Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Youjin, Air Ajaib yang Merana, Alihbahasa: Wilson Tjandinegara. Jakarta: Perhimpunan Penulis Yin-Hua (Tionghoa—Indonesia), 2007, xii + 231 halaman.
Ketika bahasa –bahkan apa pun—diperlakukan dengan sentuhan cinta, maka yang memancar dari pengejawantahannya, tidak lain adalah aroma cinta itu sendiri. Tanpa sadar, ia menyelusup, menggoda hati, dan kita akan selalu gagal menolak pesonanya. Ketika cinta dan suasana hati dirangkaikan dalam larik kata-kata, dikemas dalam kalimat metaforis, yang muncul adalah bangunan teks yang menyihir. Suasana itulah yang begitu terasa saat menelusuri esai-esai Youjin, Air Ajaib yang Merana. Gaya bertuturnya kalem dan sejuk. Kita dibawa pada berbagai kisah biasa yang disajikan secara luar biasa.
Penulis prolifik Singapura yang telah menghasilkan 127 judul buku ini memang seperti hendak mewartakan serangkaian pengalamannya yang unik saat menjelajahi lebih dari 80 negara. Ia mengungkapkan sisi lain saat berhadapan dengan berbagai jenis bangsa manusia. Ada semacam panorama yang memancarkan suasana hati yang berpadu dengan rasionalitas. Empatinya sangat kuat atas nilai-nilai kemanusiaan, tanpa terganggu oleh perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama. Maka, di balik kisah-kisah sederhana itu, tiba-tiba menyelinap fatwa tentang kepedulian atas sesama, kearifan, toleransi, kejujuran, persahabatan, optimisme, dan pandangan penuh cinta atas kehidupan ini.
Pengarang wanita –Than Youjin—ini sesungguhnya bukan nama yang asing bagi pembaca di Tiongkok Daratan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, dan tentu saja di negerinya sendiri, Singapura. Begitu populer dan fenomenal karya-karya Youjin, sehingga membawanya memperoleh berbagai penghargaan reputasional. Namanya resmi dilekatkan sebagai Pusat Studi Youjin pada Akademi Keguruan Chongqing, sebuah pusat studi di Tiongkok yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu menggunakan nama penulis dari luar Tiongkok.
Buku antologi Air Ajaib yang Merana memuat 100 esai yang menyerupai potret berbagai kehidupan keseharian manusia berbagai bangsa, lengkap dengan segala tetek-bengeknya. Secara tematik memang terkesan sangat individual, subjektif, dan fragmentaris. Yang dikisahkan juga bukanlah peristiwa besar yang menakjubkan dan penuh tegangan. Youjin sekadar mencungkil sesuatu yang sering luput dari pandangan banyak orang. “Asal ada cinta dalam hati, kekuatan akan muncul seketika” atau “mengubah yang lapuk menjadi luar biasa” (hlm. 63). Itulah komitmen dan filosofi karya-karya Youjin. Maka, tema bukanlah segala-galanya, karena apa pun bisa menjadi bahan tulisan. Dan selalu, ia mengawali dan mengakhiri tulisannya dengan empatinya pada kemanusiaan, cintanya pada kehidupan, dan pemihakannya pada hati nurani.
Esai-esai Youjin seperti merepresentasikan sikap hidup dan ekspresi cintanya pada bahasa dan kultur leluhur, pada kehidupan yang selalu tak terduga, dan pada kemanusiaan yang tak tersekat oleh kebudayaan, suku bangsa, dan agama. Enteng saja ia berbicara tentang penjual air di Maroko, perempuan penari di Meksiko, pemburu harimau di Nepal, dan berbagai profesi lain yang dijalani seseorang di mancanegara. Bahkan juga tentang beragam makanan dan masakan sampai ke persoalan petei dengan ulatnya yang jelek dan jahat yang bergerak merayap atau tahi kelelawar yang neplok di tengah bubur.
Di belakang segalanya itu, menyelinap substansi yang sama: semangat menjalani kehidupan sebagai permainan. Maka bermainlah menurut aturan dan nikmatilah permainannya dengan segenap perjuangan. Itulah salah satu langkah menghindari penyesalan. Tanpa itu, manusia tak dapat menikmati hidup. Ia akan tergelincir pada kubangan lupa daratan, arogansi dan sok pintar, jika memperoleh kemenangan dan menyesal sambil mengutuki diri jika jatuh pada kekalahan.
Optimisme, berpikir positif, rendah hati, belajar dari siapa pun tentang apa pun adalah bagian penting dalam memahami jurus-jurus kehidupan. “Bagi saya,” demikian Youjin, “sebenarnya seluruh hidup adalah sebuah permainan. Menuntut ilmu, berpacaran, bekerja, melancong, berkarya, semua itu adalah permainan.” Prinsipnya sederhana: “Selama gunung hijau itu masih ada, mengapa pula kita khawatir kehabisan kayu bakar.” Begitulah hidup. Ia harus dijalani dengan positif dan penuh semangat, agar segalanya tetap sempurna, utuh, bahagia, dan lengkap! (hlm. 194).
Secara metaforis, Youjin membandingkan pesimisme dan optimisme sebagai ketukan pintu, “Bagi orang yang pesimis, ketika kesempatan datang mengetuk pintu, ia malah merasa ketukan sebagai kegaduhan. Namun bagi orang yang optimis, setiap ketukan pintu sebagai suara alamiah yang sangat indah. Bagaimana jika tak ada orang yang mengetuk pintu? Saya pun menggantung serenceng giring-giring angin di depan pintu, menghibur diri dalam angin sepoi-sepoi.” (hlm. 126).
***
Membaca buku antologi ini, sungguh kita seperti sedang menikmati gerakan indah jurus-jurus Dewi Kwan Im: mempesona dan kerap menggagalkan kita menyembunyikan decak kagum. Kemasan narasinya yang mengalir menempatkannya begitu inspiring, kaya dengan analogi yang segar dan hidangan metafora yang kelezatannya nyaris tak pernah selesai.
Dan ketika sampai pada filsafat hidup, seketika kita seperti disadarkan: di sana menyebar ruh Konfusianisme yang diam-diam bersembunyi lalu merembes begitu saja, masuk membasahi segenap fatwa yang disampaikannya. “Aku menikmati seluruh proses kreatif… yang mengalir dalam pembuluh darahku adalah huruf-huruf Tionghoa, mengalir seperti sungai Yangzhe, mengalir ke ujung pena menjadi bagian jiwaku…. (hlm. 220). Itulah sikap dasar kepengarangan Youjin. Prof. Anna Cao, Gurubesar di Fakultas Bahasa Tionghoa, Qingdao University dalam Kata Penutup buku ini menyebutkan: “Kandungan budaya yang kental dan mendalam serta kemampuan dalam huruf Tionghoa membuat aroma Tiongkok dalam esai Youjin sangat kental dan murni.” (hlm. 221).
Boleh jadi lantaran di sana mengeram Konfusianisme dan ruh kultur Tiongkok, maka sebagian esai Youjin terkesan lebih introspektif dan sekaligus retrospektif. Masalah perselingkuhan, misalnya, dianalogikan sebagai duri ikan: seratus persen seperti PIL (pria idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain) dalam perkawinan. Ia samar-samar, diam tersembunyi dalam daging ikan yang sintal dan licin. Lelaki—perempuan makan dengan leluasa, senang hati menelannya. Tiba-tiba “Eh” durinya menyangkut di tenggorokan. (hlm. 72). Begitulah, Youjin menyodorkan berbagai kemungkinan untuk menciptakan jurus-jurus metafora yang lebih variatif dan segar sesuai kultur dan ideologi pembacanya.
Esai atau jenis karangan apa pun –secara praksis—hakikatnya adalah permainan bahasa, meskipun tidak dalam pengertian language games, Ludwig Wittgenstein. Oleh karena itu, seperti juga kehidupan, bermainlah dengan bahasa untuk menciptakan dunia kata-kata. Pewartaan Youjin dalam esai-esainya memperlihatkan kepiawaian seorang pemain sekaligus juga pecinta bahasa. Ia sosok maestro yang sangat memahami segala permainan bahasa. Sangat menguasai selok-belok jurus-jurusnya. Kata-kata yang disajikannya pada saat tertentu terasa lembut—akas, cantik—mempesona, tetapi terkadang pula sinis—tajam dan menusuk atau sengaja menggantung tak berjawab. Ia berdiri kokoh dengan kultur dan bahasa leluhur yang membentuk style-nya begitu khas.
Dalam konteks esai-esai sejenis, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam sejumlah kolom di surat-surat kabar dan majalah ibukota, Youjin seperti memberi penyadaran, bagaimana menyuguhkan hidangan ringan yang membuat pembacanya ketagihan. Mengemas persoalan sepele menjadi kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan. Secara keseluruhan esai-esai dalam buku ini inspiring, meski begitu tentu saja kita tidak perlu memamahnya bulat mentah. Seperti diingatkan Youjin: “menyerap berbagai budaya unggul dari luar, jika terburu-buru memadukannya dalam satu tungku, tanpa menjaga keunikan budaya sendiri yang asli, akhirnya pasti akan seperti daging dalam tempurung kepiting. Tersesat sendiri dalam kekacauan pikiran.” (hlm. 176).
Sayang, karya yang menawan ini kurang mendapat sentuhan serius dari editornya. Maka, maklumi saja jika di sana-sini kita kepergok salah ketik.
Kekuatan lainnya dari esai-esai Youjin terletak pada kekayaan metaforanya. Pola bertuturnya yang menempatkan surprise di bagian akhir menjadikan esai-esai ini nyaris seluruhnya tidak dapat diduga sasaran tembaknya. Di bagian akhir inilah, Youjin menyelusupkan fatwa-fatwanya tentang filsafat kehidupan, meski di sana sedikit pun tak ada kesan menggurui. Inilah antologi esai yang membuat pembacanya bahagia, tanpa perlu tertawa.
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 29 November 2008
Anand Krishna: Menulis Ibarat Melahirkan
Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Berawal dari penerbitan rekaman ceramah-ceramahnya tentang meditasi dalam bentuk buku pada tahun 1990, Anand Krishna lalu menjadi penulis buku yang sangat produktif. Hingga tahun ini telah 57 judul buku karya Anand dicetak, selain 7 judul buku audio dan 3 judul dalam bentuk VCD. Apabila dipukul rata selama 14 tahun, berarti setiap tahun ia dapat menulis sekitar empat judul buku! Meski demikian, ada tahun-tahun yang memperlihatkan ia memang sangat produktif seperti pada tahun 1999. Menurut Anand, tahun itu ia mampu menghasilkan 15 buku cetak dan audio.
Bagaimana hal itu dapat terjadi? Lelaki pengagum Soekarno itu menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan oleh apa yang akan ditulisnya itu memang sudah lama menempel di kepalanya. Seluruh isi kepala yang menumpuk itu adalah buah dari ratusan buku yang telah dibaca sebelumnya dan tinggal dikeluarkan saja. "Kalau sedang menulis, rasa-rasanya seperti perempuan hendak melahirkan, tidak bisa ditahan-tahan lagi. Semuanya harus dikeluarkan segera," katanya.
Selain itu, produktivitas dalam menulis juga terjadi karena ia punya cukup banyak waktu. Saat ini, praktis kegiatan utamanya adalah mengajar meditasi, baik di rumahnya, di daerah Sunter maupun di Ciawi, dan menulis. Waktu cukup banyak itu dimilikinya karena sudah se¬lama 16 tahun ia membiasakan diri hanya tidur selama empat jam dalam sehari dan selalu selektif dalam memilih undangan untuk menjadi pembicara.
Apa yang dapat diambil dari Anand Krishna? Uh, luar biasa. Pertama, menyediakan banyak waktu dengan manajemen meminimalisir kegiatan. Seringkali, memang, kita tidak baik dalam mengelola kegiatan. Prinsip proporsionalitas dan mendahulukan yang lebih penting belum dimanaj dengan baik. Amanat penting dari pengalaman Anand, dengan sendirinya, adalah bagaimana kita memiliki manajemen kegiatan sehingga tetap positif untuk fasilitasi pengembangan kepenulisan.
Kedua, penggalian endapan pikiran hasil pembacaan yang sudah ada dalam pikiran. Di samping kebiasaan membaca yang luar biasa, bagi Anand, proses pengendapan membaca tentunya terproses di bawah sadar sehingga kental di dalam pikiran. Untuk ini, penting dipikirkan oleh kita calon penulis agar bagaimana membiasakan membaca dalam kegiatan sehari-hari. Jika mungkin, menjadikan membaca sebagai makanan pokok yang penting untuk diciptakan setiap hari.
Ketiga, menulis membutuhkan waktu tak pernah kompromi dalam pelahirannya. Sampai-sampai, Anand menyebutnya menulis itu seperti proses melahirkan. Artinya, masalah waktu tentunya tidak bisa ditawar-tawar. Untuk itu, yang penting dipikirkan adalah bagaimana kita mampu menyediakan ”sepenuh waktu” bagi calon anak berupa orok tulisan. Dengan begitu, maka, proses persalinan pun dapat lancar dan mendapat fasilitasi yang lumayan.
Keempat, profesi apapun tampaknya tidaklah tabu untuk membudayakan kepenulisan. Bahkan, sebagaimana saya singgung dalam tulisan yang lain, hal itu dapat mampu meningkatkan kesuksesan di bidang profesi yang kita geluti. Anand Khrisna adalah contoh penting sukses di bidang trainer di samping bidang kepenulisan. 57 buku lahir sejak tahun 1999 adalah bukti empirik yang luar biasa. Bahkan dalam satu tahun (1999) dia mampu melahirkan 15 buku!
Bagaimana dengan Anda? Sukses menulis tentu tak terlepas dari kemampuan membaca. Entah, suatu waktu hasil membaca itu akan seperti ”orok yang masak”, yang tinggal menunggu waktu persalinan. Ok, selamat mengandung untuk melahirkan ”anak-anak” yang cerdas di masa depan!***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Berawal dari penerbitan rekaman ceramah-ceramahnya tentang meditasi dalam bentuk buku pada tahun 1990, Anand Krishna lalu menjadi penulis buku yang sangat produktif. Hingga tahun ini telah 57 judul buku karya Anand dicetak, selain 7 judul buku audio dan 3 judul dalam bentuk VCD. Apabila dipukul rata selama 14 tahun, berarti setiap tahun ia dapat menulis sekitar empat judul buku! Meski demikian, ada tahun-tahun yang memperlihatkan ia memang sangat produktif seperti pada tahun 1999. Menurut Anand, tahun itu ia mampu menghasilkan 15 buku cetak dan audio.
Bagaimana hal itu dapat terjadi? Lelaki pengagum Soekarno itu menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan oleh apa yang akan ditulisnya itu memang sudah lama menempel di kepalanya. Seluruh isi kepala yang menumpuk itu adalah buah dari ratusan buku yang telah dibaca sebelumnya dan tinggal dikeluarkan saja. "Kalau sedang menulis, rasa-rasanya seperti perempuan hendak melahirkan, tidak bisa ditahan-tahan lagi. Semuanya harus dikeluarkan segera," katanya.
Selain itu, produktivitas dalam menulis juga terjadi karena ia punya cukup banyak waktu. Saat ini, praktis kegiatan utamanya adalah mengajar meditasi, baik di rumahnya, di daerah Sunter maupun di Ciawi, dan menulis. Waktu cukup banyak itu dimilikinya karena sudah se¬lama 16 tahun ia membiasakan diri hanya tidur selama empat jam dalam sehari dan selalu selektif dalam memilih undangan untuk menjadi pembicara.
Apa yang dapat diambil dari Anand Krishna? Uh, luar biasa. Pertama, menyediakan banyak waktu dengan manajemen meminimalisir kegiatan. Seringkali, memang, kita tidak baik dalam mengelola kegiatan. Prinsip proporsionalitas dan mendahulukan yang lebih penting belum dimanaj dengan baik. Amanat penting dari pengalaman Anand, dengan sendirinya, adalah bagaimana kita memiliki manajemen kegiatan sehingga tetap positif untuk fasilitasi pengembangan kepenulisan.
Kedua, penggalian endapan pikiran hasil pembacaan yang sudah ada dalam pikiran. Di samping kebiasaan membaca yang luar biasa, bagi Anand, proses pengendapan membaca tentunya terproses di bawah sadar sehingga kental di dalam pikiran. Untuk ini, penting dipikirkan oleh kita calon penulis agar bagaimana membiasakan membaca dalam kegiatan sehari-hari. Jika mungkin, menjadikan membaca sebagai makanan pokok yang penting untuk diciptakan setiap hari.
Ketiga, menulis membutuhkan waktu tak pernah kompromi dalam pelahirannya. Sampai-sampai, Anand menyebutnya menulis itu seperti proses melahirkan. Artinya, masalah waktu tentunya tidak bisa ditawar-tawar. Untuk itu, yang penting dipikirkan adalah bagaimana kita mampu menyediakan ”sepenuh waktu” bagi calon anak berupa orok tulisan. Dengan begitu, maka, proses persalinan pun dapat lancar dan mendapat fasilitasi yang lumayan.
Keempat, profesi apapun tampaknya tidaklah tabu untuk membudayakan kepenulisan. Bahkan, sebagaimana saya singgung dalam tulisan yang lain, hal itu dapat mampu meningkatkan kesuksesan di bidang profesi yang kita geluti. Anand Khrisna adalah contoh penting sukses di bidang trainer di samping bidang kepenulisan. 57 buku lahir sejak tahun 1999 adalah bukti empirik yang luar biasa. Bahkan dalam satu tahun (1999) dia mampu melahirkan 15 buku!
Bagaimana dengan Anda? Sukses menulis tentu tak terlepas dari kemampuan membaca. Entah, suatu waktu hasil membaca itu akan seperti ”orok yang masak”, yang tinggal menunggu waktu persalinan. Ok, selamat mengandung untuk melahirkan ”anak-anak” yang cerdas di masa depan!***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
Jumat, 28 November 2008
Puisi-Puisi Gita Pratama
http://www.kompas.com/
Pondok Bambu
Ada yang menggeletar di lembah lembah duka
Kisah tentang cinta di sebuah rumah bambu
Dengan hiasan dinding kayu
Pondok kecil di tengah hutan
Dekat dengan sungai yang lupa hulu
Kisah ini hanya cerita kecil
Yang sebentar mampir lalu pergi
Sekedar mlipir di pinggir sungai
: Sepenggal luka beriak menggelitik
April 2008
Lukisan Sepi
Ada sebuah hiasan pada dinding rumah bambu
Ingatkan pada sepenggal ragu
Lukisan perempuan dengan selendang mendekap dada
Pelangi beraneka rupa warna ditunggangi
Bingkainya rapuh dengan plitur terkelupas
Ranum senyum pada bibir perempuan
: Tanpa sapa hanya gelak-gelak sepi
April 2008
Kenangan Sungai
Ia berdiam mengamati sungai
Alirnya memagut dalam mesra
Bagai kelok liuk perempuan
Berwajah pilu dan kuyu
Sapa kecil tanpa senyum
Lunglai basah daun putri malu
Ingatan kecil mengembara
Mencari cinta kisah-kisah lalu
Berpeluk dekap sepasang pemburu
April 2008
Inilah Kisah Lelaki yang Keras Kepala
Berenanglah ia tanpa pelampung, memanggul ombak
Berkoar kasar memanggil posaidon yang lelap di dasar laut
Lelaki tak pernah tau di mana ia kan bertepi
"Lautan terlalu luas, sayang", camar menguik
Lintas di atas kepalanya.
Sebelum karam, lebur tubuh, dan
retak nadi sangkut di antara ladang karang
Sebelum air mata membaur asin laut
Menyeringai kisah yang terjungkir
: Ironi ada akhirnya
Bungkul, Juli 2008
Pondok Bambu
Ada yang menggeletar di lembah lembah duka
Kisah tentang cinta di sebuah rumah bambu
Dengan hiasan dinding kayu
Pondok kecil di tengah hutan
Dekat dengan sungai yang lupa hulu
Kisah ini hanya cerita kecil
Yang sebentar mampir lalu pergi
Sekedar mlipir di pinggir sungai
: Sepenggal luka beriak menggelitik
April 2008
Lukisan Sepi
Ada sebuah hiasan pada dinding rumah bambu
Ingatkan pada sepenggal ragu
Lukisan perempuan dengan selendang mendekap dada
Pelangi beraneka rupa warna ditunggangi
Bingkainya rapuh dengan plitur terkelupas
Ranum senyum pada bibir perempuan
: Tanpa sapa hanya gelak-gelak sepi
April 2008
Kenangan Sungai
Ia berdiam mengamati sungai
Alirnya memagut dalam mesra
Bagai kelok liuk perempuan
Berwajah pilu dan kuyu
Sapa kecil tanpa senyum
Lunglai basah daun putri malu
Ingatan kecil mengembara
Mencari cinta kisah-kisah lalu
Berpeluk dekap sepasang pemburu
April 2008
Inilah Kisah Lelaki yang Keras Kepala
Berenanglah ia tanpa pelampung, memanggul ombak
Berkoar kasar memanggil posaidon yang lelap di dasar laut
Lelaki tak pernah tau di mana ia kan bertepi
"Lautan terlalu luas, sayang", camar menguik
Lintas di atas kepalanya.
Sebelum karam, lebur tubuh, dan
retak nadi sangkut di antara ladang karang
Sebelum air mata membaur asin laut
Menyeringai kisah yang terjungkir
: Ironi ada akhirnya
Bungkul, Juli 2008
Untuk Emakku
Weni Suryandari
http://www.kompas.com/
Surti menatap nanar setiap kendaraan yang lewat. Sesekali ia melambaikan tangannya pada setiap sopir, namun malam itu tak satupun sopir kendaraan berhenti. Ia sudah lelah dan mengantuk. Uang di sakunya hanya tinggal beberapa puluh ribu lagi, berarti ia harus mencari uang lagi untuk melunasi hutang biaya rumah sakit perawatan emaknya yang meninggal 1 bulan yang lalu dan harus ia tanggung sendirian sebagai anak satu-satunya yang tersisa dari dua bersaudara.
Di pinggiran jalan itu, kampung Gabus, sedikit agak ke arah ujung perempatan menuju jalur Pantura, adalah lokasi gerai wanita malam yang berdiri berjajar menanti pesanan para lelaki hidung belang. Warung remang-remang adalah tempat bagi mereka yang sudah lama bekerja menjadi wanita malam. Namun bagi Surti yang baru beberapa hari berada di situ, warung-warung itu asing baginya. Ia tak berani memasukinya. Kadangkala beberapa wanita berlenggak lenggok dengan sengaja jika terlihat ada sorot lampu mobil dari kejauhan.
Surti terpaksa mencoba mengikuti jejak para wanita malam itu. Pilihan ini sebenarnya membuat hatinya teriris. Apalagi di masa kecilnya, ia rajin ikutan mengaji pada Wak Salim tiap selepas Magrib. Ia sering membaca komik tentang siksa neraka dan alam kubur bagi pelacur dan pezina. Gambar gambar dalam komik yang terekam oleh memorinya sesungguhnya mampu membuat bulu kuduknya bergidik. Ia ketakutan sendiri sebenarnya. Surti tahu sedari kecil, bahwa tempat itu haram dikunjungi, karena banyak pekerja tuna susila. Hanya sedikit yang masih memegang teguh ajaran agama termasuk Emak dan keluarga Wak Salim tentu saja. Ia patuhi ajaran dari Wak Salim dan emaknya itu sampai kurang lebih hampir 1 bulan yang lalu. Keteguhannya runtuh. Ia minta ma’af pada Tuhan karena tak menemukan jalan lain yang harus ditempuhnya.
Kalau tidak begini, mana mungkin aku bisa mencicil hutang pada Wan Mahmud? Hutang sebanyak 1,5 juta? Sampai berapa lama hutang berbunga itu terlunasi? Untuk menjadi pembantu aku tak sanggup, paling-paling berapalah gaji seorang pembantu? Begitu pikir Surti. Ia menarik nafas panjang.
Surti berdiri lagi. Disibakkannya anak rambut di dahinya yang terurai di tiup angin. Ia menyetop sebuah mobil pik-up. Sang sopir berhenti, namun berjalan lagi meninggalkan gulungan debu yang menerpa wajahnya. Musim panas ini membuat debu jalanan semakin tebal bergulung-gulung. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.
Surti duduk lagi. Ia berjongkok di bawah tiang listrik. Kadang duduk beralaskan batang pohon besar dan tua yang tumbang. Semilir angin malam sangat melenakan matanya untuk terpejam. Seharian ia mencuci dan menyetrika baju-baju tetangga yang menyewa tenaganya. Tiba-tiba suara klakson mobil mengaum keras mengagetkan. Surti tersentak, ia berdiri. Sebuah pick up berwarna biru yang tak bermuatan barang minggir dan berhenti tepat di depan Surti.
“Hei, kamu! Kamu yang waktu itu kuajak ya? Siapa namamu?” tanya sang sopir agak keras.
“Surti, Pak. Bapak mau membawa saya lagi?” Surti mencoba bersikap genit. Kadang ia tak sadar bahwa bedaknya seperti pupur zaman purbakala yang putih mengkilat seperti hantu dalam film film. Bibirnya yang tebal dan sexy dilapisi gincu yang tak diolesi merata. Surti tak pandai berdandan.
“Ya, ya.......kamu. Surti ya? Ikut aku!!” seru lelaki itu memerintah.
“Tapi Bapak mau bayar berapa dulu Pak? Kalau suka sama saya, ngasihnya yang gedean doong.! “ Surti merajuk genit. Bekerja begituan membuat Surti jadi belajar merayu. Ia kikuk.
“Ya, gampanglah itu. Ayo ikut! “ serunya sambil membuka pintu mobil dari dalam. Suara lelaki itu tak lagi garang. Surti mengalah. Ia naik juga ke dalam mobil bak terbuka yang joknya sudah lusuh, kempes dan agak robek di beberapa bagian. Lelaki itu, Mitro berperawakan besar dan berpakaian tidak selayaknya orang kampung situ. Lumayan rapihlah. Sehari-harinya ia bekerja sebagai montir mobil di bengkel miliknya. Mobil biru tua itupun adalah miliknya.
Kendaraan itu melaju kencang menembus kegelapan malam. Sepanjang jalan mereka terdiam dan tak saling berbicara sepatah katapun. Surti tak berani berkata-kata demi dilihatnya lelaki itu berwajah serius dan terlihat seolah memikirkan sesuatu. Satu jam kemudian kendaraan itu berhenti di sebuah tanah lapang. Berdua mereka turun dari kendaraan. Surti tak tahu ia sudah berada di mana. Gadis dusun itu tidak pernah ke mana-mana sedari kecil. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di kampung itu. Bapaknya sudah lama meninggal, ketika Surti masih berusia 4 tahun. Kakak lelakinya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali lagi menengok dia dan ibunya. Bahkan Surti juga lupa seperti apa wujud sang kakak. Begitulah. Surti tak pernah pergi ke tempat yang lebih jauh dari kampungnya.
Berdua Surti dan Mitro menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi di bagian kanan dan kiri jalan. Di kejauhan sana ia melihat sinar lampu cukup terang dari sebuah rumah yang terletak di tanah lapang. Langkah kaki Surti kokoh nian mengikuti langkah Mitro yang berjalan cepat di depannya.
“Mau kemana kita Pak? Jangan jauh-jauh.............nanti aku susah pulangnya!” seru Surti.
“Nanti kan aku antar? Ikut aku dulu.....!” Mitro menengok dan berhenti sebentar.
“Tapi jangan macam-macam lo, Pak. Nanti aku lapor polisi.” suara Surti ketakutan. Ia ingin lari tapi jalan raya cukup jauh dari tempat itu. Apalagi ia juga tak begitu yakin apakah laki-laki ini jahat atau baik. Ia berkomat-kamit sendiri.
Dua hari yang lalu lelaki ini menyewanya. Tapi ajaibnya Surti tak disentuhnya sama sekali. Ia hanya disuruh mendengarkan semua cerita tentang mendiang ayahnya yang suka memukuli ibunya, tentang adiknya yang bekerja sebagai wanita pekerja malam kelas tinggi di ibukota dan sudah meninggal karena over dosis, tentang kekasihnya yang meninggalkannya dan menerima pinangan seorang taukeh pemilik toko bahan bangunan.
Jika dilihat-lihat, lelaki ini cukup gagah. Wajahnya putih bersih. Meskipun ia pekerja bengkel, tetapi perawakannya bukan seperti montir-montir pada umumnya. Hanya rambutnya saja yang terlihat agak ikal dan gondrong. Walaupun tampak kasar, kelihatannya ia orang terpelajar. Tapi Surti memang lugu dan tak bisa menilai. Berani berdiri memajang badannya buat lelaki hidung belang saja sudah merupakan hal yang luar biasa bagi Surti. Ia benar-benar nekat untuk itu.
“Assalaamu’alaikum..............Maaak.........??” Mitro sopan memanggil Emaknya.
“Alaikumsalam sudah pulang kamu Nak? Lilis mana? Ketemu nggak...??”
“Ayo tebak, ini siapa Mak? “ yang ditanya mengernyitkan alisnya. Ia menatap wanita muda di depannya. Bergantian perempuan tua itu menatap Surti dan kembali lagi menatap foto hitam putih di dinding. Wajahnya menampakkan raut bahagia. Ia memekik
pelan.
“ Lilis..............!!! “jeritnya. Ia ingin memeluk Surti. Surti tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mitro merangkul bahu Emaknya.
“Anakku........Lilis....!” Si Emak sedih. Ia menangis memegangi tangan Surti yang berdiri mematung. Dirabanya wajah Surti, dibelai-belainya pipinya.
“Nah, Surti. Eh, namamu Surti ‘kan? Dengarkan, mengapa kamu aku bawa ke sini? Lihatlah foto itu. Kamu persis adikku yang meninggal karena overdosis.......” Mitro menjelaskan. Emaknya sibuk mengusap air mata, terduduk di sebuah kursi makan, tak mendengar perkataan Mitro. Surti menjadi rikuh dan tak mengerti harus berbuat apa. Ia memandangi foto itu lekat-lekat. Ia merasa seperti melihat dirinya di sana. Wajahnya bulat telur, berhidung bangir, dan bibirnya tebal berbentuk indah. Meskipun foto itu hitam putih, namun jelas Surti tahu ia berambut lurus dan panjang, sedangkan Surti berambut ikal tak beraturan.
“Jadi.........? Bapak ini tidak jadi make saya?” Surti bertanya polos.
“Betul sekali Surti! Aku tahu kamu orang baru disitu. Aku beberapa kali melewati tempat itu, dan kaget melihat adikku berdiri di situ. Tapi jangan kuatir. Kamu aku bayar.” Mitro menjadi lunak. Kali ini Surti tahu bahwa Mitro bukanlah orang jahat. Jadi ia merasa aman. Wanita tua yang dipanggil Emak masih duduk di kursi makan. Tertegun.
“Tapi.............aku harus berbuat apa Pak? ” Surti bertanya ragu sambil menatap wanita tua yang dipanggil Emak itu, sebagaimana Surti memanggil Emaknya sendiri. Emak menatap mereka berdua bergantian tak mengerti percakapan itu.
“Kamu tidak harus berbuat apa-apa, Surti. Aku menduga kamu adalah perempuan baik-baik. Kamu begitu kaku dan tak biasa bekerja begituan. Aku hanya ingin Emakku melihat kamu, Lilis, baik-baik saja.”
“Tapi....saya butuh uang untuk membayar hutang, Pak! Hutang saya banyak....” Surti hampir menangis. Terbayang wajah Wan Mahmud yang semula baik dan ramah tiba-tiba berubah bengis dan merongrongnya untuk segera membayar hutangnya.
“Hutang apa dan pada siapa? Kamu masih punya orang tua atau tidak?”
“Tidak, Pak.......Emak saya sudah meninggal 1 bulan yang lalu!” Surti mulai menangis. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu hutangmu itu........hutang apa? Pada siapa?” Mitro tak sabar ingin tahu.
“Untuk melunasi biaya perawatan Emak saya waktu dirawat di rumah sakit.......” Surti menggigit bibir. Hidungnya kembang kempis menahan tangis.
Akhirnya Surti menceritakan semuanya dengan terbata-bata. Airmatanya mengalir deras, menganak sungai. Semua biaya perawatan Emak sudah dibayar oleh Wan Mahmud, lintah darat dikampungnya. Setiap pekan Surti wajib membayar hutang itu sebesar 200 ribu rupiah. Wan Mahmud tak mau tahu darimana Surti bisa mendapatkan uang itu. Hutang itu harus dibayar beserta bunganya. Meski ia sudah berusaha menjadi buruh cuci di siang harinya, tapi belum bisa mengumpulkan uang sejumlah 200 ribu pada akhir pekan. Itu sebabnya ia belajar bekerja begituan mengikuti jejak teman-temannya. Meskipun ia belum pernah mendapat pelanggan. Mitro menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan cerita Surti. Si Emak hanya duduk dan menatap Surti yang dipanggilnya Lilis. Tangisnya mereda. Lilis tidak rindu pada Emak? Kenapa kamu diam saja Lis? Begitu batin Emak.
‘Nak......... Tinggallah di sini bersama Emak dan Mas mu. Jangan pergi lagi. Emak kangen sama Lilis. Jangan mau kerja begituan lagi, ya Nak.” Si Emak berkata lirih. Surti terdiam. Ia bingung kalau namanya harus diganti.
“Tapi........aku bayar hutang dari mana, Pak?” Surti bertanya pelan menengok Mitro. Ia tahu Emak tidak menyadari bisikan-bisikan itu. Pendengaran Emak kurang baik tampaknya.
“Gimana Mitro? Emak ingin dia tinggal di sini saja, jangan pergi ke Jakarta lagi.“ Emak bertanya pada Mitro yang tertunduk resah. Ia tahu Emaknya sangat kehilangan Lilis dan menderita malu akibat perbuatan Lilis di Jakarta. Mereka memilih tinggal di daerah itu, menyepi, menjauh dari tetangga dan omongan orang. Dengan kedatangan Surti, Mitro ingin bisa mengobati kesedihan ibunya yang seperti orang hilang ingatan. Selama ini Mitro tak pernah tega mengatakan yang sebenarnya tentang Lilis. Setiap hari Emak hanya mengusap foto Lilis dan menatap jalan raya mengharap kepulangannya. Dipandanginya wajah Emak yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Emak tak pernah mau menerima kenyataan bahwa Lilis sudah di alam baka.
“Tapi kan yang penting Emak sekarang sudah tahu bahwa Lilis baik-baik saja. Lihat nih! Lilis sudah pulang. Ia ingin menengok Emak”
“Ya tapi Lilis nggak boleh pergi lagi, To....! Suruh adikmu itu tinggal di sini lagi.” Emak menangis lagi. Mitro menggigit bibir putus asa. Tentu sulit menyuruh Surti harus tinggal bersama mereka apalagi harus berganti nama menjadi Lilis.
“Mak.........apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan Emak.” Mitro menyerah. Dipegangnya tangan Emak dan diciuminya berulang kali. Suaranya serak menahan tangis.
“Emak jangan khawatir. Lilis akan tinggal di sini lagi. Bagaimana Lis?” Mitro beralih menatap Surti yang tetunduk sedih.
“Saya malu, Pak......saya takut ....”
“Jangan panggil Pak lagi pada saya. Panggil saja Mas. Sekarang kamu tidur di sini, besok kuantar pulang untuk mengambil pakaianmu.” Mitro berkata tegas pada Surti. Tersirat kelegaan diwajahnya. Ia lega bisa mengobati kesedihan Emak.
Azan Shubuh baru saja usai. Surti mengintip Emak dan Mitro sholat berjama’ah. Surti merasa tak enak. Sudah hampir dua minggu ini dia tidak pernah sholat. Dipinjamnya mukena Emak. Kaku ia mengambil wudhu. Dicucinya wajah yang berlumuran bedak tebal itu. Wajahnya terlihat lebih segar dan cantik, persis seperti Lilis. Dengan gemetar ia memasang mukena itu. Ia ragu apakah Gusti Allah akan mengampuninya. Matanya sepat karena semalaman Surti tak bisa memejamkan matanya. Meskipun rumah ini terlihat indah, namun Surti merasa asing berada di sini.
“Lis.........habis sholat temani Emak masak nasi di dapur ya? Kamu belum lupa tugasmu kan? Bikinin nasi goreng untuk Masmu.” Emak berseru keras dari balik kamar.
“Iya, Mak.sebentar lagi!” Surti menyahut sambil melipat mukena. Hari itu ia merasa mendapatkan udara baru. Rasa pengapnya hilang......
* * *
Pukul sepuluh pagi itu, matahari tersenyum ceria menapaki pagi. Barulah jelas bagi Surti. Yang dilihatnya tanah lapang dipenuhi ilalang tadi malam, tak lain adalah kebun jagung milik Mitro. Tanah Mitro yang seluas itu ditanami jagung dan sebagian lagi padi. Rumah itu terlihat lebih megah dan indah di pagi hari. Mitro meluncur mengantar Surti pulang untuk mengambil pakaiannya dan menunjukkan rumah Wan Mahmud. Mitro ingin segera menyelesaikan urusannya dengan lintah darat itu.
“Hei, lintah darat keparat!! Berapa hutang Surti padamu? Kubayar lunas hari ini juga. Jangan pernah lagi kau ganggu Surti dengan tagihan hutangnya, mengerti??” Mitro berseru galak.
“Hai..........hutang nyawa dibayar nyawa, hutang duit dibayar duit? Surti dapat lelaki darimana? Wah, baru sebentar kerja gituan udah dapat pelanggan orang kaya.......” seringai Wan Mahmud menyebalkan.
Mitro ingin menonjok wajah lintah darat itu. Namun karena lelaki berpeci itu nampak lebih tua darinya, ia tahan kepalan tangannya. Surti mundur selangkah di belakang Mitro. Mitro mengeluarkan amplop dari balik jaketnya. Dilemparkannya amplop itu ke wajah Wan Mahmud keras-keras. Wan Mahmud berusaha menghindar, namun kalah cepat. Ia bersungut-sungut mengambil amplop itu di lantai. Sakit juga hidungnya terkena tamparan amplop itu.
Surti melangkah terburu-buru menuju rumahnya yang berjarak dua gang dari rumah lintah darat itu. Mitro mengikutinya. Ia mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari plastik yang beritsleting dan sudah robek tak bisa tertutup lagi. Ia memungut kresek hitam di atas tikar tidurnya dan memasukkan pakaian itu ke dalam kresek hitamnya. Rumah itu sungguh sempit dan berdebu. Di pojok langit-langit ruangan itu bertebaran sarang laba-laba. Beberapa lubang terdapat di bagian dapur yang berdinding bilik. Ia turunkan foto Emak waktu muda dulu, satu-satunya foto yang ia punya, dimasukkannya ke dalam kresek hitam yang berisi beberapa pakaian tadi. Surti menatap seluruh ruangan beberapa jenak sebelum menutup pintu rumah. Ia menghela nafas panjang, wajahnya terlihat hendak melepas ketegangan yang masih tersisa akibat pertemuannya dengan Mitro dan pertemuannya dengan Wan Mahmud tadi. Masa depan yang baru menghadangnya. Semua perasaan bercampur aduk di dadanya.
Siang itu juga mereka meluncur kembali ke rumah Mitro menemui Emak. Surti bahagia............sesungging senyumpun terukir di wajahnya yang tak berbedak lagi. Matanya terpejam kelelahan.. Mitro diam tak menoleh sambil mengendarai. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan yang juga akan dirasakan Emak nanti. Surti menggumam pelan, Ah...........sekarang aku berganti nama menjadi Lilis! Tak apalah, terserah Mas Mitro untuk mengatakan yang sebenarnya nanti, yang penting aku punya keluarga baru. Bisiknya pelan sepelan senandung dedaunan menyambut pagi.
http://www.kompas.com/
Surti menatap nanar setiap kendaraan yang lewat. Sesekali ia melambaikan tangannya pada setiap sopir, namun malam itu tak satupun sopir kendaraan berhenti. Ia sudah lelah dan mengantuk. Uang di sakunya hanya tinggal beberapa puluh ribu lagi, berarti ia harus mencari uang lagi untuk melunasi hutang biaya rumah sakit perawatan emaknya yang meninggal 1 bulan yang lalu dan harus ia tanggung sendirian sebagai anak satu-satunya yang tersisa dari dua bersaudara.
Di pinggiran jalan itu, kampung Gabus, sedikit agak ke arah ujung perempatan menuju jalur Pantura, adalah lokasi gerai wanita malam yang berdiri berjajar menanti pesanan para lelaki hidung belang. Warung remang-remang adalah tempat bagi mereka yang sudah lama bekerja menjadi wanita malam. Namun bagi Surti yang baru beberapa hari berada di situ, warung-warung itu asing baginya. Ia tak berani memasukinya. Kadangkala beberapa wanita berlenggak lenggok dengan sengaja jika terlihat ada sorot lampu mobil dari kejauhan.
Surti terpaksa mencoba mengikuti jejak para wanita malam itu. Pilihan ini sebenarnya membuat hatinya teriris. Apalagi di masa kecilnya, ia rajin ikutan mengaji pada Wak Salim tiap selepas Magrib. Ia sering membaca komik tentang siksa neraka dan alam kubur bagi pelacur dan pezina. Gambar gambar dalam komik yang terekam oleh memorinya sesungguhnya mampu membuat bulu kuduknya bergidik. Ia ketakutan sendiri sebenarnya. Surti tahu sedari kecil, bahwa tempat itu haram dikunjungi, karena banyak pekerja tuna susila. Hanya sedikit yang masih memegang teguh ajaran agama termasuk Emak dan keluarga Wak Salim tentu saja. Ia patuhi ajaran dari Wak Salim dan emaknya itu sampai kurang lebih hampir 1 bulan yang lalu. Keteguhannya runtuh. Ia minta ma’af pada Tuhan karena tak menemukan jalan lain yang harus ditempuhnya.
Kalau tidak begini, mana mungkin aku bisa mencicil hutang pada Wan Mahmud? Hutang sebanyak 1,5 juta? Sampai berapa lama hutang berbunga itu terlunasi? Untuk menjadi pembantu aku tak sanggup, paling-paling berapalah gaji seorang pembantu? Begitu pikir Surti. Ia menarik nafas panjang.
Surti berdiri lagi. Disibakkannya anak rambut di dahinya yang terurai di tiup angin. Ia menyetop sebuah mobil pik-up. Sang sopir berhenti, namun berjalan lagi meninggalkan gulungan debu yang menerpa wajahnya. Musim panas ini membuat debu jalanan semakin tebal bergulung-gulung. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.
Surti duduk lagi. Ia berjongkok di bawah tiang listrik. Kadang duduk beralaskan batang pohon besar dan tua yang tumbang. Semilir angin malam sangat melenakan matanya untuk terpejam. Seharian ia mencuci dan menyetrika baju-baju tetangga yang menyewa tenaganya. Tiba-tiba suara klakson mobil mengaum keras mengagetkan. Surti tersentak, ia berdiri. Sebuah pick up berwarna biru yang tak bermuatan barang minggir dan berhenti tepat di depan Surti.
“Hei, kamu! Kamu yang waktu itu kuajak ya? Siapa namamu?” tanya sang sopir agak keras.
“Surti, Pak. Bapak mau membawa saya lagi?” Surti mencoba bersikap genit. Kadang ia tak sadar bahwa bedaknya seperti pupur zaman purbakala yang putih mengkilat seperti hantu dalam film film. Bibirnya yang tebal dan sexy dilapisi gincu yang tak diolesi merata. Surti tak pandai berdandan.
“Ya, ya.......kamu. Surti ya? Ikut aku!!” seru lelaki itu memerintah.
“Tapi Bapak mau bayar berapa dulu Pak? Kalau suka sama saya, ngasihnya yang gedean doong.! “ Surti merajuk genit. Bekerja begituan membuat Surti jadi belajar merayu. Ia kikuk.
“Ya, gampanglah itu. Ayo ikut! “ serunya sambil membuka pintu mobil dari dalam. Suara lelaki itu tak lagi garang. Surti mengalah. Ia naik juga ke dalam mobil bak terbuka yang joknya sudah lusuh, kempes dan agak robek di beberapa bagian. Lelaki itu, Mitro berperawakan besar dan berpakaian tidak selayaknya orang kampung situ. Lumayan rapihlah. Sehari-harinya ia bekerja sebagai montir mobil di bengkel miliknya. Mobil biru tua itupun adalah miliknya.
Kendaraan itu melaju kencang menembus kegelapan malam. Sepanjang jalan mereka terdiam dan tak saling berbicara sepatah katapun. Surti tak berani berkata-kata demi dilihatnya lelaki itu berwajah serius dan terlihat seolah memikirkan sesuatu. Satu jam kemudian kendaraan itu berhenti di sebuah tanah lapang. Berdua mereka turun dari kendaraan. Surti tak tahu ia sudah berada di mana. Gadis dusun itu tidak pernah ke mana-mana sedari kecil. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di kampung itu. Bapaknya sudah lama meninggal, ketika Surti masih berusia 4 tahun. Kakak lelakinya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali lagi menengok dia dan ibunya. Bahkan Surti juga lupa seperti apa wujud sang kakak. Begitulah. Surti tak pernah pergi ke tempat yang lebih jauh dari kampungnya.
Berdua Surti dan Mitro menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi di bagian kanan dan kiri jalan. Di kejauhan sana ia melihat sinar lampu cukup terang dari sebuah rumah yang terletak di tanah lapang. Langkah kaki Surti kokoh nian mengikuti langkah Mitro yang berjalan cepat di depannya.
“Mau kemana kita Pak? Jangan jauh-jauh.............nanti aku susah pulangnya!” seru Surti.
“Nanti kan aku antar? Ikut aku dulu.....!” Mitro menengok dan berhenti sebentar.
“Tapi jangan macam-macam lo, Pak. Nanti aku lapor polisi.” suara Surti ketakutan. Ia ingin lari tapi jalan raya cukup jauh dari tempat itu. Apalagi ia juga tak begitu yakin apakah laki-laki ini jahat atau baik. Ia berkomat-kamit sendiri.
Dua hari yang lalu lelaki ini menyewanya. Tapi ajaibnya Surti tak disentuhnya sama sekali. Ia hanya disuruh mendengarkan semua cerita tentang mendiang ayahnya yang suka memukuli ibunya, tentang adiknya yang bekerja sebagai wanita pekerja malam kelas tinggi di ibukota dan sudah meninggal karena over dosis, tentang kekasihnya yang meninggalkannya dan menerima pinangan seorang taukeh pemilik toko bahan bangunan.
Jika dilihat-lihat, lelaki ini cukup gagah. Wajahnya putih bersih. Meskipun ia pekerja bengkel, tetapi perawakannya bukan seperti montir-montir pada umumnya. Hanya rambutnya saja yang terlihat agak ikal dan gondrong. Walaupun tampak kasar, kelihatannya ia orang terpelajar. Tapi Surti memang lugu dan tak bisa menilai. Berani berdiri memajang badannya buat lelaki hidung belang saja sudah merupakan hal yang luar biasa bagi Surti. Ia benar-benar nekat untuk itu.
“Assalaamu’alaikum..............Maaak.........??” Mitro sopan memanggil Emaknya.
“Alaikumsalam sudah pulang kamu Nak? Lilis mana? Ketemu nggak...??”
“Ayo tebak, ini siapa Mak? “ yang ditanya mengernyitkan alisnya. Ia menatap wanita muda di depannya. Bergantian perempuan tua itu menatap Surti dan kembali lagi menatap foto hitam putih di dinding. Wajahnya menampakkan raut bahagia. Ia memekik
pelan.
“ Lilis..............!!! “jeritnya. Ia ingin memeluk Surti. Surti tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mitro merangkul bahu Emaknya.
“Anakku........Lilis....!” Si Emak sedih. Ia menangis memegangi tangan Surti yang berdiri mematung. Dirabanya wajah Surti, dibelai-belainya pipinya.
“Nah, Surti. Eh, namamu Surti ‘kan? Dengarkan, mengapa kamu aku bawa ke sini? Lihatlah foto itu. Kamu persis adikku yang meninggal karena overdosis.......” Mitro menjelaskan. Emaknya sibuk mengusap air mata, terduduk di sebuah kursi makan, tak mendengar perkataan Mitro. Surti menjadi rikuh dan tak mengerti harus berbuat apa. Ia memandangi foto itu lekat-lekat. Ia merasa seperti melihat dirinya di sana. Wajahnya bulat telur, berhidung bangir, dan bibirnya tebal berbentuk indah. Meskipun foto itu hitam putih, namun jelas Surti tahu ia berambut lurus dan panjang, sedangkan Surti berambut ikal tak beraturan.
“Jadi.........? Bapak ini tidak jadi make saya?” Surti bertanya polos.
“Betul sekali Surti! Aku tahu kamu orang baru disitu. Aku beberapa kali melewati tempat itu, dan kaget melihat adikku berdiri di situ. Tapi jangan kuatir. Kamu aku bayar.” Mitro menjadi lunak. Kali ini Surti tahu bahwa Mitro bukanlah orang jahat. Jadi ia merasa aman. Wanita tua yang dipanggil Emak masih duduk di kursi makan. Tertegun.
“Tapi.............aku harus berbuat apa Pak? ” Surti bertanya ragu sambil menatap wanita tua yang dipanggil Emak itu, sebagaimana Surti memanggil Emaknya sendiri. Emak menatap mereka berdua bergantian tak mengerti percakapan itu.
“Kamu tidak harus berbuat apa-apa, Surti. Aku menduga kamu adalah perempuan baik-baik. Kamu begitu kaku dan tak biasa bekerja begituan. Aku hanya ingin Emakku melihat kamu, Lilis, baik-baik saja.”
“Tapi....saya butuh uang untuk membayar hutang, Pak! Hutang saya banyak....” Surti hampir menangis. Terbayang wajah Wan Mahmud yang semula baik dan ramah tiba-tiba berubah bengis dan merongrongnya untuk segera membayar hutangnya.
“Hutang apa dan pada siapa? Kamu masih punya orang tua atau tidak?”
“Tidak, Pak.......Emak saya sudah meninggal 1 bulan yang lalu!” Surti mulai menangis. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu hutangmu itu........hutang apa? Pada siapa?” Mitro tak sabar ingin tahu.
“Untuk melunasi biaya perawatan Emak saya waktu dirawat di rumah sakit.......” Surti menggigit bibir. Hidungnya kembang kempis menahan tangis.
Akhirnya Surti menceritakan semuanya dengan terbata-bata. Airmatanya mengalir deras, menganak sungai. Semua biaya perawatan Emak sudah dibayar oleh Wan Mahmud, lintah darat dikampungnya. Setiap pekan Surti wajib membayar hutang itu sebesar 200 ribu rupiah. Wan Mahmud tak mau tahu darimana Surti bisa mendapatkan uang itu. Hutang itu harus dibayar beserta bunganya. Meski ia sudah berusaha menjadi buruh cuci di siang harinya, tapi belum bisa mengumpulkan uang sejumlah 200 ribu pada akhir pekan. Itu sebabnya ia belajar bekerja begituan mengikuti jejak teman-temannya. Meskipun ia belum pernah mendapat pelanggan. Mitro menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan cerita Surti. Si Emak hanya duduk dan menatap Surti yang dipanggilnya Lilis. Tangisnya mereda. Lilis tidak rindu pada Emak? Kenapa kamu diam saja Lis? Begitu batin Emak.
‘Nak......... Tinggallah di sini bersama Emak dan Mas mu. Jangan pergi lagi. Emak kangen sama Lilis. Jangan mau kerja begituan lagi, ya Nak.” Si Emak berkata lirih. Surti terdiam. Ia bingung kalau namanya harus diganti.
“Tapi........aku bayar hutang dari mana, Pak?” Surti bertanya pelan menengok Mitro. Ia tahu Emak tidak menyadari bisikan-bisikan itu. Pendengaran Emak kurang baik tampaknya.
“Gimana Mitro? Emak ingin dia tinggal di sini saja, jangan pergi ke Jakarta lagi.“ Emak bertanya pada Mitro yang tertunduk resah. Ia tahu Emaknya sangat kehilangan Lilis dan menderita malu akibat perbuatan Lilis di Jakarta. Mereka memilih tinggal di daerah itu, menyepi, menjauh dari tetangga dan omongan orang. Dengan kedatangan Surti, Mitro ingin bisa mengobati kesedihan ibunya yang seperti orang hilang ingatan. Selama ini Mitro tak pernah tega mengatakan yang sebenarnya tentang Lilis. Setiap hari Emak hanya mengusap foto Lilis dan menatap jalan raya mengharap kepulangannya. Dipandanginya wajah Emak yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Emak tak pernah mau menerima kenyataan bahwa Lilis sudah di alam baka.
“Tapi kan yang penting Emak sekarang sudah tahu bahwa Lilis baik-baik saja. Lihat nih! Lilis sudah pulang. Ia ingin menengok Emak”
“Ya tapi Lilis nggak boleh pergi lagi, To....! Suruh adikmu itu tinggal di sini lagi.” Emak menangis lagi. Mitro menggigit bibir putus asa. Tentu sulit menyuruh Surti harus tinggal bersama mereka apalagi harus berganti nama menjadi Lilis.
“Mak.........apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan Emak.” Mitro menyerah. Dipegangnya tangan Emak dan diciuminya berulang kali. Suaranya serak menahan tangis.
“Emak jangan khawatir. Lilis akan tinggal di sini lagi. Bagaimana Lis?” Mitro beralih menatap Surti yang tetunduk sedih.
“Saya malu, Pak......saya takut ....”
“Jangan panggil Pak lagi pada saya. Panggil saja Mas. Sekarang kamu tidur di sini, besok kuantar pulang untuk mengambil pakaianmu.” Mitro berkata tegas pada Surti. Tersirat kelegaan diwajahnya. Ia lega bisa mengobati kesedihan Emak.
Azan Shubuh baru saja usai. Surti mengintip Emak dan Mitro sholat berjama’ah. Surti merasa tak enak. Sudah hampir dua minggu ini dia tidak pernah sholat. Dipinjamnya mukena Emak. Kaku ia mengambil wudhu. Dicucinya wajah yang berlumuran bedak tebal itu. Wajahnya terlihat lebih segar dan cantik, persis seperti Lilis. Dengan gemetar ia memasang mukena itu. Ia ragu apakah Gusti Allah akan mengampuninya. Matanya sepat karena semalaman Surti tak bisa memejamkan matanya. Meskipun rumah ini terlihat indah, namun Surti merasa asing berada di sini.
“Lis.........habis sholat temani Emak masak nasi di dapur ya? Kamu belum lupa tugasmu kan? Bikinin nasi goreng untuk Masmu.” Emak berseru keras dari balik kamar.
“Iya, Mak.sebentar lagi!” Surti menyahut sambil melipat mukena. Hari itu ia merasa mendapatkan udara baru. Rasa pengapnya hilang......
* * *
Pukul sepuluh pagi itu, matahari tersenyum ceria menapaki pagi. Barulah jelas bagi Surti. Yang dilihatnya tanah lapang dipenuhi ilalang tadi malam, tak lain adalah kebun jagung milik Mitro. Tanah Mitro yang seluas itu ditanami jagung dan sebagian lagi padi. Rumah itu terlihat lebih megah dan indah di pagi hari. Mitro meluncur mengantar Surti pulang untuk mengambil pakaiannya dan menunjukkan rumah Wan Mahmud. Mitro ingin segera menyelesaikan urusannya dengan lintah darat itu.
“Hei, lintah darat keparat!! Berapa hutang Surti padamu? Kubayar lunas hari ini juga. Jangan pernah lagi kau ganggu Surti dengan tagihan hutangnya, mengerti??” Mitro berseru galak.
“Hai..........hutang nyawa dibayar nyawa, hutang duit dibayar duit? Surti dapat lelaki darimana? Wah, baru sebentar kerja gituan udah dapat pelanggan orang kaya.......” seringai Wan Mahmud menyebalkan.
Mitro ingin menonjok wajah lintah darat itu. Namun karena lelaki berpeci itu nampak lebih tua darinya, ia tahan kepalan tangannya. Surti mundur selangkah di belakang Mitro. Mitro mengeluarkan amplop dari balik jaketnya. Dilemparkannya amplop itu ke wajah Wan Mahmud keras-keras. Wan Mahmud berusaha menghindar, namun kalah cepat. Ia bersungut-sungut mengambil amplop itu di lantai. Sakit juga hidungnya terkena tamparan amplop itu.
Surti melangkah terburu-buru menuju rumahnya yang berjarak dua gang dari rumah lintah darat itu. Mitro mengikutinya. Ia mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari plastik yang beritsleting dan sudah robek tak bisa tertutup lagi. Ia memungut kresek hitam di atas tikar tidurnya dan memasukkan pakaian itu ke dalam kresek hitamnya. Rumah itu sungguh sempit dan berdebu. Di pojok langit-langit ruangan itu bertebaran sarang laba-laba. Beberapa lubang terdapat di bagian dapur yang berdinding bilik. Ia turunkan foto Emak waktu muda dulu, satu-satunya foto yang ia punya, dimasukkannya ke dalam kresek hitam yang berisi beberapa pakaian tadi. Surti menatap seluruh ruangan beberapa jenak sebelum menutup pintu rumah. Ia menghela nafas panjang, wajahnya terlihat hendak melepas ketegangan yang masih tersisa akibat pertemuannya dengan Mitro dan pertemuannya dengan Wan Mahmud tadi. Masa depan yang baru menghadangnya. Semua perasaan bercampur aduk di dadanya.
Siang itu juga mereka meluncur kembali ke rumah Mitro menemui Emak. Surti bahagia............sesungging senyumpun terukir di wajahnya yang tak berbedak lagi. Matanya terpejam kelelahan.. Mitro diam tak menoleh sambil mengendarai. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan yang juga akan dirasakan Emak nanti. Surti menggumam pelan, Ah...........sekarang aku berganti nama menjadi Lilis! Tak apalah, terserah Mas Mitro untuk mengatakan yang sebenarnya nanti, yang penting aku punya keluarga baru. Bisiknya pelan sepelan senandung dedaunan menyambut pagi.
Sastrawan Minang Maju Karena Watak "Pemberontak"
Yurnaldi
http://kompas.co.id/
JAKARTA,-- Peta sastra Indonesia dari dulu dikuasai orang Minang, karena ada yang membedakannya dengan etnik lain di Indonesia, yaitu watak "pemberontak" dan berpikir merdeka. Begitu juga tokoh-tokoh intelektual asal Minang, mereka memiliki watak yang kukuh dan terang-terangan mengatakan tak setuju dengan penguasa.
Sastrawan dan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Dr Harris Effendi Thahar mengemukakan hal itu pada seminar Menumbuhkembangkan Bakat dan Kemauan Menulis Karya Sastra di Minangkabau, dalam rangkaian Pameran Buku Nasional, di Jakarta Convention Centre, Sabtu (15/11).
"Pada masa awal perkembangan sastra Indonesia modern, penulis-penulis sastra terkemuka, tanpa menafikan kehadiran penulis-penulis dari etnis lain-- adalah putra-putra Minangkabau, seperti Sutan Takdir Alisjabana, Hamka, Asrul Sani, dan Chairil Anwar," katanya
Harris menjelaskan, menurut sejarah sastra Indonesia permulaan sastra modern Indonesia ditandai oleh terbitnya roman Sitti Nurbaja karya Marah Rusli tahun 1922 oleh penerbit Balai Pustaka. Roman populer Sitti Nurbaja itu ditulus oleh sastrawan asal Minangkabau. Begitu juga roman Salah Asuhan yang ditulis Abdul Muis, juga orang Minangkabau.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah tradisi sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan asal Minangkabau. Keberadaan suku bangsa Minangkabau di tengah-tengah suku-suku bangsa lain di Nusantara secara kuantitatif hanyalah etnis yang kecil saja.
Namun, secara kualitatif merupakan etnis "besar" tersebab perannya yang besar dalam proses pembentukan republik ini. "Kebesaran nama tokoh-tokoh politik masa lalu sebenarnya bersinergi dengan keharuman nama tokoh-tokoh sastrawan pada masa itu. Demikian juga halnya dengan tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam telah membuat citra orang Minangkabau begitu maju di antara etnis lain," papar Harris yang terkenal dengan cerpennya Si Padang.
Citra itu, lanjut Harris, secara positif menyiratkan bahwa budaya Minang yang egaliter membuat masyarakatnya berani bicara dan berpikir merdeka. Dalam masyarakat egaliter, semua orang Minang sama besar, sama kecil, dan sama-sama bebas (berbicara) berpendapat. Semua orang merasa besar tercermin dari gelar-gelar adat yang dimiliki oleh setiap keluarga dan suku. Tak ada gelar yang berkonotasi "rendah", semua terkesan "tinggi".
Semua orang Minang merasa bangsawan, karena di Ranah Minang ketek dibari namo, gadang dibari gala (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Menurut Harris, watak pemberontak atau watak penerabas, kadang dianggap orang lain sebagai melawan arus. Padahal, sebenarnya antikemapanan, inovatif, kreatif, dan kukuh dengan pendirian yang berpegang pada filosofi Minangkabau, "alam terkembang jadi guru".
Kasus-kasus yang dialami oleh tokoh-tokoh kelahiran Minang kita di masa lalu seperti Tan Malaka, Hatta, Hamka, Sjahrir, dan Natsir untuk sekadar menyebut beberapa nama, adalah cermin kekukuhan watak kaum intelektual Minang.
"Tan Malaka terang-terangan mengatakan bahwa dirinya tidak sependapat dengan Soekarno. Hatta konsekuen dengan prinsip negara demokrasi, oleh karena itu ia tidak sudi menjadi wakil presiden terlalu lama tanpa ada ketidakpastian pelaksanaan pemilihan umum.
Hamka dipenjarakan Soekarno dan terang-terangan pula tidak sependapat dengan Soeharto. Demikian juga dengan Sjahrir, tidak tunduk dengan sikap otoriter Soekarno dan menerima risiko disingkirkan. Dan, Natsir yang baru-baru ini diakui kepahlawanannya karena sampai akhir hayatnya tidak sependapat dengan Soeharto.
"Semua tokoh yang disebut itu sekaligus juga merupakan penulis-penulis andal," jelas Harris. Watak "pemberontak" dan berpikir merdeka di kalangan sastrawan asal Minang juga dapat dilihat dari karya-karyanya.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis menggambarkan betapa AA Navis yang dikenal sebagai "raja cemeeh" itu gerah melihat kejunuban pemahaman sebagian masyarakat terhadap agama. Demikian juga halnya Wisran Hadi yang mempertanyakan kembali kebenaran sejarah perjuangan Imam Bonjol melalui karya dramanya Tuanku Imam Bonjol yang mendapat protes keras dari pemerintah daerah dan masyarakat Sumatera Barat di tahun 1995.
Pemberontakan sastrawan-sastrawan terdahulu seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Chairil Anwar, sampai Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Darman Moenir dan Gus ft Sakai yang hidup di abad XXI, terlihat dari karya-karya mereka.
"Iklim budaya egaliter dan antiprimordialisme masyarakat Minangkabau tidak dapat dikesampingkan dalam membentuk watak kepengarangan para sastrawannya. Artinya, tanpa dipupuk pun, ranah Minangkabau tetap melahirkan para penulis bermutu dan sastrawan yang membanggakan, dari zaman ke zaman," katanya.
Tampaknya, sumbangan budaya alam Minangkabau dan keislaman yang dinamis (bukan fanatik) terhadap kelahiran penulis-penulis sastra sejak orang Minang melek huruf, tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi bukan berarti sastrawan-sastrawan Indonesia kelahiran Minangkabau sukses tersebab darah etnis, melainkan karena iklim budaya dan iklim keislaman yang terpatri ke dalam ungkapan: "adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah".
http://kompas.co.id/
JAKARTA,-- Peta sastra Indonesia dari dulu dikuasai orang Minang, karena ada yang membedakannya dengan etnik lain di Indonesia, yaitu watak "pemberontak" dan berpikir merdeka. Begitu juga tokoh-tokoh intelektual asal Minang, mereka memiliki watak yang kukuh dan terang-terangan mengatakan tak setuju dengan penguasa.
Sastrawan dan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Dr Harris Effendi Thahar mengemukakan hal itu pada seminar Menumbuhkembangkan Bakat dan Kemauan Menulis Karya Sastra di Minangkabau, dalam rangkaian Pameran Buku Nasional, di Jakarta Convention Centre, Sabtu (15/11).
"Pada masa awal perkembangan sastra Indonesia modern, penulis-penulis sastra terkemuka, tanpa menafikan kehadiran penulis-penulis dari etnis lain-- adalah putra-putra Minangkabau, seperti Sutan Takdir Alisjabana, Hamka, Asrul Sani, dan Chairil Anwar," katanya
Harris menjelaskan, menurut sejarah sastra Indonesia permulaan sastra modern Indonesia ditandai oleh terbitnya roman Sitti Nurbaja karya Marah Rusli tahun 1922 oleh penerbit Balai Pustaka. Roman populer Sitti Nurbaja itu ditulus oleh sastrawan asal Minangkabau. Begitu juga roman Salah Asuhan yang ditulis Abdul Muis, juga orang Minangkabau.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah tradisi sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan asal Minangkabau. Keberadaan suku bangsa Minangkabau di tengah-tengah suku-suku bangsa lain di Nusantara secara kuantitatif hanyalah etnis yang kecil saja.
Namun, secara kualitatif merupakan etnis "besar" tersebab perannya yang besar dalam proses pembentukan republik ini. "Kebesaran nama tokoh-tokoh politik masa lalu sebenarnya bersinergi dengan keharuman nama tokoh-tokoh sastrawan pada masa itu. Demikian juga halnya dengan tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam telah membuat citra orang Minangkabau begitu maju di antara etnis lain," papar Harris yang terkenal dengan cerpennya Si Padang.
Citra itu, lanjut Harris, secara positif menyiratkan bahwa budaya Minang yang egaliter membuat masyarakatnya berani bicara dan berpikir merdeka. Dalam masyarakat egaliter, semua orang Minang sama besar, sama kecil, dan sama-sama bebas (berbicara) berpendapat. Semua orang merasa besar tercermin dari gelar-gelar adat yang dimiliki oleh setiap keluarga dan suku. Tak ada gelar yang berkonotasi "rendah", semua terkesan "tinggi".
Semua orang Minang merasa bangsawan, karena di Ranah Minang ketek dibari namo, gadang dibari gala (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Menurut Harris, watak pemberontak atau watak penerabas, kadang dianggap orang lain sebagai melawan arus. Padahal, sebenarnya antikemapanan, inovatif, kreatif, dan kukuh dengan pendirian yang berpegang pada filosofi Minangkabau, "alam terkembang jadi guru".
Kasus-kasus yang dialami oleh tokoh-tokoh kelahiran Minang kita di masa lalu seperti Tan Malaka, Hatta, Hamka, Sjahrir, dan Natsir untuk sekadar menyebut beberapa nama, adalah cermin kekukuhan watak kaum intelektual Minang.
"Tan Malaka terang-terangan mengatakan bahwa dirinya tidak sependapat dengan Soekarno. Hatta konsekuen dengan prinsip negara demokrasi, oleh karena itu ia tidak sudi menjadi wakil presiden terlalu lama tanpa ada ketidakpastian pelaksanaan pemilihan umum.
Hamka dipenjarakan Soekarno dan terang-terangan pula tidak sependapat dengan Soeharto. Demikian juga dengan Sjahrir, tidak tunduk dengan sikap otoriter Soekarno dan menerima risiko disingkirkan. Dan, Natsir yang baru-baru ini diakui kepahlawanannya karena sampai akhir hayatnya tidak sependapat dengan Soeharto.
"Semua tokoh yang disebut itu sekaligus juga merupakan penulis-penulis andal," jelas Harris. Watak "pemberontak" dan berpikir merdeka di kalangan sastrawan asal Minang juga dapat dilihat dari karya-karyanya.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis menggambarkan betapa AA Navis yang dikenal sebagai "raja cemeeh" itu gerah melihat kejunuban pemahaman sebagian masyarakat terhadap agama. Demikian juga halnya Wisran Hadi yang mempertanyakan kembali kebenaran sejarah perjuangan Imam Bonjol melalui karya dramanya Tuanku Imam Bonjol yang mendapat protes keras dari pemerintah daerah dan masyarakat Sumatera Barat di tahun 1995.
Pemberontakan sastrawan-sastrawan terdahulu seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Chairil Anwar, sampai Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Darman Moenir dan Gus ft Sakai yang hidup di abad XXI, terlihat dari karya-karya mereka.
"Iklim budaya egaliter dan antiprimordialisme masyarakat Minangkabau tidak dapat dikesampingkan dalam membentuk watak kepengarangan para sastrawannya. Artinya, tanpa dipupuk pun, ranah Minangkabau tetap melahirkan para penulis bermutu dan sastrawan yang membanggakan, dari zaman ke zaman," katanya.
Tampaknya, sumbangan budaya alam Minangkabau dan keislaman yang dinamis (bukan fanatik) terhadap kelahiran penulis-penulis sastra sejak orang Minang melek huruf, tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi bukan berarti sastrawan-sastrawan Indonesia kelahiran Minangkabau sukses tersebab darah etnis, melainkan karena iklim budaya dan iklim keislaman yang terpatri ke dalam ungkapan: "adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah".
POLITIK DALAM SASTRA ZAMAN BALAI PUSTAKA
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Membandingkan novel Sitti Nurbaya dengan karya sastra yang terbit melampaui zamannya dari belahan bumi mana pun, tentu saja dibolehkan. Begitu juga tak ada undang-undang yang melarang mencantelkan tema atau konteks novel itu dengan kondisi sosio-budaya yang terjadi pada masa kini. Bukankah kita –masyarakat sastra—meyakini, bahwa begitu karya itu terbit dan kemudian menyebar ke khalayak pembaca, seketika pula ia bebas dimacam-macami. Pembaca punya hak penuh memperlakukannya sekehendak hati, termasuk dalam hal memaknainya.
Resepsi sastra memberi kunci pemaknaan pembaca atas karya sastra: pada zamannya (sinkronis) atau yang berkembang dari zaman ke zaman (diakronis). Dulu, pada awalnya, tema Sitti Nurbaya sering dikaitkan dengan persoalan adat dan kawin paksa. Tetapi, belakangan, tema itu dianggap sudah kuno, kedaluwarsa, dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Maka dicarilah relevansinya dengan persoalan pendidikan, nasionalisme, bahkan juga feminisme. Begitulah pemaknaan atas sebuah teks akan terus menggelinding menabrak berbagai persoalan sejalan dengan perkembangan zaman.
Meski begitu, kita dapat memaklumi jika masih ada yang berpandangan konservatif. Sitti Nurbaya dan novel sezamannya dianggap sudah tuntas menyelesaikan tugasnya, purnabakti, pensiun alias menjadi lasykar tak berguna. Inilah contoh yang baik dari sebuah taklid yang meyakini, bahwa kiblat pendekatannya adalah senjata pamungkas yang ampuh. Ia dipercaya dapat menyelesaikan segala persoalan teks. Benarkah teks itu sudah lengkap dan di sana pengarang menemui ajalnya (the death of author)?
Sesungguhnya pandangan sempit semacam itu telah mereduksi kekayaan makna teks. Karya sastra diperlakukan sebagai artefak narasi yang sudah selesai. Seolah-olah ia lahir tanpa proses, tanpa ada kaitannya dengan masalah sosio-budaya yang menempel dan menjadi kegelisahan pengarangnya. Masalah yang melatarbelakangi dan harapan yang melatardepani pengarang, seolah-olah perkara yang tak penting. Oleh karena itu, tidak perlu pula dimasalahkan.
Setiap pengarang, selalu punya pretensi, niat, bahkan juga harapan atas sesuatu yang tersimpan dalam karyanya. Pretensi itu tidak terlepas dari persoalan latar belakang budaya, lingkungan masyarakat, kepercayaan atau agama yang dianut, dan ideologi yang hendak diselusupkan kepada khalayak pembaca. Di situlah pentingnya memaknai teks berdasarkan konteksnya. Pemahaman aspek ekstrinsikalitas karya itu akan bermanfaat untuk menyelam lebih jauh dan menggerayangi segala kekayaan teks selengkapnya. Jadi penelusuran teks Sitti Nurbaya dan karya sastra lain yang terbit pada zamannya perlu siasat dan cara pandang baru. Hanya dengan itu, ia tidak bakal menjadi benda sejarah yang beku. Orang pun membacanya tidak perlu dibayang-bayangi perasaan menggigil.
***
Sitti Nurbaya adalah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan ide pengarang atas problem zamannya. Lihatlah prototipe Datuk yang sesat (Datuk Meringgih) yang mengeksploitasi warga sepuaknya atas nama kekayaan. Bukankah manusia model itu berlaku sepanjang zaman? Tetapi, seburuk-buruknya seorang Datuk –meski tak jelas kebangsawanannya—masih punya kesadaran kultural. Tak kehilangan jati diri. Ia pun harus berjuang ketika hak ulayat diganggu gugat. Maka, sistem pajak (belasting) yang diberlakukan Belanda di Ranah Minang, dipandang akan menghancurkan sendi-sendi kultural. Itulah salah satu faktor pemicu terjadinya pemberontakan pajak.
Cermati juga ideologi yang ditawarkan Sitti Nurbaya atas marjinalisasi peran kaumnya dalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Bukankah semangat itu pernah dilontarkan Kartini dan kini jauh lebih semarak dimeriahkan berbagai lembaga yang hendak membela kaum perempuan? Apakah dengan begitu gagasan Kartini dan Sitti Nurbaya harus dipensiunkan juga?
Syamsul Bachri adalah produk yang lain lagi. Ia orang “udik” yang takjub pada modernitas. Si Malin Kundang yang menafikan ninik-mamaknya. Maka, jadilah Kapten Mas untuk menyempurnakan ketercerabutan pada kultur yang melahirkannya. Bukankah itu gambaran reinkarnasi Malin Kundang? Kematian Kapten Mas dan Datuk Meringgih adalah pandangan ideologis pengarang untuk tidak menyerahkan masa depan kepada generasi muda yang lupa akar atau kepada generasi tua yang serakah dan aniaya pada perempuan. Keduanya sama brengsek.
Apa makna teks itu dalam konteks zamannya? Di sinilah pentingnya cantelan teks dengan konteks. Dikatakan Sartono Kartodirdjo (1975: 82), sejak dinaikkannya pajak rakyat tahun 1919—1921, pemerintah Belanda berhasil mengeruk untung sebesar 24 juta gulden setahun. Jumlah itu naik menjadi 28 juta gulden tahun 1922. Tahun berikutnya naik lagi menjadi 32 juta gulden, dan tahun 1925 meraup 34 juta gulden. Kekayaan yang diangkut dari bumi Nusantara inilah yang mengangkat Ratu Wilhelmina sebagai ratu terkaya di dunia setelah Ratu Inggris, Elisabeth.
Apakah kekayaan itu membawa berkah bagi pribumi? Pemberlakuan politik etis hanya dapat dinikmati segelintir elite. Sementara itu, kondisi rakyat makin berat karena kewajiban menyerahkan sebagian penghasilannya. Keadaan itulah yang jadi pemicu pecahnya gerakan pemberontakan lokal, di antaranya terjadi di Cimareme, Jawa Barat; Toli-Toli di Sulawesi Tengah; dan Padang, Sumatra Barat; selain beberapa usaha pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api (Sartono Kartodirdjo, 1990: 61; Deliar Noor, 1980: 215).
Di Padang sendiri, sekitar tahun 1923—1924, terjadi pula protes terhadap usaha pemerintah Belanda yang hendak menyewakan tanah kepada rakyat yang diakui sebagai tanah milik pemerintah. Padahal, menurut adat Minang, tanah yang hendak disewakan itu merupakan tanah milik keluarga batih, ninik—mamak. Salah seorang pemrotesnya adalah Abdul Muis—pengarang novel Salah Asuhan.
Apa yang dilakukan para sastrawan kita ketika mereka dilanda kegelisahan atas nasib yang menekan bangsanya? Mengusung karya-karya propaganda atau tendensius, pastilah akan dijerat sejumlah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Harus ada siasat lain untuk menyelimuti kritiknya atas politik kolonial. Bersamaan dengan itu, pemerintah –untuk melanggengkan kekuasaannya— tidak menutup mata pada perkembangan penerbitan ketika itu. Ia menyadari bahaya yang mungkin muncul dari buku-buku bacaan terbitan swasta.
***
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin novel-novel Balai Pustaka menyerang kebijaksanaan kolonial, padahal lembaga itu didirikan justru untuk menerbitkan buku-buku yang dapat mengangkat citra Belanda sebagai mesias yang akan membudayakan pribumi? Di sinilah keunikan sastra. Di sini pula tercermin, bahwa sastra mengangkat semangat zaman, merepresentasikan kegelisahan ideologis. Mari kita periksa.
Keberadaan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, sesungguhnya sebagai realisasi politik etis Belanda. Ada soal politik di balik itu, di samping sebagai usaha membendung pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Secara sepihak pemerintah Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.
Proses perjalanan novel Indonesia sesungguhnya dimulai lewat novel-novel yang diterbitkan pihak swasta. Sebutlah beberapa di antaranya, Hikayat Amir Hamzah (1891), Hikayat Njai Dasima (G. Francis, 1896), Hikajar Kadirun (Semaun, 1920), Hikayat Soedjanmo (Soemantri, 1924), dan karya para penulis Cina Peranakan. Mereka itulah yang merintis dan mengembangkan sastra (novel dan cerpen) Indonesia modern. Claudine Salmon (Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1985) mengungkapkan keberlimpahan khazanah sastra Indonesia karya para penulis Tionghoa. Bahkan, tahun 1909 terbit sebuah kumpulan cerpen berjudul Boekoe Tiga Hikajat yang disunting Goan Hong. Sejauh pengamatan, inilah antologi cerpen pertama dalam sejarah cerpen Indonesia.
Karya-karya sastra terbitan swasta itu dianggap berbahaya. Faktor ini pula yang mendorong pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka. Dalam konteks itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh karya-karya yang diterbitkan pihak swasta itu.
Harus diakui, kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan sastra Indonesia. Tetapi tak adil jika kontribusi penerbit-penerbit swasta dihilangkan begitu saja. Bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Pemerintah Belanda memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar,“ tujuannya semata-mata politis. Citra itu kemudian dilanggengkan R. Roolvink yang mengusung istilah Roman Picisan. Dalam kondisi itu, A. Teuuw dan sejumlah pengamat sastra Indonesia nyaris tidak pernah membuka mata pada karya-karya itu. Lebih parah lagi yang dilakukan para guru di sekolah yang menjauhkan novel-novel itu dari materi pelajaran sekolah.
Dalam Balai Pustaka Sewajarnya 1908--1942, dinyatakan bahwa sejarah berdirinya Balai Pustaka banyak persamaan dan perhubungannya dengan riwayat pengajaran di Indonesia. “Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat melainkan hanya akan memenuhi kebutuhan pemerintah di dalam soal pegawai negeri, dengan Putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: “akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri.”
Pendirian sekolah-sekolah semata-mata bertujuan demi mempersiapkan tenaga pegawai pemerintahan, dan bukan bermaksud hendak mencerdaskan bangsa pribumi. Sekolah itu dirancang untuk mencetak tenaga pribumi dalam rangka mendukung administrasi sederhana dan tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di pabrik-pabrik. Sekolah-sekolah didirikan dengan mengikuti pola penyebaran gudang-gudang kopi dan pabrik-pabrik milik pemerintah. Tahun 1850-an, dua tahun setelah keputusan Raja 30 September 1848, dibangun 16 buah sekolah rakyat. Letak sekolah-sekolah itu tersebar di daerah-daerah gudang kopi pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak akan kesulitan mencari tenaga yang cukup terampil yang juga dapat membaca dan menulis (dalam bahasa Belanda) sekadarnya.
Pada tahun 1907, atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Heutz mulai dibangun sekolah-sekolah desa untuk tiga tahun pelajaran. Biayanya dibebankan kepada aparat desa setempat, termasuk biaya pembangunan sekolah dan gaji guru. Pemerintah bertugas mengawasi dan mengurus alat-alat pelajaran, terutama buku-buku pelajaran. Dalam kaitan itulah, perlu didirikan lembaga yang dapat menyediakan buku-buku pelajaran dan bahan bacaan. Itulah salah satu alasan didirikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuuur) tahun 1908.
Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka pertama menyatakan: “…janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik … Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.”
Atas pertimbangan politik itu pula, maka Balai Pustaka dan tugas yang diembannya, lebih banyak didasarkan pada usaha menjalankan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di bidang pengajaran. Untuk keperluan itu, Balai Pustaka menerapkan sejumlah syarat bagi naskah-naskah yang akan diterbitkannya yang bertujuan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Melalui politik asimilasi, pemerintah bermaksud “membelandakan” cara berpikir kaum pribumi. Ini sejalan dengan pandangan I.J. Brugmans (1987: 183) yang menyatakan: ”Peradaban “barat” harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.”
Dalam kaitan itu, isi buku-buku terbitan Balai Pustaka secara umum sejalan dengan politik kolonial dalam melegitimasi kekuasaannya. Novel-novel terbitan Balai Pustaka merupakan contoh yang baik mengenai masalah itu. Hampir semua novel terbitan Balai Pustaka selalu memunculkan tokoh orang Belanda sebagai mesias atau dewa penolong. Sementara tokoh pemimpin lokal, seperti kepala desa, pemuka agama atau haji, digambarkan sebagai tokoh kejam, serakah, tidak adil, dan fanatik.
Sekadar menyebut beberapa contoh, periksa novel Azab dan Sengsara (1920). Tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan cinta anaknya, Aminuddin dan Mariamin. Sitti Nurbaya (1922) menampilkan tokoh Datuk Maringgih yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri (Letnan Mas) yang sudah menjadi kaki tangan Belanda.
Dalam Muda Taruna (1922) karya Moehammad Kasim dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro, tokoh-tokoh Belanda benar-benar tampil sebagai dewa penolong. Hal yang sama terjadi dalam Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Lebih jelas dalam Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Konon, dalam naskah aslinya, Corrie du Busse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati lantaran penyakit kelamin. Dari sekitar 70 buah novel yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum merdeka, semuanya tidak ada yang menampilkan tokoh Belanda yang berperilaku buruk. Termasuk juga dalam Hulubalang Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber dari disertasi H. Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665-1668 di Sumatera Barat. Pertempuran para raja dengan kompeni berakhir secara damai hanya karena adik perempuan Hulubalang Raja, Andam Dewi, sudah menjadi istri musuhnya, Raja Adil.
Gambaran intrinsik itu sangat berbeda dengan karya sastra yang diterbitkan pihak swasta. Tidak sedikit tokoh Belanda yang digambarkan sebagai pemabuk, pemerkosa, penjudi, dan keluar masuk rumah bordil. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda sering terlibat langsung, baik yang menyangkut penyensoran naskah --seperti yang terjadi dalam Salah Asuhan-- maupun penyebarluasannya. Maka dapat dipahami jika buku-buku terbitan Balai Pustaka sangat berpengaruh dan lebih mengakar dibandingkan buku terbitan swasta.
Meski Balai Pustaka mengusung politik kolonial Belanda, tak sedikit sastrawan Indonesia yang justru memanfaatkan keberadaan lembaga itu untuk kepentingan menyelusupkan ideologi kebangsaan. Mereka secara cerdik menciptakan tokoh-tokoh karikaturis, tetapi di belakang itu, tersimpan makna lain yang justru hendak memberi penyadaran atas keterpurukan bangsa ini di bawah politik kolonial.
***
Selain Sitti Nurbaya yang hendak menggugat sistem pajak, pendidikan, dan penganiayaan atas kaum perempuan, novel Salah Asuhan juga sebenarnya menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pemerintah Belanda. Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Ia tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Selain itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas politik pemerintah Belanda dan orang (-orang) yang membelanda yang lupa akar dan takjub pada modernitas. Gambaran Samsul Bachri melekat pada diri Hanafi yang juga menjadi Malin Kundang. Itulah keprihatinan pengarang pada golongan terpelajar yang melupakan tanggung jawab kepada bangsanya sendiri.
Pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputra yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu” (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Menurut Kipling, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan “kekuatan pembudaya” (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi “membudayakan orang-orang pribumi”. Ia harus bertindak sebagai “mesias”, sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan pantulan pandangan Belanda terhadap bumiputra. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa adalah ironi bahwa bumiputra di negerinya sendiri, harus susah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia.
Pada masa itu, kedudukan pribumi (inlander) dicitrakan sebagai golongan masyarakat yang berada setingkat di atas lumpur. Di atasnya lagi, ada golongan bangsawan, bangsa Asia Barat, Asia Timur (Cina dan Jepang), Indo Eropa, Kulit Putih, dan paling atas bertengger Belanda. Stratifikasi sosial itu, menempatkan bangsa Belanda begitu superior dan agung, dan mencampakkan posisi pribumi berada dalam kasta paling nista. Pencitraan ini efektif, karena ia berpengaruh secara psikologis.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di kereta api yang ditumpangi Hanafi. “Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputra; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek …”
Begitulah, dalam banyak hal, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan tersirat mengangkat perlakuan tak adil bangsa penjajah. Samsul Bachri dan Hanafi adalah simbol bumiputra –Si Malin Kundang—yang tercerabut dari akar budayanya. Gambaran itu berbeda dengan novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang tersurat menampilkan potret zamannya. Lihatlah semangat asimilasi dalam Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay. Cermati juga otokritik Gouw Peng Liang atas ketersesatan Lo Fen Koei, si bandar opium.
Sesungguhnya, berbagai persoalan tentang kebangsaan, pendidikan, asimilasi (pembauran) dan semangat mengusung keindonesiaan yang multietnik, sudah tercatat dalam sejumlah besar karya sastra yang terbit pada masa lalu itu. Ide pambauran yang pernah diusung Orde Baru, misalnya, justru sudah diterjemahkan dengan sangat baik dalam novel-novel peranakan Tionghoa. Begitu juga tentang pentingnya pendidikan dan semangat multikultural, dapat dijumpai dalam novel-novel Balai Pustaka sebelum merdeka dan novel terbitan swasta karya pengarang peranakan Tionghoa. Oleh karena itu, yang kini perlu disikapi atas sejumlah novel masa lalu itu adalah membaca dan menafsirkannya kembali dalam perspektif keindonesiaan. Jadi, jangan sekadar konon menurut kata orang. Tidak percaya? Bacalah sendiri!
http://mahayana-mahadewa.com/
Membandingkan novel Sitti Nurbaya dengan karya sastra yang terbit melampaui zamannya dari belahan bumi mana pun, tentu saja dibolehkan. Begitu juga tak ada undang-undang yang melarang mencantelkan tema atau konteks novel itu dengan kondisi sosio-budaya yang terjadi pada masa kini. Bukankah kita –masyarakat sastra—meyakini, bahwa begitu karya itu terbit dan kemudian menyebar ke khalayak pembaca, seketika pula ia bebas dimacam-macami. Pembaca punya hak penuh memperlakukannya sekehendak hati, termasuk dalam hal memaknainya.
Resepsi sastra memberi kunci pemaknaan pembaca atas karya sastra: pada zamannya (sinkronis) atau yang berkembang dari zaman ke zaman (diakronis). Dulu, pada awalnya, tema Sitti Nurbaya sering dikaitkan dengan persoalan adat dan kawin paksa. Tetapi, belakangan, tema itu dianggap sudah kuno, kedaluwarsa, dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Maka dicarilah relevansinya dengan persoalan pendidikan, nasionalisme, bahkan juga feminisme. Begitulah pemaknaan atas sebuah teks akan terus menggelinding menabrak berbagai persoalan sejalan dengan perkembangan zaman.
Meski begitu, kita dapat memaklumi jika masih ada yang berpandangan konservatif. Sitti Nurbaya dan novel sezamannya dianggap sudah tuntas menyelesaikan tugasnya, purnabakti, pensiun alias menjadi lasykar tak berguna. Inilah contoh yang baik dari sebuah taklid yang meyakini, bahwa kiblat pendekatannya adalah senjata pamungkas yang ampuh. Ia dipercaya dapat menyelesaikan segala persoalan teks. Benarkah teks itu sudah lengkap dan di sana pengarang menemui ajalnya (the death of author)?
Sesungguhnya pandangan sempit semacam itu telah mereduksi kekayaan makna teks. Karya sastra diperlakukan sebagai artefak narasi yang sudah selesai. Seolah-olah ia lahir tanpa proses, tanpa ada kaitannya dengan masalah sosio-budaya yang menempel dan menjadi kegelisahan pengarangnya. Masalah yang melatarbelakangi dan harapan yang melatardepani pengarang, seolah-olah perkara yang tak penting. Oleh karena itu, tidak perlu pula dimasalahkan.
Setiap pengarang, selalu punya pretensi, niat, bahkan juga harapan atas sesuatu yang tersimpan dalam karyanya. Pretensi itu tidak terlepas dari persoalan latar belakang budaya, lingkungan masyarakat, kepercayaan atau agama yang dianut, dan ideologi yang hendak diselusupkan kepada khalayak pembaca. Di situlah pentingnya memaknai teks berdasarkan konteksnya. Pemahaman aspek ekstrinsikalitas karya itu akan bermanfaat untuk menyelam lebih jauh dan menggerayangi segala kekayaan teks selengkapnya. Jadi penelusuran teks Sitti Nurbaya dan karya sastra lain yang terbit pada zamannya perlu siasat dan cara pandang baru. Hanya dengan itu, ia tidak bakal menjadi benda sejarah yang beku. Orang pun membacanya tidak perlu dibayang-bayangi perasaan menggigil.
***
Sitti Nurbaya adalah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan ide pengarang atas problem zamannya. Lihatlah prototipe Datuk yang sesat (Datuk Meringgih) yang mengeksploitasi warga sepuaknya atas nama kekayaan. Bukankah manusia model itu berlaku sepanjang zaman? Tetapi, seburuk-buruknya seorang Datuk –meski tak jelas kebangsawanannya—masih punya kesadaran kultural. Tak kehilangan jati diri. Ia pun harus berjuang ketika hak ulayat diganggu gugat. Maka, sistem pajak (belasting) yang diberlakukan Belanda di Ranah Minang, dipandang akan menghancurkan sendi-sendi kultural. Itulah salah satu faktor pemicu terjadinya pemberontakan pajak.
Cermati juga ideologi yang ditawarkan Sitti Nurbaya atas marjinalisasi peran kaumnya dalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Bukankah semangat itu pernah dilontarkan Kartini dan kini jauh lebih semarak dimeriahkan berbagai lembaga yang hendak membela kaum perempuan? Apakah dengan begitu gagasan Kartini dan Sitti Nurbaya harus dipensiunkan juga?
Syamsul Bachri adalah produk yang lain lagi. Ia orang “udik” yang takjub pada modernitas. Si Malin Kundang yang menafikan ninik-mamaknya. Maka, jadilah Kapten Mas untuk menyempurnakan ketercerabutan pada kultur yang melahirkannya. Bukankah itu gambaran reinkarnasi Malin Kundang? Kematian Kapten Mas dan Datuk Meringgih adalah pandangan ideologis pengarang untuk tidak menyerahkan masa depan kepada generasi muda yang lupa akar atau kepada generasi tua yang serakah dan aniaya pada perempuan. Keduanya sama brengsek.
Apa makna teks itu dalam konteks zamannya? Di sinilah pentingnya cantelan teks dengan konteks. Dikatakan Sartono Kartodirdjo (1975: 82), sejak dinaikkannya pajak rakyat tahun 1919—1921, pemerintah Belanda berhasil mengeruk untung sebesar 24 juta gulden setahun. Jumlah itu naik menjadi 28 juta gulden tahun 1922. Tahun berikutnya naik lagi menjadi 32 juta gulden, dan tahun 1925 meraup 34 juta gulden. Kekayaan yang diangkut dari bumi Nusantara inilah yang mengangkat Ratu Wilhelmina sebagai ratu terkaya di dunia setelah Ratu Inggris, Elisabeth.
Apakah kekayaan itu membawa berkah bagi pribumi? Pemberlakuan politik etis hanya dapat dinikmati segelintir elite. Sementara itu, kondisi rakyat makin berat karena kewajiban menyerahkan sebagian penghasilannya. Keadaan itulah yang jadi pemicu pecahnya gerakan pemberontakan lokal, di antaranya terjadi di Cimareme, Jawa Barat; Toli-Toli di Sulawesi Tengah; dan Padang, Sumatra Barat; selain beberapa usaha pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api (Sartono Kartodirdjo, 1990: 61; Deliar Noor, 1980: 215).
Di Padang sendiri, sekitar tahun 1923—1924, terjadi pula protes terhadap usaha pemerintah Belanda yang hendak menyewakan tanah kepada rakyat yang diakui sebagai tanah milik pemerintah. Padahal, menurut adat Minang, tanah yang hendak disewakan itu merupakan tanah milik keluarga batih, ninik—mamak. Salah seorang pemrotesnya adalah Abdul Muis—pengarang novel Salah Asuhan.
Apa yang dilakukan para sastrawan kita ketika mereka dilanda kegelisahan atas nasib yang menekan bangsanya? Mengusung karya-karya propaganda atau tendensius, pastilah akan dijerat sejumlah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Harus ada siasat lain untuk menyelimuti kritiknya atas politik kolonial. Bersamaan dengan itu, pemerintah –untuk melanggengkan kekuasaannya— tidak menutup mata pada perkembangan penerbitan ketika itu. Ia menyadari bahaya yang mungkin muncul dari buku-buku bacaan terbitan swasta.
***
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin novel-novel Balai Pustaka menyerang kebijaksanaan kolonial, padahal lembaga itu didirikan justru untuk menerbitkan buku-buku yang dapat mengangkat citra Belanda sebagai mesias yang akan membudayakan pribumi? Di sinilah keunikan sastra. Di sini pula tercermin, bahwa sastra mengangkat semangat zaman, merepresentasikan kegelisahan ideologis. Mari kita periksa.
Keberadaan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, sesungguhnya sebagai realisasi politik etis Belanda. Ada soal politik di balik itu, di samping sebagai usaha membendung pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Secara sepihak pemerintah Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.
Proses perjalanan novel Indonesia sesungguhnya dimulai lewat novel-novel yang diterbitkan pihak swasta. Sebutlah beberapa di antaranya, Hikayat Amir Hamzah (1891), Hikayat Njai Dasima (G. Francis, 1896), Hikajar Kadirun (Semaun, 1920), Hikayat Soedjanmo (Soemantri, 1924), dan karya para penulis Cina Peranakan. Mereka itulah yang merintis dan mengembangkan sastra (novel dan cerpen) Indonesia modern. Claudine Salmon (Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1985) mengungkapkan keberlimpahan khazanah sastra Indonesia karya para penulis Tionghoa. Bahkan, tahun 1909 terbit sebuah kumpulan cerpen berjudul Boekoe Tiga Hikajat yang disunting Goan Hong. Sejauh pengamatan, inilah antologi cerpen pertama dalam sejarah cerpen Indonesia.
Karya-karya sastra terbitan swasta itu dianggap berbahaya. Faktor ini pula yang mendorong pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka. Dalam konteks itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh karya-karya yang diterbitkan pihak swasta itu.
Harus diakui, kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan sastra Indonesia. Tetapi tak adil jika kontribusi penerbit-penerbit swasta dihilangkan begitu saja. Bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Pemerintah Belanda memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar,“ tujuannya semata-mata politis. Citra itu kemudian dilanggengkan R. Roolvink yang mengusung istilah Roman Picisan. Dalam kondisi itu, A. Teuuw dan sejumlah pengamat sastra Indonesia nyaris tidak pernah membuka mata pada karya-karya itu. Lebih parah lagi yang dilakukan para guru di sekolah yang menjauhkan novel-novel itu dari materi pelajaran sekolah.
Dalam Balai Pustaka Sewajarnya 1908--1942, dinyatakan bahwa sejarah berdirinya Balai Pustaka banyak persamaan dan perhubungannya dengan riwayat pengajaran di Indonesia. “Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat melainkan hanya akan memenuhi kebutuhan pemerintah di dalam soal pegawai negeri, dengan Putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: “akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri.”
Pendirian sekolah-sekolah semata-mata bertujuan demi mempersiapkan tenaga pegawai pemerintahan, dan bukan bermaksud hendak mencerdaskan bangsa pribumi. Sekolah itu dirancang untuk mencetak tenaga pribumi dalam rangka mendukung administrasi sederhana dan tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di pabrik-pabrik. Sekolah-sekolah didirikan dengan mengikuti pola penyebaran gudang-gudang kopi dan pabrik-pabrik milik pemerintah. Tahun 1850-an, dua tahun setelah keputusan Raja 30 September 1848, dibangun 16 buah sekolah rakyat. Letak sekolah-sekolah itu tersebar di daerah-daerah gudang kopi pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak akan kesulitan mencari tenaga yang cukup terampil yang juga dapat membaca dan menulis (dalam bahasa Belanda) sekadarnya.
Pada tahun 1907, atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Heutz mulai dibangun sekolah-sekolah desa untuk tiga tahun pelajaran. Biayanya dibebankan kepada aparat desa setempat, termasuk biaya pembangunan sekolah dan gaji guru. Pemerintah bertugas mengawasi dan mengurus alat-alat pelajaran, terutama buku-buku pelajaran. Dalam kaitan itulah, perlu didirikan lembaga yang dapat menyediakan buku-buku pelajaran dan bahan bacaan. Itulah salah satu alasan didirikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuuur) tahun 1908.
Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka pertama menyatakan: “…janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik … Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.”
Atas pertimbangan politik itu pula, maka Balai Pustaka dan tugas yang diembannya, lebih banyak didasarkan pada usaha menjalankan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di bidang pengajaran. Untuk keperluan itu, Balai Pustaka menerapkan sejumlah syarat bagi naskah-naskah yang akan diterbitkannya yang bertujuan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Melalui politik asimilasi, pemerintah bermaksud “membelandakan” cara berpikir kaum pribumi. Ini sejalan dengan pandangan I.J. Brugmans (1987: 183) yang menyatakan: ”Peradaban “barat” harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.”
Dalam kaitan itu, isi buku-buku terbitan Balai Pustaka secara umum sejalan dengan politik kolonial dalam melegitimasi kekuasaannya. Novel-novel terbitan Balai Pustaka merupakan contoh yang baik mengenai masalah itu. Hampir semua novel terbitan Balai Pustaka selalu memunculkan tokoh orang Belanda sebagai mesias atau dewa penolong. Sementara tokoh pemimpin lokal, seperti kepala desa, pemuka agama atau haji, digambarkan sebagai tokoh kejam, serakah, tidak adil, dan fanatik.
Sekadar menyebut beberapa contoh, periksa novel Azab dan Sengsara (1920). Tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan cinta anaknya, Aminuddin dan Mariamin. Sitti Nurbaya (1922) menampilkan tokoh Datuk Maringgih yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri (Letnan Mas) yang sudah menjadi kaki tangan Belanda.
Dalam Muda Taruna (1922) karya Moehammad Kasim dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro, tokoh-tokoh Belanda benar-benar tampil sebagai dewa penolong. Hal yang sama terjadi dalam Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Lebih jelas dalam Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Konon, dalam naskah aslinya, Corrie du Busse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati lantaran penyakit kelamin. Dari sekitar 70 buah novel yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum merdeka, semuanya tidak ada yang menampilkan tokoh Belanda yang berperilaku buruk. Termasuk juga dalam Hulubalang Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber dari disertasi H. Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665-1668 di Sumatera Barat. Pertempuran para raja dengan kompeni berakhir secara damai hanya karena adik perempuan Hulubalang Raja, Andam Dewi, sudah menjadi istri musuhnya, Raja Adil.
Gambaran intrinsik itu sangat berbeda dengan karya sastra yang diterbitkan pihak swasta. Tidak sedikit tokoh Belanda yang digambarkan sebagai pemabuk, pemerkosa, penjudi, dan keluar masuk rumah bordil. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda sering terlibat langsung, baik yang menyangkut penyensoran naskah --seperti yang terjadi dalam Salah Asuhan-- maupun penyebarluasannya. Maka dapat dipahami jika buku-buku terbitan Balai Pustaka sangat berpengaruh dan lebih mengakar dibandingkan buku terbitan swasta.
Meski Balai Pustaka mengusung politik kolonial Belanda, tak sedikit sastrawan Indonesia yang justru memanfaatkan keberadaan lembaga itu untuk kepentingan menyelusupkan ideologi kebangsaan. Mereka secara cerdik menciptakan tokoh-tokoh karikaturis, tetapi di belakang itu, tersimpan makna lain yang justru hendak memberi penyadaran atas keterpurukan bangsa ini di bawah politik kolonial.
***
Selain Sitti Nurbaya yang hendak menggugat sistem pajak, pendidikan, dan penganiayaan atas kaum perempuan, novel Salah Asuhan juga sebenarnya menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pemerintah Belanda. Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Ia tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Selain itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas politik pemerintah Belanda dan orang (-orang) yang membelanda yang lupa akar dan takjub pada modernitas. Gambaran Samsul Bachri melekat pada diri Hanafi yang juga menjadi Malin Kundang. Itulah keprihatinan pengarang pada golongan terpelajar yang melupakan tanggung jawab kepada bangsanya sendiri.
Pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputra yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu” (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Menurut Kipling, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan “kekuatan pembudaya” (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi “membudayakan orang-orang pribumi”. Ia harus bertindak sebagai “mesias”, sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan pantulan pandangan Belanda terhadap bumiputra. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa adalah ironi bahwa bumiputra di negerinya sendiri, harus susah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia.
Pada masa itu, kedudukan pribumi (inlander) dicitrakan sebagai golongan masyarakat yang berada setingkat di atas lumpur. Di atasnya lagi, ada golongan bangsawan, bangsa Asia Barat, Asia Timur (Cina dan Jepang), Indo Eropa, Kulit Putih, dan paling atas bertengger Belanda. Stratifikasi sosial itu, menempatkan bangsa Belanda begitu superior dan agung, dan mencampakkan posisi pribumi berada dalam kasta paling nista. Pencitraan ini efektif, karena ia berpengaruh secara psikologis.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di kereta api yang ditumpangi Hanafi. “Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputra; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek …”
Begitulah, dalam banyak hal, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan tersirat mengangkat perlakuan tak adil bangsa penjajah. Samsul Bachri dan Hanafi adalah simbol bumiputra –Si Malin Kundang—yang tercerabut dari akar budayanya. Gambaran itu berbeda dengan novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang tersurat menampilkan potret zamannya. Lihatlah semangat asimilasi dalam Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay. Cermati juga otokritik Gouw Peng Liang atas ketersesatan Lo Fen Koei, si bandar opium.
Sesungguhnya, berbagai persoalan tentang kebangsaan, pendidikan, asimilasi (pembauran) dan semangat mengusung keindonesiaan yang multietnik, sudah tercatat dalam sejumlah besar karya sastra yang terbit pada masa lalu itu. Ide pambauran yang pernah diusung Orde Baru, misalnya, justru sudah diterjemahkan dengan sangat baik dalam novel-novel peranakan Tionghoa. Begitu juga tentang pentingnya pendidikan dan semangat multikultural, dapat dijumpai dalam novel-novel Balai Pustaka sebelum merdeka dan novel terbitan swasta karya pengarang peranakan Tionghoa. Oleh karena itu, yang kini perlu disikapi atas sejumlah novel masa lalu itu adalah membaca dan menafsirkannya kembali dalam perspektif keindonesiaan. Jadi, jangan sekadar konon menurut kata orang. Tidak percaya? Bacalah sendiri!
Puisi-Puisi Dian Hartati
http://www.kompas.com/
Lelaki Hujan
tibatiba kau menjemputku dalam perjalanan pulang
ketika sore berubah mendung
dan jalanan hanya menyisakan bayangan pohonpohon cemara
langkahku masih saja tersaruk
mendapati mimpi yang jadi nyata
kau dan rupamu menjelma sore itu
jadi hujan yang dikirim tuhan
mendatangi aku yang selalu berjalan sendiri
kau membawa angin imaji
yang luruhkan semua rinduku
bagi lelaki yang selalu datang dan pergi
kau hadir dengan ribuan cerita
tentang anakanak hujan yang membasahi tubuhku
gigil sore yang menghangatkan
lalu kita berjalan bersama
bercerita tentang perjalanan air
muaramuara tempat singgah
dan ceruk rahasia yang telah kita buat
kau lelaki hujan
datang memberikan warna di hatiku
setelah abadabad muram
tanpa gemuruh dan menyisakan kenangan biru yang ranum
datang menjelma hujan di soreku yang sibuk
SudutBumi, November 2007
Melamin
kuiringkan langkah menuju sebuah ruang
sedang keraguan terus membidai
kutelusuri makna lantai
apakah yang akan kutemui
degup jantung ini terus tak menentu
aku perajut hari yang sunyi
meniti setiap hati
menyunggi setiap harapan
hingga sebuah ruang kupilih
sebagai penanda waktu
di muka pintu kutemukan siluet
adakah gemetar tubuhmu akan kurasakan
ketika malam menyusup bisu
apakah gemulaimu akan kutandaskan
sedang hujan selalu tak dapat menentukan arah
inilah waktu
musim yang mencocokkan
setiap gerak yang berbeda
tumit yang merangkum sebentuk rasa
SudutBumi, 2007
Sebuah Wajah
pu, aku mencintai sebentuk wajah
yang tergurat dari rupamu
ketika pertemuan hanya menyisakan
batas angan
aku tergeragap
karena kau begitu saja membuatku berdebar
aku masih ingat, pu
sore itu
langit bandung begitu anggun
jalanan begitu teratur
dan aku begitu menikmati wajahmu
di balik etalase
sebuah beranda telah memenjarakan ruang gerak kita
pu, aku ingin mengulangi peristiwa itu
ketika kau mencermati wajahku
dan menuangkannya di sebuah kanvas
sebuah wajah yang diliput kecintaan
kau tahu, pu
aku baru saja memerdekakan sebuah luka
dan kau hadir tanpa kuduga
mencerahkan cakrawala yang hendak kubentangkan
sebuah perayaan tercipta sore itu
kau yang berkawan angin
dan aku yang diliput bahagia
pu, aku mencintai sebentuk rupa
yang kau guratkan di wajahku
SudutBumi, November 2007
Pertarungan
selamat datang wahai lelaki
penuhi empat penjuru angin dengan langkah gempita
ikat kuat cemeti itu di pinggangmu
agar tarian ini membentuk formasi akurat
dan bidang dadamu yang telanjang
telah siap untuk mewarnai angkasa dengan
semburat merah darah
siapkan kudakuda agar liuk tubuhmu kuat
menghasilkan aroma memikat
ciptakan kekuatan yang akan guncangkan cakrawala
di sore laknat
lihat kanan dan kiri
setiap saat matamata itu siap memangsa
detik waktu siap mencengkram tubuh
pikirkan sebuah strategi
agar kau memenangkan sayembara ini
wajahwajah kaku saling memercik amarah
adakah dendam yang dihamilkan waktu
atau genta yang telah bertabuh dan saling membisikkan
kebinasaan
ambil cambuk itu
lecutkan waktu
dan pecahkan segera dendam
biar habis segala prasangka
lelaki, apakah kau memerlukan pertolongan
dewadewa akan segera datang
karena sesaji telah dilarung tadi malam
dengarkan suara yang datang dari utara
kau tidak sendiri
kau takkan tersesat
tersebab waktu telah memilihmu sebagai panglima
penjaga kepalakepala singa
hentakkan langkahmu
sekarang
atau kematian memilihmu
sebagai senja temaram
enambelas kaki kuda mengepung
tubuhmu tak lagi berdaya
senyummu hilang dalam tabir melayang
kau kembali mengitung
delapan arah angin begitu murung
dan tubuhmu hanya anyir
selepas bertarung
SudutBumi, Desember 2007
Lelaki Badai
tiupkanlah anginmu
yang akan menumbangkan segala gelisah
hanya ketika datang malam
kau hadir
meringkus tidurku yang lelap
berusaha menemani dari jarak terjauh
tidakkah kau ingat
sebuah ranjang telah basah
oleh keringat amukmu
sebuah gelas telah kau tandaskan isinya
berkalikali menciumi sesuatu yang tak terjamah
masih kurasakan hela nafasmu yang lelah
karena siang selalu saja menjauhkan kita
tentu saja aku cemburu pada angin yang selalu membawamu pergi
aku kalap ketika suaramu tak juga menyapa
hingga di sebuah pagi kau pergi tak kembali
meninggalkan sisa badai yang masih bergemuruh di hati
menyisakan sedikit harapan
rangkaian
perjalanan yang sempat membuatku mabuk
lalu merasakan kecewa
SudutBumi, November 2007
Orangorang Berpayung
selepas bersepakat dengan matahari
kami bergegas ke kota
berjalan menyusuri setapak sepi
tersebab listrik belum menjangkau
kami harus membenahi semua siang hari
merapikan hidup yang serba rumit
karena kami sadar
jelujur yang kami pijak adalak milik semesta
di tempat ini tak ada cahaya
selain matahari sang juru penghangat
walau temaram datang
itu hanya milik malam
yang diterangi bulan
kami selalu gegas
ketika kota yang didatangi hanya menyeringai
begitu asing
tak mengenal wajahwajah kami
sebab kami membutuhkan segala sandang
segala pangan
dan segala perabot
selalu kami bersepakat dengan matahari
agar hujan tak datang
melincirkan setapak jalan
kami pun tetap diam
ketika kematian demi kematian
datang beriringan
memaku setiap petak tanah merah
SudutBumi, Desember 2007
19 November 2007
//kejadian pagi
baru saja aku duduk tenang di kursi
diam menghikmati jejak pembicaraan semalam
tersadar ada sesuatu yang salah
semisal pembicaraan tentang hati
perjalanan kasih ambigu
pesan darimu datang juga
dikirimkan dan terbaca melalui layar ponsel
tentang samar peristiwa
ketika aku memaksamu untuk sebuah pertemuan
ketika rinduku tak dapat lagi kupendam
dan aku hanya ingin bercakap denganmu
sebuah pesan
tumbuh menjadi gundah di hati
tibatiba kau ingin pergi
meninggalkan semua yang masih samar
ingatkah kau,
kita belum sempat menikmati malam bersama
kita belum sempat memandang bulan
dari tempat yang berbeda
kau di kotamu
dan aku di kota lahirku
betapa
waktu semakin memanjang
memperjelas perbedaan
//kejadian sore
aku ingin mencarimu
di sudutsudut mall
barangkali etalase yang kujumpai
menghadirkan bayang dirimu
menyusuri koridor yang berbeda
memaku angkuh pada setiap cakrawala
kau tak ada, yang tersisa hanya kenangan
tak kuduga,
cakrawala anggun di ujung menara
memunculkan dirimu sebagai lelaki hujan
datang hanya di waktuwaktu tertentu
meninggalkan jejak di singgung temu
//kejadian luar biasa
sudahlah, aku tak ingin menyimpan luka
yang ada hanya kecewa
dan diamdiam aku menemukan sosok lain
ia sedang menatap tubuh layuku
di beranda
ketika angin tak lagi merindu
aku tengah mencermati seseorang terduduk
tangannya lincah menggoreskan siluet tubuh
apakah dia dikirimkan langit untukku
matanya masih saja jalang
menembus cakrawala senja
bercampur biru
bercampur merah sumba
SudutBumi, Desember 2007
Akolade
bolehkah aku memanggil namamu
sebuah nama yang akan mengawangkan diri
dalam senyap malam kelam
ketika jeruji pagi mengekalkan waktu pisah
jika memang sementara
sanggupkah aku melupa namamu
katakan semua dalam haru rindu
jalanjalan penuh kenang
petak cahaya yang menyilaukan
maukah kau berbagi sapaan
sekadar mengingatkan
paruh waktu adalah perjalanan pulang
tak ada lagi jembatan penyangga
jam pasir
kedap suara
lamunan hanya melambungkan nama
jangan larang aku untuk menyimpan sebuah nama
dalam ingatan yang makin lamur
selarik harapan masih saja digumamkan
inikah perjumpaan itu
langgam mengosongkan alur cerita
dan kamu adalah tokoh utama dalam kenanganku
jangan palingkan wajahmu
ketika aku mengharap anggukanmu
juga saat senja datang menjemput segala
sesal karena siang membawa namamu
tak kembali
seolah kampung yang patah akibat goncangan
sebab namamu tak hampa lagi dalam ingatan
bolehkah aku memanggil namamu
menjaga rindu untukmu
walau semua takkan kembali
SudutBumi, Maret 2007
Tubuhku dalam Percintaan Platonik
takkan kau temui sisa jelaga dalam tubuhku
hanya periuk bersandar di tubir duha
suci tak tersentuh
mengumbar kidung milik leluhur
agar kau ingat
aku adalah perempuan pertama setelah ibu
semang yang hadir di lesung pipi
jangan berharap
karena tubuh akan selalu merajah alir darah
agar kau tak sempat melupa
setiap sudut waktu
akan menemani menuju muara
lihat lebih dalam
karena setiap hentakkan
membuat lena
tipisnya angin membawa manis tubuh
menoreh roman kecintaan
jika bungkam kupilih
itu pertanda
usai segala bias
dan tubuhku
tetap kukuh menanti tubuh yang lain
SudutBumi, Maret 2007
Semenanjung Muria
kau rasakan pijak mimpimu di tanah ini
serombongan orang datang membawa bencana
menanamkan benihbenih panas udara
lihatlah, karangkarang meradang
ikanikan meracau di tanah leluhur
sepertinya siasat kata tak menjawab gelisah
sembilu menghunjam dasar bumi yang murung
pernahkah kau mendengar kisah jenaka di chernobyl
kisahkisah di tempat lainnya
pernahkah kau pikir betapa lucunya menanam luka
menernak gelisah di benak penderma
tanah adalah sebuah pengharapan
tempat para sunan merecup kedamaian
singgah dan rasakan geletar bumi
di sini ikanikan itu tak ingin bermutasi
SudutBumi, 2007
Lelaki Hujan
tibatiba kau menjemputku dalam perjalanan pulang
ketika sore berubah mendung
dan jalanan hanya menyisakan bayangan pohonpohon cemara
langkahku masih saja tersaruk
mendapati mimpi yang jadi nyata
kau dan rupamu menjelma sore itu
jadi hujan yang dikirim tuhan
mendatangi aku yang selalu berjalan sendiri
kau membawa angin imaji
yang luruhkan semua rinduku
bagi lelaki yang selalu datang dan pergi
kau hadir dengan ribuan cerita
tentang anakanak hujan yang membasahi tubuhku
gigil sore yang menghangatkan
lalu kita berjalan bersama
bercerita tentang perjalanan air
muaramuara tempat singgah
dan ceruk rahasia yang telah kita buat
kau lelaki hujan
datang memberikan warna di hatiku
setelah abadabad muram
tanpa gemuruh dan menyisakan kenangan biru yang ranum
datang menjelma hujan di soreku yang sibuk
SudutBumi, November 2007
Melamin
kuiringkan langkah menuju sebuah ruang
sedang keraguan terus membidai
kutelusuri makna lantai
apakah yang akan kutemui
degup jantung ini terus tak menentu
aku perajut hari yang sunyi
meniti setiap hati
menyunggi setiap harapan
hingga sebuah ruang kupilih
sebagai penanda waktu
di muka pintu kutemukan siluet
adakah gemetar tubuhmu akan kurasakan
ketika malam menyusup bisu
apakah gemulaimu akan kutandaskan
sedang hujan selalu tak dapat menentukan arah
inilah waktu
musim yang mencocokkan
setiap gerak yang berbeda
tumit yang merangkum sebentuk rasa
SudutBumi, 2007
Sebuah Wajah
pu, aku mencintai sebentuk wajah
yang tergurat dari rupamu
ketika pertemuan hanya menyisakan
batas angan
aku tergeragap
karena kau begitu saja membuatku berdebar
aku masih ingat, pu
sore itu
langit bandung begitu anggun
jalanan begitu teratur
dan aku begitu menikmati wajahmu
di balik etalase
sebuah beranda telah memenjarakan ruang gerak kita
pu, aku ingin mengulangi peristiwa itu
ketika kau mencermati wajahku
dan menuangkannya di sebuah kanvas
sebuah wajah yang diliput kecintaan
kau tahu, pu
aku baru saja memerdekakan sebuah luka
dan kau hadir tanpa kuduga
mencerahkan cakrawala yang hendak kubentangkan
sebuah perayaan tercipta sore itu
kau yang berkawan angin
dan aku yang diliput bahagia
pu, aku mencintai sebentuk rupa
yang kau guratkan di wajahku
SudutBumi, November 2007
Pertarungan
selamat datang wahai lelaki
penuhi empat penjuru angin dengan langkah gempita
ikat kuat cemeti itu di pinggangmu
agar tarian ini membentuk formasi akurat
dan bidang dadamu yang telanjang
telah siap untuk mewarnai angkasa dengan
semburat merah darah
siapkan kudakuda agar liuk tubuhmu kuat
menghasilkan aroma memikat
ciptakan kekuatan yang akan guncangkan cakrawala
di sore laknat
lihat kanan dan kiri
setiap saat matamata itu siap memangsa
detik waktu siap mencengkram tubuh
pikirkan sebuah strategi
agar kau memenangkan sayembara ini
wajahwajah kaku saling memercik amarah
adakah dendam yang dihamilkan waktu
atau genta yang telah bertabuh dan saling membisikkan
kebinasaan
ambil cambuk itu
lecutkan waktu
dan pecahkan segera dendam
biar habis segala prasangka
lelaki, apakah kau memerlukan pertolongan
dewadewa akan segera datang
karena sesaji telah dilarung tadi malam
dengarkan suara yang datang dari utara
kau tidak sendiri
kau takkan tersesat
tersebab waktu telah memilihmu sebagai panglima
penjaga kepalakepala singa
hentakkan langkahmu
sekarang
atau kematian memilihmu
sebagai senja temaram
enambelas kaki kuda mengepung
tubuhmu tak lagi berdaya
senyummu hilang dalam tabir melayang
kau kembali mengitung
delapan arah angin begitu murung
dan tubuhmu hanya anyir
selepas bertarung
SudutBumi, Desember 2007
Lelaki Badai
tiupkanlah anginmu
yang akan menumbangkan segala gelisah
hanya ketika datang malam
kau hadir
meringkus tidurku yang lelap
berusaha menemani dari jarak terjauh
tidakkah kau ingat
sebuah ranjang telah basah
oleh keringat amukmu
sebuah gelas telah kau tandaskan isinya
berkalikali menciumi sesuatu yang tak terjamah
masih kurasakan hela nafasmu yang lelah
karena siang selalu saja menjauhkan kita
tentu saja aku cemburu pada angin yang selalu membawamu pergi
aku kalap ketika suaramu tak juga menyapa
hingga di sebuah pagi kau pergi tak kembali
meninggalkan sisa badai yang masih bergemuruh di hati
menyisakan sedikit harapan
rangkaian
perjalanan yang sempat membuatku mabuk
lalu merasakan kecewa
SudutBumi, November 2007
Orangorang Berpayung
selepas bersepakat dengan matahari
kami bergegas ke kota
berjalan menyusuri setapak sepi
tersebab listrik belum menjangkau
kami harus membenahi semua siang hari
merapikan hidup yang serba rumit
karena kami sadar
jelujur yang kami pijak adalak milik semesta
di tempat ini tak ada cahaya
selain matahari sang juru penghangat
walau temaram datang
itu hanya milik malam
yang diterangi bulan
kami selalu gegas
ketika kota yang didatangi hanya menyeringai
begitu asing
tak mengenal wajahwajah kami
sebab kami membutuhkan segala sandang
segala pangan
dan segala perabot
selalu kami bersepakat dengan matahari
agar hujan tak datang
melincirkan setapak jalan
kami pun tetap diam
ketika kematian demi kematian
datang beriringan
memaku setiap petak tanah merah
SudutBumi, Desember 2007
19 November 2007
//kejadian pagi
baru saja aku duduk tenang di kursi
diam menghikmati jejak pembicaraan semalam
tersadar ada sesuatu yang salah
semisal pembicaraan tentang hati
perjalanan kasih ambigu
pesan darimu datang juga
dikirimkan dan terbaca melalui layar ponsel
tentang samar peristiwa
ketika aku memaksamu untuk sebuah pertemuan
ketika rinduku tak dapat lagi kupendam
dan aku hanya ingin bercakap denganmu
sebuah pesan
tumbuh menjadi gundah di hati
tibatiba kau ingin pergi
meninggalkan semua yang masih samar
ingatkah kau,
kita belum sempat menikmati malam bersama
kita belum sempat memandang bulan
dari tempat yang berbeda
kau di kotamu
dan aku di kota lahirku
betapa
waktu semakin memanjang
memperjelas perbedaan
//kejadian sore
aku ingin mencarimu
di sudutsudut mall
barangkali etalase yang kujumpai
menghadirkan bayang dirimu
menyusuri koridor yang berbeda
memaku angkuh pada setiap cakrawala
kau tak ada, yang tersisa hanya kenangan
tak kuduga,
cakrawala anggun di ujung menara
memunculkan dirimu sebagai lelaki hujan
datang hanya di waktuwaktu tertentu
meninggalkan jejak di singgung temu
//kejadian luar biasa
sudahlah, aku tak ingin menyimpan luka
yang ada hanya kecewa
dan diamdiam aku menemukan sosok lain
ia sedang menatap tubuh layuku
di beranda
ketika angin tak lagi merindu
aku tengah mencermati seseorang terduduk
tangannya lincah menggoreskan siluet tubuh
apakah dia dikirimkan langit untukku
matanya masih saja jalang
menembus cakrawala senja
bercampur biru
bercampur merah sumba
SudutBumi, Desember 2007
Akolade
bolehkah aku memanggil namamu
sebuah nama yang akan mengawangkan diri
dalam senyap malam kelam
ketika jeruji pagi mengekalkan waktu pisah
jika memang sementara
sanggupkah aku melupa namamu
katakan semua dalam haru rindu
jalanjalan penuh kenang
petak cahaya yang menyilaukan
maukah kau berbagi sapaan
sekadar mengingatkan
paruh waktu adalah perjalanan pulang
tak ada lagi jembatan penyangga
jam pasir
kedap suara
lamunan hanya melambungkan nama
jangan larang aku untuk menyimpan sebuah nama
dalam ingatan yang makin lamur
selarik harapan masih saja digumamkan
inikah perjumpaan itu
langgam mengosongkan alur cerita
dan kamu adalah tokoh utama dalam kenanganku
jangan palingkan wajahmu
ketika aku mengharap anggukanmu
juga saat senja datang menjemput segala
sesal karena siang membawa namamu
tak kembali
seolah kampung yang patah akibat goncangan
sebab namamu tak hampa lagi dalam ingatan
bolehkah aku memanggil namamu
menjaga rindu untukmu
walau semua takkan kembali
SudutBumi, Maret 2007
Tubuhku dalam Percintaan Platonik
takkan kau temui sisa jelaga dalam tubuhku
hanya periuk bersandar di tubir duha
suci tak tersentuh
mengumbar kidung milik leluhur
agar kau ingat
aku adalah perempuan pertama setelah ibu
semang yang hadir di lesung pipi
jangan berharap
karena tubuh akan selalu merajah alir darah
agar kau tak sempat melupa
setiap sudut waktu
akan menemani menuju muara
lihat lebih dalam
karena setiap hentakkan
membuat lena
tipisnya angin membawa manis tubuh
menoreh roman kecintaan
jika bungkam kupilih
itu pertanda
usai segala bias
dan tubuhku
tetap kukuh menanti tubuh yang lain
SudutBumi, Maret 2007
Semenanjung Muria
kau rasakan pijak mimpimu di tanah ini
serombongan orang datang membawa bencana
menanamkan benihbenih panas udara
lihatlah, karangkarang meradang
ikanikan meracau di tanah leluhur
sepertinya siasat kata tak menjawab gelisah
sembilu menghunjam dasar bumi yang murung
pernahkah kau mendengar kisah jenaka di chernobyl
kisahkisah di tempat lainnya
pernahkah kau pikir betapa lucunya menanam luka
menernak gelisah di benak penderma
tanah adalah sebuah pengharapan
tempat para sunan merecup kedamaian
singgah dan rasakan geletar bumi
di sini ikanikan itu tak ingin bermutasi
SudutBumi, 2007
Ideologi Sastra Remaja: ”Gue Banget!”
S Prana Dharmasta
http://www.sinarharapan.co.id/
Apa yang tengah diperbincangkan banyak kalangan dunia sastra belakangan ini? Tak lain, menonjolnya penjualan karya-karya sastra remaja. Atau yang lebih sering disebut dengan chicklit atau teenlit. Kenapa? Karena, karya sastra yang ditulis oleh (dan untuk) remaja tersebut, melampaui penjualan karya sastra yang lain. Penjualan karya sastra remaja tersebut jauh di atas sastrawan yang terkenal sekalipun. Sungguh, hal yang sangat membanggakan, tentunya.
Analoginya, banyak penulis remaja bisa dikatakan sebagai sastrawan. Penyebutan ini sudah tentu akan menganggu eksistensi para sastrawan atau pemikir sastra yang telah mapan sebelumnya. Lantaran, ternyata mudah mengantongi predikat sastrawan. Sekalipun itu, hanya untuk ukuran karya sastra remaja. Perjalanan yang serbasingkat, namun membuahkan hasil yang menakjubkan. Ini, faktanya.
Jalan panjang menuju Roma! Seorang Sapardi Djoko Damono, yang sastrawan itu memang mengisahkan, karier bersastranya cukup panjang, untuk menjadi seorang yang akhirnya terkenal dalam 25 tahun belakangan ini. Sapardi kecil memang akrab dengan beragam buku bacaan sejak masa kecilnya. Tak heran, jika saat SMU naskahnya sudah dimuat di majalah Horison, yang kala itu diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Ketika mampu menulis di usianya yang belia, tak banyak orang langsung mengenalnya. Ia butuh waktu lebih panjang lagi. Ia masuk Jurusan Sastra UGM, lantas di situ ia baru menemukan komunitas bersastranya bersama Rendra, Darmanto Yatman, ataupun Bakdi Sumanto. Dunia teater dan sastra, itu yang akhirnya membesarkan namanya.
Sebuah perjalanan yang panjang. Mungkin itu tak berlaku bagi para penulis remaja pada saat ini. Terlalu melelahkan, untuk menjadi seorang yang akhirnya dikenal: menjadi sastrawan. Jika saat ini penulis remaja, lantas mengantongi predikat sastrawan begitu cepat, apa sebenarnya yang bisa didampakkan ? Ini bukan persoalan yang sederhana untuk bisa dikupas. Bisa dibayangkan, bertahun-tahun sastrawan muda harus ”berjuang” yang akhirnya mengantongi predikat sastrawan. Namun, penulis remaja saat ini, begitu cepat bisa bergelimang popularitas.
”Gue Banget!”
Karya teenlit, atau chicklit memang menandai babak baru dunia sastra Tanah Air. Karya-karya ini lebih merujuk pada sebuah dunia, yang memang identik dengan kehidupan remaja. Di Amerika, sastra teenlit ataupun chicklit ini, dikenal pula dengan istilah chick fic. Yang artinya, merujuk pada sebuah karya yang memang diperuntukkan oleh kaum gadis. Sedangkan satu yang menonjol dari karya-karya chicklit ini adalah bentuk karya sastra yang menghibur, mampu menawarkan relaksasi, mengandungi unsur kelucuan dan segar.
Banyak kalangan masih belum sepakat, siapa sebenarnya yang mengawali, mempopulerkan karya teenlit ataupun chicklit. Konon, ada yang menyebut bahwa Jostein Gaarner-lah yang mengibarkannya. Yakni, lewat karyanya yang berjudul Sophie’s World. Namun, sebagian meyakini bahwa JK Rowling-lah yang lebih dominan berkarya lewat Harry Potter-nya. Sementara, versi Amerika mengungkapkan bahwa karya Bridget Jones’s Diary karya Helen Fielding, yang justru mengawalinya. Memang belum terdapat kesepakatan yang mendasar soal siapa yang mendahului. Tapi kita lihat, bahwa dari karya-karya tersebut memang terdapat perbedaan.
Dunia sastra remaja kita memang telah melahirkan beberapa penulis belia. Tercatat sejumlah nama yang memang menonjol secara karya dan mampu meraup penjualan yang sangat tidak masuk akal untuk penjualan buku sastra remaja. Dan mengingatkan kita pada sukses yang pernah diraih oleh Hilman Hadiwijaya dengan Lupus, ataupun Gola Gong era 1980-an. Karya sastra remaja yang menonjol pada saat ini, misalnya Area X karya Elisa Handayani, Novita Nastiti dengan karya Subjek:Re, Rachmania Arunita dengan Eifel I’M In Love, dan yang lain.
Lantas, di tengah begitu suksesnya karya-karya teenlit – chicklit kita dihadapkan pada beberapa justifikasi, yang secara samar bisa mengungkapkan ideologi-ideologi dari karya sastra remaja tersebut.
Pertama, remaja (pembaca belia) adalah segmen buku yang cukup potensial. Mereka adalah sekelompok pasar, yang selama ini tidak digarap secara serius oleh dunia penerbitan. Selama ini, untuk karya sastra, lebih menitikberatkan pada sosok penulis yang ternama, telah mapan atau bahkan selebriti sekalipun akan dibayar untuk membuat buku jika mereka mampu.
Kedua, tema yang diangkat dalam chicklit adalah wilayah yang selama ini termarjinalkan dalam karya sastra. Dunia dengan tema sederhana, sehari-hari, menjadi unik bila justru dituturkan oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Mayoritas karya remaja tersebut mengungkapkan kehidupan dunia mereka, hubungan laki-laki–perempuan yang ditafsir dengan tingkatan umur mereka. Dunia sekolah, cinta, remaja dalam kehidupan keluarga, hubungan pertemanan yang berhubungan dunia remaja mereka kupas. Bahkan yang menarik adalah impian mereka tentang satu dunia yang ideal, yang bisa dibangun menurut mereka.
Ketiga, peran dunia penerbitan sangat penting bagi popularitas karya remaja tersebut. Terungkap, bahwa pada saat ini begitu banyak penerbitan buku yang siap menerbitkan naskah apa pun. Dengan modal mampu mencetak 1.000 eksemplar buku, maka Anda sudah bisa disebut sebagai penerbit. Tidak sulit memang. Peran penerbit inilah yang sangat dominan dalam mendongkrak jumlah penjualan buku karya remaja. Promosi yang gencar, sistem marketing yang mapan menjadi salah satu faktor, kenapa popularitas penulis remaja ini begitu cepat terdongkrak.
Segmen pembaca remaja, memang butuh media. Media yang memang mampu mengakomodasikan kebutuhan dan mengangkat sebuah dunia yang tengah mereka alami. Jangan heran, jika karya-karya remaja tersebut begitu spontan dan ekspresif. Terkadang, kita juga menemukan serangkaian kejujuran, yang memang tak pernah bisa ditulis oleh seorang sastrawan yang ternama sekalipun.
Keberagaman
Peta dunia sastra memang acapkali ditengarai oleh karya-karya yang serius, dan meneror. Barangkali, banyak sastrawan mapan dan ternama akan merasa kaget dengan prestasi yang telah penulis remaja. Angka penjualan yang menakjubkan, popularitas di usia belia, sudah mereka dapat. Sementara, acapkali terungkap pengalaman bahwa untuk ukuran sastrawan ternama dan produktif sekalipun teramat sulit untuk bisa masuk ke penerbitan. Karya mereka, sering ditolak, oleh banyak penerbit. Yang paling ironis, popularitas (dan ekonomi)nya juga turun naik.
Sederet karya remaja, memang telah menggoda untuk dikonsumsi. Sejumlah karya remaja, yang bertutur tentang dunia mereka justru tengah menjadi idola dunia penerbitan. Alasannya adalah, hanya kalangan penulis remaja, yang saat ini mampu memberikan keuntungan yang serba cepat bagi dunia penerbitan. Ini alasannya.
Hadirnya karya sastra remaja, sudah tentu menawarkan warna lain dalam dunia sastra. Dunia remaja, memang layak untuk dipresentasikan, dipublikasikan. Namun, biarlah mereka sendiri yang mengucapkannya. ***
*) Penulis adalah penggiat sastra tinggal di Prambanan Jateng
http://www.sinarharapan.co.id/
Apa yang tengah diperbincangkan banyak kalangan dunia sastra belakangan ini? Tak lain, menonjolnya penjualan karya-karya sastra remaja. Atau yang lebih sering disebut dengan chicklit atau teenlit. Kenapa? Karena, karya sastra yang ditulis oleh (dan untuk) remaja tersebut, melampaui penjualan karya sastra yang lain. Penjualan karya sastra remaja tersebut jauh di atas sastrawan yang terkenal sekalipun. Sungguh, hal yang sangat membanggakan, tentunya.
Analoginya, banyak penulis remaja bisa dikatakan sebagai sastrawan. Penyebutan ini sudah tentu akan menganggu eksistensi para sastrawan atau pemikir sastra yang telah mapan sebelumnya. Lantaran, ternyata mudah mengantongi predikat sastrawan. Sekalipun itu, hanya untuk ukuran karya sastra remaja. Perjalanan yang serbasingkat, namun membuahkan hasil yang menakjubkan. Ini, faktanya.
Jalan panjang menuju Roma! Seorang Sapardi Djoko Damono, yang sastrawan itu memang mengisahkan, karier bersastranya cukup panjang, untuk menjadi seorang yang akhirnya terkenal dalam 25 tahun belakangan ini. Sapardi kecil memang akrab dengan beragam buku bacaan sejak masa kecilnya. Tak heran, jika saat SMU naskahnya sudah dimuat di majalah Horison, yang kala itu diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Ketika mampu menulis di usianya yang belia, tak banyak orang langsung mengenalnya. Ia butuh waktu lebih panjang lagi. Ia masuk Jurusan Sastra UGM, lantas di situ ia baru menemukan komunitas bersastranya bersama Rendra, Darmanto Yatman, ataupun Bakdi Sumanto. Dunia teater dan sastra, itu yang akhirnya membesarkan namanya.
Sebuah perjalanan yang panjang. Mungkin itu tak berlaku bagi para penulis remaja pada saat ini. Terlalu melelahkan, untuk menjadi seorang yang akhirnya dikenal: menjadi sastrawan. Jika saat ini penulis remaja, lantas mengantongi predikat sastrawan begitu cepat, apa sebenarnya yang bisa didampakkan ? Ini bukan persoalan yang sederhana untuk bisa dikupas. Bisa dibayangkan, bertahun-tahun sastrawan muda harus ”berjuang” yang akhirnya mengantongi predikat sastrawan. Namun, penulis remaja saat ini, begitu cepat bisa bergelimang popularitas.
”Gue Banget!”
Karya teenlit, atau chicklit memang menandai babak baru dunia sastra Tanah Air. Karya-karya ini lebih merujuk pada sebuah dunia, yang memang identik dengan kehidupan remaja. Di Amerika, sastra teenlit ataupun chicklit ini, dikenal pula dengan istilah chick fic. Yang artinya, merujuk pada sebuah karya yang memang diperuntukkan oleh kaum gadis. Sedangkan satu yang menonjol dari karya-karya chicklit ini adalah bentuk karya sastra yang menghibur, mampu menawarkan relaksasi, mengandungi unsur kelucuan dan segar.
Banyak kalangan masih belum sepakat, siapa sebenarnya yang mengawali, mempopulerkan karya teenlit ataupun chicklit. Konon, ada yang menyebut bahwa Jostein Gaarner-lah yang mengibarkannya. Yakni, lewat karyanya yang berjudul Sophie’s World. Namun, sebagian meyakini bahwa JK Rowling-lah yang lebih dominan berkarya lewat Harry Potter-nya. Sementara, versi Amerika mengungkapkan bahwa karya Bridget Jones’s Diary karya Helen Fielding, yang justru mengawalinya. Memang belum terdapat kesepakatan yang mendasar soal siapa yang mendahului. Tapi kita lihat, bahwa dari karya-karya tersebut memang terdapat perbedaan.
Dunia sastra remaja kita memang telah melahirkan beberapa penulis belia. Tercatat sejumlah nama yang memang menonjol secara karya dan mampu meraup penjualan yang sangat tidak masuk akal untuk penjualan buku sastra remaja. Dan mengingatkan kita pada sukses yang pernah diraih oleh Hilman Hadiwijaya dengan Lupus, ataupun Gola Gong era 1980-an. Karya sastra remaja yang menonjol pada saat ini, misalnya Area X karya Elisa Handayani, Novita Nastiti dengan karya Subjek:Re, Rachmania Arunita dengan Eifel I’M In Love, dan yang lain.
Lantas, di tengah begitu suksesnya karya-karya teenlit – chicklit kita dihadapkan pada beberapa justifikasi, yang secara samar bisa mengungkapkan ideologi-ideologi dari karya sastra remaja tersebut.
Pertama, remaja (pembaca belia) adalah segmen buku yang cukup potensial. Mereka adalah sekelompok pasar, yang selama ini tidak digarap secara serius oleh dunia penerbitan. Selama ini, untuk karya sastra, lebih menitikberatkan pada sosok penulis yang ternama, telah mapan atau bahkan selebriti sekalipun akan dibayar untuk membuat buku jika mereka mampu.
Kedua, tema yang diangkat dalam chicklit adalah wilayah yang selama ini termarjinalkan dalam karya sastra. Dunia dengan tema sederhana, sehari-hari, menjadi unik bila justru dituturkan oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Mayoritas karya remaja tersebut mengungkapkan kehidupan dunia mereka, hubungan laki-laki–perempuan yang ditafsir dengan tingkatan umur mereka. Dunia sekolah, cinta, remaja dalam kehidupan keluarga, hubungan pertemanan yang berhubungan dunia remaja mereka kupas. Bahkan yang menarik adalah impian mereka tentang satu dunia yang ideal, yang bisa dibangun menurut mereka.
Ketiga, peran dunia penerbitan sangat penting bagi popularitas karya remaja tersebut. Terungkap, bahwa pada saat ini begitu banyak penerbitan buku yang siap menerbitkan naskah apa pun. Dengan modal mampu mencetak 1.000 eksemplar buku, maka Anda sudah bisa disebut sebagai penerbit. Tidak sulit memang. Peran penerbit inilah yang sangat dominan dalam mendongkrak jumlah penjualan buku karya remaja. Promosi yang gencar, sistem marketing yang mapan menjadi salah satu faktor, kenapa popularitas penulis remaja ini begitu cepat terdongkrak.
Segmen pembaca remaja, memang butuh media. Media yang memang mampu mengakomodasikan kebutuhan dan mengangkat sebuah dunia yang tengah mereka alami. Jangan heran, jika karya-karya remaja tersebut begitu spontan dan ekspresif. Terkadang, kita juga menemukan serangkaian kejujuran, yang memang tak pernah bisa ditulis oleh seorang sastrawan yang ternama sekalipun.
Keberagaman
Peta dunia sastra memang acapkali ditengarai oleh karya-karya yang serius, dan meneror. Barangkali, banyak sastrawan mapan dan ternama akan merasa kaget dengan prestasi yang telah penulis remaja. Angka penjualan yang menakjubkan, popularitas di usia belia, sudah mereka dapat. Sementara, acapkali terungkap pengalaman bahwa untuk ukuran sastrawan ternama dan produktif sekalipun teramat sulit untuk bisa masuk ke penerbitan. Karya mereka, sering ditolak, oleh banyak penerbit. Yang paling ironis, popularitas (dan ekonomi)nya juga turun naik.
Sederet karya remaja, memang telah menggoda untuk dikonsumsi. Sejumlah karya remaja, yang bertutur tentang dunia mereka justru tengah menjadi idola dunia penerbitan. Alasannya adalah, hanya kalangan penulis remaja, yang saat ini mampu memberikan keuntungan yang serba cepat bagi dunia penerbitan. Ini alasannya.
Hadirnya karya sastra remaja, sudah tentu menawarkan warna lain dalam dunia sastra. Dunia remaja, memang layak untuk dipresentasikan, dipublikasikan. Namun, biarlah mereka sendiri yang mengucapkannya. ***
*) Penulis adalah penggiat sastra tinggal di Prambanan Jateng
Puisi-Puisi Cinta Chairil yang Menggetarkan
Tjahjono Widarmanto
http://www.sinarharapan.co.id/
Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosok Chairil Anwar. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia.
Ialah yang dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan.
Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya). Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:
…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni; vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…
(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sejaknya yang paling populer, ”Aku”.
Sungguhpun demikian, seliar-liarnya, Chairil tetaplah seorang seniman yang tak luput dari perasaan romantisme, bahkan sentimentil saat ia terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan nama-nama wanita; ada yang memang dipacarinya, ada yang ditaksirnya tapi tak terbalas sehingga ia patah hati, ada pula yang sangat mencintai dan dicintainya tapi tak pernah sampai pada perkawinan.
Wanita-wanita itu dan ”pengalamannya” dengan wanita-wanita itu menjadi sumber inspirasinya bahkan nama-namanya secara tersurat hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama-nama Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Saat bersentuhan dengan persoalan cinta dan wanita ini, Chairil Anwar bisa menjelma menjadi sosok yang amat halus dan romantis. Perasaan cinta digambarkannya dengan aksentuasi lembut dan bersahaja, seperti pada puisi yang dipersembahkannya pada Gadis Rasid:
Buat Gadis Rasid
Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur
………………..
Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat
Dalam puisi di atas dengan amat lembut Chairil bertutur perasaan hatinya yang tercepit cinta. Hampir tidak ada kata-kata yang bombas dan ekspresif, seolah-olah hanya gumaman cinta yang mendesak di dada. Pada puisi ”Puncak”, romantisme cinta Chairil memuncak dan diucapkannya dengan terus-terang:
………..kita berbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang
………..
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupa
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..
Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:
Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)
Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap
Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa dalam puisi ini. Diksi-diksi:
gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut. Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan.
Merupakan komposisi yang sedemikian rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Kadang-kadang melompat kenakalan dan keliarannya dalam melukiskan keberadaan wanita, bahkan dengan cara yang mengejutkan dan kurang ajar, seperti terdapat pada penggalan puisinya yang berjudul ”Kepada Kawan” di bawah ini:
…….
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Kenakalan dan keliaran semacam itu juga muncul saat Chairil menggambarkan perasaan dan hasrat birahi yang menggebu-gebu, yang diungkapkannya secara terus terang:
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….
Keterusterangan yang gamblang dalam menggambarkan hasrat seksual semacam di atas, juga muncul dalam puisi-puisinya yang lain, seperti pada ”Tuti Artic”:
…../Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa/…ketika kita bersepeda kuantar kau pulang…/panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara/.
Di antara puisi-puisi Chairil yang bersinggungan dengan wanita dan cinta seperti di atas, ada dua buah puisi cinta Chairil yang sangat menggetarkan hati dan paling terindah yang dipersembahkannya untuk seorang gadis yang bernama Sumirat. Konon gadis ini adalah gadis yang paling mencintai dan dicintai. Namun sayang keluarga Sumirat, yang tinggal di Paron, sebuah desa kecil di Ngawi, tak menghendaki Chairil jadi menantunya.
Salah satu puisi itu berjudul ”Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis Chairil pada tahun kematiannya yang disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang terus menyala sampai maut merenggut. Inilah puisi itu selengkapnya:
Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.
Dalam puisi di atas tampak sekali cinta yang dalam pada diri Chairil pada Sumirat, gadis yang dikaguminya itu. Dan bagi Chairil, Sumirat menjadi semangat pendorong cita-citanya untuk terus berkarya; seperti tertulis pada suratnya untuk HB Jassin pada bulan Maret 1944: ”Orang selalu saja salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.
Cinta Chairil dan Mirat memang abadi dalam sajak, tapi mereka tak pernah berhasil menikah. Chairil juga berhasil membuktikan kepada Mirat bahwa karya-karya bermutu dan berharga tinggi. Mirat atau Sumirat yang berpisah karena perang kemerdekaan, akhirnya mendengar semuanya tentang bagaimana ia beristri, punya anak, dan mati muda, juga bagaimana namanya menjadi besar, menjadi mitos. Dan, Sumirat, gadis yang pernah dicintai dan mencintai Chairil habis-habisan itu bertutur (Intisari; Juni 1971):
…Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimanapun aku pernah mengenal baik dengan almarhum”.
Puisinya yang lain, yang juga dipersembahkan buat Sumirat sangat menampakkan romantisme, harapan, dan sanjungan yang luar biasa dan menggetarkan dari gelombang jiwa seorang Chairil. Puisi ini boleh dikatakan paling romantis, paling indah dan mewakili estetika yang lain. Estetika yang romantis, indah, lembut, dan menggetarkan ini menyajikan warna yang lain di samping warna puisi Chairil yang meledak-ledak; liar, dan ekspresif; yang melengkapi kedahsyatan kepenyairan Chairil Anwar. Saya kutipkan puisi itu untuk mengakhiri tulisan ini:
Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….***
-----------
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.
http://www.sinarharapan.co.id/
Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosok Chairil Anwar. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia.
Ialah yang dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan.
Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya). Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:
…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni; vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…
(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sejaknya yang paling populer, ”Aku”.
Sungguhpun demikian, seliar-liarnya, Chairil tetaplah seorang seniman yang tak luput dari perasaan romantisme, bahkan sentimentil saat ia terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan nama-nama wanita; ada yang memang dipacarinya, ada yang ditaksirnya tapi tak terbalas sehingga ia patah hati, ada pula yang sangat mencintai dan dicintainya tapi tak pernah sampai pada perkawinan.
Wanita-wanita itu dan ”pengalamannya” dengan wanita-wanita itu menjadi sumber inspirasinya bahkan nama-namanya secara tersurat hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama-nama Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Saat bersentuhan dengan persoalan cinta dan wanita ini, Chairil Anwar bisa menjelma menjadi sosok yang amat halus dan romantis. Perasaan cinta digambarkannya dengan aksentuasi lembut dan bersahaja, seperti pada puisi yang dipersembahkannya pada Gadis Rasid:
Buat Gadis Rasid
Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur
………………..
Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat
Dalam puisi di atas dengan amat lembut Chairil bertutur perasaan hatinya yang tercepit cinta. Hampir tidak ada kata-kata yang bombas dan ekspresif, seolah-olah hanya gumaman cinta yang mendesak di dada. Pada puisi ”Puncak”, romantisme cinta Chairil memuncak dan diucapkannya dengan terus-terang:
………..kita berbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang
………..
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupa
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..
Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:
Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)
Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap
Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa dalam puisi ini. Diksi-diksi:
gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut. Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan.
Merupakan komposisi yang sedemikian rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Kadang-kadang melompat kenakalan dan keliarannya dalam melukiskan keberadaan wanita, bahkan dengan cara yang mengejutkan dan kurang ajar, seperti terdapat pada penggalan puisinya yang berjudul ”Kepada Kawan” di bawah ini:
…….
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Kenakalan dan keliaran semacam itu juga muncul saat Chairil menggambarkan perasaan dan hasrat birahi yang menggebu-gebu, yang diungkapkannya secara terus terang:
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….
Keterusterangan yang gamblang dalam menggambarkan hasrat seksual semacam di atas, juga muncul dalam puisi-puisinya yang lain, seperti pada ”Tuti Artic”:
…../Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa/…ketika kita bersepeda kuantar kau pulang…/panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara/.
Di antara puisi-puisi Chairil yang bersinggungan dengan wanita dan cinta seperti di atas, ada dua buah puisi cinta Chairil yang sangat menggetarkan hati dan paling terindah yang dipersembahkannya untuk seorang gadis yang bernama Sumirat. Konon gadis ini adalah gadis yang paling mencintai dan dicintai. Namun sayang keluarga Sumirat, yang tinggal di Paron, sebuah desa kecil di Ngawi, tak menghendaki Chairil jadi menantunya.
Salah satu puisi itu berjudul ”Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis Chairil pada tahun kematiannya yang disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang terus menyala sampai maut merenggut. Inilah puisi itu selengkapnya:
Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.
Dalam puisi di atas tampak sekali cinta yang dalam pada diri Chairil pada Sumirat, gadis yang dikaguminya itu. Dan bagi Chairil, Sumirat menjadi semangat pendorong cita-citanya untuk terus berkarya; seperti tertulis pada suratnya untuk HB Jassin pada bulan Maret 1944: ”Orang selalu saja salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.
Cinta Chairil dan Mirat memang abadi dalam sajak, tapi mereka tak pernah berhasil menikah. Chairil juga berhasil membuktikan kepada Mirat bahwa karya-karya bermutu dan berharga tinggi. Mirat atau Sumirat yang berpisah karena perang kemerdekaan, akhirnya mendengar semuanya tentang bagaimana ia beristri, punya anak, dan mati muda, juga bagaimana namanya menjadi besar, menjadi mitos. Dan, Sumirat, gadis yang pernah dicintai dan mencintai Chairil habis-habisan itu bertutur (Intisari; Juni 1971):
…Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimanapun aku pernah mengenal baik dengan almarhum”.
Puisinya yang lain, yang juga dipersembahkan buat Sumirat sangat menampakkan romantisme, harapan, dan sanjungan yang luar biasa dan menggetarkan dari gelombang jiwa seorang Chairil. Puisi ini boleh dikatakan paling romantis, paling indah dan mewakili estetika yang lain. Estetika yang romantis, indah, lembut, dan menggetarkan ini menyajikan warna yang lain di samping warna puisi Chairil yang meledak-ledak; liar, dan ekspresif; yang melengkapi kedahsyatan kepenyairan Chairil Anwar. Saya kutipkan puisi itu untuk mengakhiri tulisan ini:
Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….***
-----------
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.
Napak Tilas Perdamaian dari Jogja
Bernando J Sujibto
http://darisebuahsudut.blogspot.com/
Tidak salah jika hidup memburu kedamaian. Meskipun sesulit apapun bentuknya, damai selalu menjadi tujuan hidup terakhir kita. Namun sejalan dengan itu pula, damai seolah menjadi utopis, sebuah konstruksi yang tidak pernah tercapai. Entah dimana kelak kita menemukan nilai damai (peace) itu?
Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang didamba-dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia! Ia pun menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.
Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari Jogja melalui buku Pelangi Damai di Sudut Jogja, nilai kedamaian itu bisa dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian, ala perspektif buku ini, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang ’dagangan’ yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional! Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.
Dalam perkembangannya, istilah damai terus bermetamorfosis sesuai dengan zaman dan ruang tafsirnya sendiri. Ia bukan sekedar bermakna Pax, dalam bahasa Roma kuno, yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang. Namun hadirnya keadilan (presence of justice)—dalam segala bentuk dan implikasinya—di tengah sistem kehidupan yang kompleks menjadi ejawantah arti damai yang patut diapresiasi bersama. Tesis itu muncul dari jargon perdamaian yang cukup populer seperti ucapan Martin Luther King, Jr: "True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of justice.” Ketiadaan perang tidaklah cukup dijadikan justifikasi bahwa kehidupan kita telah menggapai perdamaian di muka bumi.
Damai Ada di Sekitar
Hadirnya buku ini seperti hendak menegaskan bahwa damai ada di sekitar, tepatnya di komunitas kecil dimana kita berkumpul. Buku ini terbit dari hasil diskusi dan ‘gerilya’ ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol dan spirit perdamaian di kota Jogja. Penulisnya terdiri dari satu tim berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah generasi muda usia 18-22 tahun. Mereka berkumpul dan membuat komunitas yang menamakan diri Peace Generation (Pisgen) yang berpusat di salah satu serambi ruangan (pinjaman dari) Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Siapa pun yang siap menyebarkan virus perdamaian bisa masuk dan bergabung bersama mereka.
Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda yang ada di Jogja dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Pisgen telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.
Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Sejak tahun 2002 komunitas ini telah melahirkan lima angkatan yaitu Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), Student Camps For Peace (SCP), Peace in Our Neighbourhood (PION), Feeling Peace in Our School (PIOS), dan terakhir adalah Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dihelat pada awal tahun 2008 dan telah menghasilkan buku memoar penting ini.
Tim penulis melakukan pengamatan dan penggalian sumber informasi di sembilan tempat yang meneguhkan city of tolerance bagi Jogja. Mereka mewawancarai tokoh di daerah-daerah yang menjadi simbol dan identitas pluralisme kota gudek yang terbina dengan baik hingga hari ini. Sembilan tempat itu adalah Kraton Jogja, Komuinitas Gayam 16, Padepokan Bagong Kassudiardja, Komunitas Eben Ezer, LSM Kebaya, YAKKUM, Fakultas Kedokteran UGM, Pura Jagatnata, Vihara Budha Prabha. Penulis buku ini mencari nilai perdamaian yang diperjuangkan di balik sembilan tempat di atas.
Cara penyajiannya cukup enak dan enteng karena diceritakan oleh orang pertama (Aku) plus dengan sokongan gambar yang sesuai. “Aku” muncul sebagai sosok mahasiswa baru yang tidak menahu tentang Jogja. Saat itulah dimulai perjalanan panjang dan sarat nilai perdamaian di balik ornamen sejarah dan eksotisme simbol-simbol budaya yang melekat di Jogja. Hikmah di balik perjalanan itu pada akhirnya menyentuh persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bakal melahirkan toleransi, tenggang rasa, dan kedewasaan sikap di antara kelompok masyarakat yang plural. Melalui buku ini kita akan menemukan bagaimana mengenal dan menerima sebuah kenyataan hidup kita yang heterogen; bagaimana merawat perbedaan itu supaya tetap tumbuh indah memesona.
Napak tilas perdamaian ini dimulai di Kraton Jogja. Simbol kraton bagi rakyat Jogja adalah segala-galanya karena dari situlah titik tolak kehidupan mereka dimulai. Rakyat Jogja merasakan ketenangan dan kedamaian berada di bawah kraton dan raja khususnya Sultan Hamengku Bowono IX, dimana pada waktu itu Belanda dan Jepang bergantian ingin menguasai Jogja. Ornamen tradisi kraton seperti instrumen musik lokal dengan tari-tarian indah semampai merupakan mediasi demi mencapai ketenangan dan kenyamanan bersama bagi rakyat Jogja di tengah gedebus genderang perang penjajah.
Upaya kraton untuk melindungi rakyat agar aman juga terlihat dari catatan historis pembangunan Selokan Mataram. Selokan ini dibangun atas inisiatif sultan HB IX demi menyelamatan rakyat Jogja yang diincar menjadi pekerja rumosha oleh Jepang (hlm 17).
Ekspedisi selanjutnya sampai di Komunitas Gayam 16. ”Aku” semakin yakin bahwa jalan menuju damai begitu banyak. Salah satunya adalah seni tradisi warisan nenek moyang seperti gamelan yang dikembangkan di komunitas ini. Pada perangkat gamelan akan ditemukan perpaduan birama dari instrumen yang komplit menjadi irama merdu dan kaya akan makna ihwal sebuah penciptaan yang kuat dan murni. Kedekatan seni dengan nilai-nilai perdamaian juga ditemukan di Padepokan Bagong Kassudiardja, sebuah komunitas seni yang sekarang digawangi seniman Butet Kertarajasa, putra kedua Bagong Kassudiardja. Bagi kedua komunitas di atas peran seni bisa dipahami sebagai active non-violence (ANV), sebuah upaya halus dan indah demi menggugah kesadaran kemanusian. Seni selalu menawarkan solusi nir-kekerasan terhadap berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat kita (hlm. 39).
Selanjutnya, ”aku” yang terus melanglang sudut-sudut kota Jogja menemukan bagian penting dari dinamika kota besar, yatiu Komunitas Eben Ezer, sebuah komunitas anak jalanan (pengamen, pemulung, waria dan PSK) yang berpusat di Stasiun Lempuyangan (hlm 47). Ia menemukan rahasia terdalam di balik kota Jogja yang terkenal berpendidikan, berbudaya dan halus pembawaannya. Kisah perjalanan itu dirasakan semakin lengkap ketika ia sempat bertandang ke LSM KEBAYA alias Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah lembaga penggiat masalah eksistensi waria di Jogja. Di lembaga ini kita dapat menemui Mami Vin, seorang penggerak yang tak kenal lelah sehingga berhasil membawa nama KEBAYA sebagai lembaga waria paling solid di Jogja bahkan di Indonesia.
Membangun Solidaritas
Persinggahannya di Eben Ezer dan KEBAYA mengajarkan tentang solidaritas antar sesama demi menggapai kebersamaan dan kedamaian. Solidaritas yang dibentuk pun bukan sekedar solidaritas deskriptif tapi normatif. Solidaritas normatif adalah bentuk solidaritas dimana seorang tidak hanya merasa simpati semata tetapi sikap itu diterjemahkan dan diintegrasikan secara afektif, kognitif dan aksi untuk membantu mereka yang membutuhkan (hlm. 57-58). Ujian solidaritas itu akan dietemukan ketika kita singgah di YAKKUM, sebuah komunitas bagi penyandang cacat atau kaum difabel yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13.5. Di sini rasa manusiawi akan diuji ketika berhadapan dengan sosok insan yang ternyata tidak sesempurna kita. Kesadaran tentang potensi dan kekuarangan manusia akan terketuk di sana.
Tentang resolusi konflik dan cara kita bergaul dengan anak bangsa yang sempat bersitegang dengan kita dapat kita pelajari dari perjalanan sang tokoh ketika mampir ke Fakultas Kedokteran Internasional UGM dimana mayoritas mahasiswanya berasal dari Malaysia. Bagaimana kita membayangkan kelancangan negeri Pak Cik itu ketika mengklaim hasil ciptaan dan tradisi tulen bangsa Indonesia? Namun, napak tilas tokoh utama kita ini mengajarkan bagi semua bangsa bahwa dialog dan silaturahmi adalah aksi terpenting demi mewujudkan perdamaian bersama. Mahasiswa Malaysia yang tinggal di Jogja merasa bisa tenang dan nyaman belajar oleh karena sikap generasi muda kita yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kedamaian di negeri ini.
Di bagian akhir memoar perjalanan ini pembaca akan menemukan kekayaan budaya dan agama yang ada di Jogja. Ada Vihara Budha Prabha di jalan Brigjen Katamso dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dua simbol pluralisme agama itu mengisyarakat kompleksitas budaya dan tradisi Jogja sebagai Indonesia mini. Namun demikian, masih banyak budaya dan simbol tradisi sebagai penjunjung nilai perdamaian yang tidak terangkum dalam memoar perjalanan singkat ini. Sehingga di akhir perjalanan sang tokoh menuliskan: “ dan ini bukan akhir dari sebuah perjalanan…..” (hlm 107) karena jalan menuju damai memang masih panjang tetapi bukan berarti jauh.
http://darisebuahsudut.blogspot.com/
Tidak salah jika hidup memburu kedamaian. Meskipun sesulit apapun bentuknya, damai selalu menjadi tujuan hidup terakhir kita. Namun sejalan dengan itu pula, damai seolah menjadi utopis, sebuah konstruksi yang tidak pernah tercapai. Entah dimana kelak kita menemukan nilai damai (peace) itu?
Setiap tanggal 21 September, sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001 melalui resolusi 55/282, ditetapkanlah Hari Perdamaian Internasional. Ini adalah salah satu upaya demi menuai kedamaian hidup bersama di muka bumi. Jalan menuju perdamaian pun ramai diserukan oleh semua orang kahir-akhir ini, lebih-lebih oleh badan internasional sekelas PBB. Perdamaian seperti suatu idealita kehidupan yang didamba-dambakan bersama. Namun, di tengah gejolak konflik perang yang berkepanjangan dan ancaman inkonsistensi terhadap sistem dunia khususnya negara-negara adikuasa, perdamaian seperti sebuah utopia! Ia pun menjadi proyek sarat kepentingan di pentas global.
Saat ini waktunya kita mulai mengurai sebuah perspektif baru tentang perdamaian yang sedikit terlewatkan oleh institusi-institusi global di atas. Dari Jogja melalui buku Pelangi Damai di Sudut Jogja, nilai kedamaian itu bisa dihadirkan dalam setiap kesempatan kapan dan dimana pun. Karena perdamaian, ala perspektif buku ini, adalah suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang ’dagangan’ yang harus dilegokan dalam pentas lelang internasional! Namun, nilai perdamaian dapat dimulai dari diri sendiri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, nasional, dan hingga dirasakan ke pentas internasional.
Dalam perkembangannya, istilah damai terus bermetamorfosis sesuai dengan zaman dan ruang tafsirnya sendiri. Ia bukan sekedar bermakna Pax, dalam bahasa Roma kuno, yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang. Namun hadirnya keadilan (presence of justice)—dalam segala bentuk dan implikasinya—di tengah sistem kehidupan yang kompleks menjadi ejawantah arti damai yang patut diapresiasi bersama. Tesis itu muncul dari jargon perdamaian yang cukup populer seperti ucapan Martin Luther King, Jr: "True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of justice.” Ketiadaan perang tidaklah cukup dijadikan justifikasi bahwa kehidupan kita telah menggapai perdamaian di muka bumi.
Damai Ada di Sekitar
Hadirnya buku ini seperti hendak menegaskan bahwa damai ada di sekitar, tepatnya di komunitas kecil dimana kita berkumpul. Buku ini terbit dari hasil diskusi dan ‘gerilya’ ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol dan spirit perdamaian di kota Jogja. Penulisnya terdiri dari satu tim berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah generasi muda usia 18-22 tahun. Mereka berkumpul dan membuat komunitas yang menamakan diri Peace Generation (Pisgen) yang berpusat di salah satu serambi ruangan (pinjaman dari) Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Siapa pun yang siap menyebarkan virus perdamaian bisa masuk dan bergabung bersama mereka.
Prestasi komunitas yang berdiri sejak 10 Juni 2002 ini tergolong cemerlang baik dalam negeri khususnya di lokal Jogja dan sesekali terlibat di berbagai kegiatan pemuda perdamaian di kancah internasional. Komunitas ini seperti sebuah rumah bagi semua generasi muda yang ada di Jogja dengan latar belakang berbeda baik agama, ras, etnis dan suku. Pisgen telah melakukan penyebaran virus perdamaian khususnya kepada generasi muda dimulai dari Jogja untuk Indonesia. Terbukti di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh dan Ambon komunitas ini telah menambatkan jejaringnya.
Setiap tahun mereka melakukan kegiatan yang dikemas dalam bentuk Peace Camp dalam rangka membicarakan perdamaian dan segala macam aksiomanya. Sejak tahun 2002 komunitas ini telah melahirkan lima angkatan yaitu Youth Camp for Democracy and Peace (YCDP), Student Camps For Peace (SCP), Peace in Our Neighbourhood (PION), Feeling Peace in Our School (PIOS), dan terakhir adalah Jogja Peace Amizing Race (JPAR) dihelat pada awal tahun 2008 dan telah menghasilkan buku memoar penting ini.
Tim penulis melakukan pengamatan dan penggalian sumber informasi di sembilan tempat yang meneguhkan city of tolerance bagi Jogja. Mereka mewawancarai tokoh di daerah-daerah yang menjadi simbol dan identitas pluralisme kota gudek yang terbina dengan baik hingga hari ini. Sembilan tempat itu adalah Kraton Jogja, Komuinitas Gayam 16, Padepokan Bagong Kassudiardja, Komunitas Eben Ezer, LSM Kebaya, YAKKUM, Fakultas Kedokteran UGM, Pura Jagatnata, Vihara Budha Prabha. Penulis buku ini mencari nilai perdamaian yang diperjuangkan di balik sembilan tempat di atas.
Cara penyajiannya cukup enak dan enteng karena diceritakan oleh orang pertama (Aku) plus dengan sokongan gambar yang sesuai. “Aku” muncul sebagai sosok mahasiswa baru yang tidak menahu tentang Jogja. Saat itulah dimulai perjalanan panjang dan sarat nilai perdamaian di balik ornamen sejarah dan eksotisme simbol-simbol budaya yang melekat di Jogja. Hikmah di balik perjalanan itu pada akhirnya menyentuh persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bakal melahirkan toleransi, tenggang rasa, dan kedewasaan sikap di antara kelompok masyarakat yang plural. Melalui buku ini kita akan menemukan bagaimana mengenal dan menerima sebuah kenyataan hidup kita yang heterogen; bagaimana merawat perbedaan itu supaya tetap tumbuh indah memesona.
Napak tilas perdamaian ini dimulai di Kraton Jogja. Simbol kraton bagi rakyat Jogja adalah segala-galanya karena dari situlah titik tolak kehidupan mereka dimulai. Rakyat Jogja merasakan ketenangan dan kedamaian berada di bawah kraton dan raja khususnya Sultan Hamengku Bowono IX, dimana pada waktu itu Belanda dan Jepang bergantian ingin menguasai Jogja. Ornamen tradisi kraton seperti instrumen musik lokal dengan tari-tarian indah semampai merupakan mediasi demi mencapai ketenangan dan kenyamanan bersama bagi rakyat Jogja di tengah gedebus genderang perang penjajah.
Upaya kraton untuk melindungi rakyat agar aman juga terlihat dari catatan historis pembangunan Selokan Mataram. Selokan ini dibangun atas inisiatif sultan HB IX demi menyelamatan rakyat Jogja yang diincar menjadi pekerja rumosha oleh Jepang (hlm 17).
Ekspedisi selanjutnya sampai di Komunitas Gayam 16. ”Aku” semakin yakin bahwa jalan menuju damai begitu banyak. Salah satunya adalah seni tradisi warisan nenek moyang seperti gamelan yang dikembangkan di komunitas ini. Pada perangkat gamelan akan ditemukan perpaduan birama dari instrumen yang komplit menjadi irama merdu dan kaya akan makna ihwal sebuah penciptaan yang kuat dan murni. Kedekatan seni dengan nilai-nilai perdamaian juga ditemukan di Padepokan Bagong Kassudiardja, sebuah komunitas seni yang sekarang digawangi seniman Butet Kertarajasa, putra kedua Bagong Kassudiardja. Bagi kedua komunitas di atas peran seni bisa dipahami sebagai active non-violence (ANV), sebuah upaya halus dan indah demi menggugah kesadaran kemanusian. Seni selalu menawarkan solusi nir-kekerasan terhadap berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat kita (hlm. 39).
Selanjutnya, ”aku” yang terus melanglang sudut-sudut kota Jogja menemukan bagian penting dari dinamika kota besar, yatiu Komunitas Eben Ezer, sebuah komunitas anak jalanan (pengamen, pemulung, waria dan PSK) yang berpusat di Stasiun Lempuyangan (hlm 47). Ia menemukan rahasia terdalam di balik kota Jogja yang terkenal berpendidikan, berbudaya dan halus pembawaannya. Kisah perjalanan itu dirasakan semakin lengkap ketika ia sempat bertandang ke LSM KEBAYA alias Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah lembaga penggiat masalah eksistensi waria di Jogja. Di lembaga ini kita dapat menemui Mami Vin, seorang penggerak yang tak kenal lelah sehingga berhasil membawa nama KEBAYA sebagai lembaga waria paling solid di Jogja bahkan di Indonesia.
Membangun Solidaritas
Persinggahannya di Eben Ezer dan KEBAYA mengajarkan tentang solidaritas antar sesama demi menggapai kebersamaan dan kedamaian. Solidaritas yang dibentuk pun bukan sekedar solidaritas deskriptif tapi normatif. Solidaritas normatif adalah bentuk solidaritas dimana seorang tidak hanya merasa simpati semata tetapi sikap itu diterjemahkan dan diintegrasikan secara afektif, kognitif dan aksi untuk membantu mereka yang membutuhkan (hlm. 57-58). Ujian solidaritas itu akan dietemukan ketika kita singgah di YAKKUM, sebuah komunitas bagi penyandang cacat atau kaum difabel yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13.5. Di sini rasa manusiawi akan diuji ketika berhadapan dengan sosok insan yang ternyata tidak sesempurna kita. Kesadaran tentang potensi dan kekuarangan manusia akan terketuk di sana.
Tentang resolusi konflik dan cara kita bergaul dengan anak bangsa yang sempat bersitegang dengan kita dapat kita pelajari dari perjalanan sang tokoh ketika mampir ke Fakultas Kedokteran Internasional UGM dimana mayoritas mahasiswanya berasal dari Malaysia. Bagaimana kita membayangkan kelancangan negeri Pak Cik itu ketika mengklaim hasil ciptaan dan tradisi tulen bangsa Indonesia? Namun, napak tilas tokoh utama kita ini mengajarkan bagi semua bangsa bahwa dialog dan silaturahmi adalah aksi terpenting demi mewujudkan perdamaian bersama. Mahasiswa Malaysia yang tinggal di Jogja merasa bisa tenang dan nyaman belajar oleh karena sikap generasi muda kita yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kedamaian di negeri ini.
Di bagian akhir memoar perjalanan ini pembaca akan menemukan kekayaan budaya dan agama yang ada di Jogja. Ada Vihara Budha Prabha di jalan Brigjen Katamso dan Pura Jagatnata di Banguntapan. Dua simbol pluralisme agama itu mengisyarakat kompleksitas budaya dan tradisi Jogja sebagai Indonesia mini. Namun demikian, masih banyak budaya dan simbol tradisi sebagai penjunjung nilai perdamaian yang tidak terangkum dalam memoar perjalanan singkat ini. Sehingga di akhir perjalanan sang tokoh menuliskan: “ dan ini bukan akhir dari sebuah perjalanan…..” (hlm 107) karena jalan menuju damai memang masih panjang tetapi bukan berarti jauh.
Dosa pada Masyarakat Literer
A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Rubrik Bentara Kompas awal bulan Juni 2008 silam menayangkan tulisan polemik seputar plagiarisme. Muasal tulisan itu diturunkan pada Bentara Kompas lantaran ulah dosen UI menulis di media nasional tentang sejarah fotografi secara plagiat. Dengan begitu, prilaku dosen UI yang tak kerkeadaban di lapangan dunia tulis-menulis itu ditanggapi oleh oknum yang mengaku penggubah naskah asli sejarah fotografi tersebut. Al-hasil, aksi tuntut-menuntut pun terjadi. Dilayangkanlah tulisan ke surat pembaca Kompas oleh si penggugat guna menggugat aksi plagiat kepada plagiator yang sekaligus dosen UI. Disinilah titik runyam jagat kepengarangan kita diuji. Mirisnya, di Indonesia belum ada sebentuk lembaga peradilan yang menangani khusus kasus plagiat. Padahal di Barat tindak plagiarisme disikapi secara serius.
Dalam helat panggung tulis-menulis, si empu (penulis) dituntut memiliki jiwa integrasi. Tulisan oplosan dari orang lain sama sekali tak diperkenankan dipublikasi dengan memakai nama plagiat, tidak menerakan penulis asli sang pembikin naskah. Problemnya saat ini, masyarakat kini kian tapaki kecanggihan teknologi di mana informasi gampang dan cepat diraih hanya berbekal kepiawaian menguasai dunia maya lewat fasilitas internet. Sehingga, aksi jiplak dan plagiat berpotensi dilakukan oleh siapa pun. Tak diharap pun, wacana dosa pada masyarakat literer menarik didiskusikan.
Di lingkungan saya sendiri, laku epigon ditingkat penulisan makalah kuliah marak dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa dengan mudahnya comot sana-sini dari tulisan yang dirujukan tanpa menuliskan referensi/sumbernya dari mana. Dan dosen pun tak memiliki kemampuan atau ilmu memonitoring kebiasaan mahasiswa plagiat dalam penulisan makalah. Nah, di sinilah kata salah satu penulis di rubrik Bentara Kompas dengan menyebutnya, “Aksi Pembajak yang Bertoga.”
Kalau dilacak bermulanya aksi mulus plagiat, hemat saya, berawal kebiasaaan mahasiswa di kampus saat kuliah yang menulis makalah dengan plagiat, namun dosen/pengajar membiarkan dan tak adanya kepakeman aturan dari kampus yang menindak serius aksi mahasiswa tersebut. Tak ayal, tradisi busuk itu pun terus dilanjutkan mahasiswa tak hanya saat kuliah, ironis, ia pun mewarisinya hingga akhir hayatnya.
Kawan saya menjabarkan ihwal dosa literer ini yang tak memiliki sedikit pun ruang ampun. Dosa literer dapat terhapus bila plagiator mengemis ma’af dan berjanji tak akan mengulangi kembali tindak kejinya itu kepada masyarakat literer, dan lebih khusus pada pemilik tulisan yang dioplosnya.
Karya tulis merupakan karya agung yang jauh dari manipulatif. Karya tulis bersemangatkan demi tumbuh-kembangnya pengetahuan lewat asahan ide, riset mutakhir, dan eksperimen. Dengan begitu keotentikan karya dan temuan menjadi penting sebagai wujud tanggung jawab uji pengetahuan. Masyarakat literer Indonesia, saya pikir, patut mengutuk riset palsu Djoko Suprapto yang merekayasa blue energy di UMY (Universitas Muhammadiya Yogyakarta) demi sebuah kucuran dana besar, namun usahanya terprediksi gagal. Disinilah pentingnya integrasi moral dan tanggung jawab bagi periset dan penulis (sastrawan, penyair, prosaik, dll). Semoga bermanfaat bagi diriku.
http://indonimut.blogspot.com/
Rubrik Bentara Kompas awal bulan Juni 2008 silam menayangkan tulisan polemik seputar plagiarisme. Muasal tulisan itu diturunkan pada Bentara Kompas lantaran ulah dosen UI menulis di media nasional tentang sejarah fotografi secara plagiat. Dengan begitu, prilaku dosen UI yang tak kerkeadaban di lapangan dunia tulis-menulis itu ditanggapi oleh oknum yang mengaku penggubah naskah asli sejarah fotografi tersebut. Al-hasil, aksi tuntut-menuntut pun terjadi. Dilayangkanlah tulisan ke surat pembaca Kompas oleh si penggugat guna menggugat aksi plagiat kepada plagiator yang sekaligus dosen UI. Disinilah titik runyam jagat kepengarangan kita diuji. Mirisnya, di Indonesia belum ada sebentuk lembaga peradilan yang menangani khusus kasus plagiat. Padahal di Barat tindak plagiarisme disikapi secara serius.
Dalam helat panggung tulis-menulis, si empu (penulis) dituntut memiliki jiwa integrasi. Tulisan oplosan dari orang lain sama sekali tak diperkenankan dipublikasi dengan memakai nama plagiat, tidak menerakan penulis asli sang pembikin naskah. Problemnya saat ini, masyarakat kini kian tapaki kecanggihan teknologi di mana informasi gampang dan cepat diraih hanya berbekal kepiawaian menguasai dunia maya lewat fasilitas internet. Sehingga, aksi jiplak dan plagiat berpotensi dilakukan oleh siapa pun. Tak diharap pun, wacana dosa pada masyarakat literer menarik didiskusikan.
Di lingkungan saya sendiri, laku epigon ditingkat penulisan makalah kuliah marak dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa dengan mudahnya comot sana-sini dari tulisan yang dirujukan tanpa menuliskan referensi/sumbernya dari mana. Dan dosen pun tak memiliki kemampuan atau ilmu memonitoring kebiasaan mahasiswa plagiat dalam penulisan makalah. Nah, di sinilah kata salah satu penulis di rubrik Bentara Kompas dengan menyebutnya, “Aksi Pembajak yang Bertoga.”
Kalau dilacak bermulanya aksi mulus plagiat, hemat saya, berawal kebiasaaan mahasiswa di kampus saat kuliah yang menulis makalah dengan plagiat, namun dosen/pengajar membiarkan dan tak adanya kepakeman aturan dari kampus yang menindak serius aksi mahasiswa tersebut. Tak ayal, tradisi busuk itu pun terus dilanjutkan mahasiswa tak hanya saat kuliah, ironis, ia pun mewarisinya hingga akhir hayatnya.
Kawan saya menjabarkan ihwal dosa literer ini yang tak memiliki sedikit pun ruang ampun. Dosa literer dapat terhapus bila plagiator mengemis ma’af dan berjanji tak akan mengulangi kembali tindak kejinya itu kepada masyarakat literer, dan lebih khusus pada pemilik tulisan yang dioplosnya.
Karya tulis merupakan karya agung yang jauh dari manipulatif. Karya tulis bersemangatkan demi tumbuh-kembangnya pengetahuan lewat asahan ide, riset mutakhir, dan eksperimen. Dengan begitu keotentikan karya dan temuan menjadi penting sebagai wujud tanggung jawab uji pengetahuan. Masyarakat literer Indonesia, saya pikir, patut mengutuk riset palsu Djoko Suprapto yang merekayasa blue energy di UMY (Universitas Muhammadiya Yogyakarta) demi sebuah kucuran dana besar, namun usahanya terprediksi gagal. Disinilah pentingnya integrasi moral dan tanggung jawab bagi periset dan penulis (sastrawan, penyair, prosaik, dll). Semoga bermanfaat bagi diriku.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati