Kamis, 02 April 2009

RINDU-INGATAN DUNIA PUITIS

Untuk sebuah nama, Kavellania

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Rindu merupakan bentuk anganan yang kedalamannya ada kerja penggalian, mengeruk memori demi dihasilkan kepada tataran pengorganisasian ingatan. Atau rindu berdaya magnetik yang jangkauannya halus nun jauh sejenis gravitasi.

Namun kerinduan itu tidak dapat dibuat-buat serupa penciptaan magnit buatan, sebab dirinya berangkat dari daya gugah. Dan ingatan rindu sebagai pembentuk kesadaran akan hasrat menguasai. Yang lama-kelamaan bertambah hingga yang dirindukan menjadi realitas tersendiri, mendapati logika pengayaannya di kala menyampaikan tujuan.

Sangat logis setiap tanda dimaknai sebagai tahap tingkatan proses hayati, yang jabarannya sedari pengembangan asal terindukan. Ingatan sebagai sarana memasuki, sedangkan rindu melogikakan setiap lelapisan rasa, yang melahirkan sosok penentu logika.

Rindu ialah fitroh yang terbentuk melewati pendekatan paling halus, memiliki ikatan emosi di dalam merasai realitas masa depan. Dan insan akan mencapai derajat tertentu, sekumpulan waktu yang sanggup dirindukan. Jika menyetubuhi waktu-waktu intim; kehalusan masa menterjemahkan kesunyian dingin teramat genting.

Hal ini terangkat kalau merenungi ceruk penalaran lain, dengan menggali daya di bawah sadar penciptaan. Sejenis membangkitkan perasaan pembaca dengan kesungguhan -pernah. Rindu dan ingatan selalu beriring menjalani titah tuannya, memiliki kekayaan masing-masing yang saling melengkapi.

Tampilannya sejenis sugesti kepercayaan, keyakinan diri atas dirindukan di depan penalaran yang -nyambung. Pergumulan bathin mengelolah realitas-perasaan, atau kesadaran bersenggama antara data dan anganan.

Lebih jauh memasuki logika rasa dengan tangkapan telinga. Suara-suara terngiang, semisal membaca di kedalaman bathin menggema. Menciptakan kenangan yang turut menjadi fungsionalitas data.

Logikanya serba mungkin, tetapi kadang menangkapnya dengan porsi berbeda. Maka keraguan yang tampil di sana, suatu waktu menjelma penentu jika terus diberlakukan penelitian seksama. Keraguan menjelma kendala hadirnya kenangan, namun bisa juga berubah momok rindu jika melewati tahap-tahap yang sedang kasmaran.

Kerinduan itu hasrat penguasaan dalam, yang berkembang jika dirawat dengan kemampuan merasai, merayu muara waktu menuju jarak terdekat. Kerinduan menerjemahkan lelapisan kalbu, mengusap kekabutan masa, menyingkap gambaran bisu percakapan hening. Lalu memasuki wilayah paling sakral, saat dihadapkan yang dirindukan.

Pertemuan seolah mimpi atau kejadian lepas kendali, kalau tidak ditarik ulang dari mana datangnya. Lamat-lamat tidak menemukan, seumpama menangkap kabut, tak bisa menceritakan lebih. Atau sebuah maksud terimakasih yang tak dapat dikisahkan juah. Sebab ungkapannya begitu dalam, serupa rindu yang tengah tersampaikan, atas ketulusan merajai maksud tujuan.

Ini bukan kawasan sulit diterima, kala mengembangkan rindu demi masa-masa khusyuk. Yang seolah tidak bersambungan, tetapi mengetahui sejauh mana nafas-nafas ikhlas memberi-menerima. Rindu sebelum bertemu itu kebisuan, ingatan terkembang di garis kepayahan. Waktu-waktu lambat penuh perasaan, percepatan memori berkelebat, seolah tak berkaki kesadaran.

Di kedalaman tanah terkandung kepahitan, dingin menusuk hati hingga tak sanggup merasai. Ini rindu meluluh-lantangkan ingatan ke penguburan. Namun ketika angin perasaan tropis bertiup, rerumputan hidup kembali, seolah tak pernah terjadi kemarau panjang.

Dan perasaan perindu terus menyusuri jalan-jalan tiada ujung, kalau tidak meneguhkan niatan ulang, menyetiai sungguh yang terindukan. Lalu kuncup-kuncup bunga bermunculan, bersama nafas-nafas meniup kebahagiaan; kerinduan itu mata rantai kuat akan ingatan.

*) Pengelana 01, 09 Magelang-Lamongan.

Membangkitkan Kembali Sastra Profetik

David Krisna Alka
http://www.sinarharapan.co.id/

Dalam membaca karya sastra khususnya puisi, mayoritas penikmat sastra mendambakan nuansa keindahan setelah membaca karya sastra. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi mereka, walau maksud dari puisi tersebut adalah kegetiran kata yang tak tampak pada kasatmata.

Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang; ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam itu, ilmu tasawuf yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam. Mengapa ilmu tasawuf disebut sebagai bibit dari corak sastra Islam?

Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Mereka berusaha mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan pengalaman pahit yang mereka derita.

Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu dalam dan mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.

Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal termasuk ladang garapan tasawuf. Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal. Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah berada di tangan para sufi.

Pengaruh tasawuf besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Dalam pengantar buku Tasawuf dulu dan Sekarang, Sayyid Husein Nasr (1985) menjelaskan, bahwa para sufi hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian, di mana keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.

Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah Fansuri merupakan pelopor sastra Islam yang bernuansa sufistik. Menurut penyair Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri merupakan cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.

Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi empat baris dengan pola sajak akhir aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual daripada al-Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

***
Dewasa ini, setelah perkembangan sastra dan tasawuf tampak seperti terbawa arus roda zaman. Para penyair yang sufistik beralih ke dalam nuansa yang sama namun tujuan yang berbeda untuk menuangkan sajak-sajak keindahan tersebut. Pekik zaman yang kian hari makin menggetirkan membuat para penyair seperti kehilangan kaki untuk melangkah. Bahasanya indah, tapi substansi puisinya seperti “orang-orang kalah.”

Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ada dua kubu sastra yang keduanya sah: sastra pembebasan dan sastra kemanusiaan. Kemudian Kuntowijoyo muncul dengan sastra transendental guna menggenapi isu sastra yang ada, dan sastra transendental itu juga sah. Sastra transendental mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak dan tidak melulu harus mengacu kepada penyair sufistik.

Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Lalu ketiga sastra itu (pembebasan, kemanusiaan, dan transendental) digabungkan oleh Kuntowijoyo menjadi sastra profetik, dalam arti melanjutkan tradisi kerasulan.

Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf itu memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar itu pembebasan, dan beriman kepada Tuhan itu transendental. Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik.

Sastra profetik, menurut penulis mesti dikembangkan oleh kalangan pemerhati dan penikmat sastra generasi saat ini. Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi). Dan, sastra profetik jelas kualitasnya dan kekuatan moralnya daripada sastra yang berbau seks serta kentara aspek komersial daripada kualitas karyanya.

***
Peran dunia tasawuf dalam khazanah kesusastraan Indonesia juga tak dapat dielakkan. Bukankan hidup ini memerlukan keseimbangan. Menuangkan gagasan yang melulu melangit bukanlah suatu yang tak berguna, dan menuangkan untaian sastra yang selalu membumi bukan berarti akan selalu membawa pencerahan. Jika selalu terbawa pada persoalan yang horizontal bukankah kita nanti akan terjebak dalam pernyataan bahwa spiritualitas itu adalah candu, atau membenarkan ungkapan spiritualitas itu adalah pelarian dari rasa ketakutan dalam diri manusia. Oleh karena itu, karya sastra yang membawa pencerahan jiwa dan pencerahan sosial sama-sama dibutuhkan. Sastra dapat mengekspersikan zamannya sekaligus dapat memberikan kritik terhadap zamannya.

Dalam pernyataannya, lagi-lagi Kuntowijoyo menegaskan, bahwa di setiap zaman sastra bisa berkembang. Masa depan sastra sama dengan masa depan organisasi sosial. Sastra dapat pula menjadi pembela moralitas. Jika kesadaran masyarakat menurun, sastra bisa tampil untuk menjadi profeter asal dia bervariasi di dalam tema sastranya.

Sastra profetik memang lebih progresif; menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra yang membebaskan kaum tertindas, walaupun bentuk penyadarannya melalui puisi, cerpen, novel, dan karya sastra yang lainnya. Oleh karena itu, ruang sempit sastra religius dapat menjadi luas, karya sastra yang jauh dari moralitas perlahan akan tergantikan dan lenyap terkunyah oleh zaman. Dan, ruang pencerahan yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo melalui sastra profetiknya akan berkembang serta menggelora di hati para pembaca sastra di Tanah Air. Lebih dari itu, sastra profetik menjadi inspirasi dan daya dorong kekuatan kreativitas dari munculnya karya-karya sastra baru yang membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan, bukan karya sastra yang berbau seks didagangkan.***

*) Penulis bergiat di Akademi Kebudayaan Rakyat (AKAR), Ketua Program CMM, dan Aktivis Budaya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (CMM).

Mengusir Kejenuhan, Melawan Tirani

Buku : Mengusir Matahari. Fabel-Fabel Politik
Pengarang : Kuntowijoyo
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Tebal : 301 halaman
Peresensi : Odhy`s
http://arsip.pontianakpost.com/

Mengusir matahari adalah nama buku kumpulan fabel-fabel politik Kuntowijoyo yang sebelumnya pernah muncul saban minggu di majalah Ummat. Dalam definisi yang umum –misalnya yang tertulis pada Kamus Istilah Sastra karya Panuti Sudjiman– fabel atau cerita binatang adalah merupakan cerita yang pendek dan sederhana, biasanya dengan tokoh binatang atau benda yang berkelakuan seperti manusia, serta mengandung suatu ibarat, hikmah atau ajaran budi pekerti.

Delapan puluh sembilan kisah pendek dalam buku ini sangat menarik lantaran dengan “lucu” para binatang ikut memanusiakan diri (bahkan ada jenis binatang tertentu yang berkesan lebih manusiawi?). Bagai yang biasa terjadi di kalangan masyarakat Melayu dan Jawa, para binatang itu memang tak sekedar makhluk yang bodoh dan tak kreatif. Namun sesungguhnya dengan sangat karakteristik mereka tengah memainkan peran yang mendinamiskan dunia. Inilah menariknya.

Kuntowijoyo yang selama ini terkenal sebagai sastrawan besar mampu memberikan karakter yang pas kepada binatang-binatang tersebut. Gaya fiksi yang dijadikan latar cerita cukup membuat kita betah untuk membacanya berlama-lama. Tak hanya itu, bahkan kata Kunto buku ini berisi kebijakan dan sindiran politik. Seperti diketahui, pada waktu fabel-fabel ini dibuat masalah politiklah yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat (hlm.9) Jadi, buku ini juga dapat disebut sebagai karya yang kontekstual!

Alhasil, persis maksud definisi di atas, “Mengusir Matahari” tak sekedar memuat cerita cekakak-cekikik (lantaran lucunya), ia juga mengandung muatan moral atau ajaran budi pekerti dengan berkendaraan tamsil, ibarat dan hikmah. Konon inilah tanggungjawab pengarangnya dalam menyikapi huru-hara politik di negeri ini ; dengan tak mau berpangku-tangan dan membiarkan kelaliman berjoget leluasa di pentas republik yang telah berubah jadi korban politik statusquo, Kunto ikut menggempur dengan pisau bahasa dan sastra yang –malah terasa– lebih tajam menghunjam ke sasaran.

Sasaran Kunto dalam kisah-kisah ini –antara lain– adalah jantung pemerintahan otoriter yang disebutnya sebagai kekuasaan Orde Baru yang sudah puas “membakar hutan” selama 32 tahun (Hlm.10). Buku inipun merupakan satu bukti nyata bahwa era reformasi membuat semua pihak ingin terlibat ; tak hanya mahasiswa, politisi, preman dan provokator saja. Dan pengarang –seperti Kunto– ingin menggempur serta mengukir sejarah lewat kepiawaian menulis.

Hasilnya adalah sejumlah ide yang termanifestasi ke dalam bentuk fabel yang ditulis selama rentang waktu dua tahun ; yang coba menyoroti perjalanan politik bangsa mulai sejak Pemilu 1997 hingga peristiwa lengsernya rezim berkuasa. Setidaknya ada dua level yang ingin dicapai oleh fabel-fabel ini, aku Kunto, yaitu Pertama, ia dapat ditangkap sebagai dongeng semata. Orang tak perlu bersusah payah mencari-cari makna, tetapi cukuplah dengan menganggapnya sebagai dongeng pelipur lara.

Kedua, bagi mereka yang suka membuang waktu untuk mencari makna di balik cerita, disediakan ruang untuk merenungkan kebijakan atau sentuhan politiknya, (sebab) sehabis setiap cerita selalu ada simpulan, hikmah, atau ibarat apa yang bisa dipetik. Inilah nilai plus yang ditawarkan Kunto. Kalimat ringkas yang dicetak tebal pada bagian akhir setiap kisah merupakan renungan yang dicuplik dari Kitab Suci, Omongan bijak para tokoh klasik maupun modern yang berasal dari berbagai belahan dunia, pitutur nenek-moyang, kata-kata sastrawi, serta referensi yang amat berguna bagi kehidupan manusia.

Jadilah Bunga Wangi, Bukan Onak Berduri

Muhyidin*
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/

Maulana Wahiduddin Khan (diterjemahkan oleh Samson Rahman), Islam Anti Kekerasan, Pustaka Al-Kautsar, Maret 2000, 180 halaman

MAULANA Ashraf ‘Ali Thanawi, seorang sufi yang sangat terkenal di India, suatu saat bangun dan akan mengambil wudhu. Seorang muridnya membawakan kepadanya seember air.

Ia kemudian duduk di suatu tempat dan mulai akan mengambil air wudhu, namun ia bangkit kembali dan pergi ke tempat lain sambil menjinjing ember berisi air. Ketika ia mulai akan mengambil wudhu, ia bangkit dan pindah lagi. Baru pada tempat ketiga ia mengambil wudhunya.

Muridnya merasa heran terhadap tingkah-laku sang guru, lalu dengan sangat hati-hati bertanya, “Guru, engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan, ini aneh. Dua kali engkau duduk di tempat berbeda untuk mengambil air wudhu, namun kemudian engkau bangkit dari kedua tempat itu dan ke tempat lain, hingga akhirnya engkau mengambil wudhu di tempat ketiga. Ada apakah gerangan wahai guru?”

Maulana Thanawi menjawab, bahwa pada tempat pertama dan kedua, ketika hendak mengambil wudhu ia melihat semut-semut sedang berjalan beriringan di lantai. Ia berpikir, jika ia tuangkan air wudhu di atasnya, maka binatang-binatang itu akan berada dalam kesulitan besar. Maka ia pun berpindah ke tempat ketiga yang tidak ada semutnya dan mengambil air wudhu di sana.

Ceritera tersebut dengan tepat memberi gambaran tentang realitas kehidupan seorang sufi yang menyiratkan sosok berkekuatan spiritual. Ceritera itu sekaligus memberi pelajaran bahwa tidak seharusnya kita menyiksa binatang sekecil apa pun, apalagi menyakiti manusia.

Memang, kita harus hidup di dunia ini tanpa menyakiti orang lain dan tidak membuat mereka sakit hati. Manakala seseorang telah mencapai tingkatan spiritual seperti itu, ia akan mendapatkan esensi agama (Islam) yang sebenarnya. Artinya, ia tidak akan berpikir untuk berbuat jahat dan menyakiti makhluk Allah.

Mereka yang memahami benar-benar agama (Islam), akan memberikan hidup dan manfaat kepada orang lain. Ia hidup laksana bunga, bukan onak dan duri. Ia menaburkan bau harum semerbak, tidak malah menyebarkan bau busuk.

Tujuan spiritual yang hendak dicapai dalam Islam adalah kondisi di mana jiwa mencapai rasa damai (nafs muthmainnah)-dan ini menjadi esensi yang sebenarnya dari Islam. Kedamaian jiwa yang menjadi target spiritual dalam Islam ini, jiwa wujud dalam diri seseorang, dengan sendirinya akan membawanya kepada sikap yang menjadi citra diri Islam, yaitu Agama Kedamaian.
***

BUKU Islam Anti Kekerasan karya ulama sekaligus cendekiawan India ini amat bermakna bagi dunia masa kini di mana pertikaian dan permusuhan muncul di mana-mana. Buku ini mengingatkan saudara-saudara seiman yang masih mengedepankan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya, sedangkan sesungguhnya, agama melarang tindak kekerasan.

Bagi bangsa Indonesia yang sedang mudah sekali tersundut marahnya, buku ini diharapkan bisa memberi kecerahan batin sehingga dapat mengendalikan emosi dan nafsu amarahnya, kemudian mendekatkan diri pada kesalehan dan kebajikan.

Tujuan lainnya, buku ini hadir juga untuk menjawab tudingan-tudingan miring yang selalu saja diarahkan ke wajah suci Islam, seakan-akan agama ini membolehkan kekerasan. Padahal, kekerasan yang terjadi umumnya dilakukan justru oleh pemeluk yang tidak benar-benar memahami agama Islam, dan mereka itu memang perlu pencerahan.

Buku ini menunjukkan bukti-bukti akurat disertai dengan argumen yang kuat bahwa Islam adalah agama kedamaian, antikekerasan. Hal mana bisa ditengok dari sejarah penyebaran Islam pada zaman Rasulallah SAW. Sepanjang perjalanan dakwah, beliau tidak pernah menggunakan kekerasan untuk memperoleh tujuannya. Maka kalau sekarang, untuk tujuan itu masih ada yang menggunakan kekerasan, tentunya tak sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Nabi.

Kalau harus menggunakan kekerasan (perang), itu hanya untuk membela diri. Itu pun sedapat mungkin dihindarinya. Inisiatif untuk membuka front permusuhan sama sekali tidak diperkenankan.

Pada awal dakwah Islam di Makkah, Nabi Muhammad menerima perlakuan yang sangat menyakitkan. Beliau dicaci, difitnah, diintimidasi, bahkan disakiti secara fisik.

Begitu pula ketika beliau pergi ke Thaif untuk berdakwah. Namun beliau tidak pernah membalasnya dengan kutukan, cacian, apalagi tindak kekerasan. Yang beliau lakukan hanyalah berdoa: Allahummahdi qaumi, fainnahum la ya’lamun (Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaum ini, mereka memperlakukan seperti ini karena mereka tidak tahu).

Cara-cara damai dan sikap antikekerasan inilah yang menghantarkan Islam menuju puncak kejayaannya. Philip K Hitty, seorang sejarawan terkemuka, mengatakan bahwa Islam berhasil menaklukkan musuh-musuhnya ketika kekuatan senjata mereka (umat Islam) gagal melakukannya. Bangsa Mongol yang bengis justru ditaklukkan kaum muslimin ketika pedang mereka sudah tidak sanggup menghadapinya; kaum musyrikin Makkah justru takluk di bawah kekuatan damai kaum muslimin.

Kata Islam sendiri merupakan kata jadian bahasa Arab salama yang berarti menjadi tenteram, menjadi tenang, betul-betul damai. Kata benda yang diturun dari kata ini bermakna kedamaian, keselamatan, keamanan, dan penyelamatan. Maka sangat tidak benar pandangan sementara orang yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan “Qur’an di tangan kanan dan pedang di tangan kiri”.

Adapun untuk tujuan kedua, Maulana Khan mengedepankan prinsip kesamaan derajat manusia di hadapan sesama. Bagi Khan, seorang muslim tidak punya hak untuk memanggil seseorang sebagai “kafir”, hanya karena seseorang itu berbeda. Memanggil seseorang “kafir” hanya karena orang itu tidak menyatakan dirinya sebagai muslim adalah sangat bertentangan dengan perintah Allah (hal 150).

Kafir, menurut bahasa berarti mungkir, orang yang menolak dan mengingkari kebenaran. Jika misi Islam belum pernah kita sampaikan kepada seseorang, tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa orang itu kafir. Karena itu, semua orang di dunia ini harus kita anggap sebagai manusia yang juga potensial untuk dijadikan dan diperlakukan sebagai teman.

Al-Qur’an menyebut orang-orang yang mungkir sebagai kafir. Dan, yang memanggil mereka kafir adalah Allah, karena hanya Allah yang tahu apakah seseorang benar-benar mungkir atau tidak, bukan manusia, bukan kita. Tugas kita sebagai muslim hanyalah terus melakukan dakwah.

Sikap positive thinking (husnu zhan) Khan ini juga membias dalam sikapnya terhadap peradaban Barat. Ia memandang bahwa budaya Barat secara umum kondusif bagi perkembangan Islam. Maka ketika orang (muslim) mengatakan bahwa budaya Barat adalah manifestasi dari dajjal, ia malah mengajukan ”tantangan”: “Kalau begitu kita sangat membutuhkan dajjal lebih banyak lagi.”

Khan berpendapat, budaya Baratlah yang mengajarkan kebebasan beragama, mengajarkan untuk mengutuk penyiksaan di mana-mana, dan budaya Barat pulalah yang telah menemukan berbagai macam teknologi dan sains yang telah membantu menyingkap ayat-ayat Allah yang tersembunyi di alam semesta (hal 149). Buku The Bible, The Qur’an and Science, misalnya, bisa lahir setelah budaya Barat menyingkap ayat-ayat Allah di alam semesta.

Kritik Khan terhadap fenomena kaum muslimin dewasa ini adalah bahwa mereka kebanyakan hanya melihat budaya Barat dari sisi-sisi negatif yang mereka anggap merendahkan dan antitesa dari Islam. Padahal, mestinya mereka juga melihat hal-hal produktif, intelektual, dan hal-hal yang konstruktif, serta moralnya.

Khan juga mengkritik cara pandang kaum muslimin yang menyebut pihak nonmuslim sebagai ‘mereka’, di mana tampak di sana sebuah dikotomisasi antara muslim-nonmuslim, kita-mereka, baik-jelek, benar-salah-sebuah sikap yang akan membawa kepada kecenderungan untuk melakukan aksi kekerasan.

Khan menengarai ketidakmampuan kaum muslimin mengikuti mainstream peradaban modern (sehingga menempatkan mereka pada posisi second line) terutama disebabkan oleh aksi kekerasan yang mereka lakukan. Masyarakat muslim seringkali mudah terpancing provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dan, menurut Khan, yang paling bertanggung jawab terhadap aksi-aksi kekerasan ini adalah mereka, yang membangkit-bangkitkan semangat jihad dalam makna yang sempit yakni qital (perang). Satu-satunya jalan menghapus citra masyarakat luar tentang Islam-bahwa Islam itu identik dengan kekerasan, bahwa orang Islam itu sangar-sangar-adalah membawa kembali umat Islam kepada mainstream ajaran Islam yang antikekerasan (hal 176); menanamkan kepada mereka tradisi tertinggi dari tingkatan spiritual sufistik yang enggan menyakiti sesama, yang hanya mau menjadi bunga yang semerbak mewangi, bukan menjadi onak-duri yang menyakiti.
***

BUKU ini telah dengan tepat menjelaskan kepada mereka yang memiliki citra buruk tentang Islam, juga mereka yang berusaha memberi citra jelek kepada Islam. Dari situ, Khan ingin agar agama Islam ditempatkan pada posisinya secara proporsional.

Dengan dua sasaran yang dibidik-yakni kaum muslim dan nonmuslim-buku ini menjadi penting untuk dibaca oleh siapa saja, baik oleh umat Islam maupun umat agama lain. Atau juga siapa saja yang memimpikan tercapainya perdamaian dunia, karena buku ini mengajak kepada perdamaian antaragama.

*) Mahasiswa Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Periode Keemasan Kedua Cerpen Indonesia

Agus Noor
http://www2.kompas.com/

Dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975, Jakob Sumardjo menyatakan, “Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada dekade 50-an yang merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia.”

Salah satu faktor yang mendukung “periode keemasan” itu antara lain munculnya majalah seperti Kisah, Tjerita, serta Prosa, yang menjadi ruang pertumbuhan cerpen pada saat itu.

Di samping, memang, situasi sosiologis yang dianggap oleh Nugroho Notosusanto tidak menguntungkan bagi para pengarang pada waktu itu untuk menulis roman atau novel. Setelah pada periode sebelumnya roman menjadi “tolak ukur” pertumbuhan sastra, pada dekade 50-an itu cerpen menjadi semacam episentrum penjelajahan estetik.

Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lain yang, menurut sastrawan dan kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai Pertumbuhan dan Perkembangan Cerpen Indonesia, disebut sebagai sastrawan yang “pertama-tama dan terutama dikenal sebagai penulis cerpen”.

Pada periode ini, cerpen Indonesia menunjukkan kematangan bentuk, komposisi, struktur, dan plot yang terkuasai dengan baik. Hal itu membuat eksplorasi tematik yang banyak dilakukan para penulis menemukan kematangan dalam bentuk penceritaan. Tak berlebihan apabila pada periode ini cerpen “menduduki tempat utama dalam kesusastraan Indonesia”, tulis Ajip Rosidi.

Apabila periode itu diletakkan dalam sejarah pertumbuhan sastra kita, terutama menyangkut cerpen, bolehlah periode itu disebut sebagai “periode keemasan pertama” pertumbuhan cerpen. Sementara “periode keemasan kedua” terjadi pada sekitar dekade 80-an.

Ada situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu: (1) cerpen menjadi pilihan utama pengucapan literer, (2) tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3) pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) pencapaian estetis cerpen yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan.

Keemasan kedua

Kita bisa melihat pencapaian-pencapaian estetis cerpen pada “periode keemasan kedua” itu melalui buku kumpulan cerpen Riwayat Negeri yang Haru. Antologi ini disunting oleh Radhar Panca Dahana, memuat 55 cerpen dari 44 penulis.

Sudah barang tentu buku ini tidak mungkin mampu merepresentasikan pertumbuhan cerpen pada dekade 80-an secara keseluruhan. Penyebaran cerpen yang meluas di koran membuat upaya untuk “merekonstruksi” pencapaian estetis pada periode ini menjadi muskil. Namun, buku yang memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-an ini setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis cerpen-cerpen pada periode itu.

Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto, pada periode itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri: menjadi media yang cukup signifikan bila kita hendak memperbincangkan pertumbuhan cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra mulai meredup pamornya.

Buku ini bisa diletakkan sebagai kelanjutan tradisi penerbitan cerpen yang dilakukan Kompas, setelah menerbitkan Dua Kelamin bagi Midin, dieditori Seno Gumira Ajidarma, yang menghimpun cerpen-cerpen yang terbit di Kompas dalam rentang tahun 1970-1980.

Kitab cerpen ini memperlihatkan bagaimana pertumbuhan cerpen Indonesia mulai menggeliat setelah pada tahun 60-70-an dunia sastra kita menempatkan bentuk puisi sebagai episentrum atau pusat perhatian pencapaian-pencapaian estetis. Inilah suatu masa ketika cerpen terasa inferior dibandingkan puisi dengan pengecualian pada apa yang dilakukan oleh Danarto dengan cerpen-cerpennya semacam Godlob.

Pada dekade ini, peran majalah sastra Horison yang memberikan keluasan bagi eksperimentasi memang memunculkan beberapa cerpen ’eksperimental’ yang mengeksplorasi gaya dan tipografi penceritaan, tetapi tak terlalu kuat pengaruhnya pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan cerpen kemudian seperti memilih jalan pertumbuhannya sendiri dengan ’memilih’ koran sebagai media publikasinya.

Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari makin lunturnya batas-batas ’sastra serius’ dan ’sastra pop’—sebagaimana bisa dilihat melalui gerakan puisi mbeling dan mulai maraknya penerbitan novel pop—yang kemudian ikut meruntuhkan pusat-pusat penandaan sastra.

Koran sebagai media yang bersifat umum pada akhirnya ikut membentuk karakter cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu: satu kecenderungan yang menempatkan ’realisme’ sebagai gaya utama penceritaan. Satu gaya yang sesungguhnya juga masih terasa kuat hingga dekade 1980-an, bahkan 1990-an.

Namun, di tahun 1980-an itulah mulai terasa adanya upaya mencari gaya penceritaan yang lebih segar dalam cerpen kita. Kemelimpahan jumlah mulai diimbangi semangat untuk mematangkan bentuk-bentuk penceritaan. Karena itu, kuantitas pun mulai paralel dengan kualitas, setidaknya bila dibandingkan dengan cerpen-cerpen dekade sebelumnya yang masih dianggap kurang berhasil dalam bentuk penceritaan.

Itulah sebabnya dekade 80-an boleh dianggap merupakan titik balik pertumbuhan cerpen, setelah sebelumnya karya sastra kelas dua. Dan itulah yang bisa kita lihat melalui buku ini. Kita bisa merasakan sebuah gairah kreatif yang memperlihatkan makin matangnya cara bercerita para pengarang yang produktif di periode ini. Dan, yang pada periode selanjutnya menjadi para penulis yang banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.

Surealisme dan absurdisme

Pada “periode keemasan kedua” inilah kita mulai merasakan adanya kecenderungan yang kuat untuk memakai gaya surealisme dan absurdisme sebagai bentuk penceritaan untuk mencapai efek dramatik dan estetis tertentu dalam cerita.

Boleh jadi, itu menjadi semacam cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita hingga menjadi semacam simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuknya cerpen Karni Yudhistira ANM Massardi, Kepala Bakdi Soemanto, Absurd Joko Quartantyo dalam buku ini menjadi referen yang pas untuk melihat kecenderungan itu.

Yang menarik dari buku ini ialah keberhasilan editor untuk melihat banyak gejala yang cukup beragam, baik menyangkut tema maupun gaya bercerita, yang memang menjadi keunikan tersendiri dalam pertumbuhan cerpen dekade 1980-an.

Setidaknya ini bisa dilihat melalui cerpen-cerpen yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, di mana yang serius dan yang pop seperti diaduk-aduk melalui gaya penceritaan yang ngelantur dan nyaris seperti penuh igauan. Cerpen Seno menjadi seperti sungai cahaya berkilauan yang mengalir dalam kesunyian.

Kita bisa menemukan pula gaya yang dikembangkan Danarto, yang sejak mula selalu mencampurkan antara yang riil dan nonriil, mulai membawa kecenderungan itu dengan mengolah cerita yang berlatar belakang metropolitan. Sedangkan Putu Wijaya banyak memakai ’permainan logika’ untuk mencapai suspens cerita. Di luar itu, kecenderungan realisme model Haris Efendi Tahar dan Jujur Prananto sampai warna lokal Darwin Khudori dan Ahmad Thohari bisa terangkum dalam buku ini.

Sebagaimana dicatat editor, selama kurun waktu 1981-1990 ada 440 cerpen yang terbit.

Di samping memilih cerpen- cerpen yang dianggap terbaik yang terbit selama kurun waktu itu, editor juga berhasil memberikan kepada kita keragaman gaya yang dikembangkan para penulis yang produktif menulis pada periode itu. Hingga kita bisa menjadikan buku ini sebagai referen yang cukup menolong apabila kita ingin menengok kecenderungan-kecenderungan yang ada selama “periode keemasan kedua” cerpen kita.

*) Agus Noor Penulis Prosa

Satu Akar, Dua Pohon

Hawe Setiawan*
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sama-sama berakar Melayu, sastra Indonesia dan sastra Malaysia berkembang secara terpisah. Buku ini membandingkan sistem sastra dan ideologi politik kedua negara pada tahun 1950-an.

AKAR MELAYU: SISTEM SASTRA & KONFLIK IDEOLOGI DI INDONESIA DAN MALAYSIA Pengarang : Maman S. Mahayana Penerbit : Indonesia Tera, Magelang Tebal : xiv + 302 halaman Cetakan pertama : April 2001 AKARNYA sama: bahasa dan tradisi sastra Melayu. Sama-sama bermoyangkan Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Namun, pohonnya berbeda, dan karena itu cabang, ranting, dan buah kreativitas kesusastraan Indonesia dan Malaysia tidaklah sama.

Tapi kenapa bisa sebuah akar menumbuhkan dua pohon, begitulah Maman S. Mahayana bertanya-tanya. Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu lalu tertarik menulis tesis tentang perbedaan tersebut. Tesis itu kemudian diterbitkan sebagai buku.

Yang kemudian diperbandingkan oleh Maman adalah lebih dalam hal sistem sastranya, termasuk pertautan antara sastra dan tatanan sosial-politik yang melingkupinya. Karakteristik karya sastranya itu sendiri tidak banyak dibicarakan. Maka, uraiannya lebih pada sistem penerbitan, profesi pengarang, juga semak belukar ideologi politik. Lingkup pembahasannya dibatasi oleh seruas masa tatkala kesusastraan di kedua negara dikatakan menunjukkan “kesemarakan”: tahun 1950-an.

Menjadi berbedanya sastra Indonesia dengan sastra Malaysia, menurut Maman, terpaut pada kolonialisme. Dalam hal ini, Maman antara lain merujuk pada kon-sekuensi negosiasi antara Impe-rium Inggris dan Belanda di London pada 1824. Ranah budaya yang setradisi dipilah dua. Pertama, Malaka serta Singapura menjadi urusan Inggris. Kedua, Sumatra dan selebihnya jadi kewajiban Belanda. Kolonisasi, antara lain, memperkenalkan teknologi percetakan. Dan itulah “embrio bagi kesusastraan di kedua wilayah” (halaman 3).

Dalam perkembangannya, seperti ditulis buku ini, dinamika sastra Indonesia melenceng dari garis tradisi Melayu. Pamor para penulis asal Sumatra memudar, digantikan oleh rekan-rekan mereka dari Nusa Jawa. Sementara itu, pertautan antara tradisi sastra Melayu dan dinamika sastra modern Malaysia sepertinya tetap terpelihara.

“Jadi, jika perjalanan kesusastraan Indonesia dan Malaysia terkesan berjalan sendiri-sendiri, sebenarnya lebih disebabkan oleh adanya kekuasaan kolonial yang berbeda,” demikian salah satu kesimpulan Maman (halaman 241). Namun, bagaimana persisnya kekuasaan kolonial itu menyebabkan keter-putusan tradisi di wilayah yang satu dan keberlanjutannya di wilayah lain, buku ini tidak sampai menawarkan penjelasan yang me-yakinkan.

Alih-alih melakukan hal itu, buku ini memaparkan beberapa keserupaan di antara sistem sastra di sini dan sistem sastra di negeri jiran itu. Ambil contoh perihal perseteruan ideologis. Di sini ada kalangan sastrawan Lekra yang menekankan gagasan “realisme sosialis”, dan ada pula kalangan sastrawan Manifes Kebudayaan yang menitikberatkan ide “humanisme universal”. Di negeri jiran pun timbul silang paham antara para sastrawan Asas 50, yang mengedepankan gagasan “seni untuk masyarakat”, dan sejumlah sastrawan lainnya yang mengemukakan ide “seni untuk seni”. Tapi, apakah itu lalu menunjukkan betapa dinamika sastra di sini merembes juga ke negeri Encik Mahathir, sebagaimana disinyalir oleh Maman?

Juga perlu dipertanyakan pengambilan contoh sastrawan yang representatif. Misalnya, Sobron Aidit—di samping Agam Wispy—cenderung dianggap paling representatif dari kalangan Lekra. Mengapa tidak merujuk pada Utuy Tatang Sontani, yang jelas pernah terkemuka di puncak Lekra? Atau, Asahan Alham—tadinya bernama Asahan Aidit—yang pernah berkarya baik di Indonesia maupun di Malaysia? Dan, menurut Maman—ia mengutip Sapardi Djoko Damono—sastrawan Lekra bukanlah “sastrawan beneran”. Walhasil, telaahnya dalam hal ini terasa kurang berimbang dan kelewat berpijak pada salah satu pihak.

Bagaimanapun, buku ini penting dilihat dari kesejarahan sastra Indonesia. Dapatlah kiranya buku ini disegolongkan dengan, misalnya, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia dan Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir karya Ajip Rosidi, atau Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 karya Keith Foulcher. Dan, bagi para penilik dunia persuratan di negeri jiran, karya ini kiranya dapat pula disandingkan dengan disertasi A. Wahab Abdi, The Emergence of the Novel in Modern Indonesia and Malaysian Literature: A Comparative Study.

*) Pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (PPSS), Bandung.

“Gelar Sajak Suryatati”

Berpihak pada Persoalan Masyarakat

John Js
http://www.sinarharapan.co.id/

“Saya kagum dengan konsistensi dan kepedulian (Walikota Tanjungpinang) Suryatati sebagai wanita yang menulis puisi. Lagi pula saya senang mendapat kesempatan membaca sajak-sajak Melayu. Sajak-sajak Melayu Jemputan (karya Suryatati) sangat menyentuh. Membaca puisi adalah sesuatu yang bisa menghilangkan kegalauan, seperti seni peran,” ungkap Tamara Bleszyinski yang terpilih membaca karya sajak Suryatati berjudul “Nyanyian Rakyat Kecil” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, minggu lalu. Lain lagi pendapat violinis Idris Sardi, yang memainkan nomor lagu khusus untuk pembuka pergelaran “Gelar Sajak Suryatati”. Ia menyebut seni tradisi begitu mulia. “Saya merasa bersyukur bisa bersatu rasa.

Saya heran kalau musik dangdut bisa disukai sekali, padahal seni Melayu lebih hebat. Kita harus mensyukuri keberadaan seni tradisi Melayu,” sanjung Idris Sardi.

Memandang Suryatati yang berjabatan Walikota namun masih tetap meneruskan kepenyairannya, patut dipuji. Suryatati tak rela jiwa kepenyairannya terpenjara. “Saya tidak rela sajak-sajak Melayu pelan-pelan menghilang,” ujar Suryatati yang sangat peduli terhadap seni budaya Melayu.

Ketua penyelenggara Asrizal Nur dari Yayasan Panggung Melayu, menilai penting untuk menampilkan Suryatati dalam Gelar Sajak Tunggal. “Kami berharap dengan sajak-sajak karya Suryatati yang dibacakan para artis dan penyair dapat memberikan pencerahan bagi dunia birokrat, utamanya penguasa yang akhir-akhir ini banyak mengabaikan kebudayaan khususnya sastra,” jelas Asrizal, yang juga penyair.

“Patut diacungkan jempol kepada penyair Melayu, Suryatati yang kini sibuk sebagai Walikota namun memiliki kepedulian besar terhadap seni dan budaya Melayu. Suryatati adalah sosok manusia yang memimpin negeri pantun, Tanjungpinang dengan memagar negerinya bersama marwah Melayu,” ditambahkan Asrizal.

Momentum Tepat

Apa makna seorang Suryatati? Budayawan dan sastrawan Maman S Mahayana menyebut Ibu Walikota itu muncul dalam momentum yang tepat dalam mewartakan kegelisahan sosio-kultural.

“Kita dapat mencermati ke arah mana keberpihakan penyair atas lingkungan sosial budaya di sekitarnya, yang sekaligus mengekspresikan hati dan gagasannya tentang berbagai hal,” imbuh Maman.

Dia juga memuji kehadiran Suryatati di dunia sastra menjadi penting, sebagai penyair dan pejabat untuk mempresentasikan tanggung jawabnya dalam menyikapi berbagai persoalan kemasyarakatan.

Apalagi tampak oleh Maman, sebagai walikota ia seperti tak pernah berhenti mencari solusi atas berbagai persoalan besar sampai yang remeh, karena menyangkut problem kemasyarakatan.

Suyatati begitu peduli pada sesamanya, sambung Maman, sejauh it u menyangkut kepentingan bersama. Puisinya adalah wujud representasi hati danpikirannya yang jernih dalam menempatkan diri dan keberpihakannya pada masyarakat, untuk harapan orang-orang yang memberinya amanah selaku sosok pemimpin.

“Sentuhan sastra menuju kemanusiaan, bermuara pada kesejahteraan dan kebahagiaan manusia,” demikian pendapat Maman S Mahayana, yang saat ini masih menjabat sebagai Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Acara “Gelar Sajak Suryatati” dilengkapi dengan peluncuran buku antologi puisi Suryatati bertajuk “Melayukah Aku”. Melalui kata pengantarnya, penyair Taufik Ismail mengatakan di buku puisi itu ia menemukan suara hati manusia, sosok pribadi seorang ibu, dan sekaligus sikap seorang pejabat daerah.

Pertanyaan retorik “Melayukah Aku”, menurut Taufik, sesungguhnyamengisyaratkan persoalan sosio-kultural ketika arus globalisasi menerjang keluhuran kultur leluhur Melayu.

Penyair seolah-olah mempertanyakan eksistensi kemelayuannya. Padahal, lanjutnya, ia berfungsi macam pisau bermata dua. Ke dalam, ia menunjukkan keprihatinannya, dan ke luar ia mencoba memberikan penyadaran tentang bahaya arus globalisasi yang dicerna tanpa reserve, ditelan secara bulat mentah. Harus ada filter untuk menyaringnya, harap Taufik, dan filter itu adalah kearifan lokal yang tersimpan dalam budaya leluhur.

Penyanyi dangdut Melayu Iyeth Busatami juga hadir di “Gelar Sajak Suryatati”, namun ia tak membaca puisi. Iyeth diundang selaku profesi penyanyi, dan salah satunya ia bersenandung “Ibu” untuk mengiringi karya sajak berjudul sama yang dibacakan sendiri oleh Suryatati.

Geliat “Kritis” Cerpenis Malaysia

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Aku saksikan wajahnya yang dipajang berbagai koran, biasanya di halaman sosial; atau aku melihat sekilas mobil suaminya yang diparkir di luar salah satu hotel – mobil dengan pelat bernomor satu digit (orang kaya jadah) yang mudah diingat. Namun, aku tak pernah bertemu Alissa….

Barisan kalimat di atas adalah bagian dari salah satu cerpen “Yang Terkasih”, dari antologi cerpen berjudul Pahlawan dan Cerita Lainnya karya Karim Raslan, sastrawan Malaysia yang melaunching bukunya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta (4/9).

Dialihbahasakan oleh Naning Pranoto dan A Rahman Abu, halaman 5 dari buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini hanyalah salah satu ungkapan emotif dari tokoh di cerpen-cerpennya terhadap strafikasi sosial di negeri jiran. Cerpen “Yang Terkasih” mengungkapkan kisah tokoh utama bernama Shukor, seorang wartawan yang ditelepon mantan pacarnya saat menjadi korban penganiayaan suaminya yang tak lain seorang bangsawan Melayu.

Hal ini kemudian menjadi fokus dari seorang pengamat, Maman S Mahayana, yang diundang sebagai salah satu pembicara mendampingi Nirwan Arsuka. “Saya yakin, buku ini bermasalah kalau diterbitkan di Malaysia,” ujar Maman S Mahayana, salah satu pembicara yang juga pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Didampingi oleh Nirwan Arsuka, Maman kemudian membeberkan karya Karim Raslan pada cerpen “Ayo ke Timur”. Cerpen ini mengangkat tentang dunia pelacuran di Sabah, yang mengisahkan tentang tokoh utama yang memesan gadis di sebuah hotel.

“Tentang perdagangan manusia. Benar atau tidak, itu soal lain,” ujar Maman, sambil mengungkapkan sebuah nama penulis Malaysia, yang juga sempat mendapatkan teguran karena mengambil kilas sensualitas sekali pun lewat metafora “arungi bahtera, gelombang samudera”.

Antologi ini memperlihakan gaya bertutur yang terkadang agak sensual. Karya Karim, dikomentari Maman, merepresentasikan gaya hidup bangsawan Melayu yang seolah berkutat mempertahankan keluhuran narasi. Di balik itu, banyak rambu dan tabu ditabraknya. Meski tidak dapat menghindari dari hakikatnya yang fiksionalitas, antologi cerpen ini lebih menyerupai potret keluarga bangsawan Melayu yang tidak semuanya baik-baik saja. Selalu ada penyimpangan. Dikatakan oleh Maman, dua sisi itulah yang yang kebetulan dihadirkan dalam ke-8 cerpen dalam antologi ini.

Alur dan Humor

Di luar hal itu, kehadiran penulis satu rumpun – bahasa Melayu – tetap menarik perhatian buat khazanah sastra kita. Seperti kehadiran beberapa tokoh penyair di tanah jiran – nama seperti Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri hingga karya Pramoedya Ananta Toer yang diminati di banyak negeri – juga telah banyak dikenal. Karya beberapa penulis bahkan kerap diterbitkan di Majalah Dewan Sastera yang dikenal cukup berwibawa.

Tentang karya Karim Raslan, Nirwan Arsuka mengomentari bahwa pengacara, kolumnis dan penulis buku lulusan Cambridge University kelahiran 1963 itu, mempunyai keunikan justru pada alurnya.

Nirwan Arsuka mengatakan bahwa ada dua bentuk pengungkapan dalam alur. Dari gelap ke terang sebagaimana dilakukan oleh karya kanak-kanak atau karya religius. Lalu, karya yang mulanya terang dan pada akhirnya kisah tersingkap secara mengejutkan. “Karim tak menghadirkan peristiwa awal secara dramatis, hadir di suasna yang tenang dan tanpa ketegangan. Lalu cerita bergerak pelan lalu terungkap dan nampak semuanya di bagian belakang,” ujarnya.

Dia juga mengomentari bahwa bentuk semacam ini – termasuk kejenakaannya – nampak pada karya-karya Idrus (Kumpulan karya Idrus: “Dari Ave Maria, ke Jalan Lain ke Roma”, red). Penulis-penulis Indonesia, kata Nirwan, sangat konsentrasi pada bentuk dan pola namun sering melupakan kekuatan plot. “Misalnya pada Eka Kurniawan dan AS. Laksana yang jenaka tapi bukan dalam peristiwa dan pengalaman antropologis melainkan mengarah pada faktor bahasa. Kejenakaan hanya dibentuk dari bahasa imaji baru yang terasa lucu, misalnya ‘kencing yang terbahak-bahak’,” papar Nirwan.

Pendapat ini akhirnya dipatahkan oleh Maman dengan mengungkapkan banyak nama penulis Indonesia lainnya yang cukup jenaka di dalam kisah. Nama-nama sastrawan seperti Mahbub Djunaedi, Firman Muntaco, SM Ardan dan Ajip Rosidi, adalah segelintir sastrawan yang ada di dalam referensinya.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati