Jumat, 26 Desember 2008

Antara Dover dan Calais

Sunaryono Basuki Ks
http://www.suarakarya-online.com/

Dalam tempo enam tahun pelabuhan ferry Dover di pantai berbukit batu itu mengalami kemajuan pesat. Pada bulan Februari tahun 1987, sepekan sebelum tenggelamnya ferry di selat Inggris yang menghebohkan dunia itu, aku juga menyeberang dari Dover. Sudah malam, yang kutahu adalah bangunan berupa rumah minum dan penjual makanan. Bus antar negara yang kutumpangi dari London menuju Amsterdam berhenti di pelataran ini, kemudian dari pengeras suara kami dipanggil untuk naik ke dalam bus, puluhan bus dan mobil ditelan tempat parkir ferry itu di lantai dasar. Sekarang, bus langsung masuk ke pelataran luas, dan kami diminta turun melapor ke bagian imigrasi, membawa dokumen yang diperlukan.

Sopir bus, lelaki setengah baya itu banyak canda, sejak melaju dari Victoria Coach Station di London lantaran bus itu hanya dilayani oleh satu orang: mau minum ya maju sendiri ke dekat tempat duduk sopir dan melayani sendiri dari termos kopi, sementara kalau mau beli kudapan, juga ambil sendiri dan meletakkan uang dan mengambil uang kembaliannya. Begitu berhenti di dalam kapal, tepat di dekat pintu berlift ke lantai yang di atas, sopir itu mengumumkan nomor pintunya agar nanti kami kembali ke pintu itu.

"Jangan salah masuk sebab tak akan sampai kembali ke bus. Dan kalau terlambat, aku tinggalkan."

Apa kami memang akan ditinggalkan atau dipanggil dulu melalui pengeras suara dengan menyebut nama bus serta nomor pintunya? Hatiku tergetar juga mendengar pengumuman itu. Di Gilimanuk, aku bebas naik dimana saja, dan ketika turun, aku takkan tersesat sebab ferrynya kecil dan hanya berlantai dua: lantai untuk kendaraan dan lantai untuk penumpang. Dengan puluhan bus dan mobil yang dapat diangkutnya saja, kami sudah takjub. Ferry ini entah memuat berapa buah bus dan mobil. Lapangan parkir seluas terminal bus tentu berisi puluhan bus dan mobil.

Aku mulai dengan lantai sembilan, yang paling atas sekedar ingin tahu ada apa disitu, setelah mencatat nomor pintunya. Aku dibawa ke lantai yang mirip hotel berbintang. Dinding-dinding lorongnya tertutup kaca, dan di sepanjang dinding digantungkan repro lukisan Vincent van Gogh, pelukis yang pada masa hidupnya sengsara dan tidak bisa menikmati hasil penjualan lukisannya. Andaikata dia masih hidup dan tahu bahwa lukisannya menjadi rebutan kolektor maha kaya dari Jepang, dan dia memang mendapat uang dari penjualan lukisannya itu, pasti dia akan bolak balik melancong ke Bali, tidak seperti Gaugin yang hidup di antara penduduk asli di sebuah pulau di Lautan Pasifik. Sebelum sampai di sini aku tinggal di Aberdeen dan menemukan buku repro lukisan Van Gogh yang dijual hanya 15 pound. Aku juga membeli satu set repro lukisan Pablo Picassso seharga 30 pound. Berjalan sepanjang lorong dengan dinding yang digantungi repro ukuran lebih besar dari 10R aku merasa berada di sebuah ruang pameran lukisan pelukis malang itu. Puluhan tahun sebelumnya aku kagum menonton repro lukisannya di layar lebar bioskup Rex di kota Malang saat diputar film, Lust for Life. Kirk Douglas didandani seperti wajah van Gogh yang tercanmtum dalam karyanya yang berjudul Potret Diri: lelaki brewok, kurus, mengenakan caping anyaman rumput. Dalam posisi setengah profil. Tak jelas apakah dia merasa tertekan atau sekedar tersenyum sinis. Film itu menampilkan alam yang dilukisnya, kemudian berselang seling ditutup oleh lukisannya, mungkin dimaksudkan untuk membandingan bagaimana pelukis itu menyerap alam. Starry Night yang terkenal itu divisualisasi: kebun dengan pepohonan cypress, ladang dengan para pemungut sisa panen kemudian disandingkan dengan lukisannya "The Gleaners."

Saat kuperhatikan lukisan-lukisan itu sambil melewati Shower Room, lalu ruang khusus untuk yang mau nonton TV, lalu restoran, toko-toko bebas cukai, tiba-tiba aku bertubrukan dengan seorang, yang baru kusadari kalau dia perempuan saat aku mencium bau parfumnya.
"Sorry," kataku, dan kudengar juga dia mengucapkan ungkapan yang sama.

Aku ingin segera berlalu sebab malu kalau dikira aku sengaja menubruknya karena ternyata perempuan itu cantik dengan tubuh subur dan menawan.
"Hey, Mister!" katanya. Aku pun merasa bersalah dan mengatakan:
"I'm sorry!"
"Kamu pasti pelupa," katanya dengan akrab.

Aku berhenti dan memperhatikannya. Tubuhnya dibalut jaket penahan angin sebab udara bulan Juli cukup hangat.
"Lancaster!"

Aku mencoba mengingat semua teman-temanku saat aku menempuh kuliah di Lancaster University, sebelas tahun yang lalu. Caroline bukan, Susan Spencer bukan, Allison bukan. Siapa ya?
"Aku Susan Brooke!" katanya.

Aku teringat seorang gadis seksi dari tingkat satu saat aku mengambil gelar MAku, lantaran nama belakangnya Brooke. "Oh,! Apa kabar, Susan? Bekerja dimana? Sedang melancong?"
"Jadi kamu ingat, ya."

"Ya, aku ingat saat kamu mengundangku minum aku menolak, sebab aku ini bodoh. Kan aku sudah minum kopi kenapa harus minum lagi? Ternyata kamu mengajakku minum di bar kampus kan?"

"Itulah beda budaya," sahutnya. "Sekarang kamu paham kan? Bagaimana kalau kutraktir minum sekarang, kita bisa ngobrol."

Susan masih seperti dulu, enerjetik, semangat studinya mengebu- dan kalau papernya bagus selalu berkabar padaku, padahal kami hanya bertemu kadang-kadang di lorong Department of Linguistics and Modern English Language. Dia sama bersemangatnya dengan Azizah, mahasiswa tingkat satu dari Malaysia. Karena aku mahasiswa MA, dia menemuiku untuk diskusi tentang Socio-linguistics. Roger Bell ahlinya, menjadi dosenku. Melayani pertanyaan-pertanyaannya yang mendalam aku kelabakan. Dari situ aku tahu, mahasiswa undergraduate memang digembleng keras untruk menguasai materi secara mendalam, sedangkan aku hanya mengetahui banyak pada kulitnya.

Pernah aku hadir pada malam amal yang diselenggrakan di Fylde College, tempat kami semua tinggal. Malam itu diadakan acara minum-minum dan peserta dikenakan biaya yang jumlahnya aku lupa dan mendapat kupon untuk minum bir tiga pint, gelas besar. Waktu itu aku pergi bersama teman-teman selantai dari tingkat undergraduate, James daa Brian yang gendut. Malam itulah aku bertemu Susan Brooke yang tinggal di blok khusus mahasiswi, sementara blok yang kutinggali, terdiri dari tiga lantai, lantai tengahnya ditempati mahasiswi.

Susan memang sosok seorang bintang filrm yang kesasar menjadi mahasiswa. Kecantikannya memukau setiap orang.. gagah, anggun dan segar serta sikap sebagaimana para Charlie's Angels. Orang Inggris pasti berani bilang:
"Kau cantik Susan."

Tetapi aku tak mampu mengatakannya, hanya memandangnya dan tersenyum dan mengajaknya berbasa-basi. Ketika tahu aku dari Bali,dia memintaku:
"Coba ceritakan tentang rumahmu."

Aku kesulitan menceritakannya, sebab aku harus bercerita bahwa aku punya tiga orang anak laki-laki, masing-masing di kamarnya yang menurut standar Inggris dianggap tak layak, kamar mereka sempit.. Aku meninggalkan istri yang walaupun usianya menjelang empat puluh masih menempuh kuliah di Program Diploma agar bisa diangkat sebagai guru. Anak sulungku berusia sepuluh tahun sedangkan si bungsu berusia hampir empat tahun. Sebagai dosen, aku tidak punya mobil, dan semua pekerjaan rumah kami kerjakan sendiri.
"Yah, rumah kecil saja, aku tinggal di salah satu kamar."
"Orang tuamu?"
"Ayahku meninggal bulan Mei lalu."

Dan di atas ferry yang membawaku malam itu pertanyaan yang sama diajukan kepadaku. Bukan oleh Susan yang belia, tetapi oleh seorang perempuan dewasa, matanya agak cekung, ada yang tersembunyi disitu. Diminumnya bir dari gelasnya beberapa teguk. Di Lancaster kupon birku kuberikan padanya dan selembar pada Brian, dan mungkin karena itu beberapa pekan kemudian dia menawariku minum.
"Jadi kamu sekarang kerja dimana?"
"Kamu sendiri?" tanyanya balik.
"Aku masih mengajar di kampusku yang lama, tak ada perubahan. Maklumlah pegawai negeri."
"Kau beruntung bisa berkelana sejauh ini,"
"Atas kebaikan The British Council. Kalau tidak, aku tak mampu."

"Ya, setelah kamu lulus, aku lulus pula mendapat gelar BA, melanjuitkan ke tingkat Master, dan nekat melanjutkan ke tingkat doktoral."
"Jadi, kamu yang menulis buku Women and Language itu? Dr. Susan Brooke?."

"Tak banyak Susan Brooke, tak seperti pengarang Thinking and Language, Judith Greene yang punya kembaran di Columbus tetapi bukan penulis buku, hanya ahli istilah-istilah pendidikan."
"Dan kamu pasti menjadi istri yang berbahagia,"
"Ah, " Susan mendesah, bibirnya dilekatkan pada bibir gelas birnya.
"Setelah menikah dengan Paul, kukira aku bahagia tetapi dia kembali ke pacarnya yang teman kuliahmu itu."

"Maksudmu, Paul dan Laura," aku menyebut pasangan teman kuliahku yang selalu nampak mesra. Saat tas Laura terbuka, kulihat banyak pil putih dalam blister. Aku tahu pil apa itu, pengaman hubungan mereka berdua. Tetapi tak pernah kudengar Paul tak bersetia pada Laura. Sebelum aku pulang, Laura bahkan singgah lama mengobrol di tempatku. Bukan kamarku, tetapi tempat Foo yang pulang hendak memboyong istrinya dari Kucing. Laura tak pernah bercerita, dan di tempat Foo yang punya kamar tamu selain kamar tidur itu, kami juga hanya mengobrol, bahkan ketika berpisah aku juga tak menciumnya di pipi. Kukira Laura sangat setia, jadi Paullah biangnya.

"This is a small world,". Di atas ferry yang terapung antara dua negeri ini, aku dipertemukan dengan Laura, sukses dalam karir, tidak dalam percintaan. Aku kagum padanya, tak sungguh-sungguh ingin memeluk dan menciumnya waktu dia masih menjadi mahasiswa. Aku ingat ketiga anakku yang bisa saja dikhianati oleh pasangannya nanti bila aku menanam benih pengkhianatan saat itu.***

* Singaraja 1-2 September 2008

Halloween, Saksi Keteledoran dan Keserakaan “Russell”

Judul Novel : Cincin Monster
Judul Asli : Russell Troy; The Monster’s Ring
Penulis : Bruce Coville
Penerjemah : Venti
Penerbit : Matahati, Jakarta
Cetakan : 1 (pertama), 2007
Tebal : 114 halaman
Peresensi : MG. Sungatno
cawanaksara.blogspot.com

Dewasa ini, kasus-kasus kerusuhan yang timbul akibat kenakalan remaja (anak muda-mudi) dari tahun ketahun semakin menunjukkan geliat yang meresahkan masyarakat. Remaja yang seharusnya belajar giat dan menyiapkan bekal khusus untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih cerah, terjebak dalam kubangan keinginan-keinginan untuk meraih kepuasan yang sifatnya sementara dan tidak menghasilkan kemanfaatan yang cukup berarti.

Inilah salah satu alasan yang mendasari novelis Bruce Coville untuk turut mengapresiasi merebaknya kenakalan-kenalakan anak muda yang menyulut keresahan tersendiri bagi masyarakat. Dalam konteks ini, Bruce mengajak para kaula muda untuk mempertahankan potensi positif yang telah dimiliki dan mengajak bagi mereka yang sudah terlanjur berbuat sesuatu yang sifatnya merugikan diri sendiri dan orang lain untuk memperbaiki diri dan berusaha tidak mengulangi perbuatan negatif tersebut.

Bagi Bruce, untuk merealisasikan kepedulianya terhadap masa depan generasi muda agar lebih baik, tidak harus memberikan hukuman yang pedih bagi mereka yang sudah berbuat kesalahan dan menjejali nasihat-nasihat yang dalam penyampaiannya terkesan kaku, kering dan tidak toleran. Pelajaran dan hukuman dapat disentuhkan pada generasi muda dengan melakukan pendekatan emosional dan memilih momen yang sekiranya lebih mendukung hadirnya esensi pelajaran atau hukuman pada objek yang dituju.

Dalam konteks ini, Bruce memilih jalur pendekatan emosional yang muncul dari hobi dan tradisi lingkungan para generasi muda yang hendak ‘dibidik’. Halloween, sebagai salah satu acara yang telah men-tradisi dan tersakralkan ditengah kehidupan orang-orang barat dan generasi-generasi muda mereka, dijadikan Bruce sebagai media dalam melancarkan misinya mengawal generasi muda “orang-orang barat”. Acara yang terselenggara pada malam hari tanggal 31 Oktober itu sejatinya dijadikan bangsa Eropa kuno untuk merayakan berakhirnya musim gugur dan menyambut hadirnya musim semi sekaligus sebagai manifestasi penghormatan mereka terhadap ruh-ruh para santo Katolik, yang disepakati pada tanggal 1 November. Konon pada malam itu pula, roh-roh para penguasa kehidupan di bumi, bangkit dan menyertai kehidupan manusia pada saat itu, yang selanjutnya disimbolkan dengan memakai kostum-kostum horor dalam merayakan malam Hallowen tersebut.

Russel, sebagai tokoh utama yang dijadikan Bruce dalam menyampaikan keinginannya terhadap pembaca, menjadi bangga ketika dirinya memiliki kostum paling horror dan dikagumi semua peserta yang hadir pada perayaan Halloween dikotanya. Yang lebih membuat Russel senang, kostum yang digunakannya tidak berupa pakaian yang terbuat dari benang ataupun kulit binatang, melainkan perubahan fisik yang sesuai dengan keinginannya.

Kostum ajaib yang pernah dipamerkan Russel pada beberapa teman disekolah dan diketahui gurunya sebelum malam perayan Halloween itu, menjadikan salah satu temannya memiliki sifat iri dengki. Tetapi hal itu tidak menjadikan Russel bergeming sedikitpun karena kostum yang dimilikinya tidak mugkin ada yang menyaingi dan dia bisa merubah bentuk sesuai keinginan.

Optimis Russel dalam mendamba kostumnya yang tiada duanya itu terbukti pada malam perayaan yang sedang terselenggara ditengah-tengah kota yang diterangi manisnya bulan purnama. Tidak ada salah satu diantara peserta yang kostumnya mampu menyamai atau menyaingi milik Russell, apalagi pada malam puncak perayaan itu Russel mengubah bentuk fisik hingga menjadi seekor binatang besar dan bersayap dipunggungnya.

Ironisnya, karena saking dikuasainya nafsu untuk menjadi orang yang dikagumi dan diakui akan kekuatannya oleh orang lain, Russel lalai terhadap aturan yang telah diberikan oleh pemberi kekuatan pada dirinya. Yakni, larangan dalam menggunakan kekuatan yang bersumber dari sebuah cincin untuk merubah fisiknya menjadi monster yang bersayap disaat malam-malam bulan purnama. Kajadian fatalpun segera menimpa Russel. Ia tidak bisa mengembalikan wujud aslinya kebentuk semula, sehingga membawanya pada penyesalan yang mendalam.

Saking putus asa dan penyesalannya yang telah lalai terhadap aturan kesepakatan yang diperkuat dengan teguran makhluk suruhan dari pemberi cincin ajaib tersebut, Russel dengan susah payah, malu dan segudang penyesalan yang masih menggelayutinya, berusaha mencari pemberi cincin untuk minta maaf dan meminta dikembalikan dirinya pada bentuk semula. Walaupun dengan berat hati, setelah bertemu dan mendengarkan penjelasannya tentang keinginan untuk menyelamatkan temannya, Eddy, dari gangguan segerombolan pemuda-pemuda bejat dimalam Halloween -yang menurutnya hanya bisa diselamatkan dengan kekuatan yang terdapat dalam dirinya, pemberi cincin sekaligus gurunya itu memaafkan. Tanpa sepengetahuan Russel, yang sedang tertidur karena kelelahan, orang tua tersebut mengembalikan Russel dalam wujud yang semula. Sebagai hukuman kakek penyihir itu menyita kembali cincin yang telah diberikannnya kepada Russel. Tidak lama kemudian, kegembiraan pun menyeringai dari diri Russel dan bersumpah tidak akan mengulangi keteledoran tersebut.

Dalam novel inilah, Bruce meracik pelajaran-pelajaran dan teguran santai –tapi mengena- terhadap pembaca, khususnya kaula muda, untuk mengimplementasikan nilai-nilai subtantif yang terkandung dalam perayaan Halloween. Novel tipis tapi unik ini, walaupun dalam kepenulisannya menyelap-nyelipkan pelajaran dan teguran aktual yang orientasinya menuju cerahnya masa depan generasi penerus kehidupan, tetapi tetap tidak menanggalkan aroma-aroma kemunculan dan berseminya tradisi Hallowen yang dewasa ini telah melebar diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

*) Aktivis Scriptorium Lintang Satra Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2009/01/halloween-saksi-keteledoran-dan-keserakaan-%e2%80%9crussell%e2%80%9d/

Minggu, 21 Desember 2008

Pemberdayaan Sastra Indonesia

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah, didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.

Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.

Sebagai seorang penulis, saya tak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan pengertian tok. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.

Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini.

Karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna, adalah bagian dari cita-cita sastra. Karena itulah dalam alam pikiran saya, sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau toh ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan kepada kesimpulan yang salah.

Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba bicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.

Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing. Karena pengertian Indonesia sendiri sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengertian “baru” dicantelkan kepada Indonesia, sesudah gerakan reformasi pada 1998. Ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak azasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 –hanya saja dulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna scanning ulang, defragmentasi, reinstal dan format ulang terhadap hard disk Indonesia yang sudah eror.

Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak azasi manusia tersebut. Dan bagi sastra sendiri, sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak azasinya sendiri. Karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi, sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.

Tak bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun –sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa -sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat.

Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali: berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.

Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa bukan lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tak bisa lagi dipercaya.

Kalimat bersiponggang dan memekakkan tetapi kosong. Khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi “safe deposite” yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.

Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi.

Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihaynya disulap di dalam “dagang” yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor, karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat tyang akan membawa bangsa ke mimpi gemah-ripah-loh-jinawi.

Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut ngacir berserakan ke sana-ke mari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tak berguna.

Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan atau amtenar yang terasa lebih konkrit memikirkan realita dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi “maling-maling” besar, sebagaimana Rendra. Tetapi banyak sekali di antaranya justru “menikmati” keadaan tak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya.

Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi di mana semua orang boleh ngapain saja, mereka juga tetap tak berbuat apa-apa karena memang “dari sononya” sudah tak berdaya.

Kenyataan yang juga harus diakui, adalah di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Dan sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, seni mencuri. Tak peduli nilai karyanya, asal nampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa, terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.

Sastra yang semestinya punya potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya, jadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditi. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.

Sebagai barang komoditi sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis, bertambah jumlahnya. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat, sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi membludak.

Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. “Sastra” terpacu secara kwantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tak kalah pamornya dengan sastrawan tua.

Sementara sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Dharma, Umat Khayam, Sutarji C Bachri, Taufiq ismail (sekedar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darmo, Ayu Utami dan sebagainya.

Memang secara perorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu busuk yang terus bekerja dengan setia. Dan hasilnya bagus. Tetapi sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan.

Jangan mengukur kekuatan dari analisa seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku, karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar, tidak habis dalam 5 tahun. Meskipun memang buku Ayu Utami, belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).

Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan, sudah memble, karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail, melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia.

Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s/d 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.

Tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak mampu mempergunakan bahasa. Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.

Taufiq kemudian membuat lobby pada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut, didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sktor lain.

Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat entusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan, mendengarkan, berdiskusi tentang sastra. Mereka nampak begitu rindu, banyak yang terkejut, melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dal;am rangka pembelajaran anak-anak bangsa.

Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta itu kemudian meluas ke kegiatan se-Jawa Barat-jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.

Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa bahkan bisa mendatangkan duit.

Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra. Menjadikan Indonesia –dalam pengertian sastra -kembali memposisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagainya.

Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah-loh jinawi lewat sektor dan tanggungjawab para profesional.

Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isyu sangat klise sekarang. Karena itu dengan mudah kemudian bisa ditafsirkan kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan seringkali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan –bukan pada sastra-nya.

Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi. Baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, Chairil dan sebagainya. Pemberdayaan sastra ada usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, tetapi juga untuk seluruh manusia.

Sastra tak mungkin, tak sanggup dan tak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tak memerlukan isolasi. Bahkan sastra yang terisolir pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerjasama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingoin berbicara kepada setiap manusia/warganegara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan dan kepangkatan.

Bentuk kerjasama itu adalah kerjasama profesional, atas dasar kegunaaan kegunaan timbal-balik, bukan pemerasan atau pencekokan.

Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simponi kehidupan, sehingga sastra sebagai “sembako batin” jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin hubungan antara sastra dengan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan tetapi saling membantu, saling mempergunakan dan saling menyempurnakan.

Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditi. Karena potensi sastra sebagai apa pun, harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra.

Pemberdayaan di sini harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut, sehingga ia bisa hadir utuh dalam dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Dan itu tak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada “penguasa” –selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemberdayaan sastra yang dalam benak saya, mau tak mau adalah pemberdayaan sastrawan, untuk sementara. Dengan satrawan yang tak berdaya tak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tak berdaya tak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam mana pun. Karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu, sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.

Dengan sastrawan yang berdaya, tak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tak kurang pentingnya dari ekploarasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai. Tak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.

Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Perancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Perancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Perancis dan Indonesia. Di Perancis kata mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinra para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan.

Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Tetapi status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Sebagai akibatnya maka satrawan pun memikul tanggungjawab ilmu pengetahuan atas profesinya.

Sastrawan sebagai pabrik sastra, mesti lebih dulu berdaya. Dan itu tak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel atau demo. Mustahil terjadi dengan surat sakti, besluit atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi dan mulai dari hati pemerdayaan sastrawannya sendiri, sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.

Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat, bahwa sastra adalah penyampung lidah nasib mereka. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil, karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Aji, Ida Pedande Dau Rauh dan sebagainya.

TENTANG KRITIK AKADEMIS

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Belakangan ini, di kalangan sastrawan muda ada kecenderungan untuk menyoroti dan mencoba memberi penjelasan tentang kritik akademis secara keliru. Kritik akademis dipahami sebagai kegiatan yang hanya terjadi di lingkungan sebuah lembaga yang bernama perguruan tinggi. Di sana, kritik sastra dianggap sekadar berujud sebuah makalah ilmiah, penelitian atau karya ilmiah yang berupa skripsi, tesis atau disertasi.

Pemahaman kritik sastra secara demikian, juga lantaran banyak di antara sastrawan yang tidak mau membaca, bahkan tidak mau tahu dengan kritik-kritik akademis itu. Secara apriori, mereka beranggapan bahwa kritik akademis hanya diperlukan untuk kalangan akademi dan tidak untuk sastrawan. Akibatnya, mereka buta terhadap fungsi dan hakikat kritik tersebut.

Selain itu, kesalahpahaman mereka itu juga disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kritik sastra sebagai bentuk kesewenang-wenangan akademis. Dengan dasar ilmiah, karya sastra diperlakukan seperti jasad tak berjiwa, dan kritikus melakukan anatomi atas jasad itu dengan cara memenggal-menggal setiap bagian karya sastra. Akibatnya, tugas kritik akademis seolah-olah hanya melakukan pencabikan-pencabikan atas sebuah teks sastra; ia begitu kering, tidak berjiwa, dan sangat teknis!

Sementara itu, di kalangan kaum akademi sendiri, tidak sedikit yang --juga secara apriori- beranggapan bahwa kritik sastra akademis adalah pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh kaum akademisi saja. Orang yang berada di luar itu, dianggapnya tidak mempunyai kewenangan untuk melakukannya. Tentu saja anggapan ini juga keliru. Siapapun dengan latar belakang pendidikan apapun, boleh saja menulis kritik akademis, sejauh persyaratan untuk itu dipenuhi.

Kesalahpamahan yang muncul dari kalangan akademis yang seperti itu disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kritik sastra dipandang sebagai bagian dari kegiatan yang mesti mengikuti kurikulum. Dan mereka yang berada di luar itu, dianggap tidak punya cukup pengetahuan tentang itu. Pandangan ini sesungguhnya muncul dari "kupernya" wawasan yang lalu berujud dalam bentuk arogansi intelektual. Mereka terlalu bangga dengan teori-teori Barat berikut metode ilmiahnya yang njlimet dan kaku. Akibatnya, teori dan metodologi ditempatkan di atas segala-galanya. Oleh karena itu, pihak yang berada di luar kalangan akademis dinilai sebagai tidak cukup cakap untuk melakukan penelitian atau analisis terhadap karya sastra. Benarkah anggapan ini?
***

Dilihat dari banyak segi, pandangan tersebut tentu saja tidak seluruhnya benar. Seorang mahasiswa yang mengambil jalur skripsi, atau peserta program pascasarjana, memang diwajibkan untuk menulis skripsi atau tesis (kritik akademis) sebagai tugas akhirnya. Ia kemudian mesti mempertahankan apa yang ditulisnya di hadapan sidang penguji. Untuk program sarjana (Strata-1) salah seorang di antara penguji itu, sedikitnya harus bergelar doktor. Inilah tuntutan dunia akademi. Sebuah prosedur yang mesti dijalankan lantaran pertimbangan ilmu pengetahuan. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan akan mandek; tidak berkembang! Dari karya-karya seperti itu pula, diharapkan muncul sesuatu yang baru; entah pendekatan, teori atau pemaknaan atas karya sastra yang diteliti.

Apa yang ditulis dalam skripsi (S-1), tesis (S-2), atau disertasi (S-3)? Apa pula yang membedakan masing-masing karya ilmiah tersebut? Mari kita periksa.

Skripsi adalah tugas akhir mahasiswa S-1 (jenjang sarjana) yang di dalamnya ada penerapan satu atau beberapa teori sebagai landasan untuk menganalisis teks-teks sastra atau salah satu aspek yang berkaitan dengan dunia sastra. Lewat teori itu diharapkan ada penjelasan dan analisis mendalam yang memungkinkan kekayaan teks atau masalah yang tersembunyi dalam dunia sastra, dapat terungkapkan.

Tesis adalah tugas akhir mahasiswa S-2 (jenjang magister) yang di dalamnya satu atau beberapa teori terbuka untuk dipertanyakan kembali. Untuk sampai ke sana, penulis tesis perlu menganalisis teks-teks sastra secara komprehensif, menyeluruh dengan berbagai aspeknya. Ia tidak hanya mengungkap kekayaan teks atau membongkar sejumlah masalah yang masih tersembunyi, tetapi juga menempatkannya dalam teori-teori atau metodologi yang digunakannya, dalam konteks sosio-kultural atau perjalanan sejarahnya.

Disertasi adalah tugas akhir peserta program S-3 (jenjang doktor) yang di dalamnya teori-teori tidak hanya dipertanyakan kembali tetapi juga dicari atau dirumuskan teori-teori baru. Oleh karena itu, dalam disertasi selalu ada usaha untuk memanfaatkan ilmu-ilmu lain, di luar ilmu sastra.

Jika kemudian karya-karya seperti itu dirasakan terlalu kaku atau amat teoretis dan njlimet , sehingga orang di luar bidang itu tidak dapat memahaminya dan masyarakat umum sama sekali tidak tertarik, tujuannya memanglah bukan untuk itu. Ia ditulis, selain tuntutan prosedural dan formal, juga untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, kritik akademis sering juga disebut sebagai kritik sastra ilmiah. Sungguhpun demikian, harap dicamkan, bahwa karya-karya tersebut pada hakikatnya merupakan apresiasi kritis atas karya sastra dan sastrawannya. Jadi, terlepas dari hasil penelitiannya, karya itu tetap memberi penghargaan yang tinggi atas karya yang diteliti.

Demikianlah, ketiga karya ilmiah itu merupakan tuntutan yang harus dipenuhi jika seseorang hendak menyelesaikan jenjang pendidikannya. Ketiga karya ilmiah itu adalah tuntutan yang berkaitan dengan kurikulum. Selain skripsi, tesis atau disertasi, kritik akademis bisa juga berupa hasil penelitian atas inisiatif orang per orang. Dalam karya inilah, siapapun boleh melakukannya meskipun ia bukan dari kalangan akademi.

Sejumlah esai dalam majalah Horison yang ditulis Budi Darma atau penulis lainnya, esai dalam Jurnal Kalam atau yang dimuat dalam majalah-majalah ilmiah, sebenarnya termasuk salah satu bentuk kritik akademis. Demikian pula esai-esai Goenawan Mohamad yang kemudian dihimpun dalam buku Seks, Sastra, Kita dan Kesusastraan dan Kekuasaan atau penelitian tentang minat baca siswa yang dilakukan Taufiq Ismail, "Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?" sesungguhnya masih termasuk ke dalam bentuk kritik tersebut. Jadi, kritik akademis bukan hanya skripsi, tesis, atau disertasi, melainkan karya-karya lain yang di dalamnya diterapkan metode-metode ilmiah, meskipun itu tidak diungkapkan secara eksplisit.
***

Demikianlah gambaran umum tentang kritik akademis. Tentu saja uraian ini terlalu ringkas untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya cukup kompleks. Oleh karena itu, kita juga perlu mencermati secara langsung karya-karya seperti itu agar kita dapat memperoleh gambaran mengenai perbedaannya dengan kritik sastra umum atau kritik sastra apresiatif.

Untuk memberi gambaran yang berbeda dengan kritik umum atau kritik apresiatif, marilah kita mencermati duduk persoalan yang terjadi dalam kritik akademis. Persoalan mendasar yang sering kali menjadi titik berangkat dalam kritik akademis adalah masalah konsep, yaitu rumusan yang mencoba menjelaskan pengertian tertentu, baik yang berkaitan dengan sesuatu yang kongkret atau yang abstrak. Konsep tema dalam karya sastra, misalnya, yang dirumuskan sebagai pokok persoalan yang hendak disampaikan pengarang, sesungguhnya merupakan rumusan dari sesuatu yang abstrak. Konsep-konsep dalam karya sastra, umumnya merupakan penjelasan terhadap sesuatu yang abstrak. Pernyataan "Puisi adalah Puisi" atau dalam lingkup yang lebih luas, "Sastra adalah Sastra", misalnya, sesungguhnya merupakan rumusan abstrak yang masih perlu penjelasan lebih lanjut. Dalam kritik akademis, pernyataan itu perlu diuraikan secara ilmiah karena ia mengimplikasikan dua persoalan besar dalam pendekatan sastra (:kritik sastra).

Yang pertama, pendekatan yang menolak perkaitan karya sastra dengan dunia di luar teks, yaitu faktor-faktor historis, biografis, filosofis dan sosio-kultural. Pasalnya, dalam pendekatan ini, karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai dunia yang otonom. Ia mesti diteliti dan dianalisis lewat pendekatan yang memahami hakikat sastra sebagai karya imajinatif. Dunia dalam karya sastra dianggap hanya berlaku dalam dirinya sendiri. Pendekatan ini berpusat pada struktur karya itu sendiri yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan pendekatan intrinsik atau pendekatan struktural. Sedangkan yang kedua menekankan perkaitan teks sastra dengan dunia yang berada di luar itu atau dikenal juga dengan pendekatan ekstrinsik.

Mengingat karya sastra merupakan kenyataan struktural, maka ia tidak lebih sebagai sebuah struktur. Lalu apa pula yang dimaksud dengan struktur? Ia merupakan sebuah bangunan atau sistem yang disusun atas sejumlah unsur yang saling berkaitan dan bersifat fungsional. Artinya, unsur yang satu berfungsi mendukung unsur yang lainnya dan setiap unsur mempunyai peranan, fungsi, dan kedudukannya sendiri. Sebutlah novel, puisi, atau drama itu sebagai sebuah bangunan yang bernama rumah. Maka, unsur-unsurnya yang menyebabkan ia disebut rumah, antara lain, pintu, jendela, tembok, fondasi, genting, dsb. Bersifat fungsional, lantaran setiap unsur itu saling berkaitan dan mempunyai fungsinya sendiri. Pintu dan jendela, misalnya, punya fungsinya sendiri yang tidak dapat digantikan oleh tembok atau genting.

Alur, tema, latar, atau unsur karya sastra lainnya, juga mempunyai fungsi dan kedudukannya sendiri. Oleh karena itu, penganalisisan unsur-unsur itu, dalam peranan dan fungsinya membangun struktur karya sastra. Atas dasar pemikiran inilah, maka cara penganalisisan karya sastra yang demikian disebut sebagai pendekatan struktural.

Cleanth Brooks, tokoh New Criticism yang disegani dan berpengaruh di antara rekan-rekan sealirannya, sangat menganjurkan pendekatan struktural yang demikian. Menurutnya, memperlakukan puisi sebagai puisi adalah penekanan yang tepat. Oleh karena itu, ia menolak dua metode kritik yang dianggapnya mengelirukan sifat puisi yang kekal dan universal.

Pertama, metode kritik yang hanya menekankan pesan (mesage hunting). Dalam bahasa populer, ia menolak kritik yang hanya mengejar tema. Karena penekanannya pada usaha mengungkapkan tema, maka metode ini sering kali mengesampingkan unsur lain dalam tataran kritiknya. Bahkan, tidak jarang pula tergelincir pada penjelasan filosofis atau sosiologis. Akibatnya, karya sastra sebagai kenyataan struktural, hanya dilihat dari satu aspek saja. Pada gilirannya, kekhasan karya sastra yang bersangkutan terkubur dalam deskripsi dan analisis tematis.

Kedua, metode kritik yang mengungkapkan puisi ke dalam bentuk parafrase. Metode kritik ini sebagian besar sekadar menjelaskan larik-larik puisi ke dalam deskripsi naratif. Parafrase menjadi kisah tentang tema puisi. Kedua hal itu, menurut Brooks, justru malah menyembunyikan kekayaan dan kedalaman makna puisi. Itulah sebabnya, diperlukan metode kritik yang tepat dan sesuai dengan hakikat puisi. Dalam kritik sastra kita, pendekatan struktural atau disebut juga pendekatan intrinsik, dapat dikatakan sejalan dengan gagasan Brooks.

Berbeda dengan pendekatan yang disarankan Brooks, pendekatan yang dikemukakan Grebstein justru sangat mempertimbangkan adanya perkaitan karya sastra dengan berbagai faktor eksternal. Dasar pemikirannya berangkat dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir secara serta merta. Ia lahir dari sebuah proses yang rumit yang melibatkan dunia yang mengelilingi sang kreator. Ada faktor sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Ada pula sistem produksi yang juga ikut mempengaruhinya.

Selain itu, ia juga lahir dari pelibatam berbagai faktor psikologis ketika proses kreatif itu terjadi. Dalam kritik sastra, pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ekstrinsik, yaitu penganalisisan karya sastra yang menghubungkaitan teks sastra dengan faktor sosio-budaya, psikologi, sejarah, atau filsafat.

Meskipun Grebstein mengklasifikasikan kritik sastra ke dalam lima kategori pendekatan, yaitu pendekatan struktural, psikologis, sosio-kultural, arketipe, dan filosofis, sesungguhnya kita masih tetap dapat menyederhanakannya ke dalam dua pendekatan besar yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan struktural atau formal dapat kita masukkan ke dalam pendekatan intrinsik. Pendekatan psikologis, sosio-kultural, arketipe (kepurbaan), dan filosofis, dapat kita masukkan ke dalam pendekatan ekstrinsik.

Lalu apa yang melatarbelakangi gagasan pendekatan ekstrinsik ini. Dua hal penting dapatlah dikemukakan di sini. Yang pertama, berangkat dari kenyataan sosiologis bahwa pengarang adalah anggota masyarakat. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan sosial yang langsung atau tidak, ikut mempengaruhi sikap, pemikiran, ideologi dan visi kepengarangannya. Oleh karena itu, lewat pendekatan itu, karya sastra akan dapat dipahami secara lebih lengkap, lantaran ia juga mengungkapkan berbagai faktor sosio-kultural. Meskipun pendekatan ini mengaitkan teks dengan faktor di luar karya sastra, teks sastra tetap diperlakukan sebagai yang utama, sedangkan ilmu lain ditempatkan sebagai 'alat bantu' belaka.

Kedua, secara lebih luas konteks pembicaraan ini ditempatkan ke dalam kerangka sistem sastra makro. Jadi, yang pertama masuk kategori sistem sastra mikro --sebutlah pendekatan intrinsik- dan yang kedua sistem sastra makro --pendekatan ekstrinsik. Dalam sistem sastra makro yang disoroti adalah kepengarangan sebagai sebuah profesi; karya sastra sebagai hasil produksi; dan pembaca sebagai penerima dan penikmat karya sastra. Jadi, pembicaraan 'sastra koran', misalnya, termasuklah ke dalam salah satu bagian sistem sastra makro; surat kabar atau majalah sebagai sarana terjadinya reproduksi karya sastra. Mari kita periksa duduk persoalannya.
***

Dalam konteks sistem pengarang, pengarang dilihat sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Ia lahir, dibesarkan, dan memperoleh pendidikan dalam lingkungan masyarakat tertentu. Seorang pengarang yang berlatar belakang masyarakat Jawa, misalnya, niscaya lebih mudah mengungkapkan gagasannya mengenai sesuatu yang memang sudah dikenalnya sejak kecil. Ia juga memperoleh pendidikan, agama dan kepercayaan tertentu. Semua ini, niscaya langsung atau tidak, akan terlihat juga dalam karya-karyanya. Selain itu, dalam sistem pengarang ini, dilihat juga apakah kepengarangannya sebagai profesi yang utama atau sebagai pekerjaan sambilan. Jadi, dalam sistem pengarang yang dilihat adalah semua hal yang melingkari diri pengarang.

Dalam sistem pembaca, yang dilihat adalah semua tanggapan (tertulis) pembaca terhadap karya sastra. Mencermati semua tanggapan pembaca, akan sampai pada kesimpulan mengenai pendidikan, agama, dan latar belakang budaya si pembaca. Dari sana akan terlihat pula penafsiran dan pemaknaan pembaca terhadap karya sastra. Meskipun demikian, sistem pembaca dalam sistem sastra makro, tidak sama dengan resepsi sastra. Jika resepsi sastra melihat pemaknaan dan horison harapan pembaca terhadap karya sastra tertentu, maka dalam sistem pembaca yang dilihat tidak hanya itu, melainkan juga latar belakang pendidikan, agama, dan ideologi pembaca.

Sementara itu, dalam sistem produksi, yang dilihat adalah bagaimana karya itu diproduksi, dipublikasikan, dan didistribusikan; apakah melalui sebuah penerbit dalam bentuk buku atau melalui majalah. Lalu, siapa pemilik penerbit itu, bagaimana ideologi dan kebijaksanaan penerbitannya, apakah itu semua berpengaruh pada teks karya sastra yang diterbitkannya. Jika karya sastra itu dipublikasikan melalui majalah atau surat kabar, bagaimana pula misi dan ideologi media massa itu, siapa sasaran pembacanya, siapa pula redakturnya, bagaimana pula honor yang diterima pengarangnya. Berbagai pertanyaan lain tentu saja dapat kita ajukan. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang diselidiki dalam sistem ini.

Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan karya-karya sastra yang diterbitkan atau dipublikasikan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) tahun 1960-an dengan lembaga di luar itu yang juga pada masa itu menerbitkan karya-karya sastra.
***

Begitulah, kritik akademis lebih merupakan penelitian yang mendalam mengenai berbagai aspek kesusastraan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban ilmiahnya menjadi salah satu hal yang tidak boleh diabaikan, bahkan terterima atau tidaknya kritik itu, sangat bergantung pula pada pertanggungjawaban ilmiahnya. Itulah salah satu ciri yang khas yang membedakannya dengan kritik sastra umum atau kritik apresiatif.

Sepupu untuk Wina

B. Nawangga Putra
http://www.lampungpost.com/

AKU seharusnya menjadi sepupu yang baik, Win.

Saat Tante Hesti meneleponku, menanyakan keberadaanmu, aku memang menjawab tak tahu. Itu jawaban yang jujur Win, karena memang saat itu aku tak tahu di mana kau berada. Dan saat dia memintaku mencarimu, aku pun menyanggupinya, untuk dua alasan. Satu, karena aroma rumahku ini makin hari makin terasa tak sedap. Ayah yang sudah berbulan tak pulang, berjaga di perbatasan, membuat senewen ibuku. Dan karena sosok yang menjadi sumber kekesalannya itu tak ada, ia pun meluberkan unek-uneknya ke semua orang, termasuk diriku. Ke luar rumah--setidaknya untuk sementara waktu--kurasa dapat mengurangi penat yang ada di dalam kepala. Yang kedua, itu karena sepertinya aku tahu ke mana akan mencarimu. Marlinda, kakakmu, dia adik tingkatku di kampus, sama-sama bergabung di satu unit kegiatan mahasiswa yang keberadaannya sempat digugat karena dianggap terlalu militeristik. Dari dialah aku tahu banyak tentang kamu, khususnya di mana kau sering hang out. Dan tempat itulah yang kutuju, sebuah diskotek di bagian selatan kota. Melewati sebuah kompleks pelacuran yang katanya sudah resmi ditutup, namun masih diam-diam beroperasi, entah mengapa.

Dan dugaan Marlinda tepat. Aku melihatmu di situ Win, di ruang temaram itu. Menggerak-gerakkan tubuh di tengah orang-orang yang juga bergerak-gerak dengan gaya yang kurang lebih sama. Itukah tarianmu, Win? Di manakah letak indahnya?

Aku pun bergerak mendekatimu. Menyibak kerumunan yang berlabur cahaya lampu warna-warni, menuju tempatmu berada. Ada satu lelaki bersamamu, menggerak-gerakkan tubuh di dekatmu. Matanya menyorot tak senang melihatku. Tapi kau lebih dulu mengenaliku.

"Bang Rusli..." desismu dengan suara berat namun seakan melayang di langit-langit ruangan yang bersuwirkan kabut tipis asap rokok ini. Terlalu banyakkah kadar minuman hasil fermentasi itu di dalam perutmu, Win? "Tumben Bang, maennya ke sini..." imbuhmu lalu. Ada senyuman mirip mengejek di kedua gundukan bibir mengilatmu itu.

"Tante Hesti, mamah kamu, minta aku nyari kamu. Nganter kamu pulang," ujarku lugas, tanpa berniat tersinggung oleh ucapan terakhirmu.

"Heehhh...apaaa?!" kau menaikkan volume suaramu, walau masih dengan nada melayang. Ingar-bingar suara musik yang mirip tabuhan beduk malam takbiran ini memang pantas untuk menulikan pendengaran semua yang ada di sekitarnya.

Kuulangi lagi kalimat yang kuucap sebelumnya. Persis sama, namun sedikit lebih keras. Dan lelaki di dekatmu itu berhenti bergerak. Tubuhnya mengadapku, seakan siap mengadang bila aku bergerak makin dekat.

"Ooo..."bibirmu membulat. Ada jeda agak panjang sebelum kau menggerakkan dagumu, mengangguk-angguk. "Emang sekarang jam berapa?"

Kutarik tepi lengan jaket dan memberimu jawab. Terlalu malam sudah buat gadis sepertimu untuk tetap berada di tempat penuh srigala berkaki dua ini, Win.

"Yuk..." tanganku memanjang, hendak meraih pergelanganmu. Tapi lelaki yang bersamamu itu lebih cepat, langsung berdiri di antara aku dan kamu. Matanya memicing. "Lu yakin lu kenal dia, Win?" tanyanya ragu. Wajahnya bergerak bolak-balik, padaku dan padamu. Rahangnya bergerak-gerak, begitu juga urat di kedua lengannya. Aku tersenyum tipis. Menyibak sedikit tepi jaket, memamerkan benda milik ayah yang kusisipkan di pinggang celana, sebuah inventaris kantor yang lupa dikembalikan. Benda bermagasin yang sengaja kubawa, sekadar berjaga-jaga untuk datang ke tempat semacam ini. Ada guratan pucat di wajahnya. Dia mundur selangkah.

"Dia sodara gua, sodara sepupu," ujarmu menepisnya, mendorong bahunya ke samping agar tak menghalangi pandangmu padaku. Kau tampak agak heran melihat lelaki itu beringsut menjauh, masih membawa pasi di wajahnya. Tak kurasakan ada ekspresi di wajahku saat matamu bertanya.

"Minum dulu ya, Bang, sekaliii...aja," telunjukmu mengacung, meminta perpanjangan waktu. Tanpa menunggu persetujuanku, kau memutar punggung, bergegas menuju meja bartender. Aku mengikuti, berdiri setengah meter darimu saat kau memiringkan punggung dengan siku tangan bertelekan meja panjang itu, mirip jarum jam enam kurang sepuluh. Mengucap nama minuman pesananmu. Kau menoleh, memberiku senyum. Aku membalasnya, simpul. Melihatmu dengan kaus ketat berleher rendah dan celana jins pendek yang sama ketat itu, dapatkah seorang pria memikirkan hal lain selain yang sedang kupikirkan, Win? Ataukah memang aku yang sudah tertular otak para srigala di tempat ini?

Kubayar pesananmu, memastikan kalau itulah hal terakhir yang ingin kau lakukan di sini sebelum menggiringmu ke luar.

"Ke mana ini?" tanyamu saat mobil sudah bergerak di jalan raya.

Dan wangi parfummu, aroma keringatmu, bau alkohol di mulutmu itu...

"Ke rumah kamu, pulang."
"Nggak-nggak-nggak, gua nggak mau pulang! Nggak mau!" gelengmu keras-keras. "Ke mana aja, asal nggak pulang!"

Ke mana, Win?
"Ke mana aja, asal nggak ke rumah...,"sambungmu seakan dapat mendengar suara hatiku. Suaramu memelan, "Gua males pulang..."

Dan kucoba menjadi pendengar yang baik saat kau keluhkan tentang pacarmu yang baru saja kau dapati tidur dengan sahabat karibmu sendiri. Pacar pilihan ibumu, hal yang membuatmu enggan kalau harus berhadapan dengannya, menjelaskan mengapa kau putuskan untuk mengakhiri hubungan dengan pemuda bejat itu. Juga yang membuatmu malas untuk pulang dan memilih menghabiskan waktu di diskotek itu.

Kulirik jam. Sudah hampir setengah jam lamanya mobil ini hanya berputar-putar, melintasi jalan-jalan lengang kota yang sudah tampak mati ini. Ke rumahku, Win? Uh, ibu tentu akan bertambah murka melihatku pulang selarut ini. Sepertinya, itu bukan sebuah pilihan.

"Be-berenti dulu, Bang!" serumu tiba-tiba. Sigap kupinggirkan mobil, dan kau pun bergegas ke luar. Berjongkok di tepi jalan, mencoba membuang isi perutmu. Menatapku dengan mulut menganga, seperti hendak mengatakan sesuatu, sebelum terjerembab jatuh.

"Win, Win...," kutepuk-tepuk pipimu yang dingin. Sepertinya ini bukan mabuk karena alkohol. Seorang teman yang mantan pecandu pernah memberitahuku cara meredakan jenis mabuk seperti ini. Satu sebab berkelebat, membuatku membawamu kembali ke mobil. Masuk ke sebuah hotel melati terdekat yang dapat kutemukan, memesan kamar. Pelayan datang, membawa handuk kecil dan air hangat pesananku. Mengusir gamang sebelum mulai membuka pakaianmu, menyeka seluruh permukaan kulitmu dengan sapuan ujung handuk yang sudah kucelup air hangat--cara yang teman mantan pecanduku itu ajarkan padaku. Hanya gumaman lirih yang kau keluarkan. Aku teruskan menyekamu.

Tapi berdetik kemudian tanganku berhenti. Tertegun. Terdiam lama. Kesat menelan ludah. Perlahan kusisihkan handuk itu.

"Bb-Bang?" Kau mendadak tersadar, kelopak matamu berusaha keras membuka lebar, terkaget melihat apa yang hendak kulakukan. "Ja-jangan, Bang...," pahamu bergerak mengapit, berusaha melindungi bagian pangkalnya.

Kau seorang perempuan yang sedang mabuk, aku lelaki muda, sehat, dan dalam keadaan sadar. Tahukah kau siapa yang lebih kuat, Win?

"Baanggg...ja..."
Diamlah Win, diam. Saat ini, aku bukan lagi sepupumu. Aku toh hanya seekor srigala.

Kotabaru, ii.x.mmviii.

Sajak-Sajak Sayyid Madany Syani

http://www.lampungpost.com/
Perempuan Ilalang
;Dian Hartati

masih terjagakah kau wahai perempuan ilalang
menempa kesetiaan pada keriut angin musim berkabut
dini hari yang membawakan lilin ke hadapanmu
menghembuskan rasa sayang
di pelipis dan ubun-ubunmu
perempuan yang dihembus garis waktu
menepi ke dalam bilik dan bersemedi
hingga waktu tidak lagi dingin terhadapnya
perempuan ilalang, meruap
hingga ke rusuk zaman

Rumah Cinta, Juni 2008



Perempuan Ilalang
;nta

;semisal sepi yang menempuh angan
berkelindan mencapai waktu dengan
kekosongan
laut merah tembaga
menyepuh yang terkelupas dalam hati
dengan kesendiriannya
siapa menjemput siapa!
senyum yang legit, ditiriskan melalui ilalang
rimbun memenuhi pagar
hanya perempuan dalam kenestapaan
menunggu waktu
menunggu, sang kekasih
di pintu pantai yang menggebu
sementara debu masih menderu
dedaun dan ranting-ranting kering
mendesau
melelahkan ilalang dalam pertapaannya
siapa menemu siapa!
perempuan terbujur di atas dipan
menempa kesengsaraan
merajut kesetiaan
dalam dada, dalam hati yang riskan

Rumah Cinta, September 2008



Aku Menunggumu di Sisi Keramaian
;yandre mariandiko

musim bermain itu kau habiskan dalam rumah
tak ada ibu, tak ada ayah
menikam debu dan bekas akar lilin yang tumpah
sementara, di tanah lapang belakang rumah
anak-anak sibuk bermain bola
sambil menunggu kacang kuning dan semangka berbuah
riuh rendah
kau merajut kesepian itu dengan angan
tanpa pangan dan usiran guru ngaji di mesjid
ketika kau tak pandai meraba huruf ba
keramaian menjadi asing
bahkan dengan debur ombak pesisir sekalipun
kau rindu akan kehadiran ayah
tangis pun kau titipkan kepada pengendara jauh
dengan harap bisa diterima oleh ibu
namun, tangismu begitu kering
ditelan udara pagi yang menghapus mimpimu tentang keramaian
kau pun bergegas untuk ke sekolah
mungkin harap dengan pertemuan itu
mungkin juga hanya kekosongan yang harus kau lakoni
setiap hari

Rumah Cinta, November 2008



Ngiangmu
;Rudi Datuak

kau telah bertemu dengan nasib
genggaman yang menirukan igau
hujan menikam darah
dan aku ingat semasa kita berteduh
dalam ruang kopi yang hangat
kurindu gumammu sahabat
menebas pilu di antara jalanan yang rawan
dan kau berceloteh tentang masa depan
yang begitu suram kurasa
ngiang suara yang tertuba
cium garis tanganmu yang swarga
dimana kau menjemput nasib
dengan gegas, dan bertemu raib
yang tak dapat kau tolak
oh langit, dengan darah tergenang
menghitung pertanda sebagai pasi
dan wajahmu jatuh dalam kental kopi
yang kuseruput semalaman
kau telah berkawan dengan kafan
meniadakan nafas dan retak tangis kawan-kawan
rapal doa dan igau yang jemu
tentang masa depan
selamat jalan!

Rumah Cinta, November 2008

Tembok Bolong

Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

SEORANG lagi hilang ditelan tembok bolong. Kali ini yang jadi korban Wujil, pria yang sehari-hari berjualan ketoprak. Dia tak pernah kembali setelah menerobos masuk tembok bolong itu, meninggalkan gerobak ketopraknya yang diparkir di sisi jalan. Dua orang pembeli ketopraknya mengira Wujil sehabis kencing langsung beli rokok di warung sebelah sekalian menukar uang untuk kembalian.

Tapi tunggu punya tunggu Wujil tak muncul-muncul juga. Karena kesal menunggu, dua orang pembeli ketoprak itu akhirnya meninggalkan gerobak ketoprak Wujil. Mereka pikir biar nanti siang atau besok saja menemui Wujil di mulut perempatan tempat biasa dia mangkal untuk meminta uang kembalian.

Namun sampai besok dan besoknya lagi gerobak ketoprak Wujil masih terparkir di sisi jalan tak jauh dari tembok bolong itu karena memang Wujil tidak pernah kembali. Hari berikutnya petugas kebersihan menyingkirkan gerobak Wujil dari sana dan menganggap Wujil benar-benar hilang ditelan tembok bolong. Nori, istrinya, menangis meraung-raung, di depan gerobak ketoprak yang mengonggok bisu.

Meski penjual ketoprak Wujil selalu merasa dirinya orang terpelajar, maklumlah jelek-jelek begitu dia pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Jadi dia tidak boleh mudah percaya dengan hal-hal tak masuk akal. Tembok bolong yang bisa menelan manusia menurut Wujil tidak masuk akal. Maka selama ini Wujil tidak pernah percaya dengan kabar-kabar yang berseliweran mengenai hilangnya sejumlah orang setelah mereka memasuki tembok bolong.

Menurut kabar-kabar yang didengar Wujil dari obrolan para pembeli ketopraknya, sudah ada sembilan orang yang lenyap tak pernah kembali setelah mereka memasuki tembok bolong. Meski demikian, Wujil tidak mau berdebat dengan orang-orang yang mengobrolkan kabar tersebut sambil makan ketoprak, jualannya. Sebagai penjual yang baik, Wujil tahu bagaimana menghormati pembeli.

Wujil merasa tidak perlu membuktikan kabar-kabar tersebut dengan mencoba masuk ke tembok bolong itu misalnya. Karena kalau dia lakukan jelas itu kurang kerjaan. Meski setiap hari Wujil mendorong gerobak ketopraknya melewati jalan itu. Paling banter Wujil hanya memandangnya sekilas. Tak berminat mengamatinya lebih jauh. Apalagi terdorong untuk mencari tahu bagaimana mulanya sampai tembok tersebut bolong. Tapi kalau dilihat bentuk bolongnya yang cukup untuk ukuran tubuh orang dewasa, jelas itu ulah orang-orang yang ingin mengambil jalan pintas. Kalau mau ke hiper mall yang berada di dalam kompleks perumahan elite itu, jalan melalui tembok bolong memang jauh lebih meringkas jarak. Tidak perlu memutar mengikuti jalan raya yang jaraknya berlipat-lipat jauhnya.

Tembok itu Wujil tahu merupakan pembatas yang memisahkan kompleks perumahan mewah dengan perkampungan kumuh di sebelahnya. Memang setiap lewat jalan tersebut Wujil melihat tembok bolong itu selalu sepi. Tak pernah sekalipun tampak orang masuk atau keluar dari sana. Wajar saja karena kalau Wujil lewat di jalan itu hari masih pagi saat dia mau berangkat berjualan atau menjelang maghrib ketika dia pulang dari berjualan.

Tetapi begitulah, hampir semua pelanggan ketopraknya memercayai betul tembok bolong itu sudah banyak menelan orang dan tak pernah kembali. Jumlah korban yang sembilan orang itu adalah mereka yang mencoba menembus masuk ke kompleks perumahan mewah melalui tembok bolong tersebut. Tidak ada yang tahu apakah warga kompleks perumahan mewah di balik tembok sana juga ada yang hilang ditelan tembok bolong saat mau menerobos ke perkampungan kumuh. Mungkin tak pernah ada. Siapa yang tertarik dengan kekumuhan?

"Kalau benar menelan korban, kenapa tidak ditutup saja," ujar Wujil iseng menanggapi pembeli ketopraknya yang tampak serius mengobrolkan tembok bolong.

"Itulah, mana ada orang yang berani. Jangan-jangan sebelum menutup tembok bolong mereka duluan yang lenyap ditelan," ujar pembeli itu seraya menyuapkan ketoprak ke mulutnya.

Dari sembilan orang korban itu, bukan semuanya warga perkampungan kumuh tempat di mana Wujil ngontrak. Sebagian besar, yakni tujuh orang di antaranya justru tamu di perkampungan kumuh tersebut. Umur mereka rata-rata di atas tiga puluh. Tentu soal umur ini perkara kebetulan belaka. Di perkampungan kumuh itu Wujil memang pendatang, baru enam bulan lalu dia menikahi Nori, warga asli perkampungan kumuh tersebut.

Mendengar obrolan para pembeli ketopraknya yang kelihatannya sangat serius itu Wujil ingin tertawa, tetapi dia segera sadar tidak boleh menyinggung perasaan pembeli. Sebab, dia tak mau gara-gara hal itu ketopraknya kehilangan pelanggan. Maka Wujil hanya mengangguk-angguk menahan geli. Tapi rupanya salah seorang pembeli ketoprak tahu kalau Wujil tidak pernah percaya.

"Kenapa Abang enggak percaya?" pembeli ketoprak bertanya, menyelidik.
"Saya memang tidak percaya. Saya rasa itu cuma kabar burung yang dibesar-besarkan," cetus Wujil.
"Abang mengganggap hanya kabar burung?" kejar pembeli ketoprak, sedikit gemas.

"Iyalah Mbak, mana ada tembok bolong bisa menelan orang. Kalau ada orang masuk melalui tembok bolong itu kemudian tidak kembali, mungkin dia memang tidak mau kembali lantaran diterima bekerja dengan gaji besar di salah satu rumah mewah itu."

"Tidak mungkin, Bang. Saya istri salah satu korban yang hilang ditelan tembok bolong itu. Suami saya benar-benar tidak pernah kembali. Kami kehilangan kontak sama sekali," ujar pembeli ketoprak, tampak mulai emosi.

Mbak pembeli ketoprak itu kemudian bilang bahwa suaminya semula juga tidak percaya tembok bolong bisa menelan orang. Makanya dia penasaran ingin membuktikan. Perempuan itu sudah berkali-kali bilang tidak usah nekat. Ternyata benar, malang tak dapat ditolak untung tak bisa diraih. Suaminya benar-benar lenyap dan tak pernah kembali.

Wujil manggut-manggut, ragu. Dia mau bilang ‘bisa saja suami mbak memang sengaja meninggalkan Mbak pergi dengan perempuan lain lantaran merasa bosan dengan Mbak, tapi Wujil tahu dia tidak boleh menyakiti perasaan perempuan pembeli ketopraknya dengan kalimat seperti itu.

"Mbak tidak mencari ke kompleks perumahan mewah yang ada di balik tembok itu? Siapa tahu suami Mbak tersesat di sana, tidak bisa pulang."

Perempuan itu menggeleng perlahan. Lalu terdiam lama menahan kesedihan.

"Sudah berapa lama suami Mbak hilang?" tanya Wujil akhirnya.
"Hampir setahun yang lalu." Perempuan itu berkata dengan nada rendah dan muka murung.
"Pernah lapor polisi?"
"Saya tidak lapor polisi karena suami saya bukan diculik, melainkan ditelan tembok bolong. Mana bisa polisi melacaknya!" Perempuan itu mulai terisak.

"Mbak tahu warga kampung sini lainnya yang hilang?" Wujil bertanya lagi. Dijawab oleh pembeli ketoprak yang lain. Menurut orang itu, dia perempuan. Tetangganya yang baru pulang dari bekerja sebagai penyanyi pub. Karena tak tahan kebelet pipis perempuan itu pipis di got yang ada di balik tembok bolong. Sejak itu dia tidak pernah keluar-keluar lagi sampai sekarang.

Sementara korban lainnya mereka adalah tamu warga perkampungan sini yang mau ambil jalan memotong melalui tembok bolong itu. Mereka semua hilang lenyap bagai ditelan bumi. Keluarga mereka akhirnya menganggap mereka meninggal, yang mau tak mau harus direlakan. Lalu mereka menggelar tahlilan di rumah masing-masing supaya arwahnya tenang.

Wujil tercenung. Benaknya mulai disusupi rasa penasaran. Mungkinkah tembok bolong itu semacam segitiga bermuda yang mampu menelan orang tanpa jejak sama sekali seperti tempo hari dialami sebuah pesawat berpenumpang ratusan orang yang karam dan hilang di lautan tanpa pernah ditemukan bangkainya?
***

Sebelum hilang ditelan tembok bolong itu, Wujil memang pernah mengatakan pada istrinya bahwa suatu hari dia akan membuktikan sendiri. Hanya saja Wujil tidak pernah punya kesempatan. Bisa jadi sebenarnya dia tidak punya nyali.

"Sudahlah, Bang. Jangan macam-macam sok mau mencoba. Cari perkara itu namanya. Aku tidak mau jadi janda," kata istrinya sambil menumbuk kacang goreng untuk bumbu ketoprak.

Sekali waktu Wujil memang pernah mengamati tembok itu dengan sedikit serius. Tingginya tidak kurang dari satu setengah meter dengan puncaknya ditanami aneka macam beling yang sanggup mencelakai orang yang nekat memanjat ke sana. Belum cukup dengan beling-beling yang mencuat runcing, beberapa senti di atasnya terdapat kawat berduri. Ketebalan tembok kira-kira lima belas sentimeter, meski demikian kurang kokoh lantaran terbuat dari asbes yang tengahnya kosong. Bagian luarnya tidak dilapisi semen pula sehingga tidak terlalu sukar dijebol. Di beberapa tempat terlihat gambar penis dan kata-kata cabul dari cat semprot. Bagian yang bolong itu tidak lebar juga tidak sempit. Orang tidak perlu memiringkan tubuh dan menundukkan kepala terlalu dalam untuk lolos masuk ke sana. Kalau dilihat dari kondisinya tembok itu sudah lama bolong. Mungkin beberapa hari setelah tembok dibangun. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang menjebol tembok itu sehingga jadi bolong.

Tetapi beberapa kali Wujil hanya berdiri kira-kira dua meter di depan tembok bolong. Dari jarak tersebut, dia dapat melihat jalan kompleks perumahan yang mulus, taman yang tertata rapi, dan rumah-rumah megah dengan pagarnya yang tinggi-tinggi. Kontras sekali dengan keadaan perkampungan di sebelahnya. Ada kalanya dia melihat sekawanan anak-anak melintas menggunakan sepatu roda. Berseliweran di antara perempuan-perempuan muda--agaknya pembantu--yang tengah mendorong keranjang bayi.

Jadi pada hari lenyapnya Wujil ditelan tembok bolong itu sama sekali bukan karena dia sedang mencoba membuktikan sendiri kabar-kabar itu. Melainkan Wujil benar-benar kebingungan mencari warung mau menukarkan uang untuk kembalian. Dia melihat ada warung rokok di seberang got dibalik tembok bolong itu. Tanpa sadar dia menerobos tembok bolong. Kita tidak tahu apakah Wujil benar-benar lenyap dan tidak pernah kembali dari sana.

Sementara itu nun di suatu tempat entah di mana Wujil mendapati dirinya berada di dalam sebuah gudang yang sangat luas. Di sana dia menemukan barang-barang miliknya yang dulu pernah hilang: Uang dua ratus ribu, celana jins, jaket kesayangan, sepatu kebanggaan, tas, topi, flash disk, ulekan ketoprak, ember, handphone, gunting rambut, buku-buku filsafat masa kuliah, bahkan ijazah SMA-nya yang entah berapa tahun lalu hilang di rumah kawan, dia temukan di sana.

Wujil juga bertemu dengan keponakannya yang autis yang dulu hilang di pasar malam. Dengan para aktivis yang pernah dia lihat fotonya di tembok-tembok. Wujil melihat mereka nongkrong malas-malasan sambil minum kopi. Wajah mereka kelihatannya berbahagia sekali. Ada beberapa orang lagi yang wajahnya tidak dia kenal. Dia hitung jumlahnya ada sembilan. Mungkinkah mereka yang hilang ditelan tembok bolong?

Pondok Pinang, Oktober-November 2008

Kamis, 18 Desember 2008

estetika "tanah api"

MENGGAGAS TOKOH IDE, MEMBEBASKAN DARI TRAGEDI DIRI

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

"Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh."

TULISAN ini tanpa mengurangi rasa hormat kawan-kawan, penikmat, pembaca, pendengar yang turut merayakan karya sastra. Sengaja penulis menggunakan idiom “merayakan” karena yakin sama-sama punya harapan besar dengan bersastra, semoga sanggup mewarnai khazanah negeri yang sering disebut dunia ketiga ini, demi menjadi warga sastra dunia.

Harapan ini bukan omong kosong, bukan impian dan bukan pula tanpa alasan. Apalagi bila dengan penuh kesadaran telah siap gagasan estetis maupun artistik pada setiap karya para pengarang, meskipun menyadari hal ini berarti harus menghadapi sejumlah masalah, lantaran bukan rahasia lagi bagi pengetahuan sejarah, sosial, filsafat maupun budaya sastra kita berada pada posisi kebimbangan konsep estetik.

Sastra kita dianggap kehilangan spirit untuk hidup dan menghidupi wilayah pengetahuan yang memang sangat terbuka diperdebatkan dan bahkan membuka diri untuk diperalat, didzolimi serta dijadikan bulan-bulanan ini. Sudah bisa diduga siapa pelakunya, tak lain adalah manusia.

Beruntung sekali (dan tentu saja curiga) kita mendapat istilah kebimbangan estetis itu di era tahun 1990-an dari seorang professor sejarah Asia Tenggara yang berdiam di Prancis—Profesor Dennys Lombard. Beruntung karena sebagai ilmuwan tentu saja dia jujur dan kita menyetujui pernyataannya. Sementara curiga dan menyisakan banyak sekali pertanyaan karena boleh jadi kita menangkap ada semacam standar ganda dalam pernyataannya, sebagaimana setiap teori barat yang secara ekstrem diyakini Al Ghazali tidak banyak berguna itu.

Sisa pertanyaan dari pernyataan Lombard adalah: bukankah Lombard juga penganut mondernitas yang banyak menelantarkan pelbagai hal (termasuk sastra) dan kemudian memasuki gerbang postmodernisme yang juga perlu diwaspadai itu?

Terus terang, banyak yang disetujui dan perlu angkat topi dengan kemampuan konseptual Lombard ketika menjelaskan isme kesenian termasuk sastra yang hidup di negeri seperti Indonesia, ideologi kesenian di Prancis merujuk karya, aliran yang punya tempat dan ruang tertentu dan waktu dengan posisi yang jelas masing-masing dalam kisi-kisi sejarahnya, mulai dari impresionisme, realisme sosialis, surealis dan sebagainya. Namun di sini sudah tersedia serempak. Ini pukulan hebat kepada seniman-sastrawan kita yang dengan bahasa lain sama artinya dengan “asal pasang urusan selesai” atau “daripada susah-susah pakai yang ada saja.”

Pramudya, Mochtar Lubis dituding sebagai pembawa modernitas. Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan juga Budi Darma penganut wajah lain dari itu. Sementara karya-karya Danarto agak perkecualian karena Danarto sanggup meracik sufisme (Islam) Jawa ke dalam pandangan dunianya meski kelemahan di sana-sini, semisal logika mistis itu sendiri kadang-kadang masih dimaknai sebagaimana cara pandang logika modernitas.

Bukankah mitos itu memiliki logikanya sendiri, dan pandangan dunia Islam Danarto memunculkan banyak pertanyaaan universalisme sastra sebagai seni dan bukan agama?
Kiranya, orang yang tak kalah besarnya harus bertanggungjawab adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan sezamannya yang membawa suara baru arah susastra menuju penciptaan memasuki ruang pribadi yang dibuka sejak Hikayat Abdullah, cikal bakal malapetaka pelbagai ranah ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, sosial, filsafat yang mengasingkan manusia dari keberadaan semestanya.

Siapa yang salah? Karena manusia menjadi pusat semesta, manusia pula yang kemudian menjadi korbannya. Sebagaimana ilmu lainnya sastra yang tanpa dosa akhirnya menjadi tidak bermakna.

Maaf kalau terpaksa mengajak pembaca untuk bersikap romantis dan berjalan pada masa silam yang harus diakui sempat mengalami puncak-puncak estetis sebelum akhirnya jatuh tidak pernah tuntas, hilang lenyap karena didera masa depan yang agresif dan niscaya itu.

Sebagai orang Jawa, banyak yang telah tahu benar sebelum Lombard mendedahkan bagaimana Jawa mengenal keterkaitan hakiki jagad makrokosmos dan mikrokosmos. Bahwa ungkapan kesenian adalah sarana ungkapan keselarasan, penyeimbang, setiap kali tampak terancam. Manusia tak bisa dikeluarkan dari persekutuan masyarakatnya dan tak terpisahkan dari alam.

Rupanya perlu dicetak tebal kata “terancam” dan tugas pujangga tidak hanya melihat tetapi memaknai. Tanpa berusaha membebani makna berlebihan, hal itu terungkap sejak sastra anonim, mantra, puisi lama, dongeng, sastra suluk, pelbagai tembang Jawa dan puncaknya adalah wayang. Bahwa spirit untuk menjaga keutuhan kosmos dan harmoni jagad cilik jagad gedhe jadi lelaku hidup orang Jawa.

Sekali lagi maaf karena memang harus dibeberkan hal ini. Karena harus dilukiskan dengan sisa ingatan yang ada sembari mewaspadai ketakutan apa yang pernah dilontarkan komponis Slamet Abdul Sjukur bahwa kalau tidak hati-hati kita bisa belajar gamelan kepada barat. Kata gamelan bisa diganti dengan musik, teater, senirupa dan tentu saja sastra.

Seni rupa abad 8 – 10 Hindu Jawa menghasilkan pahatan realis pada Borobudur, Prambanan. Ketika bergeser ke Jawa Timur terutama abad 14 cenderung surrealis gaya wayang. Artinya, puncak-puncak pencapaian estetis sudah terlampaui yang di tangan konseptor barat stereotif maupun arketipnya menjadi demikian rumit ketika kita pelajari lagi. Dan terpenting, belum pernah ada upaya untuk melepaskan manusia dari keselarasan kosmos.

Boleh dikata kelemahan kita terletak pada kemampuan untuk merumuskan gagasan-gagasan yang kemudian celah itu diambil oleh barat. Kukira bukan kebetulan jika kemudian rumusan-rumusan itu lantas diputarbalikkan dan sanggup melumpuhkan akar dan spirit budaya asali. Fatalnya, selama berpuluh-puluh tahun kita dibuat terperangah olehnya. Politik kekuasaan dan industri media mempercepat usaha untuk menghapus serta melepas manusia Indonesia dari kejayaan masa silam serta keharmonisan masa depan.

Lantas kenapa sastra? Novel, misalnya? Sastra kita sastra dunia ketiga, memang terus tumbuh, lahir dan perkembangannya sangat mencurigakan. Semula kita cukup dibuat percaya bahwa subtansi novel adalah tokoh. Namun dari uraian di atas kepercayaan terhadap pelaku-pelaku jadi sumbang. Tokoh bukan segala-galanya. Karena itu tokoh dalam novel sah bila hanyalah pembuka jalan demi sejumlah penokohan lainnya. Tokoh tidak ambil pusing dengan sesuatu kenyataan fakta real peristiwa maupun imajiner.

Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh. Bukankah sebuah novel bisa pula tanpa tokoh?
Dalam dunia ide, kita sangat percaya bahwa punya hak untuk memperlakukan secara bersama-sama keseluruhan teks, realitas, imajiner, fantasi (realis-surrealis-realisme magis?). Bukankah dari uraian di atas sebelumnya kita sama-sama memiliki akar sehingga kejadian apakah realitas atau imajiner haruslah mengandung arti pentingnya sendiri?

Sampai di sini cukup dimengerti pernyataan Milan Kundera, novel adalah prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Sintetis adalah keinginan novelis untuk memaknai subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh—esai, narasi, penggalan otobiografis, dan aliran, fantasi. Kekuatan sintetis novel sanggup mengkombinasikan segala hal ke dalam satu kesatuan tanggal. Tidak harus plot tapi tema.

Hanya saja, lagi-lagi yang meragukan ucapannya adalah ketika Kundera mengungkapkan novel tidak memaksakan apapun. Bahwa novel mencari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bahwa dia tidak tahu mana tokohnya yang benar. Bahwa cerita dalam novelnya hanya ini berisi konfrontasi tokoh-tokoh karena dengan cara itu dia bisa mengajukan pertanyaan. Katanya, kebijakan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.
***

KECURIGAAN sebagai pembaca lebih sebagai seorang ilmuwan yang harus menyikapi apriori setiap ilmu pengetahuan dan senantiasa menggugat, menyoal dan mendesak untuk membuktikannya. Namun demikian pembaca akan lebih menerima pernyataan dan pertanyaan Kundera itu sebagai upaya karena ketidakpahaman antara kenyataan dan fiksi atau kesulitan membedakan keduanya akibat terlalu kabur. Kenyataan menjadi fiksi atau fiksi menjadi kenyataan seperti terjadi di negeri ini semisal bagaimana kebutuhan berdusta terjadi dimana-mana. Karena itulah sah mengajukan pertanyaan-pertanyaan (lebih tepatnya gugatan) dengan metafora.

Di sini, lantas sah bila ada yang mempersoalkan realitas di luar teks dengan menyusun teks baru sastra. Boleh jadi “pertanyaan” menjadi sesuatu yang sama sekali baru artinya. Katakanlah ada spirit baru di situ—perjuangan untuk menjaga ingatan masa silam sembari memaknai kekinian demi menatap hari depan. Ada yang menemukan jalan menuju ke sana tidak dalam rupa-rupa persoalan pribadi, melainkan dalam bentuk persoalan ilmu pengetahuan, yakni dengan bahasa lain serupa ingatan kolektif. Meski kematian ide, kelupaan adalah masalah terbesar pribadi manusia, hilangnya masa silam sebagai bangsa, negeri, adalah kematian bersama yang hadir dalam kehidupan. Jadi dengan bahasa mistik: yang membuat kita takut pada kematian bukanlah masa depan tapi masa lalu.

Perihal ini F Budi Hardiman,filusuf dari STF Driyarkara melontarkan pernyataan bahwa sastra yang baik itu yang otonom dan memihak. Otonom dalam arti memiliki demensi rasionalitasnya sendiri yang akan mandul kalau diintervensi system administrasi politis dan manipulasi komersial. Otentitas itu menyangkut kemampuan reflektif karya seni terhadap hubungan pengalaman seniman dan standar nilai yang berlaku.

Dengan kata lain seni otonom itu memikhak para korban patologi modernitas. Sebetulnya Nirwan Dewanto tahun 1991 pernah menyusun konseptual pandangan kebudayaan dengan gemilang, yang sesungguhnya lebih mirip dari gabungan teori ideology John B Thomson dan Sosiologi Pengetahuan dari Peter L Berger yang dikembangkan sebelumnya di sini oleh sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo.

Entah mengapa kemudian Nirwan Dewanto justru menjadi juru bicara paling agung dari gerakan postmodernisme di negeri ini yang sudah barang tentu di mataku harus dihadapi dengan kehati-hatian (ingat bila bangsa ini tak jadi lebih bersahaja dengan kebudayaannya, anda juga harus bertanggungjawab, Bung!) Bahkan tahun 2000, masa yang membuka pintu masuk abad 21, dalam sebuah pidato kebudayaannya, sastrawan Cina Gao Xingjian karena meraih hadiah Nobel, menyatakan dengan bahasa yang sangat bias menyebut sastra dingin—sastra yang tak punya kewajiban apa-apa terhadap rakyat jelata dan komunikasi antara penulis dan pembaca adalah komunikasi spiritual—adalah sastra yang akan melarikan diri untuk bertahan hidup, inilah sastra yang menolak untuk dicekik oleh masyarakat dalam pencariannya dalam keselamatan spiritual. Bias yang saya maksudkan karena di satu sisi tak punya kewajiban apa-apa namun di pihak lain menyediakan dirinya jadi sumur gagasan spiritual yang tak lain adalah ajaran Tao-nya.

Ada ruang kosong yang bisa jadi amat berbahaya di antara keduanya. Pertanyaannya: apakah Gao serta merta berubah wajah dirinya seperti Nietzsche yang sulit memahami manusia dari spesies hewan lantaran dorongan kodratnya untuk senantiasa ingin berkuasa? Di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah. Bahwa manusia hidup dan hadir di bumi sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban. Bahwa kebudayaan adalah spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Di sini jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kosmos. Dalam untaian kata sucinya, Tuhan tidak marah bila umatnya mengumpat sekalipun ke angkasa, itu bagi yang teraniaya.

Demikianlah, sebagai pribadi, sebagai pengarang dan sebagai ilmuwan, novel lahir karena dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidup untuk menyusun ke dalam jalinan kisah. Pendek kata, pengarang tidak mau mati ide. Pengarang harus berani mengakui sebagai manusia lahir cacat oleh pendahulu-pendahulunya. Boleh jadi apa yang dikerjakan sekarang ini telah lebih dulu dilahirkan sastrawan sebelumnya. Sehebat apapun karya sastranya mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru, karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari.

Boleh jadi, karya sastra yang dilahirkan pengarang, jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pramudya, Milan Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata, Centini, Mahabarata, Seribu Satu Malam. Dapat dikata karyanya terbarunya adalah sampah. Namun demikian tekad untuk sadar bahwa cukup karyanya sajalah yang cacat dan bukan diri pengarang atau setidaknya ia bisa mengurangi cacat dalam diri yang terbawa sejak lahir. Bayangkan betapa sebuah tragedi besar bakal terjadi bila pengarang tak lahirkan suatu karya. Sudah barangtentu dia cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide.

Karena itulah dalam diri pengarang mengalir semacam pemahaman bahwa pengarang tidak percaya dengan karya terbaik. Baginya sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada di dalam otak. Artinya, semua sastra itu misterius, tidak mustahil menyimpan niatan buruk, pembodohan, kebohongan, kejujuran di situ sulit dipertanggungjawabkan. Pengarang lebih cepat percaya pada karya sastra itu dibebani setumpuk obsesi, keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulis.

Tak cuma kepada penulis atau sastrawan lain, bahkan kepada karya sastranya sendiri pun pengarang juga harus menghadapinya dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah penulis itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk saling mengingatkan. Bahwa harus diaakui setelah karya terbarunya, masih ada sekian banyak obsesinya yang belum terwujud. []

*) Penulis adalah pengarang. Sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) Surabaya

Sajak-Sajak Mashuri

http://mashurii.blogspot.com/
Doa Buat Pelacur yang Terbakar Semalam

sebuah pagi menghardikku dengan sepi
aku pun menghadirkan koran pagi, sepotong ubi
juga secangkir kopi
di halaman depan, anjing dan kucing berlari-lari
di halaman depan koran, tertulis: ‘pelacur mampus
hangus dilalap api’

aku ingat kebakaran semalam di layar televisi sialan
---api dengan jalang mengamuk rumah bordil
para perempuan hibuk berlari sambil bugil
tapi ada yang seperti Sita, diam terpanggang
kini, jiwaku pun menggigil
aku raih gorengan ubi, tapi ia jelma potongan tubuh tak rapi
aku angkat kopi, ia pun jadi darah hitam dan mendidih

karena ular di perutku kelewat lapar, aku tak ambil peduli
aku lahap tubuh hangus itu, juga darah beku
aku terus saja memamahnya seperti seekor kambing
yang tak lelah menggerakkan gerahamnya

dan kesepian pagi itu pun pecah di perutku;
ada kucing dan anjing berlari-lari di ususku, aku juga mencium
bau tubuh pelacur hangus di usus buntu…
aku lalu berdoa, “semoga pelacur yang terkubur bersama cinta itu
masuk surga”
aku pun berharap agar ia masih bisa melepaskan dahaga
kucing dan anjing yang berkejaran di perutku
yang sakitnya semakin tak terkira…

Surabaya, 2008



Seorang Perempuan Muda untuk Hari Tua

perempuan berkulit kencana itu menata batu di hatimu
meski jemarimu jompo untuk menyangga lengan mimpi,
kau masih bermimpi: kau seorang pangeran teruna
menunggang kuda putih, mengokang senapang
ke arah rusa berlari kencang
---dan begitu banyak penjudi yang bertaruh
rusa itu dirimu atau perempuan muda itu

tapi sesumbarmu membuat seluruh hutan beku:
‘akulah pemburu yang rakus daging mentah
lihatlah betapa batu-batu itu telah menjadi rumah
tempatku bertolak dan berpulang…
aku akan membidik binatang itu tepat di kelaminnya
agar kelelakianku bisa bersuara….’

tapi siapa percaya pada suara yang keluar
dari kerongkongan renta ---suara yang tak bisa menyapa
dirinya sendiri
bahkan kulitmu pun kertas tisu bergelambir
dengan kaki seperti mesin yang harus langsir

setelah telanjang
dan kau menyaksikan tubuh perempuan itu kejang
sendiri di ranjang
ia pun berbaju
zirah, mengiringi keberangkatanmu yang terbata
ke rimba buruan, tempat anganmu berpulang
pada kelamin lecet
sambil bernyanyi ‘gugur bunga’
yang terpeleset
‘telah gugur kejantananku….’

kau menatapnya dengan mata terpejam
dan berangan baju logam itu tenggelam ke lautan asam
dan kau bisa menyaksikan sebentuk tubuh melepuh
dan erangnya membuat seluruh sendimu rapuh

---para penjudi mengangkat cawan arak,
bersulang pada jejak
: tubuhmu berubah
ditumbuhi bulu, berjalan merangkak
dengan kemaluan bengkak oleh peluru…

Surabaya, 2008



Peristiwa Luka

di akhir 1400, kau mencatat peristiwa luka
--ingatan-ingatan dihancurkan, kata terpenggal,
juga rindu terjungkal ke kelam waktu…
apa yang tersisa, kecuali senyap yang kelewat batas
kecuali harap yang kelewat gelap
juga abjad-abjad membatu…

ada yang beku di ubunmu
seperti tetes es ---yang tak mungkin mencair
meski matahari kau undang sebagai tamu
dan duduk di tamanmu

tapi kau mencatat lewat bibir bertabir
lewat sakit yang berulir, juga nestapa yang memuncak
ke batas tiada ---duka yang tak pernah berbilang
angka
kisah-kisah itu tumpah ruah
tapi terusir ke pinggir tanah
terguling ke kawah
yang dengan hikmat kau sebut sejarah

kau lihat panji lain berkibar
sebentuk bibir berikrar: sebuah dunia baru
yang tumbuh dengan sayap-sayap kekar
telah memacu nadi untuk lari atau berposisi

di akhir 1400 itu, kau lihat angin menggunting
pohon asam
sebatang tumbang di tepi jalan
sebatang lain ditanam di gigir pegunungan
lewat desir nyiur, kau saksikan pesisir mengalir
dan matamu pun berair, karena anyir darah
tak kunjung bersudah
dari pelupukmu yang berwindu gelisah

agar kau lupa lara, kau khianati diri
sambil terus bersetia melabuh mimpi
meski lewat sepi
lewat cakap tak terkatakan, tak terwartakan
dengan gerak dan pandang
bahkan cukup hanya dengan diam

Surabaya, 2008

Reposisi Sastra Indonesia

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun, sementara pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Dan malangnya keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan, karena sastra toh masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai asesoris. Seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia, sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Walhasil pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan “otonomi daerah”.

Dalam posisi yang “hina” dan “sepele” tersebut, memberdayakan sastra Indonesia, sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd. Kecuali kalau kita melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri. Sebuah upaya akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah mati suri itu. Karena kalau tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernafas pun tidak mampu.

Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia, membuat orang belajar tentang ilmu tata-bahasa. Mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu. Dan mau tak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghapal pengertian kata, menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantar bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan.

Tetapi, pelajaran tata-bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan pasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal, yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional seseorang, kalau tidak disertai latihan-latihan khusus, sebagaimana yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengconvert pengertian personal.

Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil mengembangkan bahasa itu menjadi kausakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya. Apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol. Sesuatu yang merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa, dikembangkan, diaplikasikan, dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang, agar dapat sampai kepada orang lain sevara akurat, dengan berbagai cara.

Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini, selalu diidentifikasi sebagai karya tulis. Karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang menon jol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Tetapi kesinambungannnya dengan ratio, pemikiran dan telaah-telaah, sudah dipreteli habis. Maka sastra menjadi penari strip tease. Penyebar keindahan, yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyik-masyukkan dan akhirnya kealpaan dan bencana.

Sastra sebagaimana di atas, kopong dan sama sekali tak ada hubungannya dengan “sastra” lagi. Dia menjadi barang komoditi yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur dan dilalah didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan masyarakat, yang menimbun lemak serta kolestrol. Dan pada gilirannya membawa masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa bodoh dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.

Sastra yang mengisi pasar itu, memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah dan psikolog, mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam mana yang menghuni suatu dekade. Lalu mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadangkala tak tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.

Tetapi kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya, apabila dipandang dari sudut kegunaan, tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan dan kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjuk kegunaan dan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.

Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara. Secara berseloroh pernah disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya (anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru, karena kepentingan mereka berbeda. Namun kekeliruan mereka kemudian menjadi hukum, karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.

Sudah terjadi kerancauan di dalam sastra Indonesia. Kerancauan yang amat mendalam. Karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tandakutip “Barat”. Tetapi itu bukan tidak penting. Karena dari kerancauan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini “tidak” dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.

Yang kita maksudkan dengan sastra, adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh tangan-tangan peneliti yang tak lain dari “pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu”. Dan itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memparkir sastra sebagai tulisan yang indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan bahasa. Tertulis ataupun tidak tertulis. Indah atau pun tidak indah.

Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat bahasa maka ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang diaturnya.

Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh pengucapan manusia. Seluruh pikir rasa dan karsa manusia, lewat bahasa yang mereka kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, pengutaraan pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.

Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makan dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekedar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling bahu-membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.

Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual, dengan bahasa sebagai mediumnya.

Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghapalan nama serta tahun-tahun, merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogyanya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika, kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu seperti: filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri dan bahkan juga ekonomi dan teologi.

Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.

Dengan memposisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkrit. Pertama: sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya, sehingga memiliki wilayah jelajah yang tak terbatas.

Kedua: sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang-surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuh. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda namun saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa, yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.

Ketiga: sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra dapat dicapai berbagai hal yang tak tergapai oleh kekerasan senjata. Dan pada gilirannnya sastra yang berpotensi, memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.

Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah cukup untuk membuat sastra berhenti tak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini merebak di mana-mana, sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk menyumbangkan andil. Karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Dan sastra dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Dan pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa itu sendiri agar lebih hidup dan lebih bermakna dalam pergaulan manusia.

Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memposisikan sastra sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi itu tak akan mungkin terjadi sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra harus tak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa, sebagaimana tersistimkan dalam pendidikan kita selama ini.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati