu. Dua dalam satu yang sangat misterius justru karena keadaannya, atau adanya telah dimisterikan sebagaimana tersingkap dari ayat-ayat Tuhan.

Misteri itu sepaham pertanyaan manusia mana yang menyeret dirinya Waktu atau Takdir. Atau dua-duanya dalam kesatuan yang saling seret sehingga menempatkan manusia seolah-olah tenggelam keberadaannya. Jikapun kemudian adanya sanggup menumbuhkan kepercayaan diri namun sebetulnya ia telah merenggut kuasa Tuhan itu melebihi Takdir dan Waktu.

Takdir manusia berbeda dengan takdir puisi. Kodrat penyair tidak sama dengan kodrat penjahat. Jasmani maupun rohani. Hanya saja barangkali diantara “mereka” yang memiliki takdir sendiri-sendiri perlu sesekali basa-basi untuk saling memasuki, saling merasuki, saling mempengaruhi meski itu sesuatu cara yang sia-sia: menjadi sesuatu yang lain. Kecuali bagi setiap yang punya kepercayaan diri luar biasa untuk menjadi sesuatu yang lain dan ini tragedi entah itu lucu atau tidak. Mungkinkah kita saling bertukar ruang rohaniah?

Menjawab pertanyaan ini serupa dengan bermain dalam tataran bahasa yang belum ada kosakatanya tentang kenyataan.
***

KODRAT puisi mesti ditulis atau dimantrakan. Tapi kodrat puisi tidak untuk dibaca karena kuasa puisi tak bisa dipindahtangankan, dipindahpikirkan, dipindahrasakan karena hal ini justru menyalahi ruh kehadirannya. Banyak sekali misteri yang hanya berpindah-pindah saja ketika puisi ditulis dan kemudian dibacakan. Apalagi oleh sang penyairnya sendiri. Misteri bukan untuk dipindahtangankan. Misteri untuk dipecahkan—paling tidak dicoba untuk dipecahkan meski tak sama persis dengan memecahkan teka-teki silang. Ada kejahatan, kebohongan di sana ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Penyair seringkali membunuh puisinya sendiri dengan kejam. Bahkan sekalipun ketika ia membaca, sebetulnya penyair sedang berbasa-basi untuk menempatkan diri selaku pembaca puisi: orang lain.

Mengherankan sungguh, mengapa manusia sampai hati melakukan demikian. Kejahatan besar manusia, pembaca, juga penyair adalah ketika tanpa ada perintah kemudian membaca puisi. Dalam sejarah umat manusia, yang diperintahkan dibaca adalah ayat-ayat Tuhan. Bukan puisi. Bahkan menurut catatan kritikus dan sastrawan, Mashuri, dalam surat Asy-Syuara, Al-Quran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Kenyataan yang lebih fatal lagi, tidak sedikit yang kemudian mempersepsikan ayat-ayat Al-Quran adalah kata-kata yang puitis sehingga menjadi sangat kabur antara keduanya berkaitan dengan idiom dan estetika puisi. Penulisan artikel ini tidak hendak mempertegas mengatakan mana diantara keduanya yang diuntungkan dari perjumbuhan ini—yang tentu saja sudah menjadi khas manusia bisa dijawab mana yang diuntungkan.

Manusia amat sadar celah ini digunakan karena memang tidak ada tersebut di dalam ayat-ayat tentang pelajaran menulis puisi atau bagaimana puisi yang bagus dengan kadar estetik dan artistik yang tinggi dalam ayat-ayat suci Al-Quran.

Maka sangat wajar manakala puisi sangat kurang ajar, liar bahkan jahat bukan hanya karena tidak ada dalam kitab. Melainkan lantaran puisi meniru perilaku kejahatan manusia. Namun penulis artikel ini percaya, hal itu hanyalah basa-basi dari puisi. Ia punya ruh yang murni, ruang rohani yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi misteri.

Barangkali hubungan yang benar antara puisi dan manusia itu mirip dengan jin dan manusia. Personifikasi ini juga tidak menggairahkan penulis untuk menjelaskan detail teoritisnya. Tak lain karena contoh ini kiranyaa sangat tepat justru karena penulis tidak punya kapasitas untuk menjelaskan hubungan keduanya: takdirnya, ruang waktunya, alam citanya dan sebagainya. Perkecualian bila ada kisah tentang jin yang merasuki ruang waktu manusia atau sebaliknya manusia yang berkomunikasi baik dengan jin. Perkecualian berarti keragu-raguan.

Boleh jadi benar bahwa ketika puncak-puncak pencapaian ilmu pengetahuan yang berbuah keragu-raguan, akhirnya ilmuwan mengembalikannya pada tataran yang murni, asali, sublim. Termasuk puisi. Sebut saja yang asali itu mitos atau religi. Puisi religius—terlepas dari masih terbukanya bagi para penjahat untuk mendistorsi metafora ini—mengandung arti sebagai laku religius lebih bertitik tolak pada proses menjadi, lahirnya dan seluruh takdirnya yang mendarah daging, meruang dan mewaktu padanya dalam pengertian yang rohaniah.

Sehingga barangkali benar puisi ditakdirkan lahir dari pengalaman religious penyair. Namun terus terang penulis artikel ini agak ragu dengan kata-kata tersebut karena alasan kosakata “religius” telah dipersempit dan mungkin juga kata-kata itu ditakdirkan menyempit. Satu-satunya yang menyakinkan adalah penggunaan istilah “pengalaman religious penyair” manakala adanya persyaratan rohaniah bahwa pengalaman religius tidak bisa ditranfer, dikomunikasikan kepada orang lain.

Pengalaman religius sangat personal. Bahkan boleh jadi manusia bukanlah makhluk satu-satunya yang berhak memfetakompli mendapatkan pengalaman religiusnya. Di sinilah puisi kemudian bernasib buruk ditakdirkan menjadi semacam pisau atau kapak kejahatan penyair. Apalagi penyair yang berharap lebih kepada puisi melampaui takdirnya dengan mengkomunikasikan pengalaman religius itu kepada orang lain.

Puncak dari kejahatan-kejahatan seperti ini serupa dengan konspirasi teori yang gelap yang berpeluang untuk disamarkan oleh para penyair-penyair yang sangat piawai dan menguasai jagad kepenyairan: sejarah, kritik, maupun teori puisi. Yaitu konspirasi teori para penyair cerdas. Seorang penyair cerdas, sebetulnya penyair yang cerdas tentu saja berbanding lurus dengan kejahatannya dan teori konspirasi ini sudah begitu banyak kita pelajari gejalanya di dunia perpolitikan atau kriminalisasi kekuasaan. Tidak sulit untuk membayangkan penyair yang demikian dan tentunya lagi-lagi korbannya adalah puisi.

Yang benar adalah setiap puisi senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan untuk dibaca. Ini bisa digunakan semacam kartu truf atau saksi kunci dalam upaya mengusut muasal puisi di belantara konspirasi teori, kecerdasan, dan ketika kejujuran penyair menjadi taruhannya. Betapa sulit untuk menguji perihal satu ini. Apalagi puncak-puncak atau ujung terjauh antara puisi, penyair, religiusitas, dan kejahatan semua itu justru berada di gerbang menuju ruang rohani.

Oleh karena itu, barangkali lebih tepat bila meminjam semacam asas pembuktian hukum terbalik untuk menguji ada tidaknya unsur kejahatan, kebohongan, korup atau bahkan hanya pencemaran nama baik yang menimpa diri penyair, puisi dan kemungkinan keterlibatan geng-gengnya. Sudah barangtentu salah satu alat bukti utamanya adalah puisi. Yaitu terkait ada tidaknya persyaratan setiap puisi yang senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan dibaca.

Tentu saja pembuktian ini harus dilakukan oleh para ilmuwan yang bebas dan jujur menggali spirit kemurnian puisi, paham akan kerohanian, psikologi dan juga penganut mazhab puisi sebagai ilmu sastra yang murni. Dalam bahasa penggagas Manifesto Puisi Gelap, Indra Tjahyadi tentang kemurnian, bahwa menghancurkan dunia bermakna mengembalikan kemurnian, mengembalikan kemurnian berarti mendekatkan manusia pada “surga” yang dijanjikan. Dan untuk sampai pada surga yang dijanjikan,manusia harus memahami “maut”, sebab hanya pada mautlah segala nilai-nilai kemanusiaan dapat dibangkitkan kembali dan manusia terselamatkan dari kejatuhannya yang mengerikan.

Mungkin juga sesungguhnya problem beratnya ada pada metafora itu sendiri sejak religiusitas, spiritualitas, rohaniah, alam cita yang tidak pernah selesai diperdebatkan kecuali bagi yang punya nyali untuk menghentikannya: menyakininya, mempercayainya atau mengakhiri demi tujuan-tujuan tertentu. Atau ketika yang lain memilih untuk saling bergerak diatara religi-rohani-alam cita-spiritual dan terkadang masih perlu menambah satu kosakata lagi, mitos.
***

PUISI bukanlah apa-apa bagi penyair yang sedang mengalami luka, penderitaan, siksaan tatkala menerima pengalaman “religious”. Puisi bukan obat sekalipun bagi penyair yang menyakini bahwa dalam ketersiksaan menerima pengalaman religius sang penyair menemukan kenikmatan. Mungkin tidak sedikit yang tak berhasil menemukan kenikmatan yang inhern dengan siksaan itu yang fatalnya kenikmatan seringkali dipersandingkan dengan pencerahan—sesuatu istilah yang amat khas manusiawi dalam sejarah peradaban manusia.

Walhasil, manusia, penyair, orang biasa semakin sulit untuk dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi yang bagus dan penyair yang luar biasa.

Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk yang ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi?

Bahkan selanjutnya, penulis artikel ini sangat percaya tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?

Mengenai pertanyaan dibaca atau membaca pernah disingkap penyair F Aziz Manna, ketika menyoal banyaknya remaja yang gandrung pada karya-karya Kahlil Gibran. Bahwa sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya, membludaknya remaja yang tengah dibaca oleh “prosa” Kahlil Gibran. Gibran bukan apa-apa dan bisa diganti oleh siapa saja. Tapi airmata yang bercucuran, perasaan yang berlebihan, imajinasi yang sombong bukan pada tempatnya dan tetek mbengek pencitraan atas nama sastra itu adalah bukti konkret “kekayaan” hasil kejahatan, penjarahan, perampokan dan dzolim terhadap hak-hak asasi manusia.

Pendek kata, dalam kasus ini karena pembaca “prosa” Gibran tak memiliki kesanggupan menyingkap pengalaman dirinya sendiri, meski sebetulnya telah memiliki pengalaman batin yang serupa menempatkan pembaca sebagai korban dengan sosok berlumur dosa—memiliki tanpa kuasa. Dalam bahasa yang gampang dipahami tapi sulit dimengerti adalah betapa zaman sekarang semakin banyak nabi yang jahat atau kitab yang laknat—menyebarkan wahyu kepada umat adalah kejahatan terbesar yang tak terampuni karena sesungguhnya hal itu hanyalah untuk dirinya sendiri.

Manusia telah memiliki penderitaan yang sama justru karena kesempurnaannya yang puncak kekayaannya ada pada hati. Tidak perlu ditambah atau dikurangi dengan puisi. Puisi adalah puisi karena takdirnya. Puisi bukan seperti puisi. Puisi adalah puisi itu sendiri. Tetapi puisi itu seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair itu doa dan sembahyangnya.

Dengan demikian, lalu dimana sebetulnya manusia berada? Analisa tajam pernah dikemukakan kritikus sastra Ribut Wijoto sebagaimana dipublikasikan media Jaringan Islam Liberal (JIL) beberapa waktu lalu. Ribut menyingkap dengan khidmat bahwa manusia tak pernah ada dalam puisi sebagaimana keterbatasan manusia yang hanya sampai pada pengetahuan menangkap tamsilan-tamsilan dunia keseharian atau dunia yang terhasilkan oleh indrawi kemanusiaan. Menurutnya, segala yang mucul di hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan sifat-sifat Tuhan. “Manusia tak pernah ada, yang ada hanya Tuhan.”

Ketika keberadaan manusia dipastikan keraguannya, ketiadaannya tanpa terkecuali terhadap seluruh pencitraannya, perasaannya, hatinya, imajinasinya, alam citanya, maka puisi tetap sendiri dengan keindahannya yang menyendiri pula sebagaimana takdirnya. Mungkin puisi sedang melakoni kejahatannya. Barangkali lagi menebus kehormatannya. Tidak ada yang tahu.

Bukan mustahil kejahatan puisi terjadi karena menyerang pencitraannya, perasaannya, pikirannya, hatinya bahkan alam citanya. Akan tetapi siapa yang bisa menghentikan manakala justru dengan itu puisi hendak merebut kembali kehormatannya, kemurniannya?
***

BAGI penulis, menulis artikel yang dimaksudkan sebagai sebentuk gagasan perpuisian ke depan ini, tentu saja berikut menyadari peluang-peluang jebakan atas logika perihal puisi itu sendiri. Atau lebih tepatnya, menyoal setiap diterminan dan menyokong sikap apriori.

Jawaban setiap soal yang diajukan mungkin sulit dijawab (apalagi dengan kebenaran pasti) atas pertimbangan kemungkinan kesalahan logika tersebut. Barangkali hanya bisa diyakini dengan sebentuk bahasa langit belaka—yang kehadirannya bisa dirasakan meski tak perlu dibuktikan. Semisal, mengapa puisi tetap ditulis hingga kini bila mustahil dikomunikasikan? Tak lain karena sudah menjadi takdir puisi dan di luar takdirnya telah terlampau banyak campur tangan yang mendekati kecurangan, kejahatan.

Problem serupa tapi tak sama, terjadi pada masih adanya pembaca puisi yang mendeklamasikan puisi di depan publik. Kenyataan ini boleh jadi semacam “usaha keras kepala” untuk memberi makna puisi kepada orang lain—inilah usaha paling tersia-sia. Seberapa pun besar atau sekecil apapun pendengar atau pembaca puisi yang berhasil memaknai sebuah puisi, hal itu adalah masalah yang sama sekali lain. Bukan masalah puisi dan bukan pula masalah pengalaman religius yang melatari lahirnya puisi tersebut, apalagi masalah hubungan penyair, puisi dan penikmatnya.

Tepatnya hal itu adalah seberapa menyala daya tangkap penikmat, imaji, perasaan, intuisi, penafsiran dan sebagainya yang sama sekali tidak tergantung kepada sepotong puisi. Puisi yang sama dalam suasana yang lain, sanggup membawa pemaknaan yang berbeda. Apalagi sepenggal puisi yang berbeda. Artinya, tradisi pembacaan puisi sebetulnya kekonyolan yang dimaklumi demi atas nama baik puisi dan harga diri manusia ketika itu.

Sebetulnya, hal yang tak jauh berbeda bisa ditarik dengan garis lurus masalah perpuisian (berikut keragu-raguannya) adalah terkait dengan penerbitan buku-buku puisi yang masih berlangsung. Juga kritikus-kritikus yang menafsir, memberi makna atau menganalisa dan kemudian menempatkan puisi dalam sejarah perpuisian. Terhadap usaha penerbitan, tanpa mengurangi atau menambah kejahatan pada puisi, menempatkan usaha penerbitan buku puisi sebagai kegiatan paling konyol dari yang paling konyol adalah hal mudah. Setiap penerbitan senantiasa berorientasi pada usaha laba dan bukan nirlaba, tapi puisi tidak pernah bisa dijual. Tidakkah dua hal ini antara penerbitan dan penjualan puisi semata-mata hanya bermaksud mencoba menciptakan misteri yang membingungkan saja. Bukan misteri dalam arti terhadap yang asali dan senantiasa menjadi inspirasi.

Lalu kritikuslah, yang paling dekat dengan kejahatan terhadap puisi. Meski hanya kritikuslah yang sahih menggunakan bungkus keilmuannya atas nama pisau bedah puisi. Bahkan, boleh jadi yang terjadi sesungguhnya adalah kritikuslah otak dari seluruh kejahatan terhadap puisi ketika: membekukan puisi dalam aliran tertentu. Lima kata terakhir ini bisa penulis ganti dengan idiom yang pasti—inilah kejahatan.

Lantas apakah sesungguhnya puisi itu?
Barangkali takdir puisi itu serupa dengan kodrat sejarah ketika tak seorang pun yang berhak memfetakompli objektif atas namanya. Puisi adalah puisi. Pembaca puisi, kritik, tafsir itu bukanlah puisi itu sendiri.

Kecenderungan manusia untuk mempertimbangkan pengetahuan secara konseptual dan eksperimen juga menjadi hak asasi bagi puisi. Mungkin masalahnya hanya dua secara konseptual bisa serupa jalan keluar atau pintu menuju alam cita. Sebaliknya sebagai gagasan pun berpeluang bagai ruang jebakan yang menyebabkan manusia tak melakukan apa-apa—seperti penyair yang tak membuat syair. Namun, begitulah takdir puisi tetap harus ditulis. Mungkin tidak untuk dibaca apalagi untuk dimuat di media.[]

*) Penulis adalah pengarang, bergiat di Komunitas Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga), Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

Sepak Bola Klenik

Sunlie Thomas Alexander *
jawapos.com

KEJANGNYA si gundul fenomenal Ronaldo menjelang final Piala Dunia 1998 di Prancis boleh jadi disebabkan faktor psikologis. Rasa gugup dan tegang dalam menghadapi partai penentuan adalah hal wajar. Apalagi beban dipikul oleh seorang bintang yang tengah bersinar terang seperti dirinya, tentu tak ringan.

Menyelami Dunia Aksara Keraton

Cahyo Junaedy
http://www.ruangbaca.com/

Koleksi naskah kuno Pakualaman dibukukan. Sebuah upaya mendokumentasikan masa lalu melalui aksara.
Ruangan itu kusam. Lampu neon yang menjadi pelita utama di ruang berukuran 3 x 4 meter pun sudah temaram. Penglihatan sedikit tertolong lantaran cahaya mentari yang menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela. Di dalam, hampir seluruh permukaan dinding tertutup rak-rak buku sederhana. Tingginya seukuran orang dewasa. Dalam perut rak, berjajar ratusan buku beragam jenis dan ukuran.

Kondisinya sekusam ruangan. Debu dan sunyi memang telah lama menjadi sahabat di sana. Tak aneh hanya segelintir orang yang mau menjejakkan kakinya di ruangan ini. Selain kondisi ruang yang tidak menarik, hampir semau koleksi buku yang tersimpan berbahasa Jawa. Sebagian lainnya malah mematahkan semangat baca karena berbahasa Belanda.

Berada di dalamnya, waktu seakan beku. Satu-satunya makhluk hidup di ruang itu adalah sosok lelaki tua yang duduk tepat di depan pintu. Dengan kacamata setebal dasar botol, berpakaian tradisional Jawa lengkap dengan blangkonnya, ia duduk tenang. Tugasnya satu, mendata tamu dan menjaga koleksi buku. Buku tamu yang tergeletak di hadapannya pun tak jauh berbeda, kusam. Mungkin ini menunjukkan usia buku yang setua pemiliknya.

Tua. Ya, inilah kesan yang meruap, bahkan tercium, saat memasuki ruang perpustakaan Pura Pakualaman. Dan sebenarnya ini dapat dipahami, lantaran seluruh koleksi perpustakaan berisi ribuan lembar naskah kuno. Usianya mencapai ratusan tahun. Tidak hanya tua, tapi orisinal. Sebenarnya, ketuaan koleksi buku dan naskah kuno yang dikandungnya menjadi daya tarik perpustakaan ini.

Melalui bait-bait dalam aksara kuno ini, bangsa ini mampu memandang masa lampau dengan lebih jelas dan sistematis.

Tanpa itu akan sulit menatap masa depan. Tapi sayang hanya sedikit orang yang meringankan kakinya ke ruang ini. Apalagi terpanggil untuk mendokumentasikan sekaligus meneliti naskah kuno yang jumlahnya ratusan. Padahal tanpa mereka, bait-bait dalam naskah kuno ini tak berarti, akan pudar dan kemudian lenyap. Demikianlah kondisi naskah kuno koleksi Pakualaman ini.

Sebagian besar naskah kuno yang ditulis tangan ini sudah rapuh. Benang yang mengikat puluhan lembar kertas sudah kehilangan kekuatan. Walhasil, puluhan lembar naskah mulai rontok, tercerai. Belum lagi melihat kondisi tulisan yang semakin renta. Tinta yang menggores garis membentuk kata sudah semakin kabur. Sebagian besar malah sudah lumer dan menembus hingga ke balik lembar kertas.

Bingkai gambar kaligrafis, atau sulur daun yang biasa menghias lembar naskah pun, sudah kehilangan kecantikannya.

Padahal inilah salah satu kelebihan naskah koleksi Pakualaman yang dikenal kaya gambar. Belum lagi melihat simbolsimbol raja, lukisan wayang, dan gambar panji-panji yang meredup.

Mungkin inilah yang membuat seorang Sri Ratna Saktimulya terpanggil buat menyusun kembali koleksi perpustakaan ini. Hasilnya, sebuah buku bertitel Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman (2004) lahir. Diterbitkan oleh Obor, buku setebal 493 halaman ini menjadi sebuah dokumentasi.

Gawe besar ini memang patut diberi acungan jempol. Menyusun katalog adalah pekerjaan besar dan berat, penyusun dituntut bekerja cermat dan akurat.

Apalagi dalam buku ini, Ratna mencoba menerjemahkan ratusan naskah kuno ini ke dalam bahasa Indonesia. Banyak kata dan bahasa yang tidak ditemukan jagat sastra Jawa Kuno. Untuk membaca naskah ini, ia harus membandingkan puluhan naskah lain. “Kesulitan terbesar karena saya tidak dapat menerjemahkan secara langsung,” tutur Ratna.

Inilah yang membuat pekerjaan ini memakan waktu cukup lama, lima tahun. Membaca naskah kuno milik keraton yang sudah disadur dalam buku ini seperti membaca residu pemikiran masyarakat yang hidup dalam naskah. Pikiran dan perasaan serasa menembus ruang dan waktu hanyut dalam kolam kata naskah yang dibaca. Lewat para pujangga yang menulis muncul rekaman, mitologi, babad, ajaran, primbon, agama, dan pemikiran serta perasaan dalam berbagai kisah. “Naskah Pakualaman ini mirip dengan sebuah catatan harian yang lengkap.

Membacanya kita akan hanyut,” ujar Ratna.

Di dalam buku ini ditemukan penggalan singkat kehidupan Sri Paduka Paku Alam III (1858- 1864) yang tak lain adalah seorang pujangga besar. Lewat tangannya lahir sejumlah karya sastra, di antaranya Serat Piwulang, Serat Ambya Yusup yang berisi kisah Amir Hamzah, dan Serat Darma Wirayat yang sangat populer. Karya sastra yang terakhir ini berisi gambaran kehidupan dunia, sebagian orang melihat karya pangeran yang memiliki nama kecil Gusti Pangeran Harya Sasradiningrat ini sebagai sebuah jalan hidup orang Jawa. Paku Alam III adalah raja yang dikenal sebagai pelopor praktek surat-menyurat, terutama dengan para sastrawan di Surakarta.

Seperti sebuah catatan harian, hampir seluruh raja Pakualaman mempunyai catatan yang ditulis kemudian disimpan dalam perpustakaan keraton.

Dapat dibayangkan rentang waktu yang terekam dalam kumpulan aksara kuno ini. Mulai Raja Pakualaman I (1813) hingga Raja Pakualaman IX abad 21. Atau nyaris 200 tahun.

Katalog ini juga membuktikan, nenek moyang kita tidak eksklusif dalam berpikir. Mereka tidak khawatir akan segala sesuatu yang asing. Dalam naskah koleksi Pakualaman ini semuanya muncul. Sebab, selain soal kehidupan di tanah Jawa, mereka juga menulis Babad Betawi, Babad Nagari Cina bahkan Babad Napoleon. “Inilah yang membuat sebuah pengkatalogan menjadi penting,” kata penyair Sapardi Djoko Damono.

Dalam hal kepercayaan, para pemilik naskah ini juga sangat terbuka. Dibuktikan dengan sejumlah naskah agama, seperti Bab Salat, Sahadat, Saha Rajah yang isinya antara lain mengenai doa dan syarat berwudu, tentang martabat sahadat, dan berbagai mantra serta rajah. Juga ada naskah yang berurusan dengan deskripsi mengenai delapan watak dewa, cerita kancil, watak Pandawa, bahkan sejumlah kisah lucu.

Kehidupan dunia wayang memang tidak dapat dipisahkan dari budaya Jawa, karena itu pula banyak naskah-naskah yang bertema wayang. Di antaranya Asthabrata, Panca Candra, dan Saha Narpa Candra yang semuanya menguraikan watak tokoh wayang, dewa maupun manusia. Yang menarik, naskah- naskah ini ditulis dalam bahasa Jawa dan Melayu.

Kebebasan untuk bicara dan memperdebatkan sesuatu hal yang bertentangan ternyata sudah dinikmati dan mungkin menjadi kelebihan budaya masyarakat masa lalu. Khususnya kehidupan di seantero wilayah Pakualaman. Buktinya, sejumlah naskah tidak tanggungtanggung bicara soal pertentanganitu. Seperti Lampahipun Sembahyang Islam dan Primbon Ngelmu Kasampurnan.

Di samping itu para pujangga ini dengan yakin mengubah dan bahkan memelintir, kalau perlu, sejumlah besar fiksi asing seperti Baron Sekendher, Bayan Budiman, Lampahan Lairipun Parikesit dan Tajussalatin. Di samping tentunya merakit kisah-kisah berlatar Jawa, seperti Panji Ino Kertapati dan Panji Kelana Jayakusuma. “Dari situ kita dapat melihat bagaimana penguasa menghormati para pujangga dengan karya sastranya,” kata Sapardi.

Naskah yang ditulis tangan ini juga mempunyai keunikan lain. Hampir seluruh lembar naskah ditaburi hiasan indah. Bahkan sejumlah gambar dibuat gemerlap dengan bubukemas. Mulai gambar sulur daun, kaligrafis, hingga simbolsimbol raja. “Dari sini kita sebenarnya dapat belajar mengenai seni rupa,” ujar Sapardi. Jika di dunia Barat mengenal kanvas, Indonesia lebih akrab dengan media kertas dan batu sebagai landasan utama seni rupa.

Ada yang kurang dalam penyusunan buku katalog ini. Menurut Dewaki Kramadibrata, staf pengajar di Universitas Indonesia, katalog ini memiliki sejumlah kekurangan, seperti tidak ada informasi rujukan koleksi naskah. Padahal, menurut Dewaki, rujukan ini penting buat memetakan naskah dalam dunia jagat sastra Jawa. Dan kekurangan lain, tidak konsistennya deskripsi soal keadaan naskah. “Informasi ini terkesan sepele, tapi sebenarnya penting buat pembaca,” kata Dewaki.

Ya, terlepas dari kekurangannya, dengan membaca katalog ini kita serasa dipersilakan masuk ke dalam dunia aksara keraton yang kaya. Lembaran sejarah, unia pemikiran, mitologi, agama, dan berbagai kisah menarik yang dapat di-eja kembali hari-hari ini. Dan tak terkecuali, dikembangkan untuk kebutuhan kekinian.

Tapi sayang dunia yang kaya itu minim peminat. Seperti siang itu, perpustakaan yang terletak di sebelah barat pendopo Istana Kadipaten Pakualaman Yogyakarta ini lengang. Hanya debu dan sunyi yang menyapa.

Pasar Sastra

Bandung Mawardi
http://www.suarakarya-online.com/

Nasib sastra di negeri ini masuk dalam pasar dengan pelbagai sensasi dan ironi. Keluhan buku sastra tidak laku mulai dihajar dengan politik best seller atau mega best seller. Kuantitas penjualan menjadi pamrih. Konsekuensi dari model ini adalah perebutan konsumen dan jerat loyalitas. Gairah pasar sastra dibentuk untuk mengesahkan sirkulasi modal. Pamrih atas sebaran makna kualitatif kerap direalisasikan sebagai sampingan karena pasar ramai oleh ekstase artifisial dan kesemuan.

Iklan buku sastra gencar untuk ikut meramaikan politik dagang dalam penciptaan selera. Tampilan iklan di lembaran koran dan majalah atau poster dikemas dengan kekuatan pikat untuk menyebarkan gairah membeli (mengonsumsi), memiliki, dan membaca.

Transaksi pembelian buku diarahkan sebagai jaminan dari keberlangsungan pasar. Iklan buku sastra memang menganut pada konstruksi dan kontrol selera agar ada pembenaran atas makna kehadiran sastra. Marketing sastra pun mulai jadi urusan baku untuk membesarkan, menyelamatkan, dan meruntuhkan sastra. Pasar sastra dalam pameran buku terasakan dengan penataan buku-buku sastra di ruang-ruang pamer. Pemberian potongan harga atau obral juga menentukan lakon buku itu dalam limpahan buku-buku agama, politik, ekonomi, komputer, atau komik. Buku sastra dalam pameran buku kadang menempati diri dalam "kursi kehormatan" saat promosi penerbit. Posisi terhormat itu ditambahi dengan diskusi atau bedah buku dengan menghadirkan penulis. Buku sastra pun kerap dalam posisi terpuruk saat ditaruh di lantai dengan nilai obral lima ribu sampai lima belas ribu rupiah.

Kejatuhan harga kadang mengikutkan imaji tentang sastra itu murah dan tak laku. Pasar seperti menampik buku sastra.

Pembacaan atas pasar sastra memang lekat dengan pemahaman tentang bisnis dan kepenting pelbagai pihak dalam mengurusi sastra. Peran penerbit, penulis, distributor, atau pembaca kerap menimbulkan dilema dalam perbedaan pamrih. Buku sastra ada dengan mengandung potensi-potensi untuk dimaknai sebagai komoditi atau "makhluk".

Pertentangan pemaknaan pun rentan menimbulkan sanggahan dan pemakluman bergantung pada hitungan total penujalan dan resepsi publik dalam mengonsumsi-menggauli buku. Pasar sastra memang identik dengan ekonomi tapi memiliki efek sistemik pada pembacaan dan penilaian nasib sastra di publik. Mitos tentang buku sastra laku dengan batasan seribu ekslempar atau maksimal lima ribu eksemplar bisa diruntuhkan oleh kematangan penggarapan marketing sastra.

Buku sastra memiliki potensi menjebol mitos jika ditunjang oleh strategi pasar fenomenal. Angka penjualan novel Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Perahu Kertas, atau Negeri 5 Menara memang memukau kendati itu menjadi kasus kecil dari ratusan judul buku sastra saat terkapar di pasar. lakon novel-novel laris itu ikut menentukan imaji publik atas sastra dengan abai atau tidak tahu representasi sastra di lahan kering alias susah memikat orang untuk membeli dan menggauli.

Pasar sastra memberi pelbagai kejutan, laba, pesimisme, dan derita jika disorot dari sekian lini. Hitungan pembagian dari harga buku sastra kerap menampilkan diskriminasi. Politik harga sastra menentukan nasib penulis, laba penerbit, atau gairah toko buku. Diskriminasi terjadi pada angka dan kualitas. Lakon pelik ini kadang menimbulkan keributan. Posisi pembeli sebagai pemasok uang dan penentu jumlah malah kerap terabaikan dalam pemberian makna kualitatif. Pasar sastra sekadar dunia uang dan absen dari nilai buku itu bagi pembaca. Penciptaan konsumen dan pengenalan-pengekalan selara bergantung pada penggarapan strategi pasar sasrta dalam pelbagai pertimbangan. Harga sastra memang kerap jadi masalah. Buku tipis tapi mahal membuat orang mengeluh.

Buku murah membuat orang curiga kualitas murahan. Politik harga sastra adalah penentu dari "harga diri" sastra di mata publik. Pemberian harga dalam urusan ekonomi tentu menimbulkan kesan pragmatis. Pengaruh dari model penciptaan selera sastra kadang membuat penentuan harga jadi tidak stabil mengacu pada kemungkinan kemauan publik pembaca.

Wacana pasar sastra ini jarang tercatat dan masuk dalam lembaran- lembaran sejarah sastra di negeri ini. Nasib sastra terlalu dipercayakan pada kritikus sastra, koran, majalah, jurnal, universitas, perpustakaan, sekolah, dosen, guru, atau komunitas. Pasar sastra sebagai penentu gairah dan keambrukan sastra mesti jadi perhatian untuk mengetahui aib dan keajaiban sastra. Sastra secara komersial adalah takdir pasar untuk menyempurnakan proyek negara dengan produksi buku-buku sastra berlabelkan: "Milik Pemerintah Tidak

Diperdagangkan". Pasar sastra mencakup keterlibatan pelbagai pihak dengan konsekuensi-konsekuensi untuk menentukan nasib sastra.

Pasar sastra dalam dunia jual-beli buku bekas kadang menyisakan jejak-jejak historis. Pembacaan dalam sisi ini bisa agak keluar dari hipnotis pasar mutakhir. Produksi buku pada masa lalu menyapa dengan pertanyaan tentang haraga, peredaran, dan akses pembaca. Kemunculan kembali buku-buku lawas atau bekas di pasar loak kerap menimbulkan imaji tentang situasi pasar pada masa lalu dan pemaknaan dari pembaca. Buku-buku sastra laris dari Marga T, Mira W, Eddy D Iskandar, Motinggo Busye, Teguh Esha, Ashadi Siregar, atau Maria A Sardjono bisa dibandingkan dengan kesusahan "menjual" buku-buku sastra produksi penerbit Pustaka Jaya, Djambatan, atau Gunung Agung. Jejak pasar sastra pada buku-buku lawas patut disambungkan dengan situasi pasar sastra hari ini untuk mengetahu alur dan pasang surut sastra. Begitu. ***

*) Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Pemimpin Redaksi Jurnal Tempe Bosok

STA, Perangkum Semua Kebudayaan

Aulia A Muhammad
http://suaramerdeka.com/

INDONESIA hari ini, juga Indonesia akan datang, tidak dibangun dalam satu hari, juga tidak oleh satu orang. Meski, untuk peletak dasar kebudayaan, ada satu orang yang namanya tak mungkin dihapuskan. Dialah Sutan Takdir Alisjahbana, yang namanya biasa disingkat STA.

Takdirlah yang dengan serius memikirkan kebudayaan Indonesia. Tak hanya melalui Polemik Kebudayaan –yang sampai kini masih acap dibicarakan- dan Majalah Pujangga Baru yang semua dia garap dengan sangat serius, tapi juga upayanya menjadikan bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa modern.

Bagi Takdir, bahasa bukanlah semata alat untuk berpikir. Bahasa adalah pikiran itu sendiri.

Dan modernisasi adalah kunci dari pemikiran Takdir, yang sering diidentikkan orang dengan pembaratan. Padahal, Takdir memaksudkan itu sebagai adopsi rasionalitas. Dan itulah yang terus ia pertahankan mulai Polemik Kebudayaan, sampai di akhir masa hidupnya.

“Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif –penguasaan ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi-dan kebudayaan ekspresif –kebudayaan tradisional yang dikuasai nilai agama dan seni. Yang pertama berdasarkan kerasionalan berpikir, yang kedua berdasarkan intuisi, dan imajinasi,” terangnya di tahun 1986.

“Perbedaan kedua hal itu amat besar. Seperti perbedaan antara kebudayaan Indonesia dan pra-Indonesia. Zaman Islam dan zaman Jahiliyah,” tambahnya di tulisan yang lain.

Sebelumnya di tahun 1985, saat dia berumur 77 tahun, dengan marah Takdir menyerang pihak yang masih merindukan kebudayaan lama atau daerah, sewaktu seminar di Bali. “Kebudayaan lama adalah kebudayaan pramodern yang sama sekali ta pernah menghasilkan teknologi.” Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas agama, ilmu dan teknologi. “Kebudayaan pramodern, irrelevant dengan totalitas itu,” kecamnya.

Guru yang Ganas

“Sewaktu lahir, Takdir tak menangis, tapi langsung berdebat.” Begitulah kelakar teman-teman masa mudanya, menggambarkan betapa acapnya tokoh satu ini mendebatkan banyak soal.

Lahir di Natal Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 11 Februari 1908, Takdir mengaku berdarah campuran.

“Ayah saya berdarah Jawa, namanya Raden Alisjahbana, gelar Sutan Arbi. Gelar Raden itu diakui Kesultanan Yogyakarta, dan ayahlah yang pernah diminta memata-matai kegiatan Sentot Alibasjah di Bengkulu. Dari jurusan darah ini, saya memang orang campuran,” akunya sambil bergelak pada Tempo.

Ayah Takdir seorang guru, dan Takdir mewarisi bakat itu. Setelah menamatkan sekolah di HIS Bengkulu (1921) dan melanjutkan ke Kweekschool, Bukittinggi, Lahat, Muaraenim (1925) dia mulai mengajar. Tapi bakat yang diturunkan ayahnya ternyata tak cuma menjadi guru, juga suka bermain bola, berdebat, dan ini yang paling parah, pemberang. Tak heran, dia acap mengamuk mengamati kebodohan murid-muridnya.

“Sering betul saya menampar murid-murid. Suatu hari, saya malah menampar seluruh kelas,” kenangnya.

Peristiwa itu berlanjut. Seorang murid melaporkan peristiwa itu, dan nama Takdir tercantum dalam sebuah liputan di koran Pertja Selatan, dengan berita panas, “Guru yang Ganas”.

Mungkin karena itu Takdir terbang ke Jakarta, melamar menjadi redaktur di majalah Panji Poestaka, tapi ia malah diterima di bagian penerbitan buku. Di Jakarta ini dia masih melanjutkan sekolahnya di Hogere Hoofdacte Curcus (1933), dan melahirkan roman pertamanya, Dian yang tak Kunjung Padam, dan dilanjutkan dengan Layar Terkembang.

Kariernya melesat karena redaktur Panji Poestaka Adinegoro pindah ke Medan. Takdir menggantikannya, dan melesatkan projek “Gerakan Sastra Baru” pada tahun 1933. Gerakan ini membuat dia akrab dengan sastrawan kondang masa itu, Armijn Pane dan Amir Hamzah.

Takdir kemudian berkenalan dengan A Dahleer, seorang Belanda pemilik percetakan Kolf. Lewat percetakan itulah Poejangga Baru pertama kali terbit, yang kemudian Takdir terbitkan sendiri.

“Meskipun pembaca Majalah itu tidak banyak, tapi pengaruhnya besar sekali. Banyak ahli yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr Sumanang, dan Poerwadarminta. Ada sekitar 20 orang intelektual Indonesia yang menjadi inti gerakan itu,” kenangnya.

Tenggelam dalam Bahasa

Ketika Jepang masuk Indonesia, Takdir masih sempat menamatkan sekolahnya di Rechtshogeschool dan Leeterkundige Fakulteit Jakarta (1942). Dan ketika Jepang mendirikan Komisi Bahasa Indonesia, Takdir pegang peranan penting.

“Saya diangkat jadi Sekretaris Ahli. Sekretaris sesungguhnya adalah Mr Soewandi,” jelasnya. Namun, sejarah mencatat, Takdirlah yang kemudian menjadi napas Lembaga itu, terutama saat Lembaga itu berubah menjadi Kantor Bahasa, dia mengetuainya. Dan Takdir memulai kerja, menyeragamkan istilah-istilah yang dipakai di sekolah-sekolah.

“Kami berhasil menghimpun lebih dari 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia,” ucapnya bangga.

Di masa Jepang ini, dia pun melahirkan novel Anak Perawan di Sarang Penyamun.

Di era kemerdekaan, Takdir kemudian mendirikan Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) dan Universitas Nasional, dan menjadi rektornya. Dia menjadi penganjur yang tak kenal lelah untuk usaha modernisasi, menganjurkan penerjemaan karya-karya asing secara sistematis dan berkualitas. Ia pun mendirikan lembaga penerjemahan di Universitas Nasional.

“Semua kebudayaan dunia adalah kebudayaan saya,” jelasnya, saat ditanya kenapa dia begitu getol menerjemahkan berbagai karya sastra dunia. Namun, ia mengaku kecewa dengan kualitas penguasaan bahasa Indonesia.

“Saya kecewa. Ini menunjukkan bahwa bahasa yang pernah menggetarkan dunia linguistik ini, dengan kesanggupan memersatukan 13 ribu pulau, masih saja jadi bahasa yang terbelakang, belum modern, belum menjadi pintu ilmu dan teknologi,” keluh suami tiga istri, dan bapak sembilan anak ini, selain lima novel dan beberapa karya ilmiah.

Obsesi Takdir adalah menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Ia memberian gambaran bahwa Malaysia, Brunai, Singapura dan sebagian Philipina adalah pemakai bahasa Melayu. Karena itu, dengan kerja sama dan pengertian yang baik, Takdir percaya, keempat negara itu akan mampu mewujudkan bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di Asia Tenggara.

Sayang, obsesi si perangkum semua kebudayaan itu tak pernah terwujud, sampai ia menutup mata 15 Juli 1995, di usia 87 tahun. Bahkan, sampai kini, enam tahun setelah kepergiannya itu, tak ada pewaris obsesinya yang masih mau mengumandangkan cita-cita itu.

Membaca Jawa lewat Raffles

Judul buku: The History of Java
Penulis: Thomas Stamford Raffles
Alih bahasa: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah
Penerbit: Penerbit Narasi, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Halaman: XXXVI + 904 halaman
Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen*
http://www.ruangbaca.com/

Ketika meninggalkan Indonesia (tepatnya di Bengkulu) pada 1823, sambil menyeka air mata, Raffles membawa pulang 30 ton naskah tentang Jawa.

Kira-kira tujuh tahun sebelumnya ia menerbitkan buku legendaris yang hingga kini terus diperbincangkan. Untuk keperluan penulisan, menurut Anthony Forge (1994), Sang Gubernur, yang juga memprakarsai kelahiran Singapura, tak hanya mengumpulkan banyak statistik, obyek-obyek material pun ia sertakan –mulai lukisan, ukiran kayu dan logam, baju adat, alat musik, hingga spesimen tumbuhan, rangka binatang dan sekaligus kulitnya. Ditambah sokongan data surat kabar The Java Gouvernment Gazette, lengkap sudah perbendaharaan Raffles untuk menulis mahakaryanya ini, History of Java –judul yang gagah lantaran mencakup dimensi-dimensi yang sangat beragam dan luas.

Pribadi Raffles memang memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan karya besar. Jauh sebelum menjadi gubernur di Jawa, Raffles mengawali kariernya sebagai juru tulis sebuah perusahaan Hindia-Timur (1795). Sebagai seorang analis dan ahli dokumentasi, ia sangat tekun, ulet, cerdas, jeli, dan berkemauan keras. Tak heran, selama berkuasa di Jawa, berbekal akses yang luas, ia rajin menyambangi hutan, desa, hingga berbagai obyek arkiak Jawa. Ia juga gemar mengunjungi para penguasa lokal sembari berbuku naskah-naskah kuno.

Kualifikasi keilmuan Raffes terlihat pada kemampuan olah data yang mumpuni dan komprehensif. Terdapat banyak footnote buku-buku ilmiah tempat Raffles harus merujuk. Seperti dikutip majalah Tempo (edisi 9-25 Mei 2008), kepiawaian Raffles meracik data lokal dengan buku ilmiah para ilmuwan, seperti buku F. Valentijn (Oud en Nieuw Oost-Indien, 1724), dan karya Rumphius (Herbarium Amboinense, 1741) sangat mengagumkan. Lebih-lebih Raffles memperkaya ulasannya dengan aneka ilustrasi litografi yang unik dan menarik. Boleh jadi, beberapa obyek nyata dari ilustrasi itu sudah tak bisa dilihat lagi di tempat asalnya.

Selama menjadi Gubernur Jenderal di Jawa (1814-1816), ia berhasil mengusahakan banyak hal: mengenalkan otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, menata ulang sistem perpajakan dan pertanahan, serta merintis penelitian serius terhadap sastra Jawa kuno. Ia pula yang menginisiasi pendirian Kebun Raya Bogor, Museum Etnografi di Batavia, memugar Candi Borobudur, Candi Panataran, dan Candi Prambanan. Dengan waktu yang relatif singkat itu, Raffles menjadi layak untuk dikenang. Lebih-lebih ia tak suka dengan model pemerintahan Belanda yang abai terhadap perikemanusiaan.

Raffles memulai Bab I dengan mendeskripsikan kondisi geografis Pulau Jawa. Ia menarasikan sebuah peta topografis ihwal keadaan alam Jawa dalam sejumlah ukuran: pembagian wilayah, pelabuhan, pegunungan, sungai dan danau, pemandangan alam, susunan bebatuan, musim dan iklim, jenis logam, kondisi tanah, serta flora-fauna. Salah satu subtema yang menarik dicermati adalah ketika Raffles mengulas bagaimana dan dari mana nama “Jawa” didapat. Penelusuran etimologis yang dilakukan Raffles bahkan, sampai-sampai, mengutip Kitab Kejadian Bab X.

Pada Bab II, Raffles mendiskusikan populasi Jawa dengan dua pola sekaligus. Mula-mula ia melakukan kilas balik sejarah asal mula orang Jawa, dan kemudian membandingkan perbedaan ras Jawa dengan ras Melayu dan ras Bugis. Tak hanya itu, pembahasan tentang sejumlah ras pendatang semacam Cina, Moor, dan Arab, ia sertakan pula. Dengan gambaran yang relatif lengkap seperti itu, Raffles bisa bercerita banyak mengenai kesenjangan ekonomi hingga problem kelas sosial.

Kecintaan Raffles pada dunia botani terlihat pada Bab III. Ia merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”

Tengok pula bagaimana ia bersaksi, “Tidak ada pemandangan yang lebih indah untuk mata atau imajinasi seseorang dibandingkan melihat lautan padi menguning di lereng gunung dan buah-buahan di hutan yang siap dimakan.”

Raffles tak luput memperlihatkan bagaimana kodrat agrikultur orang Jawa terejawantah dalam keseharian. Poin ini lebih lanjut diuraikan pada Bab VI, yang secara penuh disediakan untuk menggambarkan karakter orang Jawa. Raffles bahkan merasa perlu menyangkal prasangka umum di Barat yang menganggap orang Jawa pemalas. Tidak. “Orang Jawa”, kata Raffles, “sangat rajin dan senang bekerja… bangun saat fajar, berangkat ke ladang padi pukul setengah tujuh…. Selama siang yang panas mereka beristirahat di bawah bayang-bayang rumah… merawat peralatan pertanian atau sibuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting.

“Sekitar pukul empat mereka kembali bekerja di sawah…pukul enam mereka pulang, makan malam dan menghabiskan sisa waktu hingga menjelang tidur dengan sedikit hiburan atau bincang-bincang, sementara seluruh desa terlihat tenang, damai dan menyenangkan.”

Pembaca perlu mencermati bagian akhir bab itu yang mencerminkan subyektivitas seorang Gubernur Inggris di tanah Jawa.

Ditopang sejumlah data dan argumentasi, Raffles menilai kebijakan pemerintah Belanda tidak tepat. Baru setelah kedatangan Inggris, sejumlah perbaikan pertanian bisa diusahakan.

Pembahasan pada Bab IV berkutat pada dunia manufaktur dan produksi tradisional. Lagi-lagi Raffles menengarai kepatuhan orang Jawa terhadap Eropa (yang dimaksudnya tentu saja Belanda) menyebabkan miskinnya inovasi dan penemuan di bidang ini. Lebih-lebih, gaya hidup yang sederhana tidak menuntut kemajuan yang pesat di dunia manufaktur.

Pemahaman Raffles mengenai potensi strategis Jawa dalam perdagangan internasional juga sangat mencengangkan. Simak rincian ulasan pada Bab V, yang secara khusus menerangkan perdagangan. Sembari melaporkan rincian komoditas ekspor-impor, Raffles meletakkan relevansi pembahasannya dalam konteks hubungan niaga yang tersambung ke banyak belahan dunia lain.

Uniknya, Raffles memasukkan pembahasan agama dalam bab ini juga. Agaknya, ia ingin menunjukkan ketersebaran agama-agama, meminjam istilah Pramoedya, dari negeri “atas angin” tidak bisa dilepaskan dari konteks perdagangan. Uraian lebih mendalam mengenai sistem keyakinan orang Jawa bisa dibaca lebih lanjut pada Bab IX.

Baru pada Bab VII dan VII tema tradisi mendapatkan perhatian penuh.

Simbol-simbol tradisi semacam upacara, drama, wayang, tari, beserta sejumlah adat istiadat diterangkan dalam tutur yang tak membosankan. Sementara Bab X dan XI dihabiskan untuk mendedah sejarah perdaban Jawa yang panjang. Uraian historis ini diakhiri sampai dengan periode kedatangan militer Inggris pada 1811.

Termaktub pula 12 lampiran berharga yang melaporkan kemunduran Batavia, perdagangan dengan Jepang, terjemahan versi modern Suria Alem, hukum pengadilan provinsi di Jawa, perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku di Jawa, cerita pulau Sulawesi dan perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku angka-angka Candra Sengkala, terjemahan Manik Maya, terjemahan huruf prasasti Jawa dan Kawi kuno, pulau Bali, instruksi pajak, hingga memorandum tentang berat, ukuran, dan lain sebagainya.

Satu hal yang menjadi kesan bagi pembaca di Indonesia adalah gaya penulisan Raffles yang simpatik, sekalipun itu menjadi nostalgik bagi pembaca di Barat. Dengan begitu, Raffles selamat di dua sisi mata uang sekaligus. Ia mencintai Indonesia tanpa perlu menjadi benalu bagi semangat kolonialisme yang mewabah di negara-negara barat. Bagi sebagian orang, Raffles menjadi sebuah nama bagi pengandaian tentang kolonialisme yang indah.

Biar bagaimanapun, Raffles tetap saja tak bisa lepas dari cara pandang Orientalis yang senantiasa melihat “timur” sebagai nostalgia panorama yang elok dan, kata Edward Said (1978), remarkable experiences. Buktinya, “barat” langsung terhenyak begitu Eduard Douwes Dekker, yang menyamar dengan nama dengan Multatuli menjungkirbalikkan ‘pakem’ itu lewat novel Max Havelaar setengah abad kemudian (1860).

Sebelum History of Java edisi Bahasa Indonesia terbit, saya lebih dulu termenung dengan tesis master Natalie A. Mault (Louisiana State University, 2005). “Bagaimanapun,” demikian tulis Mault, “berbahaya untuk menempatkan History of Java sebagai sumber yang memberitakan segala hal ihwal sejarah Jawa, lantaran pandangan yang Raffles ekspresikan adalah milik kolonialis Eropa yang berburu cara untuk mempromosikan agenda politik mereka.” (hlm. 90). Pada titik inilah masyarakat Indonesia mesti sadar. Berabad-abad lamanya kita ditelan gelombang dari luar yang mewujud tak hanya dalam ketidakadilan ekonomi-politik semata, namun juga menyelinap dalam cara berpikir dan bersikap.

Maka, di hadapan karya ini, kita tak boleh berhenti pada keterpesonaan semata. Sekalipun untuk kisaran abad XIX tak ada sumber literer pembanding yang muncul dari kalangan bumiputera, sikap pasrah dalam membaca dan menulis sejarah tak bisa diterima. Karenanya, kesimpulan sebagai hasil sebuah pembacaan mestinya melahirkan kesadaran sikap. Cukuplah untuk berabad-abad lamanya kita dilahap menjadi obyek garapan “mereka”. Tak ada kata terlambat bagi “kita” untuk menjadi subyek bagi diri sendiri. Perspektif Indonesiasentris yang dirintis Sartono Kartodirdjo dalam tradisi historiografi bisa dirumuskan dalam tiga kata: Indonesia menulis Indonesia.

Barangkali, ini pula yang terkandung dalam slogan Bung Karno: BERDIKARI, berdiri di atas kaki sendiri.

“Oh, ya. Terima kasih, Pak Raffles. Selanjutnya kami sendiri yang menulis!”

*) Divisi Riset BALAIRUNG UGM, Yogyakarta

”Simpan Golokmu, Asah Penamu”

Sukar
http://www.radarbanten.com/

Toto ST Radik tak hendak berpuisi. Tapi, rangkaian kata-kata itu ia jadikan simbol gerakan membangun budaya literasi di Banten. Kini telah lahir penulis-penulis muda dengan segudang karya dan prestasi. Kebangkitan budaya literasi di Banten?
***

Budaya literasi di Banten sebenarnya memiliki sejarah panjang. Di era Kesultanan Banten, Desa Kasunyatan pernah menjadi pusat pengajian (sekaligus pengkajian) bagi para ulama dalam membedah kitab-kitab agama. Dan puncak kejayaan budaya literasi di ranah Banten terlihat dari produktivitas Syekh Nawawi Tanara yang menghasilkan ratusan kitab, yang hingga kini menjadi rujukan kaum santri, pelajar, dan mahasiswa di berbagai negara.

Di era 80-an, budaya literasi di Banten ditandai dengan munculnya penulis-penulis muda dari Banten, seperti Gola Gong (fiksi), Toto St Radik (puisi), almarhum Rys Revolta (puisi), dan Wowok Hesti Prabowo (puisi). Tulisan tiga serangkai itu banyak menghiasi majalah-majalah remaja nasional.

Di era 90-an, dunia kepenulisan di Banten terus menggeliat. Nama-nama seperti Asep GP, Rubby Achmad Baedhawi, Abdul Malik, Purwo Rubiono, Dian Faradisa, Husnul Khuluqi, Tyas Tatanka, cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Pada era ini terbit sebuah buku kumpulan puisi ‘Bebegig’ yang diterbitkan Lingkaran Sastra dan Teater (List) Serang.

Dunia kepenulisan di Banten semakin menggeliat pada dekade 2000-an ini. Di era ini muncul nama Qizink La Aziva, Ibnu Adam Aviciena, Endang Rukmana, Adkhilni MS, Firman Venayaksa, Najwa Fadia, RG Kedung Kaban, Wangsa Nestapa, Muhzen Den, Mahdiduri, Aris Kurniawan, Sulaiman Djaya, serta penulis muda lainnya. Para ‘penulis lapis kedua’ ini – istilah yang dikenalkan Gola Gong - lahir dari sejumlah komunitas sastra di Banten, seperti Sanggar Sastra Serang (S3) yang dibina Toto St Radik, Komunitas Kebon Nanas (KKN) binaan Wowok Hesti Prabowo, dan Kelas Menulis Rumah Dunia asuhan Gola Gong.

Karya penulis muda ini kini tidak hanya menghiasi media massa lokal, tapi juga sudah merambah hingga media nasional, termasuk buku-bukunya diterbikan oleh penerbit nasional seperti Mizan, Gramedia dan Senayan Abadi, di samping penerbit lokal Suhud Sentrautama, satu-satunya penerbit di Banten yang telah menjadi anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).

Di antara mereka bahkan telah menggondol beragam penghargaan kepenulisan di tingkat lokal maupun nasional. Penghargaan Writer Young Unicef Award diraih dua penulis muda Banten, yakni Endang Rukmana (alumni SMAN 1 Serang) pada 2004 dengan tulisannya yang berjudul ‘Siapa Pemilik Sah Republik ini’ serta Yuanita Utami (siswi kelas III SMAN 1 Cilegon) pada 2006 dengan essay berjudul ‘Dicari:Televisi Ramah Keluarga’.

Geliat budaya literasi di kalangan pemuda ini seiring dengan kemunculan sejumlah komunitas kepenulisan. Untuk mengintensifkan semangat kepenulisan, di Banten juga sudah terbentuk Forum Lingkar Pena (FLP) Banten yang kemudian diikuti dengan FLP di kabupaten/kota di Banten. Forum ini juga cukup aktif menggelar berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia kepenulisan, mulai dari pelatihan menulis bagi pemula hingga bedah buku dengan mendatangkan sejumlah penulis dari luar Banten.

Sementara majalah sastra Horizon bekerjasama dengan Ford Foundation, kini melebarkan sayapnya untuk menumbuhkan budaya literasi di Banten, dengan membuka Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) di Kecamatan Labuan, Pandeglang. Sebelumnya, SSRI telah berhasil didirikan di Kabupaten Serang di bawah binaan Toto ST Radik. SSRI Serang telah menerbitkan sejumlah buku, seperti kumpulan essay Adkhilni MS dan Endang Rukmana berjudul ‘Dari Donat Sampai Presiden’ dan kumpulan puisi ‘Sembunyi Sampai Mati’. Selain itu, SSRI Serang juga cukup aktif menerbitkan jurnal sastra ‘Ketika’, yang disebarkan ke sejumlah sanggar sastra di nusantara. Dalam setahun terakhir, sanggar ini telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi, melalui program ‘Proyek 3/3 Puisi’.

Fenomena munculnya penulis muda ini menarik perhatian Gola Gong. Menurutnya, fenomena ini merupakan salah satu langkah munculnya generasi muda Banten yang lebih maju, cerdas dan kreatif. Menurutnya, para penulis muda ini kelak akan menjadi generasi kritis yang mengedepankan kekuatan otak dibandingkan ototnya. “Saya yakin, penulis muda ini akan menjadi generasi muda baru di Banten yang cerdas dan kritis,” ungkapnya.

Keyakinan serupa juga diungkapkan Firman Vanayaksa, dosen Untirta yang kini diangkat sebagai Ketua Rumah Dunia. Menurutnya, kemunculan penulisan muda ini merupakan pertanda baik dalam pembentukan generasi muda Banten ke depan. “Budaya literasi di Banten kini sedang berkembang,” tambahnya.

Muncul Individual

Selain dengan ’gerakan sistematis’ melalui komunitas-komunitas tadi, kegiatan literasi juga muncul secara individual dan melahirkan nama-nama seperti Khatib Mansur, Agus Sutisna, Gandung Ismanto, Dibyo Sumantri, dan beberapa nama yang lain. Secara individu juga mereka aktif meneyebarkan ’virus’ literasi.

Khatib Mansur, misalnya, mantan wartawan yang kini aktif mengurus yayasan bernama yayasan ShengPo, telah menulis beberapa buku. Kini, selain menerbitkan majalah berbahasa Jawa-Banten, Banten Seniki, Khatib tengah menyelesaikan sebuah kamus bahasa Jawa-Banten. Sedangkan Agus Sutisna, selain rajin menulis artikel di koran lokal seperti Radar Banten, akademisi STIE La Tansa Lebak, ini beberapa kali juga menulis buku. Begitupun dengan Gandung Ismanto. Mantan ketua Panwaslu ini, selain dikenal sebagai akademisi Untirta juga aktif menghasilkan berbagai kajian dan beberapa kali menulis maupun editor buku.

Yang menarik adalah munculnya penulis dari perusahaan semacam PT Krakatau Steel Cilegon, yakni Dibyo Sumantri. Selain dikenal sebagai psikolog dan menulis di beberapa media, juga menerbitkan buku berjudul Kang Sastro dengan pengantar mantan Menkopolkam yang kini menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.

Di luar itu, masih ada sejumlah nama yang ikut menyemarakkan dunia kepenulisan di Banten dengan menghasilkan karya dalam bentuk buku, seperti Muhammad Wahyuni Nafis (intelektual Universitas Paramadina dan anggota KPU Banten), Entus Sukria (PNS Pemprov Banten), Suhada (aktivis LSM), Ali Nurdin (politisi/akademisi UNMA), Anis Fauzi (akademisi IAIN SMHB), Samson Rahman (penerjemah buku best seller La Tahzan), Suryana Sudrajat (kolumnis/wartawan), Mohammad Ali Fadhillah (kini PNS di Disbudpar Banten) yang aktif memasyarakatkan bahasa Sunda-Banten melalui majalah Damar-nya, Herwan FR dan Wan Anwar (akademisi FKIP Untirta). Nama terakhir ini, selain produktif menulis puisi, juga aktif mengisi berbagai seminar maupun diskusi tentang sastra, serta banyak membina mahasiswa di bidang kesusasteraan, termasuk teater.

Di atas angkatan mereka, muncul nama-nama seperti almarhum Halwani Michrob bersama Mudjahid Chudori (mantan anggota DPRD) yang konsen dengan buku-buku Banten masa lalu, Djoewisno dan Lukman Hakim (wartawan senior), di samping dari kalangan akademisi seperti Prof Dr Wahab Afif, Prof Dr Suparman Usman, dan Dr Fauzul Iman, dengan buku-bukunya yang menjadi bahan ajar khususnya di lingkungan IAIN SMHB. Dan tentu masih ada yang lain baik yang berkiprah di Banten maupun di luar Banten.
***

Banyaknya penulis baik yang lahir karena buah dari ’gerakan sistematis’ sejumlah komunitas maupun yang muncul secara individual, membuktikan semangat membangun budaya literasi di Banten saat ini sedang tumbuh. Hanya sayang, gerakan ini belum didukung secara penuh oleh pemerintah. Pembangunan gedung perpustakaan yang ditunda adalah bukti minimnya dukungan itu!(fau/dul)

Sepak Bola (Seharusnya) Adalah Puisi

Tulus Wijanarko*
http://www.korantempo.com/

Zinedine Yazid Zidane boleh saja menjadi pujaan penggemar sepak bola dunia. Tetapi bagi sebagian penulis biografi, Zidane mungkin bukan obyek favorit penulisan. Kenapa? Tentu saja bukan karena kisah hidup gelandang legendaris Prancis ini tak berwarna. Tidak pula disebabkan Zizou–demikian sapaannya–tak memiliki karisma. Untuk dua hal itu, Zidane lebih dari sekadar memenuhi syarat–perbawanya bahkan tak luntur setelah insiden tandukan kepalanya atas Marco Materazzi.

Sebabnya adalah Zidane agak miskin dengan pernyataan-pernyataan filosofis yang menjadi kegemaran para penulis. Dalam sebuah wawancara di televisi, misalnya, sang penanya gagal mendapatkan jawaban yang diharapkan quote-able untuk pertanyaan berikut: Apakah sewaktu kecil Anda bermimpi menjadi pemain nasional Prancis?

Zidane menjawab singkat: Tidak. Waktu kecil, “Saya hanya menginginkan bola kulit dan sebuah sepeda,” katanya. Sederhana dan telak. Masa kecilnya yang sengsara memang tak memungkinkan ia memiliki impian muluk-muluk.

Beda di depan pewawancara, lain di lapangan. Di dalam arena, Zidane adalah penafsir ulung atas filosofi sepak bola. Hal itu ia lakukan secara sempurna bersama rekan-rekannya dalam Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 saat Prancis menjadi kampiun. Tim Les Bleus kala itu adalah skuad yang piawai menerjemahkan bahwa sepak bola adalah permainan tim tanpa menafikan keindahan keterampilan individu. Sedangkan kemenangan hanyalah konsekuensi. Itulah inti filosofi sepak bola.

Dalam benak saya, demikianlah semestinya sebuah tim sepak bola diracik. Jika sebuah tim mampu mencapai kasta permainan demikian, sepak bola tak lagi sekadar adu otot dan tenaga. Ia akan menjadi sebuah seni. Sepak bola mungkin akan bermetamorfosis menjadi puisi–wilayah di mana keindahan dan kandungan makna saling menjalin memuliakan kemanusiaan.

Pada tim Prancis 1998 dan 2000, hal itu mewujud demikian nyata. Tim juara ini digawangi individu multiras, namun mereka sukses meleburkan perbedaan. Bukankah orang-orang yang mampu menisbikan perbedaan fundamental demi tujuan bersama adalah mereka yang sejatinya tahu benar arti kemanusiaan? Itulah yang dilakukan Zidane dan kawan-kawan kala itu. Di tingkat klub, apa yang dilakukan Prancis itu berhasil dicapai Barcelona di bawah asuhan Pep Guardiola.

Saya pernah mengutip pernyataan Hanning Mankell, penulis kondang Swedia. Kata dia, seni (sastra) dan sepak bola berurusan dengan hal sama, yakni konflik, kontradiksi, dan solusi. “Sastrawan dan pemain sepak bola harus membuatnya menarik agar bisa dinikmati,” titahnya.

Beberapa penyair Inggris kontemporer bahkan melangkah lebih jauh. Banyak di antara mereka menulis puisi berdasarkan refleksi atas permainan sepak bola. Lihatlah yang dilakukan Tony Harrison. Oleh penyair kontroversial ini, berbagai pertentangan dalam masyarakat ia tulis dengan metafora yang diambil dari sepak bola. Ia, misalnya, mengkritik polarisasi sosial, namun pada saat yang sama menyokong harmoni.

Rasanya Pep Guardiola memahami dengan baik pikiran Mankell dan Harrison itu. Di tangannya, sepak bola telah kembali ke inti filosofi yang sejati. Ia memiliki pemain-pemain terbaik di dunia. Tetapi Pep–pencinta musik dan buku-buku bermutu–berhasil mengembangkan solidaritas yang mengatasi ego masing-masing anak didiknya, tanpa membuat keunikan individu tenggelam. Itu membuat Barcelona menjadi semacam sebuah mahakarya seni.

Tetapi, toh, kita tahu Barcelona akhirnya ditekuk sepak bola defensif ala Inter Milan di final Liga Champions lalu. Seperti halnya Prancis takluk pada sepak bola gerendel Italia di Piala Dunia 2006.

Kini, di Afrika Selatan, kita gamang apakah sepak bola akan dikhianati anaknya sendiri dengan permainan sepak bola negatif asal menang, ataukah bakal ada titisan Zidane dan Guardiola yang menyelamatkan “kesucian” intisari sepak bola?

Saya tak pernah berharap Nurdin Halid atau Nugraha Besoes mampu menjawab pertanyaan semacam itu.

*) WARTAWAN TEMPO

Senin, 14 Juni 2010

Ludwig Tieck (1773-1853)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=476

WAKTU
Ludwig Tieck

Dia ngembara dalam lingkaran abadi dan sama,
Sang waktu, menurut caranya yang lama,
Atas perjalanannya, tuli dan buta;
Anak manusia yang tak malu-malu
Mengharap dari saat yang datang senantiasa
Bahagia yang tak terduga dan aneh-baru,
Matahari pergi dan kembali lagi,
Bulan datang dan malam pun turun,
Jam-jam bermuara di minggu-minggu,
Minggu-minggu membawa musim-musim.
Dari luar tak ada yang membarui diri,
Dalam dirimu kaupikul waktu yang berganti-ganti,
Hanya dalam dirimu peristiwa dan bahagia.

[Dari buku Malam Biru Di Berlin, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989]. Kini izinkan kumulai menafsirkan baris-perbaris puisi di atas:

Yang selalu menempa hari-hari seakan pengembaraan abadi menguliti kelopakan takdir nyawa. Mengelupas lapisan cahaya, lembar demi lembar tiada akhir selalu terpesona. Rasa sakit pun kecewa tak dirasa, di sana mengenyam nikmat tidak terkira. Mengumpar dalam putaran sama, tetapi mengecil atau membesar. Terus melingkari berat pun ringan, membuka ruang belum dirasa pula terlewat, menebali keyakinan dibawanya.

Watak-waktu purba ditelusuri seperti lorong gelap tanpa cahaya, segalanya tertutupi bayang rahasia. Goa tersebut betapa licin dengan bebatuan cadas, jikalau tak hati-hati, luka-luka berdarah. Namun dilakoninya sambil merasakan pantulan air berjatuhan ke tubuh, menjadi jarak penilaian langkah masih jauh sedari dambaan.

Perjalanan panjang menulikan ingatan membutakan angan, nafasnya berderap kencang laksana turangga dengan taupan ditiup bara kemenjadian. Seakan tiada letak pemberhentian, seluruh beban dimatangkan tekad satukan kemungkinan tercapai kepastian, memaklumati yang semestinya terpegang.

Melepas malu berkeringat kesungguhan menderas mempelajari ruang-waktu menyungkup bagai dalam kepompong. Kala percepat gerakan, hawa kepemudaan berkumandang membeletat apa yang menyesakkan nafas kesegaran. Umpama bangun dari kesadaran paling purba memecah tanda-tanda jaman.

Dengan harapan balutan misteri menipis hingga yang dinanti merekah sedari selaput kabut kerinduan. Senyum datang sumringah dipandang, dikecup kesejukan embun meresapi pori-pori kelahiran. Sampai dendang sayang tak henti memakmurkan yang mengedari tatapan. Kesaksian betapa purna selaguan syahdu meronakan hijab rahmat kasih sayang.

Kebahagiaan ganjil sebab penantian lama terasa tubuh kaku bukan ketakutan, terkesima tengah diidam hadir tiba-tiba. Wewarna bunyian akrab selepas buta angan sesudah ketulian masa silam. Semua terangkat musik bayu menggerakkan perasaan musikus muda di alam langgeng menguras tangis getarkan awal pertemuan.

Sang surya meluncur ke ufuk sandikala menggapai malam bertabur gemintang. Seperti rambut hitam elok tergerai merenda-renda bertembangan air melengkung secincin pelangi melingkari purnama. Terus pesonakan mata tiada nafas kedipan. Ketakjuban ayu putaran waktu purnakan hari-hari permai memakbulkan jasad ruh. Melesat udara bebas lewati ubun-ubun diberkahi pancaran hidup.

Tatkala bulan menghampiri, malam di dadanya gemerlapan, turun menterjemah kidungan wengi membahana ke relung dalam. Diartikan malam-siang penuh kekhusyukan melebihi perhatian. Teliti membaca tiap larik melanggengkan nilai-nilai sedang dilayarkan, berfirasat memastikan duga dari ribuan tanya terjawab pelahan.

Jam-jam menyusuri sungai dengan nada-nada naik-turun mengikuti irama ditentukan nasib. Batu-batu reranting patah terjatuh mengingat pemberhentian, meski sejenak denyutan cekung. Mengangkat dedaun silam kecolkatan dihantar ke pinggiran pohon-pohon masih tegap di depan.

Minggu masuki minggu bawakan kabar pergantian musim mematangkan bathin. Perubahan taburi peputik kembang menyapa alam dengan keseluruhan indra berdenyutan semesta makna, atas perbendaharaan merambahi sekujur persendian jiwa. Sedang hati selaksa tanah, jantung ialah udara memompa.

Barangsiapa melihat jasadnya tampak biasa ataukan keliru jika pendekatan didasari mata. Apalagi waktu bertambah usia, keriputlah penalaran dan kian kabur mencipta pusaran ling-lung. Kecuali berlantas kalbu bertafakkur menyapu kehilafan atas kecerobohan, bertekuk lutut di sudut mengumpul satukan pecahan takdir mendera.

Dalam dirinya teramat berat memikul tanggungan umur, jika tak mampu menyelai persoalan bernafasan harum. Diteruskan fajar datang berulang-ulang berpandangan selalu takjub semburat lukisan kehidupan. Dipelajarinya suntuk kedalaman berabadi, kelak suara jauh menantang dari lingkup kekinian.

Di kedalaman dirinya duka bahagia mengalir indah selaksa sajak digurat tepat waktunya, menggugah keseluruhan umat dimasa-masa dirindu kemunculannya. Ini takkan terganti meski sakitnya sepadan, sebab ia dinaungi cahaya paling timur pembuka jagad raya.
***

Johann Ludwig Tieck (31 Mei 1773 - 28 April 1853) penyair, novelis, kritikus sastra, editor, penerjemah Jerman. Juga bernama samaran Peter Lebrecht (Leberecht) dan Gottlieb Farber. Belajar sejarah, filologi, sastra kuno dan modern di Halle (1792), Göttingen (1792-1794) serta Erlangen (1793). Cerita pendek pertamanya & novel: Peter Lebrecht, eine Geschichte ohne Abenteuerlichkeiten (1795, 2 jilid), William Lovell (1795-1796, 3 jilid) dan Abdallah (1796), membuat transisi ke romanse, dilakukan pengolahan drama satir, cerita legenda kuno dan cerita rakyat diterbitkan berjudul Volksmärchen von Peter Lebrecht (Fairy Tales, Peter Lebrecht) (1797, 3 jilid). Karya ini mengandung parodi teatrikal Perrault Puss in Boots, yang menyatakan satir dunia Pencerahan Berlin. Tieck menunjuk arah novel romantis Novalis dan Joseph von Eichendorff. Ini manifestasi awal antusiasme romantis seni Jerman klasik. Tieck menikah 1798 di Hamburg, putri pendeta Julius Gustav Alberti tinggal di Jena 1799-1800, bersahabat Agustus Wilhelm Schlegel, Friedrich Schlegel, Novalis, Clemens von Brentano, Johann Gottlieb Fichte dan Friedrich Wilhelm Joseph Schelling. Kelompok ini melahirkan Romantisisme awal. Tieck memberi contoh teori sastra yang dikembangkan Schlegel pun sebaliknya. Menerbitkan terjemahan Don Quixote oleh Cervantes (1799-1801). Bertemu Goethe dan Schiller. 1801 pindah ke Dresden bersama Friedrich Schlegel. Himpunan novel (1852-1854, 12 jilid) menunjukkan bakat narasinya besar. Di antara cerita penting: Die Gemälde, Reisenden Der Die Alte vom Berge, Die Gesellschaft auf dem Lande, Die Verlobung, Musikalische Leiden Des Lebens und Freuden Überfluß dll. Cerita sejarah penting, griechische Der Kaiser, Der Tod des Dichters, terutama Aufruhr yang belum selesai di ruang Cevennen. Kisah ini tak hanya pesona juga karakter penuh warna pula makna puitis mendalam khas gagasan. Terakhir, Accorombona Victoria (1840), terinspirasi kehidupan bangsawan Italia Vittoria Accoramboni, lahir di bawah pengaruh Romantisisme Prancis, meski kaya palet digunakan tak banyak diterima pembaca. 1826 menyempurnakan terjemahan Shakespeare oleh Augustus Wilhelm von Schlegel serta diterbitkan tulisan dari Heinrich von Kleist, diikuti karya-karya lengkap (Gesammelte Werke). Die Insel Felsenburg Johann Gottfried Schnabel, kumpulan tulisan Lenz, Shakespeares Vorschule (enam drama Shakespeare ke waktu sebelumnya), dll. Pada 1841 Raja Frederick William IV dari Prusia, penyair diundang ke Berlin namun sangat kesepian atas kematian hampir semua keluarga dekatnya, usia tua banyak dihormati tapi rasa khawatirnya kompleks hingga mengundur diri sampai kematiannya. {dipetik dari http://it.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Tieck}

Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra

Leon Trotsky (1923)
Sumber: The Social Roots and the Social Function of Literature. Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Dewey Setiawan (April 2003)
http://www.marxists.org/

Perdebatan mengenai “seni murni” dan seni bertendens sering terjadi diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan kita. Dialektika materialis berdiri di atas ini; dari cara pandang proses historis yang obyektif, seni selalu merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah selalu bersifat utilitarian. Seni memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah seni tersebut muncul di bawah bendera seni yang “murni” ataupun yang jelas-jelas bertendensi pada kasus tertentu.

Dalam perkembangan sosial masyarakat kita (Rusia), keberpihakan merupakan panji-panji kaum intelektual yang berusaha untuk membangun hubungan dengan rakyat. Kaum intelektual yang tak mempunyai kekuatan tersebut, dihancurkan oleh kekaisaran dan kehilangan lingkungan budaya, berusaha mencari dukungan pada strata bawah dalam masyarakat dan membuktikan kepada “rakyat” bahwa mereka berfikir, hidup, dan mencintai rakyat “secara luar biasa.” Dan seperti halnya kaum populis yang siap turun ke masyarakat tanpa kain linen yang bersih, sisir dan sikat gigi, kaum intelektual siap mengorbankan “kerumitan” bentuk dalam ekspresi seni mereka, demi memberikan ekspresi yang paling spontan dan langsung untuk penderitaan dan harapan-harapan kaum tertindas. Pada pihak lain, seni “murni” merupakan panji-panji kaum borjuis yang sedang tumbuh, yang tidak bisa mendeklarasikan karakter borjuisnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama berusaha mempertahankan kaum intelektual dalam kelompoknya.

Cara pandang Marxist telah dijauhkan dari tendensi-tendensi tersebut, yang memang dulunya dibutuhkan secara historis, tetapi sesudahnya menjadi sesuatu yang ketinggalan jaman. Dengan tetap mempertahankan investigasi ilmiahnya, Marxisme secara seimbang mencari akar sosial dari seni yang murni maupun seni yang berpihak. Marxisme sama sekali tidak “membebani” seorang penyair dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pemikiran dan perasaan yang dia ekpresikan, tetapi memberikan pertanyaan yang jauh lebih signifikan, yaitu, pada perasaan-perasaan yang seperti apa sebuah karya artistik berhubungan satu sama lain dalam keanehan-keanehannya? Kondisi-kondisi sosial apa yang melingkupi pemikiran dan perasaan itu? Tempat apa yang mereka jajah dalam perkembangan historis masyarakat dan kelas? Dan lebih jauh lagi, warisan sastra apa yang bermain dalam elaborasi bentuk seni yang lebih baru? Di bawah pengaruh impuls historis apa kompleksitas perasaan dan pemikiran terpecah dalam kulit yang memisahkan mereka dari wilayah kesadaran puitik? Investigasi tersebut dapat menjadi rumit, mendetil atau terindividualisasi, tetapi ide mendasarnya terletak pada peran tambahan yang dijalankan seni dalam proses sosial.

Setiap kelas memiliki kebijakannya sendiri terhadap seni, yaitu berupa sebuah sistem yang menampilkan tuntutan-tuntutan atas seni, yang berubah sesuai dengan waktu; seperti contohnya, perlindungan ala Maecenas terhadap istana dan grand seigneur, hubungan otomatis antara permintaan dan penawaran yang dipasokkan oleh metode-metode kompleks yang mempengaruhi individu-individu, dan seterusnya, dan sebagainya. Ketergantungan sosial dan bahkan personal dari seni tidaklah ditutup-tutupi, tapi secara terbuka diumumkan selama seni tersebut mempertahankan sifat jujurnya. Karakter misterius, luas, dan populer dari borjuis yang bangkit telah menggiring, secara menyeluruh, pada teori seni murni, meskipun begitu banyak penyelewengan terjadi dalam teori ini. Seperti yang telah diindikasikan di atas, sastra bertendens kaum intelektual “populist” diimbuhi dengan sebuah kepentingan kelas; kaum intelektual tidak mampu memperkuat dirinya sendiri dan merebut hak untuk memainkan peranan dalam sejarah bagi dirinya tanpa dukungan dari rakyat. Tapi dalam perjuangan revolusioner, egotisme kelas kaum intelektual terpadamkan, dan pada sayap kirinya, mereka mengasumsikan bentuk pengorbanan diri dalam tataran tertinggi. Itulah kenapa kaum intelektual tidak hanya menutupi seni dengan sebuah tendensi, tapi memproklamirkannya, yaitu mengorbankan seni, seperti halnya mereka mengorbankan banyak hal lainnya.

Konsepsi Marxist tentang ketergantungan sosial obyektif serta kegunaan sosial dari seni, saat diterjemahkan dalam bahasa ilmu politik, bukannya dimaksudkan untuk mendominasi seni dengan perintah atau pesanan. Tidak benar jika dikatakan bahwa kita hanya menghargai seni yang baru dan revolusioner, yang menyuarakan suara para pekerja, dan omong kosong jika kita dikatakan menuntut para penyair menggambarkan cerobong pabrik, atau pemberontakan melawan kapital! Tentu saja seni yang baru, tidak bisa tidak, menempatkan perjuangan proletariat pada perhatiannya yang utama. Tapi penjajakan seni baru tidaklah terbatas pada beberapa bidang saja. Sebaliknya, ini harus menjajaki semua seluruh lapangan dalam keseluruhan arah. Syair-syair pribadi dalam lingkupnya yang terkecil memiliki hak mutlak untuk tetap eksis dalam seni baru. Tetapi, manusia baru tak akan bisa dibentuk tanpa adanya sebuah puisi liris baru. Tetapi untuk menciptakannya, sang penyair harus memandang dunia dengan cara yang baru. Jika Kristus atau Sabaoth saja lunglai dalam rengkuhan para penyair (seperti dalam kasus Akhmatova, Tsvetaeva, Shkapskaya dan yang lain), ini membuktikan betapa ketinggalannya lirik mereka dan betapa tidak mencukupinya mereka bagi manusia baru. Bahkan saat dimana terminologi seperti itu tidak lebih dari sekedar kata dalam menghadapi zaman, hal tersebut menunjukkan sebuah kemacetan psikologis, dan oleh karenaya berdiri dalam kontradiksi dengan kesadaran manusia baru.

Tak seorangpun ingin atau bermaksud memaksakan tema-tema pada para penyair. Silahkan menulis tentang segala sesuatu yang anda pikirkan. Tapi biarkanlah kelas baru ini, kelas yang merasa terpanggil untuk membangun sebuah dunia baru, bersuara kepada anda dalam beberapa permasalahan-permasalahan tertentu. Kelas ini tidak memaksa penyair-penyair muda anda menerjemahkan filsafat hidup abad tujuh belas dalam bahasa yang sempurna. Karya seni, dalam lingkup tertentu dan tingkatan yang luas, bersifat merdeka, tetapi seniman yang menciptakan karya ini dan juga pemirsa yang menikmatinya bukanlah mesin-mesin mati; yang pertama menciptakan karya dan yang kedua mengapresiasi karya tersebut. Mereka adalah makhluk hidup, meskipun kadang tidak seluruhnya harmonis, dengan kondisi psikologi terkristalisasi yang mewakili sebuah kesatuan tertentu. Psikologi seperti ini merupakan akibat dari kondisi-kondisi sosial. Penciptaan dan persepsi seni adalah satu dari sekian fungsi psikologi tersebut. Dan tak peduli sepandai apapun kaum formalis mencoba menampilkan dirinya, konsepsi keseluruhan mereka secara sederhana didasarkan pada fakta bahwa mereka mengabaikan kesatuan psikologis dari manusia sosial, yang menciptakan dan menikmati apa yang telah diciptakan itu.

Dalam seni, kelas proletar harus memiliki ekspresi yang berasal dari cara pandang spiritual baru yang mulai diformulasikan dalam diri mereka, dan kemana seni harus membantunya untuk menciptakan bentuk. Ini bukanlah tuntutan negara, tetapi tuntutan sejarah. Kekuatannya terletak pada obyektifitas dari kebutuhan sejarah. Anda tak bisa melewatinya begitu saja, atau lari dari kekuatannya. . . .

Victor Shklovsky, yang secara enteng meloncat dari formalisme verbal ke penilaian subyektif, menunjukkan sikap yang sangat memusuhi teori materialisme historis seni. Dalam sebuah booklet yang dia publikasikan di Berlin, dengan judul The March of the Horse, dia memformulasikan sebuah nilai fundamental, dalam tingkatan tertentu juga tak terbantahkan, argumen panjang Shklovsky-five (bukannya empat atau enam, tapi lima) melawan konsepsi materialis seni dalam tiga halaman kecil. Mari kita bersama-sama mempelajari argumen ini, karena toh untuk mengetahui guyonan seperti apa yang disebarkannya sebagai perlawanan terakhir dari pemikiran ilmiah (dengan ragam referensi ilmiah terbesar yang termuat dalam tiga halaman microscopik yang sama) tak akan membuat kita cedera.

“Jika lingkungan dan relasi produksi,’ kata Shklovsky, ‘telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas wilayah.’ Well, bagaimana dengan kupu-kupu? Menurut Darwin, mereka juga terhubung dengan relasi-relasi khusus, tapi mereka toh terbang dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya sastra.

Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memahami kenapa Marxisme selalu dicurigai mengutuk atau memperbudak tema-tema. Fakta bahwa orang yang berbeda dan orang yang sama dalam kelas yang berbeda mempergunakan tema yang sama secara sederhana menunjukkan betapa terbatasnya imaginasi manusia, dan betapa manusia mencoba untuk mempertahankan energi ekonomi dalam setiap jenis kreasi, bahkan dalam artsitik. Setiap kelas mencoba untuk memanfaatkan, hingga tingkatan yang tertinggi, warisan material dan spiritual dari kelas lainnya.

Argumen Shklovsky dapat ditransfer secara sederhana ke dalam bidang tekhnik produktif. Mulai zaman kuno, wagon selalu didasarkan pada satu tema yang sama, yang disebut, as roda, roda, dan lampu. Tetapi, kereta patrisian Roma diadaptasi sesuai selera dan kebutuhannya, seperti halnya kereta Count Orloy, disesuaikan dengan kelembutan yang sesuai dengan selera Catherine the Great. Wagon petani Rusia diadaptasi sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya, pada kekuatan kudanya yang kecil, dan pada karakter jalan-jalan pedesaan. Otomobil, yang tak bisa dibantah merupakan produk dari tekhnik baru, menunjukkan tema yang sama, yang disebut empat roda dan dua as roda. Tapi saat kuda para petani mundur ketakutan terkena sinar lampu yang menyilaukan dari otomobil di jalanan Rusia pada malam hari, sebuah konflik dari dua budaya terefleksi dalam sebuah episode.

“Jika lingkungan mengekspresikan dirinya sendiri dalam novel,” makan muncullah argumen yang kedua, ” ilmu pengetahuan Eropa tidak akan bersusah payah memikirkan dari mana cerita Seribu Satu Malam diciptakan, entah dari Mesir, India, atau Persia.” Untuk menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang seniman, yaitu kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki memiliki karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis di Mesir, India atau Persia, karena kondisi sosial dari negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan. Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari novel tersebut menunjukkan bahwa novel itu merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun tak sama persis. Tak seorang pun bisa melompat diluar dirinya. Bahkan omelan dari seorang yang sakit jiwa berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia luar sebelum dia sakit. Tapi adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai refleksi akurat dari dunia di luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang berpengalaman dan penuh perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang pasien, yang akan mampu menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau terdistorsi dalam isi omelannya.

Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria.

“Jika ciri-ciri kelas dan kelas sendiri terakumulasi dalam seni,” Shklovsky melanjutkan, “lalu bagaimana bisa dongeng-dongeng orang Rusia yang beragam mengenai bangsawannya sama dengan dongeng tentang pendeta mereka?”

Dalam esensinya, ini hanyalah bentuk lain dari argumen yang pertama. Kenapa dongeng tentang bangsawan dan pendeta tidak boleh sama, dan apakah itu bertentangan dengan Marxisme? Proklamasi yang ditulis secara jelas oleh kaum Marxist seringkali membicarakan mengenai tuan tanah, kapitalis, pendeta, jendral dan penghisap lainnya. Tuan tanah tak bisa dibantah berbeda dengan kapitalis, tapi terdapat kasus dimana mereka dianggap serupa. Kenapa, karenanya, kesenian rakyat dalam kasus-kasus tertentu tidak boleh memperlakukan bangsawan dan pendeta sebagai wakil dari kelas yang berdiri di atas rakyat dan yang merampok mereka? Dalam kartun Moor dan Deni, pendeta bahkan sering berdiri berdampingan dengan tuan tanah, tanpa merusak analisa Marxisme.

“Jika ciri-ciri etnografis tercermin dalam seni,” lanjut Shklovsky, ” folklore tentang orang di luar batas folknya tak akan bisa terserap dan tak akan bisa dituturkan oleh folk yang lain.”

Seperti yang anda lihat, argumen tersebut sama sekali tak bisa dijadikan sebagai serangan pada Marxisme. Marxisme tidak pernah menyatakan bahwa ciri-ciri etnografi mempunyai sifat independen. Sebaliknya, Marxisme menekankan adanya signifikansi ketergantungan formasi folklore pada kondisi-kondisi ekonomis dan alamiah. Kesamaan kondisi dalam perkembangan masyarakat beternak dan bertani, dan kesamaan dalam karakter hubungan pengaruh-mempengaruhi yang menguntungkan antara satu sama lain, tidak bisa tidak akan akan menggiring pada penciptaan folklore yang serupa. Dan dari cara pandang pertanyaan yang menjadi perhatian kita saat ini, kita dapat mengetahui bahwa pertanyaan ini tidak membedakan apakah tema homogen ini muncul secara independen diantara komunitas yang berbeda, sebagai refleksi pengalaman hidup yang homogen dalam ciri mendasarnya dan yang terefleksi melalui prisma homogen imajinasi para petani, atau apakah benih dari dongeng ini diseret angin yang ramah dari satu tempat ke tempat yang lain, mengakar dimanapun juga tanah mau menerimanya. Sangatlah mungkin, dalam realitanya, bahwa metode-metode tersebut terkombinasikan.

Dan akhirnya, dalam argumen kelimanya yang terpisah - “Rasio yang telah diajukan (Marxisme) salah”- Shklovsky merujuk pada tema seputar penculikan yang diangkat dalam komedi-komedi Yunani sampai dengan drama Ostrovsky. Dengan kata lain, pengkritik kita ini mengulangi, dalam bentuk khusus, argumennya yang terawal (seperti yang kita lihat, bahkan dalam menggunakan logika formal, formalis kita ini tak bagus juga). Benar, tema-tema memang bermigrasi dari rakyat ke rakyat yang lain, dari kelas ke kelas yang lain, dan bahkan dari penulis ke penulis yang lain. Ini menunjukkan bahwa imajinasi manusia bersifat ekonomis. Sebuah kelas tidak betul-betul menciptakan budayanya dari nol, tapi merebut kepemilikan kelas sebelumnya atas budaya sebelumnya, memecahnya, menyentuhnya, menggarapnya, dan membangunnya lebih jauh. Jika tak terjadi pemanfaatan tangan kedua seperti demikian, proses historis tak akan pernah mengalami perkembangan sama sekali. Tidak hanya tema drama Ostrovsky itu saja yang didapat melalui Mesir dan melalui Yunani, tetapi kertas dimana Ostrovsky mengembangkan temanya juga merupakan sebagai sebuah pengembangan dari papyrus Mesir dan perkamen Yunani. Mari kita mengambil analogi yang lain yang lebih dekat: fakta bahwa metode kritis dari para Sophis Yunani, yang merupakan kaum formalis di zamannya, telah berpenetrasi dalam kesadaran teoritis Shklovsky, tidak merubah sama sekali fakta bahwa Shklovsky sendiri merupakan sebuah produk yang apik dari sebuah lingkungan sosial tertentu dan zaman tertentu.

Usaha menghancurkan Marxisme yang dilakukan Shklovsky dalam lima poinnya sangat mengingatkan kita pada artikel-artikel yang diterbitkan melawan Darwinisme dalam sebuah majalah The Orthodox Review pada masa lalu yang indah. Jika doktrin bahwa manusia berasal dari kera adalah benar, tulis Uskup berpendidikan Nikanor dari Odessa tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, maka kakek kita akan memiliki tanda-tanda semacam ekor, atau setidaknya akan pernah melihat ciri seperti itu pada kakek atau nenek mereka. Kedua, seperti semua orang ketahui, monyet hanya bisa melahirkan monyet. . . . Kelima, Darwinisme salah, karena dia menyangkal formalisme-maaf, maksud saya, keputusan formal konferensi gereja seluruh dunia. Keuntungan dari rahib berpendidikan ini terletak pada fakta bahwa dia merupakan passéist terang-terangan dan mengambil pedomannya dari Rasul Paulus dan bukan dari Fisika, Kimia atau Matematika, seperti sang futuris Shklovsky lakukan.

Tak perlu dipertanyakan lagi kebenaran bahwa kebutuhan akan seni bukanlah diciptakan oleh kondisi-kondisi ekonomi. Kebutuhan akan pangan juga tak diciptakan oleh ilmu ekonomi. Sebaliknya, kebutuhan pangan dan kehangatan menciptakan ilmu ekonomi. Adalah benar bahwa seseorang tak bisa selalu menengok prinsip-prinsip Marxisme dalam memutuskan apakah akan menolak atau menerima sebuah karya seni. Sebuah karya seni harus, pertama kali, dinilai berdasarkan hukumnya sendiri, yaitu dengan hukum-hukum seni. Tapi Marxisme sendiri dapat menjelaskan kenapa dan bagaimana tendensi tertentu dalam seni bermula dalam periode tertentu sejarah; dengan kata lain, siapakah yang menciptakan tuntutan terhadap sebuah bentuk artistik dan bukan yang lain, dan kenapa.

Akan kekanak-kanakan untuk berfikir bahwa setiap kelas mampu secara menyeluruh dan penuh menciptakan seninya sendiri dari dalam dirinya sendiri, dan, secara khusus, bahwa kaum proletariat mampu untuk menciptakan sebuah seni baru melalui gilda-gilda seni dan lingkaran-lingkaran tertutup, atau dengan Organisasi Budaya Proletar, dan sebagainya. Berbicara secara umum, karya artistik manusia selalu berkelanjutan. Setiap kelas yang baru tumbuh melekatkan dirinya pada bahu kelas sebelumnya. Tapi kontinuitas ini bersifat dialektis, yaitu dia menemukan dirinya sendiri melalui tabrakan-tabrakan dan perpecahan internal. Kebutuhan atau tuntutan artistik baru bagi cara pandang artistik dan susastra baru distimulasikan oleh ekonomi, melalui perkembangan sebuah sebuah kelas baru, dan desakan kecil yang dipasok oleh perubahan posisi kelas itu, dibawah pengaruh dari pertumbuhan kekayaan serta kekuasaan budaya kelas tersebut.

Penciptaan artistik merupakan penggalian segala isi bentuk-bentuk lama yang rumit, di bawah pengaruh desakan baru yang berasal dari luar seni. Dalam pengertian yang besar, seni adalah buah tangan. Seni bukannya sebuah elemen terpisah yang mampu merawat dirinya sendiri, tapi seni adalah sebuah fungsi manusia sosial yang terikat pada hidup dan lingkungannya. Dan betapa berkarakternya–jika seseorang ingin mereduksi setiap ketakhayulan sosial ke dalam absurditasnya- seorang Shklovsky ketika dia sampai pada ide mengenai independensi mutlak seni dari lingkungan sosial dalam sebuah periode sejarah Rusia dimana seni mengungkapkan spiritualitasnya, lingkungannya dan ketergantungan materialnya pada kelas-kelas sosial, sub-kelas and kelompok-kelompok secara gamblang!

Materialisme tidak menyangkal signifikansi dari elemen-elemen bentuk, baik dalam logika, yurisprudensi atau seni. Seperti halnya sebuah sistem yurisprudensi dapat dan harus dinilai dengan logika dan konsistensi internal, maka seni juga dapat dan harus dinilai dari sudut pandang pencapaiannya dalam bentuk, karena tak akan pernah ada seni tanpanya. Namun, teori yuridis yang dicoba untuk mengembangkan independensi hukum dari kondisi sosial akan cacat pada dasar terdalamnya. Kekuatan gerak hukum terletak pada bidang ekonomi-dalam kontradiksi-kontradiksi sosial. Hukum hanya memberikan ekspresi yang terharmonisasi secara internal dan ekspresi formal dari fenomena-fenomena ini, bukan tentang kekhususan-kekhususan individual, tapi tentang karakter umumnya, yaitu elemen-elemen yang terulang dan permanen didalamnya. Kita dapat melihat sekarang dengan secercah kejelasan dalam sejarah bagaimana hukum yang baru terbentuk. Ini tidak dilakukan dengan deduksi logis, tapi melalui penilaian empirik dan penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan ekonomis dari kelas penguasa baru.

Sastra, yang metode dan prosesnya memiliki akar jauh di masa lalu dan mewakili pengalaman akumulatif dari kepengrajinan verbal, mengekspresikan pemikiran, perasaan, suasana hati, sudut pandang dan harapan dalam era baru dan kelas barunya. Kita tak bisa melompati tahap ini. Dan tak ada gunanya untuk melompatinya, setidaknya, bagi mereka yang tidak mengabdi pada masa lalu atau kelas yang telah hidup lebih lama dari kekuasaannya.

Metode analisis formal memang dibutuhkan, tapi tidak mencukupi. Anda bisa menghitung jumalah aliterasi dalam mazmur-mazmur populer, mengklasifikasikan metafora, menghitung jumlah huruf vokal dan konsonan dalam sebuah lagu pernikahan. Ini tentu saja memperkaya pengetahuan kita akan seni rakyat, dalam satu atau beberapa segi lainnya; tapi jika anda tidak paham akan sistem bercocok tanam para petani, dan kehidupan yang didasarkan pada sistem ini, jika anda tidak tahu bagian permainan-permainan celurit, dan jika anda tidak menguasai makna dari kalender gereja bagi para petani, periode waktu dimana para petani menikah, atau dimana para petani perempuan melahirkan, anda hanya akan memahami lapisan luar kesenian folk, tapi bagian terpentingnya tidak akan pernah teraih.

Pola arsitektural dari katedral Cologne bisa dibentuk dengan cara menghitung dasar dan tinggi dari tapaknya, dengan menentukan tiga dimensi pada bagian tengahnya, dimensi-dimensi dan penempatan kolom-kolomnya, dan seterusnya. Tapi tanpa tahu seperti apa kota di abad pertangahan, apakah gilda itu, dan apakah makna dari gereja Katolik dalam abad pertengahan, katedral Cologne tak akan pernah bisa dipahami. Usaha untuk memisahkan seni dengan kehidupan, untuk mendeklarasikan kemandirian kerajinan dalam dirinya, mendevitalisasi dan membunuh seni. Kebutuhan akan tindakan seperti itu merupakan sebentuk peringatan yang tak mungkin meleset tentang adanya kemunduran intelektual.

Analogi antara argumen-argumen teologis dan Darwinisme yang disebutkan di atas mungkin terkesan tak berhubungan dan anekdotal bagi pembaca. Mungkin benar, untuk beberapa segi. Tapi sebuah hubungan yang lebih dalam memang ada. Teori formalis tak pelak akan membangkitkan kenagan kaum Marxist yang telah membaca semua lagu-lagu akrab berisikan melodi filosofis yang sangat kuno. Para ahli hukum dan dan kaum moralis (untuk mengingat kembali secara acak Stammler si orang Jerman, dan kaum subyektivis kita Mikhailovsky) mencoba untuk membuktikan bahwa moralitas dan hukum tak bisa ditentukan oleh kondisi ekonomi, karena kehidupan ekonomi tak mungkin berada diluar norma etis dan yuridis. Nyatanya, kaum formalis hukum dan moral tak pernah melangkah sampai titik dimana mereka mampu memperlihatkan independensi total hukum dan etika dari ekonomi. Mereka mengakui hubungan tertentu yang mutual dan komplek. Mereka mengakui keberadaan ‘faktor,’ dan faktor-faktor ini, meski mempengaruhi satu sama lain, mempertahankan kwalitas substansi-substansi independen, datang tanpa seorangpun tahu darimana asalnya. Penegasan atas independensi total dari faktor estetik dari pengaruh kondisi-kondisi sosial, seperti yang dirumuskan oleh Shklovsky, merupakan sebuah contoh dari hiperbola spesifik yang akarnya terletak pada kondisi-kondisi sosial juga; ini adalah megalomania estetika yang menyalakan realita kehidupan yang berat pada kepalanya. Lepas dari ciri khusus ini, konstruksi kaum formalis menunjukkan metodologi yang salah, sama dengan apa yang setiap jenis idealisme lain punyai.

Bagi seorang materialis, agama, hukum, moral dan seni merepresentasikan aspek-aspek terpisah dari satu kesatuan dan proses pembangunan sosial yang sama. Meski mereka membedakan dirinya dari dasar industrialnya, bertumbuh semakin komplek, memperkuat dan mengembangkan sifat-sifat istimewanya dalam detil-detil, politik, agama, hukum, etika dan estetika tetap mempertahankan fungsi manusia sosial dan mengikuti hukum-hukum organisasi sosialnya. Kaum idealis, pada lain pihak, tidak melihat sebuah kesatuan proses perkembangan historis yang mengembangkan organ-organ dan fungsi yang perlu dari dalam dirinya sendiri, tapi lebih sebagai sebuah penginteraksian, pengkombinasian, dan persinggungan prinsip-prinsip independen tertentu- substansi-substansi agamis, politis, yuridis, estetik dan etis, yang mempunyai sebab dan penjelasan dalam diri mereka sendiri.

Idealisme (dialektis) Hegel merancang substansi-substansi semacam ini (yang merupakan kategori-kategori abadi) dalam beberapa urutan dengan cara mereduksi mereka menjadi sebuah kesatuan genetik. Lepas dari fakta bahwa kesatuan ini bagi Hegel adalah roh absolut, yang membagi dirinya sendiri dalam sebuah proses manifestasi dialektisnya menjadi beragam “faktor,” sistem Hegel, karena sifat dialektisnya, bukan karena idealismenya, memberikan sebentuk gambaran realita historis seperti dalam ilustrasi sebuah tangan manusia yang dilepaskan dari sarung tangannya.

Tapi kaum formalis (dan wakil terjeniusnya, Immanuel Kant) dalam hari dan jam penyingkapan filosofisnya, tidak mencermati seluruh dinamika perkembangan, melainkan hanya pada satu bagian persinggungannya saja. Mereka mengungkapkan kompleksitas dan keberagaman obyek yang terdapat dalam dalam garis pertemuan itu (bukannya proses, karena mereka tidak memikirkan tentang proses-proses). Kompleksitas ini mereka analisa dan kelompokkan. Mereka memberi nama pada elemen-elemen, yang serta merta ditransformasikan dalam esensi-esensi, dalam sub-absolut, tanpa ayah dan ibu; dalam gurauan, agama, politik, moral, hukum, seni. Di sini kita tak lagi mendapati sarung tangan sejarah yang terobek saja, tapi juga kulit jari yang terkoyak, dijemur dalam suhu abstraksi penuh, dan tangan sejarah ini menjadi produk dari “interaksi” ibu jari, jari telunjuk , jari tengah, dan semua “faktor-faktor” lainnya. Jari kelingking merupakan “faktor” estetik, bagian yang terkecil, tapi bukannya yang terakhir dicintai.

Dalam biologi, vitalisme adalah variasi-variasi pemujaan mutlak yang sejenis dalam menunjukkan aspek-aspek berbeda dari proses dunia, tanpa pemahaman atas relasi internal. Seorang pencipta adalah semua yang tak memiliki estetika atau moralitas absolut dan supersosial, atau “kekuatan vital” absolut superfisikal. Keberagaman faktor-faktor independen, “faktor-faktor” yang tak berawal dan berakhir, tidak lain adalah sebuah politeisme bertopeng. Seperti halnya idealisme Kantian secara historis mewakili sebuah terjemahan Kekristenan dalam bahasa filsafat rasionalistik, semua jenis formalisasi idealistik, baik yang terbuka maupun rahasia, menggiring kita pada figur tuhan, sebab dari segala sebab. Dalam perbandingan dengan oligarki sekumpulan sub-absolut filsafat idealis, seorang individu pencipta tunggal hanyalah satu elemen dalam deretan yang ada. Di sinilah terletak hubungan yang lebih dalam antara penolakan kaum formalis terhadap Marxisme dan penolakan teologis terhadap Darwinisme.

Mazhab formalis adalah idealisme gagal yang diterapkan pada pertanyaan seni. Kaum formalis menunjukkan sebuah relijiusitas yang matang. Mereka adalah pengikut Santo Yohanes. Mereka percaya bahwa “pada mulanya adalah Firman.” Namun kita percaya bahwa pada mulanya adalah perbuatan. Sang kata mengikuti, sebagai bayang-bayang fonetiknya.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati